Safar, Definisi dan Hukumnya
Safar, Definisi dan Hukumnya
Segala puji hanya
untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
Bertepatan liburan panjang akhir tahun dan banyak orang yang bersiap siap
untuk melakukan safar, kesempatan yang baik untuk membicarakan sebagian hukum
hukum yang berkaitan dengan safar dan orang orang yang safar. Saya
memaparkannya sebagai peringatan untuk diri saya sendiri dan saudara saudaraku,
seraya memohon taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala, maka saya katakan
dengan memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala:
Sebab dinamakan safar:
Safar dinamakan safar karena ia membuka wajah orang-orang
yang safar dan akhlak mereka, maka nampaklah yang sebelumnya tersembunyi
darinya. (Lisanul Arab 4/368, al-Jami’ Li Akhlaq rawi wa adab
as-Sami’ 2/242). Dan diriwayatkan tentang hal itu dari Amirul Mukminin Umar radhiyallahu
‘anhu (Khulashatul Badril Munir 2/436). Maka engkau mendapatkan seseorang
yang sudah engkau kenal bertahun tahun dan tidak nampak bagimu sebagian
akhlaknya kecuali yang baik. Dan ketika engkau safar bersamanya selama beberapa
hari, maka engkau melihatnya malam dan siang, ketika makan, minum, tidur dan
sikapnya kecuali nampaklah bagimu beberapa perkara yang terkadang tidak
menyenangkan engkau. Karena inilah, Amirul Mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu
apabila seseorang bersaksi di sisinya yang dia tidak mengenalnya, ia bertanya
tentang dia dan di antara pertanyaannya kepada yang memberi tazkiyah: Apakah
engkau pernah safar bersamanya? Pernah ada dua orang bersaksi di hadapannya
maka ia berkata kepada keduanya: ‘Sesungguhnya saya tidak mengenal kalian dan
tidak mengapa saya tidak mengenal kalian, datangkanlah orang yang mengenal
kalian. Maka keduanya datang dengan seorang laki laki. Umar radhiyallahu
‘anhu berkata: ‘Bagaimana engkau mengenal mereka? Ia menjawab: ‘Mereka
orang shalih dan amanah.’ Ia (Umar radhiyallahu ‘anhu) bertanya: ‘Apakah
engkau tetangga mereka? Ia menjawab: Tidak. Ia bertanya: ‘Apakah engkau pernah
bersama mereka dalam safar yang membuka akhlak setiap laki-laki? Ia menjawab:
Tidak. Ia (Umar radhiyallahu ‘anhu) berkata: ‘Engkau tidak mengenal
mereka, datangkanlah orang yang mengenal kalian.’ Diriwayatkan oleh al-‘Uqaily
dalam Tarikhnya, al-Khathib dalam al-Kifayah, al-Baihaqi dalam Sunan, dan
didha’ifkan oleh al-‘Uqaily dan ia berkata: Tidak ada dalam kitab satu hadits
dalam isnadnya majhul yang lebih baik darinya. Dan dishahihkan oleh Abu Ali
Ibnus Sakan. Khulashatul Badrul Munir 2/437, at-Talkhis Khabir 4/197. Shadaqah
bin Muhammad rahimahullah berkata: ‘Dikatakan: sesungguhnya safar adalah
timbangan suatu kaum.’ Diriwayatkan oleh al-Khathib dalam ‘al-Jami’ li Akhlaq
ar-Rawi wa as Sami’ 1730.
Hukum safar:
Safar terbagi tiga dari sisi hukum syar’i, yaitu:
Pertama: safar ta’at: seperti safar untuk menunaikan ibadah haji,
atau umrah, atau jihad, atau silaturrahim, atau mengunjungi orang sakit dan
semisal yang demikian itu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَنَّ
رَجُلًا زَارَ أَخًا له في قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ الله له على مَدْرَجَتِهِ
مَلَكًا فلما أتى عليه قال أَيْنَ تُرِيدُ ؟ قال: أُرِيدُ أَخًا لي في هذه الْقَرْيَةِ, قال: هل لك عليه من
نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قال: لَا, غير أنى
أَحْبَبْتُهُ في اللَّهِ عز وجل،
قال: فَإِنِّي رسول اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قد أَحَبَّكَ كما
أَحْبَبْتَهُ فيه » [ أخرجه مسلم 2567]
“Sesungguhnya
seorang laki laki mengunjungi saudaranya di kampung yang lain, lalu Allah subhanahu
wa ta’ala mengutus seorang malaikat untuk mengawasi perjalanannya, malaikat
bertanya kepadanya: ‘Engkau mau ke mana? Ia menjawab: ‘Saya ingin mengunjungi
saudara saya di kampung ini.’ Malaikat bertanya: ‘Apakah engkau mengunjunginya
karena ingin mendapatkan manfaat duniawi? Ia menjawab: ‘Tidak, kecuali karena
saya mencintainya karena Allah subhanahu wa ta’ala.’ Malaikat berkata:
‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu bahwa Allah subhanahu
wa ta’ala mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena-Nya.’ (HR.
Muslim: 2567).
Kedua: Safar maksiat: seperti safar untuk melakukan yang diharamkan, atau safar
seorang wanita tanpa mahram, atau melakukan perjalanan untuk ziarah kubur. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إلا إلى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هذا
وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
» [ أخرجه
البخاري : 1132 ومسلم : 1397 ]
“Tidak boleh ditambatkan tunggangan kecuali kepada tiga masjid: masjidku
ini, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.’ (HR. Al-Bukhari 1132 dan Muslim
1397)
Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَخْلُوَنَّ
رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إلا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ ولا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إلا مع
ذِي مَحْرَمٍ » [ أخرجه مسلم : 1341
]
“Tidak boleh berduaan seorang laki laki bersama wanita kecuali bersama
mahram, dan tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahram.” Seorang
laki-laki berdiri seraya bertanya: ‘Sesungguhnya istriku pergi untuk menunaikan
ibadah haji sedangkan saya akan ikut perang ini dan itu. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Pergilah, maka berhajilah bersama istrimu.’
HR. Muslim 1341.
Ke tiga: safar yang dibolehkan, seperti safar untuk berdagang,
bersenang senang, rekreasi ke padang pasir, berburu dan selainnya. Imam Syafi’i
rahimahullah berkata:
“Pergilah meninggalkan tanah air untuk mencari ketinggian * dan
safarlah, sesungguhnya dalam safar ada lima faedah.
Melapangkan kesusahan hati dan mencari kehidupan* ilmu, adab dan berteman
dengan orang terpuji. (Diwan asy-Syafi’i 74, Faidhul Qadir 4/82, Yatimatu
Dahr 5/40.
‘Urwah bin Ward berkata:
Berjalanlah di negeri Allah subhanahu wa ta’ala dan carilah kekayaan *
niscaya engkau hidup mempunyai kemudahan atau engkau wafat maka engkau
dimaklumi. (amtsalul hadits 1/93).
Keringanan keringanan safar:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « السَّفَرُ قِطْعَةٌ من
الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَوْمَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ فإذا قَضَى
أحدكم نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إلى أَهْلِهِ» [ أخرجها البخاري 3839 و مسلم : 1927
]
“Safar adalah satu bagian dari siksaan yang menghalangi salah seorang
darimu dari tidur, makan dan minumnya. Maka apabila seseorang darimu
menyelesaikan keperluannya maka hendaklah ia bersegera kepada keluarganya.’
HR. Al-Bukhari: 3839 dan Muslim: 1927.
An-Nawawi rahimahullah berkata: Maksudnya menghalangi kesempurnaan
dan kenikmatannya karena menghadapi kesusahan, capek, cuaca panas dan dingin,
takut, berpisah keluarga dan teman teman, serta kehidupan yang berat. (Syarh
an-Nawawi atas Shahih Muslim 13/70, Mirqah Mafatih 7/414.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: ‘Safar adalah sepotong dari azab, maksudnya
adalah sebagian darinya. Dan maksud azab adalah rasa sakit yang muncul dari
kesusahan yang diperoleh dalam kenderaan dan berjalan, yaitu meninggalkan yang
sudah terbiasa...kebutuhan. Di dalam hadits tersebut merupakan penjelasan
makruh/dibenci meninggalkan keluarga tanpa keperluan dan anjuran segera pulang,
terutama orang yang khawatir terhadap mereka. Dan karena dalam menetap/tinggal
bersama keluarga merupakan kesenangan yang membantu kebaikan agama dan dunia,
dan karena dalam menetap bisa mendapatkan shalat jamaah dan kuat dalam
beribadah.’ (Fathul Bari 3/623. Dan lihat: ‘Umdatul Qari 10/138, Tanwirul
Hawalik 2/249.
Imam Haramain ditanya ketika duduk di tempat bapaknya: Kenapa safar
merupakan bagian dari azab? Ia segera menjawab: ‘Karena padanya berpisah orang
orang tercinta.’ (Syarh az-Zarqani: 4/506).
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Di dalam hadits ini merupakan
dalil bahwa merantau dalam waktu lama meninggalkan keluarga tanpa keperluan
untuk agama atau dunia tidak pantas dan tidak boleh. Dan sesungguhnya orang
yang selesai kebutuhannya hendaklah ia bersegera pulang kepada keluarganya yang
ia berkewajiban memberi nafkah kepada mereka karena khawatir Allah subhanahu
wa ta’ala menjadikan sesuatu setelah kepergiannya dari mereka. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Cukuplah bagi seseorang menanggung dosa
bahwa ia menyia-nyiakan keluarganya.” (at-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr
22/36.
Abdul Qadir bin Abul Fath:
Apabila dikatakan dalam safar ada lima faedah* Saya katakan: dan lima
musibah yang tidak dianalogikan dengannya
Menyia-nyiakan harta, memikul kesusahan * Duka cita, kesulitan, dan berpisah dengan orang yang
dicintai. (adh-Dhawul Lami’ 4/295). Dan karena melihat penderitaan dalam safar, asy
Syari’ Yang Maha Bijaksana memberikan keringanan bagi para musafir yang
beraneka macam, dan meringankan darinya berbagai macam hukum, di antaranya:
Pertama: mengqashar shalat yang empat rekaat menjadi dua rekaat.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي
الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ
خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ
عَدُوًّا مُبِيناً﴾ [النساء:101]
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
menqasar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. (QS. an-Nisaa`:101)
Dan dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: ‘Aku berkata kepada Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu: (maka tidaklah mengapa kamu
menqasar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.) maka sungguh manusia sudah merasa aman.’ Ia
berkata: ‘Aku merasa heran seperti engkau merasa heran darinya, maka aku
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal
itu, beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ
الله بها عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ » [ أخرجه مسلم : 686
]
‘Sedekah yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu
maka terimalah sedekah-Nya.”
Kedua: Menjama’ di antara dua shalat:
disunnahkan bagi musafir apabila merasa susah dalam perjalan agar menjama’ shalat
Zhuhur dan Ashar, demikian pula Maghrib
dan Isya, jama’ taqdim atau ta’khir, ia melakukan yang termudah baginya.
Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
‘Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bersegera
dalam safar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda shalat Maghrib
sehingga menggabungkan di antaranya dan shalat ‘Isya` (HR. Al-Bukhari 1041 dan
Muslim 703).
Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: ‘Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat
sebelum tergelincir matahari, beliau menunda shalat zhuhur ke shalat Ashar, kemudian
menggabung di antara keduanya. Dan apabila telah tergelincir matahari, beliau
shalat zhuhur kemudian menaiki tunggangan. (HR. Al-Bukhari 1060 dan Muslim
704).
Dan dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
‘Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
peperangan Tabuk, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
Zhuhur dan ‘Ashar bersamaan, dan shalat Maghrib dan Isha bersamaan.’ HR. Muslim
706.
Ketiga: Berbuka di bulan Ramadhan:
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
﴿ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ
لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ [البقرة:184]
Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah:184)
Dan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
‘Dalam satu perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
seorang laki-laki yang dikerumuni manusia dan dikelilingi atasnya, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Kenapa Dia? Mereka menjawab: ‘Seorang
laki-laki yang berpuasa.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ليس
من الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا في السَّفَرِ
رواه مسلم. وزاد في رواية أخرى (
عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الذي رَخَّصَ لَكُمْ
)
.» [ أخرجه مسلم : 1115 ]
‘Tidak termasuk kebaikan bahwa kamu berpuasa dalam
perjalanan.” HR. Muslim 1115. Dan ada tambahan dalam riwayat yang lain: ‘Kamu
harus mengambil rukhshah (keringanan) yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala
kepadamu.”
Keempat: Bertambah masa
mengusap dua khuf (sepatu):
Dari Syuraih bin Hani’, ia berkata: ‘Aku mendatangi
Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepadanya tentang mengusap dua khuf?
Maka ia menjawab: ‘Kamu harus mendatangi Ali bin Abu Thalib radhiyallahu
‘anhu maka tanyakanlah kepadanya, maka sesungguhnya ia pernah safar bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kami bertanya kepadanya,
ia radhiyallahu ‘anhu menjawab: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadikan tiga hari tiga malam bagi musafir dan satu hari satu
malam bagi yang muqim.’ HR. Muslim 276.
Kelima: Tidak wajib
shalat Jum’at bagi musafir: karena di antara syarat wajib shalat Jum’at adalah
menetap, sementara orang musafir tidak menetap (bukan muqim). Dan tidak ada
dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa shalat Jum’at
dalam safarnya. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Tidak ada
shalat Jum’at bagi musafir.’ (HR. Abdurrazzaq:
3/172) Dan Ibnu Abdil Barr rahimahullah menghikayatkan ijma’
(al-Istidzkar 2/36). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat Jum’at bersama mereka (para sahabat)
dalam perjalan-perjalannya, kemudian khutbah, kemudian shalat dua rekaat. Akan
tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari Jum’at
dalam safar sejumlah dua rekaat sebagaimana shalat di hari-hari yang lain.
Demikian pula ketika beliau shalat Zhuhur dan Ashar di hari Arafah, beliau
shalat dua rekaat seperti shalatnya di hari hari yang lain. Dan tidak ada
seorang pun yang meriwayatkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyaringkan bacaan di hari Jum’at dalam safar, tidak di Arafah dan tidak pula
di saat lainnya, dan tidak pula beliau khuthbah selain di Arafah pada hari
Jum’at dalam safar. Maka diketahui bahwa yang benar yang dilakukan oleh salafus
shaleh dan mayoritasnya dari imam yang empat dan yang lainnya bahwa musafir
tidak shalat Jum’at. Al-Fatawa 17/480.
Maka jika seorang musafir shalat Jum’at
bersama imam, maka ia tidak boleh menjama’ dengan shalat Ashar, karena Ashar
hanya dijama’ dengan Zhuhur, bukan dengan shalat Jum’at, dan Jum’at adalah
shalat tersendiri yang memiliki hukum hukum secara khusus, maka ia adalah
shalat jahar (imam membaca nyaring) dan zhuhur adalah shalat sirr (membaca
pelan). Ia (shalat Jum’at) dua rekaat dan Zhuhur empat rekaat, sebelumnya ada
dua khutbah dan Zhuhur tidak ada khutbah sebelumnya. Dan waktunya sebelum
gelincir matahari berbeda dengan Zhuhur maka waktu tidak masuk kecuali setelah
gelincir matahari, dan perbedaan perbedaan lainnya. (lihat: Syarh al-Mumti’
4/582. Adapun jika ia shalat bersama imam dan berniat shalat Zhuhur secara
qashar, maka ia boleh menjama’ bersama Ashar.
Keenam: Shalat sunnah di atas
tunggangan: Musafir boleh melakukan shalat malam, shalat witir, shalat Dhuha
dan shalat sunnah lainnya di dalam mobil dan ia berjalan dengannya kemanapun
arahnya berdasarkan hadits Sa’id bin Yasar rahimahullah, ia berkata:
‘Aku berjalan bersama Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma di jalan
Makkah. Sa’id berkata: ‘Maka tatkala aku khawatir masuk waktu Subuh, aku turun
lalu melaksanakan shalat Witir, kemudian aku menyusulnya. Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhuma berkata: ‘Engkau berada di mana? Aku menjawab: ‘Aku khawatir masuk
waktu Subuh, lalu aku turun lalu shalat Witir.’ Abdullah radhiyallahu ‘anhu
berkata: ‘Bukahlah bagimu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
panutan yang baik? Aku menjawab: ‘Tentu, demi Allah.’ Ia berkata: ‘Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Witir di
atas unta.’ HR. Al-Bukhari 954 dan Muslim 700.
Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dalam safar
di atas tunggangannya kemanapun arahnya, beliau melakukan isyarat dalam shalat
malam kecuali shalat fardhu, dan beliau shalat Witir di atas tunggangannya.’
HR. Al-Bukhari 955 dan Muslim 700.
Ketujuh: Meninggalkan
shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah fajar: Dari Hafsh bin ‘Ashim bin Umar bin Khathab radhiyallahu
‘anhum, ia berkata: ‘Aku menemani Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
dalam perjalanan ke Makkah, ia berkata: ‘Ia shalat Zhuhur dua rekaat, kemudian
ia menghadap/berjalan dan kami berjalan bersamanya, hingga ia sampai di tempat
persinggahannya, ia duduk dan kami duduk bersamanya. Maka tiba waktu untuk
meneruskan perjalanan, lalu ia melihat beberapa orang berdiri (shalat), ia
bertanya: ‘Apakah yang diperbuat mereka? Aku menjawab: ‘Mereka shalat.’ ia
berkata: ‘Jika aku shalat niscaya aku menyempurnakan shalatku, wahai anak
saudaraku, sesungguhnya aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam perjalanan, maka beliau tidak menambah atas dua rekaat hingga
akhir hayat. Dan aku menemani Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu maka ia tidak
menambah atas dua rekaat hingga wafat. Dan aku menemani Umar radhiyallahu
‘anhu maka ia tidak menambah atas dua rekaat hingga wafat. Dan aku menemani
Utsman radhiyallahu ‘anhu maka ia tidak menambah atas dua rekaat hingga
wafat. Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
﴿ لقد كان لَكُمْ
في رسول اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ﴾ [الأحزاب:21]
Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (QS. al-Ahzab:21) HR. Muslim:
689.
Inilah beberapa rukhsakh (keringanan) melakukan dan
meninggalkan yang semestinya dijaga oleh orang yang safar berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم” ( عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الذي
رَخَّصَ لَكُمْ ) .» [ أخرجه مسلم : 1115 ]
‘Kamu harus mengambil rukhsakh (keringanan) yang
diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu.’ HR. Muslim: 1115. Dari
hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu.
Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ» [ أخرجه أحمد ]
‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai bahwa
dilaksanakan rukhsakh-Nya (yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala),
sebagaimana Dia membenci dilakukan maksiat kepada-Nya.’ HR. Ahmad 5866.
Al-Mundziri rahimahullah berkata: Dengan isnad yang shahih. (at-Targhib
wat Tarhib 2/87). Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ
كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ» [ أخرجه ابن حبان: 354 ]
‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai bahwa
dilaksanakan rukhsakh-Nya (yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala),
sebagaimana Dia menyukai dilaksanakan kewajiban kewajiban-Nya.” (HR. Ibnu
Hibban: 354).
Mengambil rukhsakh yang diberikan syara’
adalah ibadah yang dilupakan oleh kebanyakan orang, maka mereka menyusahkan
diri mereka sendiri dengan meninggalkannya karena mengira bahwa yang utama
adalah tidak mengambil rukhsah tersebut, padahal yang utama, yang lebih
sempurna dan lebih banyak pahala adalah mengikuti sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di waktu safar dan menetap, perintah kuat dan keringanan.
Keringanan keringanan ini, para ulama menyebutkan tiga syarat agar boleh
mengambil keringanan tersebut dalam safar, yaitu:
Pertama: Bahwa safar
tersebut mencapai jarak empat burd (lihat perbedaan pendapat para ulama karya
al-Maruzi/45, al-Istizkar 2/232, al-Mughni 2/46, Fathul Bari 2/566). Dan sama
dengan 89 Km. Menurut pendapat mayoritas ulama, berdasarkan riwayat ‘Atha’ bin
Abi Rabah, bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dan Abdullah bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma melakukan shalat dua rekaat dua rekaat
(mengqashar) dan berbuka dalam jarak empat burd dan selebihnya. HR. Al-Baihaqi
3/137. Dan ada riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang
menyalahi hal itu, dan ia pernah mengqashar dalam jarak kurang dari hal itu.
Dan bagi para ulama ada beberapa pendapat dalam jarak safar yang boleh
mengqashar. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menentukan batas safar dengan jarak, tidak
dengan barid dan tidak pula lainnya, dan tidak pula membatasi dengan waktu.
(al-Fatawa: 24/127). Dan dalam Shahih Muslim 691, dari Yahya bin Yazid
al-Huna`i, ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu tentang qashar shalat? ia menjawab: ‘Apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar dalam perjalanan tiga mil atau tiga farsakh
–Syu’bah ragu ragu- beliau shalat dua rekaat (mengqashar).’
Kedua: Berpisah dengan tempat tinggal: Banyak musafir yang mengira bahwa musafir
tidak boleh melakukan rukhsakh sehingga melewati jarak qashar. Ini menyalahi
pendapat yang shahih. Bahkan sebaliknya musafir boleh melakukan rukhsakh
tersebut apabila melewati bangunan bangunan, berdasarkan hadits Anas radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: ‘Aku shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam di Madinah empat rekaat dan shalat Ashar di Dzil Hulaifah dua
rekaat. HR. Al-Bukhari 1039. Dan dari Ali bin Rabi’ah al-Asady, ia berkata:
‘Aku keluar bersama Ali radhiyallahu ‘anhu dan kami memandang ke Kufah,
maka ia shalat dua rekaat. Kemudian ia kembali lalu shalat dua rekaat dan ia
memandang ke perkampungan, maka kami bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau tidak
shalat empat rekaat? Ia menjawab: ‘Hingga kita memasukinya.’ HR. Al-Bukhari
1/369 secara mu’allaq (tanpa sanad) dan dimaushulkan (diriwayatkan dengan
sanad) oleh Abdurrazzaq 4321, al-Hafizh berkata: Isnadnya shahih (Taghligh
Ta’liq: 2/421).
Ketiga: Bahwa safar itu bukan safar
maksiat menurut pendapat meyoritas ulama:
Keringanan keringanan ini disyari’atkan bagi orang yang melakukan safar
taat atau mubah. Adapun orang yang maksiat dengan safarnya seperti perampok
maka tidak diberikan keringanan baginya, karena keringanan tidak digantungkan
dengan maksiat, dan dari sana orang yang maksiat dengan safarnya tidak
dibolehkan mengambil sedikitpun dari rukhsah safar. (al-Majmu’ Syarh
al-Muhazzab 4/223, al-Asybah wan Nazha`ir karya as-Sayuthi 95) dan dalam
memberi ijin bagi yang maksiat dengan melakukan rukhsakh berarti membantu dia
terhadap maksiatnya, dan orang yang maksiat tidak boleh ditolong (untuk terus
melakukan maksiat).
Post a Comment