HAKEKAT WISATA DALAM ISLAM, HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA
HAKEKAT WISATA
DALAM ISLAM, HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA
Kata Wisata menurut bahasa mengandung arti yang
banyak. Akan tetapi dalam istilah yang dikenal sekarang lebih dikhususkan pada
sebagian makna itu. Yaitu, yang menunjukkan berjalan-jalan ke suatu negara
untuk rekreasi atau untuk melihat-lihat, mencari dan menyaksikan (sesuatu) atau
semisal itu. Bukan untuk mengais (rezki), bekerja dan menetap. Silakan lihat
kitab Al-Mu’jam Al-Wasith, 469.
Berbicara tentang wisata menurut pandangan
Islam, maka harus ada pembagian berikut ini,
Pertama: Pengertian wisata dalam Islam.
Islam datang untuk merubah banyak pemahaman
keliru yang dibawa oleh akal manusia yang pendek, kemudian mengaitkan dengan
nilai-nilai dan akhlak yang mulia. Wisata dalam pemahaman sebagian umat
terdahulu dikaitkan dengan upaya menyiksa diri dan mengharuskannya untuk
berjalan di muka bumi, serta membuat badan letih sebagai hukuman baginya atau
zuhud dalam dunianya. Islam datang untuk menghapuskan pemahaman negatif yang
berlawanan dengan (makna) wisata.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin
Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau bermukim di suatu
kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab: "Wisata tidak ada
sedikit pun dalam Islam, tidak juga prilaku para nabi dan orang-orang saleh."
(Talbis Iblis, 340).
Ibnu Rajab mengomentari perkataan Imam Ahmad
dengan mengatakan: "Wisata dengan pemahaman ini telah dilakukan oleh sekelompok orang
yang dikenal suka beribadah dan bersungguh-sungguh tanpa didasari ilmu. Di antara mereka ada
yang kembali ketika mengetahui hal itu." (Fathul-Bari, karangan Ibnu
Rajab, 1/56)
Kamudian Islam datang untuk meninggikan
pemahaman wisata dengan mengaitkannya dengan tujuan-tujuan yang mulia. Di
antaranya
1. Mengaitkan wisata dengan ibadah, sehingga
mengharuskan adanya safar -atau wisata- untuk menunaikan salah satu rukun dalam
agama yaitu haji pada bulan-bulan tertentu. Disyariatkan umrah ke Baitullah
Ta’ala dalam satahun.
Ketika ada seseorang datang kepada Nabi
sallallahu alaihi wa sallam minta izin untuk berwisata dengan pemahaman lama,
yaitu safar dengan makna kerahiban atau
sekedar menyiksa diri, Nabi sallallahu alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada
maksud yang lebih mulia dan tinggi dari sekedar berwisata dengan mengatakan
kepadanya, “Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR.
Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan
dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin, no. 2641).
Perhatikanlah bagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengaitkan wisata yang
dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia.
2. Demikian pula, dalam pemahaman Islam, wisata
dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada
perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai
Al-Khatib Al-Bagdady menulis kitab yang terkenal ‘Ar-Rihlah Fi Tolabil Hadits’,
di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya
untuk mendapatkan dan mencari satu hadits saja.
Di antaranya adalah apa yang diucapkan oleh
sebagian tabiin terkait dengan firman Allah Ta’ala:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ
السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدونَ الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (سورة
التوبة: 112)
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat,
beribadah, memuji, melawat, ruku, sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (QS. At-Taubah: 112)
Ikrimah berkata ‘As-Saa'ihuna’ mereka adalah pencari
ilmu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
dalam tafsirnya, 7/429. Silakan lihat Fathul Qadir, 2/408. Meskipun
penafsiran yang benar menurut mayoritas ulama salaf bahwa yang dimaksud dengan
‘As-Saaihin’ adalah orang-orang yang
berpuasa.
3. Di antara maksud wisata dalam Islam adalah
mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’anulkarim terdapat perintah
untuk berjalan di muka bumi di beberapa tempat.
Allah berfirman: “Katakanlah:
'Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-An’am: 11)
Dalam ayat lain, “Katakanlah: 'Berjalanlah kamu
(di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.”
(QS. An-Naml: 69)
Al-Qasimi rahimahullah berkata; ”Mereka berjalan
dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai
nasehat, pelajaran dan manfaat lainnya." (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225)
4. Mungkin di antara maksud yang paling mulia
dari wisata dalam Islam adalah berdakwah kepada Allah Ta’ala, dan menyampaikan
kepada manusia cahaya yang diturunkan kepada Muhammad sallallahu alaihi wa
sallam. Itulah tugas para Rasul dan para Nabi dan orang-orang setelah mereka
dari kalangan para shahabat semoga, Allah meridhai mereka. Para shabat Nabi
sallallahu alaihi wa sallam telah menyebar ke ujung dunia untuk mengajarkan
kebaikan kepada manusia, mengajak mereka kepada kalimat yang benar. Kami
berharap wisata yang ada sekarang mengikuti wisata yang memiliki tujuan mulia dan agung.
5. Yang terakhir dari pemahaman wisata dalam
Islam adalah safar untuk merenungi keindahan
ciptaan Allah Ta’la, menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong
jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah dan memotivasi
menunaikan kewajiabn hidup. Karena refresing jiwa perlu untuk memulai semangat
kerja baru. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا
كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (سورة العنكبوت:
20(
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi,
maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,
kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20)
Kedua: Aturan wisata dalam Islam
Dalam ajaran Islam yang bijaksana terdapat hukum
yang mengatur dan mengarahkan agar
wisata tetap menjaga maksud-maksud yang telah disebutkan tadi, jangan
sampai keluar melewati batas, sehingga
wisata menjadi sumber keburukan dan
dampak negatif bagi masyarakat. Di antara hukum-hukum itu adalah:
1. Mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan
tempat tertentu kecuali tiga masjid. Dari
Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa
sallam bersabda:
لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى
ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى (رواه البخاري، رقم 1132 ومسلم،
رقم 1397)
“Tidak dibolehkan melakukan perjalanan kecuali
ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah sallallahu’alaihi wa saal dan
Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari, no. 1132, Muslim, no. 1397)
Hadits ini menunjukkan akan haramnya promosi wisata yang dinamakan Wisata Religi
ke selain tiga masjid, seperti ajakan
mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan kuno, terutama peninggalan yang
diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan.
Dalam ajaran Islam tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan
ibadah di dalamnya sehingga menjadi tempat yang
diagungkan selain tiga tempat tadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Aku
pergi Thur (gunung Tursina di Mesir),
kemudian aku bertemu Ka’b Al-Ahbar,
lalu duduk bersamanya, lau beliau menyebutkan hadits yang panjang, kemudian berkata, "Lalu aku bertemu
Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifary dan berkata, "Dari mana kamu
datang?" Aku menjawab, "Dari (gunung) Thur." Lalu beliau mengatakan, "Jika aku menemuimu sebelum engkau keluar ke sana, maka
(akan melarang) mu pergi, karena aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, ke
Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul Maqdis." (HR.
Malik dalam Al-Muwatha, no. 108. Nasa’i, no. 1430, dinyatakan shahih oleh
Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i)
Maka tidak dibolehkan memulai perjalanan menuju
tempat suci selain tiga tempat ini. Hal
itu bukan berarti dilarang
mengunjungi masjid-masjid yang ada di negara muslim, karena kunjungan kesana
dibolehkan, bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang dilarang adalah melakukan safar
dengan niat seperti itu. Kalau ada
tujuan lain dalam safar, lalu diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal
itu tidak mengapa. Bahkan terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan
shalat berjamaah. Yang keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke
tempat-tempat suci agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung
Budha atau lainnya yang serupa.
2. Ada juga dalil yang mengharamkan wisata
seorang muslim ke negara kafir secara umum. Karena berdampak buruk terhadap
agama dan akhlak seorang muslim, akibat bercampur dengan kaum yang tidak
mengindahkan agama dan akhlak. Khususnya apab ila tidak ada keperluan
dalam safar tersebut seperti untuk berobat, berdagang
atau semisalnya, kecuali Cuma sekedar bersenang senang dan rekreasi.
Sesungguhnya Allah telah menjadikan negara muslim memiliki keindahan penciptaan-Nya, sehingga tidak
perlu pergi ke negara orang kafir.
Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata:
“Tidak boleh Safar ke negara kafir, karena ada kekhawatiran terhadap akidah,
akhlak, akibat bercampur dan menetap di tengah
orang kafir di antara mereka.
Akan tetapi kalau ada keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke
negara mereka seperti safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau
safar untuk belajar yang tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk
berdagang, kesemuanya ini adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke
negara kafir dengan syarat menjaga syiar keislaman dan memungkinkan
melaksanakan agamanya di negeri mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke
negeri Islam. Adapun kalau safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan.
Karena seorang muslim tidak membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang
sama atau yang lebih kuat dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama
dan keyakinan. (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2 soal no. 221)
Penegasan tentang masalah ini telah diuraikan
dalam situs kami secara terperinci dan
panjang lebar. Silakan lihat soal no. 13342, 8919, 52845.
3. Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam
melarang wisata ke tempat-tempat rusak yang terdapat minuman keras, perzinaan,
berbagai kemaksiatan seperti di pinggir
pantai yang bebas dan acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan.
Atau juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang
muslim diperintahkan untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus
(kedalamnya) dan jangan duduk dengan orang yang melakukan itu.
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan:
“Tidak diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata.
Karena hal itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam
datang untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada keburukan." (Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/332)
Bagaimana dengan wisata yang menganjurkan
kemaksiatan dan prilaku tercela, lalu kita ikut
mengatur, mendukung dan menganjurkannya?
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah juga berkata:
“Kalau wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran
serta mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada
Allah dan hari Akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah dan
menyalahi perintahNya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka
Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah,
26/224)
4. Adapun berkunjung ke bekas peninggalan umat
terdahulu dan situs-situs kuno , jika itu adalah bekas tempat turunnya azab, atau tempat suatu
kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
tidak dibolehkan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata dan hiburan.
Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya,
ada di kota Al-Bada di provinsi Tabuk
terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang diukir di gunung. Sebagian orang
mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal kaum Nabi Syu’aib alaihis salam.
Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil
bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib –alaihis salam- atau tidak
ada dalil akan hal itu? dan apa hukum mengunjungi tempat purbakala itu bagi
orang yang bermaksuk untuk sekedar melihat-lihat dan bagi yang bermaksud
mengambil pelajaran dan nasehat?
Mereka menjawab: “Menurut ahli sejarah dikenal
bahwa tempat tinggal bangsa Madyan yang
diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib alaihis shalatu was salam berada
di arah barat daya Jazirah Arab yang
sekarang dinamakan Al-Bada dan sekitarnya. Wallahu’alam akan kebenarannya. Jika
itu benar, maka tidak diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan
sekedar melihat-lihat. Karena Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam ketika melewati Al-Hijr, yaitu tempat tinggal bangsa Tsamud (yang dibinasakan) beliau
bersabda: “Janganlah kalian memasuki
tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian
tertimpa seperti yang menimpa mereka,
kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala
dan berjalan cepat sampai melewati
sungai." (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkomentar ketika
menjelaskan manfaat dan hukum yang diambil dari peristiwa perang Tabuk, di
antaranya adalah barangsiapa yang melewati di tempat mereka yang Allah murkai
dan turunkan azab, tidak sepatutnya dia memasukinya dan menetap di dalamnya,
tetapi hendaknya dia mempercepat jalannya dan menutup wajahnya hingga lewat.
Tidak boleh memasukinya kecuali dalam kondisi menangis dan mengambil pelajaran.
Dengan landasan ini, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menyegerakan jalan di
wadi (sungai) Muhassir antara Mina dan Muzdalifah, karena di tempat itu Allah
membinasakan pasukan gajah dan orang-orangnya." (Zadul Ma’ad, 3/560)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam
menjelaskan hadits tadi, "Hal ini mencakup
negeri Tsamud dan negeri lainnya
yang sifatnya sama meskipun sebabnya terkait dengan mereka." (Fathul Bari,
6/380).
Silakan lihat kumpulan riset Majelis Ulama Saudi
Arabia jilid ketiga, paper dengan judul Hukmu
Ihyai Diyar Tsamud (hukum menghidupkan perkampungan Tsamud). Juga
silahkan lihat soal jawab no. 20894.
5. Tidak dibolehkan juga wanita bepergian tanpa
mahram. Para ulama telah memberikan fatwa haramnya wanita pergi haji atau umrah
tanpa mahram. Bagaimana dengan safar untuk
wisata yang di dalamnya banyak tasahul
(mempermudah masalah) dan campur baur yang diharamkan? Silakan lihat soal jawab
no. 4523, 45917, 69337 dan 3098.
6. Adapun mengatur wisata
untuk orang kafir di negara Islam, asalnya dibolehkan. Wisatawan kafir kalau
diizinkan oleh pemerintahan Islam untuk masuk maka diberi keamanan sampai
keluar. Akan tetapi keberadaannya di negara Islam harus terikat dan menghormati
agama Islam, akhlak umat Islam dan kebudayaannya. Dia pun di larang
mendakwahkan agamanya dan tidak menuduh Islam dengan batil. Mereka juga tidak
boleh keluar kecuali dengan penampilan sopan dan memakai pakaian yang sesuai
untuk negara Islam, bukan dengan pakaian yang biasa dia pakai di negaranya
dengan terbuka dan tanpa baju. Mereka juga bukan sebagai mata-mata atau
spionase untuk negaranya. Yang terakhir tidak diperbolehkan berkunjung ke dua
tempat suci; Mekkah dan Madinah.
Ketiga:Tidak tersembunyi bagi siapa pun bahwa
dunia wisata sekarang lebih dominan dengan kemaksiatan, segala perbuatan buruk
dan melanggar yang diharamkan, baik sengaja bersolek diri, telanjang di
tempat-tempat umum, bercampur baur yang bebas, meminum khamar, memasarkan
kebejatan, menyerupai orang kafir, mengambil kebiasaan dan akhlaknya bahkan
sampai penyakit mereka yang berbahaya. Belum lagi, menghamburkan uang
yang banyak dan waktu serta kesungguhan. Semua itu dibungkus dengan nama
wisata. Maka ingatlah bagi yang mempunyai kecemburuan terhadap agama, akhlak
dan umatnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jangan sampai menjadi penolong
untuk mempromosikan wisata fasik
ini. Akan tetapi hendaknya memeranginya dan
memerangi
ajakan mempromosikannya. Hendaknya bangga dengan
agama, wawasan dan akhlaknya. Hal tersebut akan menjadikan negeri kita
terpelihara dari segala keburukan dan mendapatkankan pengganti keindahan
penciptaan Allah ta’ala di negara islam yang terjaga.
Wallahu’alam .
Post a Comment