Khawatir Dari Sifat Ujub
Khawatir Dari Sifat Ujub
Segala puji hanya
untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh
sahabatnya.
Tsabit al-Bunany rahimahullah berkata: ‘Abu Ubaidah radhiyallahu
‘anhu berkata: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah seseorang
dari Quraisy dan tidak ada seseorang darimu dari yang berkulit merah dan tidak
pula yang berkulit hitam yang melebihi aku dengan taqwa kecuali aku ingin
berada di kulitnya.[1]
Dari
Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’ atau dari yang lain, bahwa seorang laki-laki
berkata kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: ‘Wahai sebaik-baik
manusia atau wahai sebaik-baik anak manusia.’ Maka ia (Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu) berkata: ‘Aku bukan sebaik-baik manusia dan bukan pula sebaik-baik
anak manusia, akan tetapi aku adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah Shubhanahu
wa ta’ala. Aku mengharap dan takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala,
demi Allah, kamu senantiasa dengan laki-laki itu sehingga kalian membinasakannya.’[2]
Di
dalam al-Hilyah[3]: Abul Asyhab
meriwayatkan dari seorang laki laki, Mutharrif bin Abdullah rahimahullah
berkata: ‘Sungguh aku tidur di malam hari dan menyesal di pagi hari lebih
kusukai dari pada shalat di malam hari dan pagi hari merasa ‘ujub.’ Adz-Dzhaby rahimahullah
berkata: ‘Tidaklah beruntung, demi Allah, orang yang menganggap dirinya bersih
atau merasa ‘ujub.’[4]
Dari
Wahab bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: ‘Ingatlah dariku tiga
perkara: Hindarilah hawa nafsu yang dituruti, teman yang jahat dan seseorang
merasa ujub dengan dirinya.’[5] Abu Wahab
al-Marwazi rahimahullah berkata: ‘Aku bertanya kepada Ibnu Mubarak rahimahullah:
‘Apakah takabur itu? Ia menjawab: ‘Engkau merendahkan manusia (orang lain).’
Lalu aku bertanya: ‘Apakah ‘ujub itu? Ia menjawab: ‘Bahwa engkau merasa bahwa
engkau memiliki sesuatu yang tidak ada di sisi orang lain dan aku tidak melihat
sesuatu pada orang orang yang shalat yang lebih buruk dari sifat ‘ujub.’[6]
Ahmad
bin Abi Hawary berkata: ‘Abu Abdullah al-Anthaky menceritakan kepada kami, ia
berkata: ‘Fudhail dan at-Tsaury rahimahumallah bertemu dan melakukan mudzakarah,
lalu Sufyan menjadi sedih dan menangis. Kemudian ia berkata: ‘Aku mengharapkan
majelis ini menjadi rahmat dan berkah untuk kita.’ Fudhail berkata kepadanya: ‘Akan
tetapi aku –wahai Abu Abdillah- khawatir bahwa ia
lebih berbahaya terhadap kita. Bukankah engkau sampai kepada
pembicaraanmu yang terbaik dan aku sampai kepada pembicaraanku yang terbaik,
maka engkau memperindah ucapan untukku dan aku memperindah ucapan untukmu? Maka
Sufyan menangis dan berkata: ‘Engkau mencintai aku semoga Allah Shubhanahu
wa ta’ala mencintaimu.’[7]
Imam
Syafi’i rahimahullah berkata: ‘Apabila engkau merasa khawatir sifat
‘ujub terhadap amal ibadahmu maka ingatlah ridha yang engkau tuntut, kenikmatan
apakah yang engkau inginkan, dari siksaan apakah yang engkau takutkan. Maka
siapa yang memikirkan hal itu niscaya menjadi kecil amal ibadahnya di sisi
-Nya.’[8] Risydin bin
Sa’ad berkata: ‘Hajjaj bin Syaddad menceritakan kepada kami, ia mendengar
Ubaidullah bin Abu Ja’far berkata –ia seorang yang bijaksana-: ‘Apabila
seseorang berbicara di satu majelis, lalu pembicaraan itu membuat ia ‘ujub maka
hendaklah ia berhenti. Dan apabila ia diam, lalu diam itu membuatnya ‘ujub maka
hendaklah ia berbicara.’[9]
Dari
Sa’id bin Abdurrahman, dari Abu Hazim rahimahullah, ia berkata:
‘Sesungguhnya seorang hamba melakukan kebaikan yang membuatnya senang saat
melakukannya dan Allah Shubhanahu wa ta’ala tidak menjadikan keburukan yang lebih berbahaya terhadapnya dan sesungguhnya
seorang hamba melakukan kejahatan kemudian ia merasa bersalah telah
melakukannya, dan Allah Shubhanahu wa ta’ala tidak menjadikan kebaikan
yang lebih bermanfaat baginya. Dan penjelasan hal itu bahwa seorang
hamba ketika melakukan kebaikan ia merasa bangga padanya dan merasa bahwa ia
mempunyai kelebihan terhadap orang lain, dan bisa jadi Allah Shubhanahu wa
ta’ala menggugurkan amal ibadahnya dan mengugurkan bersamanya amal ibadah
yang sangat banyak. Sesungguhnya seorang hamba melakukan keburukan yang membuat
ia merasa bersalah, bisa jadi Allah Shubhanahu wa ta’ala memberikan
baginya rasa takut pada -Nya, lalu ia bertemu Allah Shubhanahu wa ta’ala dan
sesungguhnya rasa takutnya tetap berada di dalam rongganya.[10]
Adz-Dzahaby
rahimahullah memberi komentar dalam biografi Ibnu Hazm rahimahullah
terhadap perkataannya (Saya mengikuti kebenaran dan berijtihad serta tidak
terikat dengan mazhab), ia berkata: ‘Saya katakan: ‘Ya, siapa yang mencapai derajat ijtihad dan beberapa imam bersaksi untuk hal itu, ia
tidak boleh bertaqlid. Sebagaimana seorang faqih yang masih pemula dan
seorang awam yang hapal al-Qur`an atau sebagian besar darinya, ia sama sekali
tidak boleh berijtihad. Bagaimana mungkin ia bisa berijtihad, apa yang dia
baca? Atas dasar apa ia membangun? Bagaimana ia bisa terbang saat belum
mempunyai bulu?
Bagian
ketiga: Seorang faqih yang sudah mencapai puncak, cerdas, paham, ahli hadits,
yang hapal kitab-kitab ringkas (singkat) dalam cabang ilmu, kitab dalam
kaidah-kaidah ushul, membaca nahwu, serta hapal terhadap kitabullah
(al-Qur`an), mempelajari tafsirnya dan mampu berdialog. Ini adalah martabat
orang yang sudah mencapai derajat ijtihad muqayad (terikat), sudah mampu
mempelajari dalil-dalil para imam. Maka siapa yang sudah jelas kebenaran baginya
dalam satu masalah, nash sudah kuat padanya, dan diamalkan oleh salah seorang
imam yang dikenal seperti Abu Hanifah misalnya, atau seperti Malik atau Tsaury,
atau Auza’i, atau Syafi’i, Abu Ubaid, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah
jami’an, maka hendaklah ia mengikuti kebenaran padanya dan tidak mengambil
jalan rukhshah (keringanan) padanya, hendaklah ia bersikap wara’ dan
setelah berdiri hujjah atasnya ia tidak boleh lagi melakukan taqlid.
Jika
ia khawatir hasutan dari para fuqaha maka hendaklah ia menyembunyikannya dan
tidak menampakkan perbuatannya. Maka bisa jadi muncul sikap ‘ujub dalam jiwanya
dan ingin menampakkan nya, maka ia akan dihukum
dengan penyakit hati yang tercela. Berapa banyak orang yang menuturkan
kebenaran dan menyuruh yang ma’ruf lalu Allah Shubhanahu wa ta’ala menguasakan
para fuqaha atasnya. Sebagaimana ia merupakan penyakit yang berjalan di dalam
jiwa orang-orang yang berinfak dari orang-orang kaya, pemilik waqaf dan tanah
yang indah. Ia adalah penyakit tersembunyi yang menjalar di jiwa para tentara,
pemimpin dan orang yang berjihad. Maka engkau melihat mereka bertemu musuh dan
bertemu kedua pasukan, sedangkan di dalam jiwa para mujahid ada yang
tersembunyi dari sikap sombong dan menampakkan keberanian agar dikatakan[11] dan sikap
‘ujub, memakai pakaian berwarna keemasan, topi tentara yang indah, perbekalan
yang dihiasi terhadap jiwa orang-orang yang sombong, dan kuda-kuda yang
tangguh. Ditambah lagi melalaikan shalat, zhalim terhadap rakyat, minum arak,
maka bagaimana mungkin mereka mendapat pertolongan? Bagaimana mungkin mereka
tidak terhinakan? Ya Allah, tolonglah agama -Mu dan berilah taufiq kepada hamba
hamba -Mu.
Maka
siapa yang menuntut ilmu untuk diamalkan niscaya ilmu akan mematahkannya dan ia
menangis terhadap dirinya. Dan siapa yang menuntut ilmu untuk mengajar,
berfatwa, membanggakan diri dan riya`, niscaya ia menjadi sombong, merendahkan
orang lain, dibinasakan sifat ‘ujub dan semua jiwa akan membencinya.
قال الله تعالى: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ﴾ [الشمس: 9-10]
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, * dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya. (QS. asy-Syams:9-10)
Post a Comment