WAKTU AQIQAH
Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin
Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama
adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat
tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar رØمه الله berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/594):
“Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari ketujuh
kelahirannya’ (hadist no.2),
ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada
hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak
melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. bahwasannya syariat aqiqah akan gugur
setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau
berkata: “Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah
aqiqah bagi kedua orang tuanya.”
Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum
hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya
“Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah
hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla”
7/527.
Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada
hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari
ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari
ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm kitab “As-Shagir” (1/256) dari Ismail
bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah:
“Kurban untuk pelaksanaan aqiqah,
dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21.”1
1 Penulis berkata : “Dia (Ismail)
seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh
al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ‘Fathul Bari’
(9/594).” Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan
mudraj
|
Post a Comment