Kafirkah Berhukum Dengan Selain Hukum Allah?
Kafirkah Berhukum
Dengan Selain Hukum Allah?
Segala
puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah. Amma
ba'du.
Bagi
seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi
ketetapan hukum. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah
adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8)
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Bukankah Dia (Allah)
Dzat yang paling bijaksana dalam menetapkan hukum, yang tidak pernah berbuat
aniaya dan tidak menzalimi siapapun...” (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim
[8/435] cet. Dar Thaibah)
Oleh
sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan (baca:
hukum) Allah dan Rasul-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang
beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas
masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan
yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Imam
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini bersifat
umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah
memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk
menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini,
tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir
al-Qur'an al-'Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)
Allah
ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka
tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim/pemutus
perkara dalam segala permasalahan yang diperselisihkan diantara mereka,
kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam diri mereka, dan mereka
pun pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa': 65)
Tunduk
kepada hukum Allah, ridha dengan syari'at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan
as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan
kepada Allah subhanahu wa ta'ala (lihat at-Tauhid li ash-Shaff
ats-Tsalits al-'Ali, hal. 37)
Syaikh
Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Demikianlah, memang sudah seharusnya
seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan
dirinya atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya
ataukah tidak.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I'tiqad, hal. 103 cet.
Dar Ibnu Khuzaimah)
Ridha
terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap rububiyah Allah
dan ridha Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya.
Dari al-'Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha
Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR.
Muslim no. 34)
Imam
Nawawi rahimahullah menafsirkan hadits di atas, “Arti hadits ini,
bahwasanya dia tidak mau mencari (berharap) kepada selain Allah ta'ala,
tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh kecuali
apa-apa yang sesuai dengan syari'at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.”
(lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnul Haitsam)
Hukum
Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah ta'ala berfirman
(yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang
lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS.
Al-Ma'idah: 50)
Ibnu
'Abbas radhiyallahu'anhuma menafsirkan, “Siapakah yang lebih adil
[hukumnya]?!” selain daripada hukum Allah. Adapun maksud “Bagi orang-orang yang
yakin” adalah “orang-orang yang meyakini [kebenaran] al-Qur'an.” (lihat Zaadul
Masir, hal. 390)
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan, bahwa yang dimaksud hukum
jahiliyah adalah segala ketetapan hukum yang bertentangan dengan syari'at. Ia
disebut hukum jahiliyah disebabkan hukum tersebut dibangun di atas kebodohan
dan kesesatan (lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/82])
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila kalian memutuskan hukum
diantara manusia hendaklah kalian memberikan keputusan hukum dengan adil.” (QS.
An-Nisaa': 58)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kebencian kalian terhadap
suatu kaum menyeret kalian sehingga berbuat tidak adil. Berbuat adillah! Sesungguhnya
hal itu (keadilan) lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Ma'idah: 8)
Imam
al-Baghawi menafsirkan, “Yaitu berbuat adillah, baik kepada teman kalian maupun
kepada musuh kalian.” (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 364)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu memutuskan hukum maka
berikanlah keputusan hukum diantara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang menegakkan keadilan.” (QS. Al-Ma'idah: 42)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk
berbuat adil dan ihsan (kebaikan), memberikan santunan kepada sanak kerabat,
melarang dari perkara yang keji dan munkar serta melanggar hak orang lain.”
(QS. An-Nahl: 90)
Abu
Sulaiman berkata, “Adil dalam bahasa arab artinya adalah bersikap
inshof/objektif. Sedangkan sikap inshof yang paling agung adalah pengakuan
terhadap Sang Pemberi nikmat (al-Mun'im) atas segala nikmat yang dicurahkan-Nya
(yaitu dengan bertauhid, pent).” (lihat Zaadul Masir, hal. 791)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus para
utusan Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas dan Kami turunkan bersama
mereka al-Kitab dan neraca agar umat manusia menegakkan keadilan.” (QS.
Al-Hadid: 25)
Ibnul
Qoyyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan bahwasanya Dia telah
mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya supaya umat manusia
menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan. Diantara bentuk keadilan yang
paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun
syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak
kezaliman yang paling zalim, dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling
adil.” (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 145)
Beliau
juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah orang yang paling bodoh
tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai sesembahan tandingan
bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya, sebagaimana hal itu
merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang musyrik tidaklah menzalimi
Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa'
wa ad-Dawaa', hal. 145)
Allah
ta'ala berfirman tentang isi wasiat Luqman kepada putranya (yang
artinya), “Wahai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu
adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Demikian
pula, orang yang berpaling dari hukum Allah kepada hukum jahiliyah adalah orang
yang telah melakukan kezaliman dan terjerumus dalam kesesatan, bahkan hal itu
bisa menjatuhkan dirinya ke dalam kekafiran.
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada
orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya
Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zalim
itu.” (QS. Al-Qashash: 50)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan
apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS.
Al-Ma'idah: 44)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan
apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS.
Al-Ma'idah: 45)
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan
apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS. Al-Ma'idah:
47)
Imam
Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa
Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka dia
adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena
kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah,
pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.” (lihat Zaadul Masir,
hal. 386)
Abu
'Ali berkata, “Sesungguhnya orang yang mencari selain hukum Allah karena dia
tidak ridha dengan hukum Allah itu maka dia adalah kafir. Inilah keadaan kaum
Yahudi.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/494])
Thawus
menjelaskan maksud “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” Beliau berkata, “Hal itu bukanlah
kekafiran yang -secara otomatis- menyebabkan keluar dari agama.” (lihat Tafsir
al-Qur'an al-'Azhim [3/120] cet. Dar Thaibah)
Thawus
juga meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang makna ayat di atas. Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma
berkata, “Itu bukan kekafiran sebagaimana yang mereka sangka.” (HR. al-Hakim
dalam al-Mustadrak) (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [3/120]
cet. Dar Thaibah)
Ibnu
Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus dari Ibnu 'Abbas mengenai maksud
ayat di atas. Ibnu 'Abbas berkata, “Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia
bukanlah kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (lihat al-Qaul al-Ma'mun,
hal. 17)
Dalam
riwayat yang lain, Ibnu 'Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan hukum yang diturunkan Allah maka dia telah melakukan perbuatan yang
menyerupai perbuatan orang kafir.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an
[7/497])
Ibnu
Mas'ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapapun yang
tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat
Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, apabila dia meyakini dan
menghalalkan perbuatannya itu. Adapun orang yang melakukannya sementara dia
berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang
muslim yang berbuat fasik...” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an
[7/497])
Imam
al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya -yaitu bukan
dengan hukum yang diturunkan Allah- karena dorongan hawa nafsu atau
kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan
berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan [terbukanya] ampunan bagi para
pelaku dosa besar.” (lihat al-Jami' li Ahkam al-Qur'an [7/498-499])
al-Qusyairi
berkata, “Adapun madzhab Khawarij adalah barangsiapa yang melakukan tindak suap
atau berhukum bukan dengan hukum Allah maka orang itu adalah kafir. Pendapat
ini disandarkan orang kepada al-Hasan dan as-Suddi (lihat al-Jami' li Ahkam
al-Qur'an [7/499]). Namun penyandaran ini telah terbantahkan dengan nukilan
di atas.
Ibnul
Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan
Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar, tergantung keadaan orang
yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan
hukum Allah atas kejadian ini namun dia berpaling darinya karena maksiat dan di
saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini
adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib,
atau dia bebas [untuk mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa
itu adalah hukum Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak
tahu atau tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang
tidak disengaja- sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat
kesalahan.” (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [2/400])
Syaikh
Ibnu 'Utsaimin menyimpulkan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah
dikatakan kafir pada 3 keadaan: [1] Apabila dia meyakini bolehnya berhukum
dengan selain hukum Allah. Karena segala hukum yang bertentangan dengan hukum
Allah adalah hukum jahiliyah. Keadaan orang ini seperti keadaan orang yang
menghalalkan zina dan khamr. [2] Apabila dia meyakini bahwa hukum selain Allah
sejajar dengan hukum Allah. [3] Apabila dia meyakini hukum selain Allah lebih
baik daripada hukum Allah(lihat al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid
[2/69] cet. Maktabah al-'Ilmu)
Syaikh
Shalih bin Sa'ad as-Suhaimi menambahkan, “Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa
hukum Allah sudah tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini sehingga kita
hanya wajib menerapkan undang-undang rekayasa [manusia] dengan dalih hukum
Allah habis masa berlakunya, telah lewat, dan sirna (tidak cocok, pent). Maka
ini kekafirannya lebih parah daripada yang lainnya...” (lihat Transkrip Syarh
Tsalatsat al-Ushul, hal. 66)
Sebagian
ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syari'at dengan undang-undang buatan
manusia yang diberlakukan secara umum sehingga hukum selain Islam yang lebih
dominan adalah kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari agama (lihat Syarh
Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa'ad Aba Husain hal. 297-301, lihat
juga Fitnatu at-Takfir, hal. 98)
Meskipun
demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syari'at dengan
undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu saja.
Syaikh Ibnu 'Utsaimin berkata, “Ketika kami katakan bahwa pelakunya adalah
kafir, maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan dirinya
kepada kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan tersebut
mendapat udzur (sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia terkecoh
dengan pernyataan, “Hal ini tidak bertentangan dengan Islam.” “Hal ini termasuk
maslahat mursalah.” “Masalah ini diserahkan Islam kepada manusia [terserah
bagaimana mereka mengaturnya, pent].” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/69])
Sungguh
tepat ucapan Syaikh Ibnu 'Utsaimin! Bukankah pada jaman sekarang ini tidak
sedikit kalangan 'intelektual muslim' di negeri kita atau di negeri-negeri lain
yang telah tertipu dan terpesona oleh pertunjukan demokrasi? Beredarlah
'keyakinan' bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Berkembanglah bibit-bibit
kekafiran dan kemunafikan yang berjubah keadilan dan perdamaian. Allahul
musta'an.
Perlu
ditambahkan pula, bahwa para ulama masa kini yang memfatwakan bahwa tasyri'
aam (penetapan aturan yang diberlakukan secara umum) dengan hukum selain
Islam adalah kekafiran [akbar] tidaklah menjadikan masalah ini sebagai suatu
perkara yang telah disepakati dan tidak boleh ada perselisihan padanya;
sebagaimana diklaim oleh sebagian orang. Para ulama yang menganut pendapat itu
tidak menghukumi pihak lain yang menyelisihi pendapat mereka sebagai Murji'ah
dan semacamnya. Akan tetapi mereka menetapkan hukum dalam hal ini dengan
pemahaman bahwa hal itu termasuk masalah kekafiran yang diperselisihkan,
sebagaimana halnya hukum orang yang meninggalkan sholat dan zakat (lihat Haqiqat
al-Khawarij oleh Faishal bin Qazar al-Jasim, hal. 67)
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin kembali menasehati kita, “Bahkan, seandainya
ada seseorang yang memiliki keyakinan antara dirinya dengan Rabbnya, bahwa
diantara penguasa tersebut (pemerintah muslim) ada orang yang benar-benar kafir
keluar dari agama lantas apa faidah menampakkan sikap itu dan
menyebarluaskannya kecuali justru membangkitkan kekacauan?” (lihat Fitnatu
at-Takfir, hal. 35)
Syaikh
Abdul 'Aziz bin Baz menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan
aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Karena hal itu
akan mengantarkan kepada kekacauan [di tengah masyarakat] sehingga tidak ada
lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma'ruf, dan menjerumuskan
kepada pembicaraan yang membahayakan serta tidak bermanfaat. Akan tetapi cara
yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasehatinya secara langsung
antara dirinya dengan penguasa tersebut. Atau mengirim surat kepadanya. Atau
berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya,
sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (lihat Da'aa'im Minhaj
Nubuwwah, hal. 271)
Hendaklah
kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal
yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan tentang kafirnya orang yang
berkeyakinan al-Qur'an adalah makhluk (keyakinan Jahmiyah). Meskipun demikian,
kita dapati beliau dan para ulama yang lain tidak mengkafirkan pemerintah dan
para dedengkot Jahmiyah yang menyerukan kekafiran itu. Mereka tidak memberontak
kepada penguasa dan tidak pula memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada
penguasa yang memaksa umat -bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh
para ulama- agar meyakini al-Qur'an adalah makhluk!! (lihat Da'aa'im Minhaj
Nubuwwah, hal. 263)
Beliau
berkata kepada ulama dan hakim yang menganut paham Jahmiyah ketika itu, “Adapun
aku, seandainya aku mengucapkan seperti apa yang kalian ucapkan niscaya aku
sudah kafir. Meskipun demikian, aku tidak mengkafirkan kalian. Karena dalam
pandanganku, kalian ini adalah orang-orang yang bodoh (tidak tahu).” (lihat Fitnatu
at-Takfir, hal. 63)
Ketika
mendengar ada sebagian orang yang hendak melakukan pemberontakan kepada
penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad mengatakan, “Subhanallah! Subhanallah!
Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak
memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik
daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah [pemberontakan]
akan membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan
diinjak-injak...” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 264)
Pemberontakan
tidak hanya dengan senjata, bahkan ia bermula dari ucapan lisan. Syaikh Shalih
bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam
bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling
parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan
mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan,
dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan
masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal
itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya,
pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da'aa'im
Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Di
masa seorang pemimpin yang kejam dan bengis al-Hajjaj berkuasa, Hasan al-Bashri
memberikan nasehat kepada kaum muslimin, “Wahai umat manusia! Demi Allah,
tidaklah al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian kecuali sebagai bentuk
hukuman [atas dosa-dosa kita]. Maka janganlah kalian menghadapi [ketetapan]
Allah ini dengan pedang (memberontak). Akan tetapi wajib atas kalian untuk
menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (lihat Da'aa'im
Minhaj Nubuwwah, hal. 275)
Hasan
al-Bashri juga mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali
dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim.
Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan sebab keberadaan mereka itu jauh
lebih banyak daripada apa-apa yang mereka rusak.” (lihat Da'aa'im Minhaj
Nubuwwah, hal. 279)
Oleh
sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Bersabar dalam menghadapi
ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip pokok yang dianut oleh Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.” (lihat Da'aa'im Minhaj Nubuwwah, hal. 280)
Demikianlah, sekelumit catatan dan nasehat
sederhana yang bisa kami sajikan. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita
menuju kebaikan dunia dan akhirat.
Post a Comment