Kalian Fakir dan Allah Maha Kaya
Kalian Fakir dan Allah
Maha Kaya
Allah
ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Kalian adalah
fakir kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.
Fathir: 15)
Imam
Ibnul Jauzi rahimahullah menerangkan: “Kalian fakir kepada Allah” artinya
kalian membutuhkan kepada-Nya. “Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya” artinya tidak
membutuhkan ibadah kalian. “lagi Maha Terpuji” yaitu senantiasa terpuji di
hadapan makhluk-Nya karena segala bentuk ihsan/kebaikan yang dicurahkan-Nya
untuk mereka (lihat Zaadul Masir, hal. 1160)
Imam
Ibnu Qayyim rahimahullah menerangkan: Kebutuhan setiap hamba untuk
beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun (baca: kebutuhan terhadap tauhid) adalah kebutuhan yang tidak bisa
diserupakan dengan sesuatu apapun. Walaupun hal itu bisa saja diserupakan dari
sebagian sisi dengan kebutuhan badan terhadap makanan, minuman, dan nafas
(udara). Akan tetapi sebenarnya antara kedua hal ini terdapat perbedaan yang
sangat banyak. Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba tersimpan di dalam
hati dan ruhnya. Sementara tidak akan baik hal itu tanpa pertolongan dari
[Allah] sesembahannya yang sejati; yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Dia. Hatinya tidak akan pernah merasa tenang kecuali dengan dzikir kepada-Nya.
Tidak merasakan tentram kecuali dengan mengenal dan mencintai-Nya.
Seorang
hamba akan terus senantiasa berjuang, karena kelak dia akan berjumpa
dengan-Nya. Perjumpaan dengan-Nya adalah sesuatu yang sudah pasti. Tidak akan
baik dirinya kecuali dengan mengesakan Allah dalam hal kecintaan, ibadah, rasa
takut, dan harapan. Seandainya seorang hamba bisa merasakan kelezatan dan
kesenangan dengan bergantung kepada selain-Nya maka hal itu tidak akan terjadi
secara terus-menerus. Akan tetapi kesenangan itu akan berpindah dari suatu
perkara kepada perkara yang lain, dari seorang individu kepada individu yang
lain. Sehingga dia hanya akan bisa merasakan kenikmatan dengan satu individu
dalam satu keadaan dan dengan individu lain dalam keadaan yang lainnya. Dan
kebanyakan perkara yang memberikan kesenangan untuknya justru merupakan sebab
utama berlabuhnya kepedihan (kesusahan) dan bahaya yang akan menimpanya.
Adapun
ilah/sesembahannya yang benar (yaitu Allah), maka dirinya pasti senantiasa
membutuhkan-Nya; dalam setiap waktu dan keadaan. Dimana pun dia berada, maka
iman kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, pengagungan, dan
dzikir kepada-Nya adalah konsumsi bagi hati, sumber kekuatan, jalan kebaikan
dan penentu kesehatan jiwanya... (lihat adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir
[5/96-97])
Beliau
juga menegaskan, “Bahkan, ibadah kepada Allah, ma'rifat, tauhid, dan syukur
kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan hati setiap insan. Itulah kelezatan
tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah yang hanya akan diraih oleh
orang-orang yang memang layak untuk mendapatkannya...” (lihat adh-Dhau'
al-Munir 'ala at-Tafsir [5/97])
Benar sekali apa yang diucapkan oleh beliau -rahimahullah-;
tauhid itulah kebutuhan terbesar umat manusia. Kebutuhan yang jauh lebih
penting untuk dipenuhi daripada kebutuhan tubuh manusia terhadap makanan,
minuman, dan udara. Namun, betapa sedikit orang yang menyadarinya. Wallahul
musta'aan.
Post a Comment