Sahabat Abdullah bin Abbas
Sahabat Abdullah bin Abbas
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu
bagi -Nya, dan
aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi
wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Berikut
ini adalah rangkaian kisah perjalanan hidup seorang pahlawan dari
pahlwan-pahlawan umat ini, seorang imam dari imam kaum muslimin, seorang
sahabat yang mulia dari kalangan para sahabatnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Yang akan
kita ambil dari kisah perjalanan hidupnya yang penuh dengan suri tauladan dan
perjalanannya.
Beliau
radhiyallahu 'anhu lahir di sebuah lembah bukit [1], di
tengah-tengah kabilah Bani Hasyim tiga tahun sebelum terjadi peristiwa hijrah.
Dan ketika Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam wafat dirinya baru berusia tiga belas tahun, ada ulama
yang mengatakan umurnya lima belas tahun. Beliau berwajah ganteng, tampan,
postur tubuh tinggi, disegani, mempunyai akal cemerlang, hati yang bersih dan
beliau termasuk dari kalangan lelaki yang sempurna, dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendo'akan dirinya dengan berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ
فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ» [أخرجه أحمد]
"Ya Allah, pahamkan ia
dalam urusan agama dan ajarilah ilmu tafsir". HR Ahmad 4/225 no: 2397.
Beliau
menemani Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam kurang lebih selama tiga puluh bulan, dan meriwayatkan hadits
dari nabi dengan jumlah yang sangat banyak. Beliau mempunyai pendapat-pendapat
yang tidak dimiliki oleh sahabat-sahabat lainnya, karena keluasan ilmu yang
dimiliknya, serta pemahaman sempurna yang diperolehnya, akalnya yang cemerlang,
kemulian yang besar, lahir dari suku yang terhormat.
Dan
beliau masih mempunyai hubungan kerabat bersama Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam,
karena dia adalah anak dari paman nabi, dialah sang penerjemah al-Qur'an,
lautan ilmu umat ini, ahli tafsir bagi kitab Allah Shubhanahu wa ta’alla, ahli fikih pada zamannya, yang
bernama Abul Abbas, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu
Manaf bin Qushai. Dan ibunya adalah Umul Fadhl Lubabah binti al-Harits
al-Hilaliyah saudara kandung Maimunah binti al-Harits ummul mukminin.
Beliau
termasuk ayah dari para khalifah Abassiyah, beliau juga termasuk dari sepuluh
bersaudara dari keluarga al-Abbas dari Umul Fadhl, dan dia termasuk anak yang
paling bungsu, namun mereka semua satu persatu meninggal di negeri nan
berjauhan satu sama lainnya. Salah satu sisi keutamaan beliau ialah seperti
yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Ahmad dari Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulallah Shalallahu
'alaihi wa sallam pernah meletakan tangannya diatas bahu atau
pundakku –ragu dari perawi- kemudian beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ
فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ» [أخرجه أحمد]
"Ya Allah, pahamkan ia dalam urusan
agama dan ajarilah ilmu tafsir". HR Ahmad 4/225 no: 2397.
Berkata
Ibnu Abbas menceritakan tentang dirinya, "Tatkala Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam
wafat maka aku berkata pada teman sebayaku dari kalangan Anshar, "Mari
kita bertanya (menuntut ilmu) pada para sahabat Rasulallah, selagi mereka
sekarang masih banyak jumlahnya? Sahabatku menjawab, "Duhai Ibnu Abbas
sungguh mengherankan! Apakah kamu mengira orang-orang nantinya akan
membutuhkanmu sedang sekarang diantara manusia ada para sahabat Rasulallah Shalallahu'alaihi
wa sallam yang dijadikan rujukan?
Beliau
meneruskan, "Kemudian aku tinggalkan dirinya. Lalu aku mulai bertanya
kepada para sahabat, hingga pada suatu ketika sampai padaku sebuah hadits dari
seorang sahabat, lantas aku mendatangi pintu rumahnya namun dirinya sedang
tidur siang. Selanjutnya aku hamparkan kain sarungku didepan pintunya, kemudian
angin panas yang membawa debu menampar wajahku, sampai akhirnya sahabat
tersebut keluar dan melihatku, lalu berkata, "Wahai anak paman Rasulallah,
apa keperluanmu datang kesini? Kenapa tidak engkau utus utusan agar aku
mendatangimu saja? Aku menjawab, "Tidak, karena aku lebih berhak untuk
mendatangimu". Kemudian aku menanyakan hadits yang dimaksud.
Beliau
melanjutkan, "Kemudian sahabatku yang dulu dari kalangan Anshar tersebut
hidup sepertiku, lalu dia melihat orang-orang lain telah berkumpul
disekelilingku untuk bertanya tentang ilmu, maka dia berkata, "Sungguh
anak muda ini lebih berakal dariku".[2] Telah shahih dari Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma dalam shahih Bukhari dimana beliau berkata, "Diriku
dan ibuku adalah termasuk orang-orang yang tidak mampu berangkat hijrah. HR
Bukhari no: 4587. Dalam redaksi lain beliau membaca firman Allah ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ
٩٨ ﴾ [النساء:
98 ]
"Kecuali mereka yang
tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu".
(QS an-Nisaa': 98).
Beliau berkata, "Aku bersama ibuku termasuk dari
orang-orang yang mendapat udzur Allah (untuk tidak berhijrah)". HR Bukhari
no: 4588.
Dan beliau hijrah bersama
ayahnya sebelum penaklukan Makah lalu bertemu bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Juhfah
ketika Nabi hendak pergi perang menaklukan kota Makah, lantas diriku ikut serta
dalam ekspedisi tersebut, ikut peperangan Hunain dan Thaif pada tahun delapan
hijriyah.
Ada ulama
lain yang mengatakan, "Hal itu terjadi pada tahun Sembilan hijriyah karena
peristiwa haji wada' terjadi pada tahun sepuluh hijriyah, kemudian dia menemani
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam semenjak saat itu dan terus menemaninya, belajar
kepada beliau serta menghafal, mengumpulkan ucapan, perbuatan dan
kejadian serta kondisi beliau. Kemudian mengambil dari para sahabat ilmu yang banyak,
dengan dibarengi kecerdasan, pikiran yang tajam, ahli balaghah, fasih, gagah,
bagus dan seorang oratur ulung. [3]
Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, beliau menceritakan,
"Pernah suatu ketika Umar mengikut sertakan diriku pada majelisnya ahli
Badar. Maka seolah-olah mereka tidak senang dengan kehadiranku, lalu ada yang
bertanya padanya, "Kenapa engkau bawa serta anak ini, kami juga mempunyai
anak-anak yang sebaya dengannya? Umar menjawab, "Seperti yang kalian lihat".
Pada suatu hari beliau mengajakku lalu memasukan diriku pada majelisnya mereka
kembali.
Dan
tidaklah aku memahami kecuali kalau beliau mengajak ketika itu untuk
membuktikan pada mereka, beliau lalu bertanya pada majelis, "Apa yang
kalian ketahui tentang maksud firman Allah tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١ ﴾ [ النصر: 1 ]
"Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan". (QS an-Nashr: 1).
Kemudian ada sebagian
mereka yang berkata, "Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menyuruh kita untuk
memuji -Nya serta meminta ampunan apabila kita di anugerahi kemenangan dan di
taklukan Makah bagi kita". Dan sebagian lagi diam tidak berbicara sedikitpun, kemudian umar mengajukan pertanyaanya
padaku, "Apakah seperti itu pendapatmu wahai Ibnu Abbas? Aku jawab,
"Bukan". Terus bagaimana maksudnya, tanyanya lagi. Aku jawab,
"Itu adalah tanda sudah dekatnya ajal Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang Allah Shubhanahu wa ta’alla kabarkan padanya. Sebagaimana
firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ ١ ﴾ [ النصر: 1 ]
"Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan". (QS an-Nashr: 1).
Itu adalah tanda sudah dekatnya kematianmu, maka:
قال الله تعالى: ﴿ فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا
٣ ﴾
[ النصر: 3 ]
"Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada -Nya. Sesungguhnya
-Dia adalah Maha Penerima taubat". (QS an-Nashr: 3).
Kemudian Umar mengomentari, "Tidaklah aku
mengetahui dari ayat ini melainkan seperti apa yang engkau katakan". HR
Bukhari no: 4970.
Para Muhajirin pernah
mengatakan pada Umar, "Kenapa anda tidak mengajak anak-anak kami
(bermajelis) sebagaimana anda mengajak Ibnu Abbas". Umar menjawab,
"Dia anak yang cerdas, dirinya sangat kritis dan cepat tanggap dan
mengerti". [4]
Asy-Sya'bi
pernah menceritakan, "Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata
padaku Abul Abbas ayahnya, "Wahai anakku, sesungguhnya Umar sangat dekat
denganmu, ingatlah tiga (pesan) dariku, jangan engkau sebarkan kejelekan
mereka, jangan menghibah seorangpun dihadapan mereka, dan jangan coba-coba kamu
berdusta". [5] Murid asy-Sya'bi mengatakan,
"Aku pernah bertanya pada Ibnu Abbas, "Satu orang lebih baik dari
seribu". Ibnu Abbas menjawab, "Akan tetapi, satu orang lebih baik
dari sepuluh ribu".
Al-Hafidh
Ibnu Katsir menjelaskan, "Dirinya diberi tugas sebagai gubernur Bashrah
pada khilafahnya Ali, beliau membimbing kaum muslimin disana untuk memimpin
ibadah haji beberapa tahun, beliau yang berkhutbah atas mereka di Arafah,
beliau juga membuka pelajaran tafsir disana dengan surat al-Baqarah, dalam
salah satu redaksi surat an-Nuur. Sampai dikisahkan oleh salah seorang yang
mengikuti kajiannya, "Beliau menafsirkan surat tadi dengan tafsir yang
kalau seandainya orang-orang Romawi, Turkia dan Dailim mendengarnya niscaya
mereka akan masuk Islam".
Beliau
mengatakan tentang dirinya, "Sesungguhnya diriku mencapai derajat seperti
itu karena dahulu aku bertanya untuk satu masalah pada tiga puluh orang dari
kalangan para sahabat Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam.[6]
Berkata
Thawus seorang ahli tafsir serta muridnya, "Belum pernah aku melihat ada
seorang pun yang lebih ta'dhim (mengagungkan) larangan-larangan Allah Shubhanahu wa ta’alla melebihi Ibnu
Abbas". Abur Raja' mengatakan, "Aku pernah melihat Ibnu Abbas, pada
bawah kelopak matanya ada bekas hitam seperti tali sandal karena saking seringnya beliau
menangis (karena takut kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla)".
Al-Waqidi mengkisahkan,
"Telah mengabarkan padaku Daud bin Jubair berkata aku mendengar Ibnul
Musayib berkata, "Ibnu Abbas adalah manusia yang paling berilmu". Telah
mengabarkan padaku Abdurahman bin Abi Zinad dari ayahnya dari Ubaidillah bin
Utbah berkata, "Adalah Ibnu Abbas mempunyai beberapa perkara yang tidak
dimiliki oleh orang banyak, dengan ilmunya yang jauh melesat kedepan, dengan
fikihnya yang banyak orang membutuhkan pendapatnya, bijaksananya, dan ahli
nasab. Dan belum pernah aku melihat seorangpun yang lebih paham dari
pendahulunya tentang hadits Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam dari pada beliau, juga tentang perkara-perkara yang
diputuskan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman, dari pada beliau. Tidak ada orang
yang lebih fakih menurutku dari pada beliau, serta lebih mengetahui bait-bait
syair dan bahasa Arab, tafsir al-Qur'an dan ilmu perbintangan serta ilmu
syariat dari pada beliau. Tidak pula aku mengetahui ada generasi pendahulu yang
lebih kuat pendapatnya yang dibutuhkan umat melebihi dirinya.
Beliau
mempunyai majelis yang satu hari hanya membahas fikih, pada hari berikutnya
tafsir, hari berikutnya tentang sejarah peperangan, hari berikutnya yang
berkaitan dengan syair, hari berikutnya bahasa arab. Dan belum pernah aku
melihat seorang alim pun yang duduk satu majelis
bersamanya melainkan duduk tenang menyimaknya, tidak ada seorang penanya
pun yang bertanya padanya melainkan beliau mendapati
jawaban yang memuaskan, dan terkadang aku bisa menghafal bait syair yang
keluar dari mulutnya yang beliau sebutkan lebih dari tiga puluh bait
syair".
Mujahid mengkisahkan,
"Adalah Ibnu Abbas dinamakan dengan lautan ilmu yang tak bertepi
disebabkan keluasan ilmu yang beliau miliki". Imam Atha'
mengatakan, "Belum pernah sebelumnya aku menyaksikan sebuah majelis ilmu
yang lebih mulia dari pada majelis ilmunya Ibnu Abbas, paling banyak mengandung
ilmu, serta kewibawaan, para ahli tafsir bertanya
padanya, para ahli bahasa juga bertanya padanya, para ahli syair juga
menanyakan syair yang dimilik, seakan-akan mereka semua sedang mengambil air
dari satu danau yang sangat luas".
Berkata
Mughirah dari asy-Sya'bi, ditanyakan pada Ibnu Abbas, "Dengan apa engkau
memperoleh ilmu yang banyak ini". beliau menjawab, "Dengan lidah yang
sering bertanya dan akal yang (suka) menghafal".
Diantara kata-kata hikmah
serta wasiat-wasiat beliau adalah:
Bahwa pernah ada seseorang
yang bernama Jundub datang pada beliau dan berkata, "Berilah aku wasiat?
Beliau lalu memberi wasiat dengan menuturkan, "Aku wasiatkan padamu untuk
mentauhidkan Allah Shubhanahu wa
ta’alla, serta mengamalkan kandungannya, mengerjakan sholat, dan membayar
zakat, maka sesungguhnya setiap kebajikan yang engkau kerjakan setelah
melakukan itu semua maka akan diterima, terangkat naik kehadirat -Nya, dan sungguh engkau tidak menambah setiap harinya
dari kebajikan melainkan terhitung amal sholeh.
Dan
sholatlah bagaikan sholatnya orang yang akan pergi jauh yang tidak pernah
kembali lagi, dan jadilah engkau di pagi hari seperti orang asing atau musafir
karena sejatinya engkau adalah calon penghuni kubur, menangislah karena
dosa-dosamu, dan bertaubatlah dari kesalahan yang engkau perbuat, jadikanlah
dunia ini lebih ringan dari pada tali sendalmu, dan seakan-akan engkau telah
pergi meninggalkanya dan sedang menghadap kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, ketahuilah tidak ada yang bermanfaat bagi
semua yang engkau tinggalkan, melainkan amal sholehmu".
Sebagian ulama menyebutkan,
Ibnu Abbas pernah memberi nasehat dengan beberapa kalimat yang lebih baik dari
pada kuda yang banyak". Beliau juga pernah memberi nasehat,
"Janganlah engkau berbicara dengan perkara yang tidak penting bagimu
sampai sekiranya engkau merasa yakin betul bisa membawa maslahat, janganlah mendebat
orang-orang pandir, jangan pula mendebat orang yang sabar karena kesabarannya
akan mengalahkanmu, sedang orang pandir maka akan melecehkanmu.
Jangan
sekali-kali engkau menyebut (kejelekan) saudaramu bila dia sudah berpaling dari
hadapanmu kecuali seperti apa yang engkau sukai darinya bila mana engkau telah
berpaling dari hadapannya. Beramallah seperti amalan seseorang yang mengetahui
kalau dirinya akan mendapat upah yang lebih baik, dan dimaafkan kesalahannya.
Pernah
suatu ketika ada seseorang yang berkata padanya, "Wahai Ibnu Abbas, ini
lebih baik dari sepuluh ribu". Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sebuah kalimat yang
lebih baik darinya sepuluh ribu". Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah mengatakan,
"Perkara ma'ruf yang paling sempurna ialah yang segera dikerjakan,
dianggap remeh dan menutupi (dari penglihatan orang), maksud ucapan beliau
yaitu untuk bersegera ketika memberi sedekah, dan jadikan seakan-akan amalan
yang sepele dihadapan orang yang dikasih, serta menutupi dari penglihatan mata
orang banyak, jangan memamerkannya. Karena dengan menampakan akan membuka pintu riya',
menyakiti hati orang yang diberi serta membikin malu dirinya".
Beliau
juga pernah mengatakan, "Manusia yang paling utama dimataku ialah teman
dudukku, kalau seandainya aku mampu untuk menghalangi lalat menempel diwajahnya
niscaya akan aku lakukan". Beliau mengatakan, "Tidaklah aku
berpendapat bahwa setiap orang yang datang padaku untuk meminta kebutuhan
kemudian aku mampu membantunya kecuali beberapa hal yang aku cukupkan pada Allah
azza wa jalla. Yaitu orang yang memulai memberi salam padaku, atau memberi
ruang didalam majelis, atau berdiri untuk memberi kesempatan duduk padaku, atau
seseorang yang memberiku air minum ditengah kehausan, atau seorang mukmin yang
mendo'akan diriku dikeheningan malam".
Abdullah
bin Buraidah berkata, "Pernah suatu ketika ada orang yang mencaci maki
Ibnu Abbas, maka beliau berkata, "Sesungguhnya engkau benar-benar telah
mencaciku dan mencaci tiga perkara. Sesungguhnya aku mengetahui ada sebuah ayat
dari kitab Allah yang aku sangat berharap sekiranya manusia mengetahuinya
seperti apa yang aku pahami. Bisa saja aku adukan perkara ini ke meja hakim
dari hakimnya kaum muslimin agar menghukumi secara adil, lalu aku keluar dari
mejanya dengan kebahagian (karena memenangkan kasus), namun, aku tidak akan
mengadukan kepadanya selama-lamanya. Dan terakhir, kalau sekiranya aku
mendengar hujan telah menimpa suatu negeri dari negerinya kaum muslimin
melainkan diriku turut berbahagia, sedang diriku tidak mempunyai seekor
binatang ternak pun di negeri mereka".
Al-Waqidi mengatakan,
"Ada seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna firman Allah
tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ أَوَ لَمۡ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ
كَانَتَا رَتۡقٗا فَفَتَقۡنَٰهُمَاۖ ٣٠ ﴾ [
الأنبياء: 30 ]
"Dan
apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya". (QS al-Anbiyaa': 30).?
Beliau menjawab,
"Dahulu langit adalah suatu benda yang padu tidak menurunkan hujan,
demikian pula bumi adalah benda satu yang tidak menumbuhkan tanaman, kemudian
dipisahkan sehingga yang satu menurunkan hujan dan yang satu menumbuhkan tanaman".
Dan
beliau terkena musibah (buta) pada salah satu matanya, yang mengakibatkan
badannya menjadi kurus, dan tatkala satu lagi matanya terkena musibah maka baru
kembali lagi daging beliau, demikian dikatakan tentang beliau pada sebagian
buku-buku sirah. Beliau sendiri yang mengkisahkan, "Aku tertimpa musibah
(kebutaan pada mata) seperti apa yang kalian lihat sekarang ini, pada awalnya
aku sangat berharap untuk sembuh, namun, tatkala keduanya terkena musibah,
hatiku menjadi tenang".
Ikrimah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa mata beliau terkena
air, maka ditawarkan pada beliau, "Bagaimana kalau kami ambil air tersebut
dari matamu, tapi menyebabkan anda tidak bisa sholat selama tujuh hari? Beliau
menjawab, "Jangan, karena orang yang meninggalkan sholat sedang ia mampu
untuk mengerjakan, dirinya akan bertemu kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam keadaan murka pada pelaku nya. Dalam salah satu redaksi
disebutkan, "Bahwa ditawarkan pada beliau, "Kami hilangkan air ini
dari matamu dengan syarat engkau selama lima hari tidak bisa sholat melainkan
bersandar pada tongkat? Dalam redaksi lain, "Kecuali dengan berisyarat?
Maka beliau menjawab, "Tidak, demi Allah walaupun hanya aku tinggalkan
satu raka'at, karena sesungguhnya orang yang meninggalkan satu sholat saja
dengan sengaja, dirinya akan bertemu dengan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam keadaan murka kepadanya".
Al-Madaini pernah melantunkan sebuah bait syair kepada
Ibnu Abbas tatkala dirinya tertimpa kebutaan:
Biarpun Allah telah
mengambil cahaya kedua mataku
Tapi dalam pendengaran dan
lidahku masih bercahaya
Hatiku penuh dengan hikmah
dan akalku tidak terkotori
Dan lidahku menebas
bagaikan pedang yang tajam
Maka tatkala sampai pada
tahun enam puluh delapan Abdullah bin Abbas meninggal dunia di Thaif, dan
Muhammad bin al-Hanafiyah yang menyolati jenazah beliau. Dia berkata,
"Pada hari ini telah meninggal dunia lautan ilmu". Diriwayatkan oleh
at-Thabarani didalam Mu'jamul Kabir dengan sanadnya sampai pada Sa'id bin
Jubair, berkata, "Ibnu Abbas meninggal dunia di Thaif. Lalu datang seekor
burung yang belum pernah terlihat sebelumnya masuk kedalam kuburnya, kemudian
tidak terlihat keluar kembali. Dan ketika beliau di kubur terdengar ada orang
yang membaca ayat ini dari arah dalam kuburnya dan tidak ada seorangpun yang
mengenali siapa yang membacanya:
قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ ٢٧ ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ
رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ ٢٨ فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي ٢٩ وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي ٣٠﴾ [
الفجر: 27-30 ]
"Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai -Nya. Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba -Ku,
masuklah ke dalam surga -Ku". (QS al-Fajr: 27-30).
Imam
Dzahabi mengomentari, "Dan kisah ini mutawatir". [7]
al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan, "Dan beliau ketika meninggal berumur
tujuh puluh dua tahun, semoga Allah meridhoi Ibnu Abbas, dan memberi balasan
atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan. Dan
semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla mengumpulkan
kita pada negeri pemuliaan bersama para nabi, shidiqin dan syuhada karena
mereka adalah sebaik-baik teman".[8]
Akhirnya
kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga
Allah Shubhanahu wa
ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
[1] . Lembah bukit inilah tempat dimana Rasulallah
shalallahu 'alaihi wa sallam dan Bani Hasyim menjalani masa embargo yang
dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap mereka.
Post a Comment