Suka Memaafkan Serta Keutamaannya
Suka Memaafkan Serta Keutamaannya
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak
disembah dengan benar melainkan Allah Ta'ala semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai
bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa
sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Memaafkan
merupakan sifat terpuji dan bagian dari akhlak mulia yang telah diperintahkan
oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla pada para nabi serta hamba -Nya. Berdasarkan firman Allah
tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩﴾
[ الأعراف: 199 ]
"Jadilah engkau pema'af
dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh". (QS al-A'raaf: 199).
Dijelaskan lebih tegas lagi dalam bentuk perintah kepada nabiNya, dan
umatnya secara umum, Allah berfirman:
قال الله تعالى: ﴿وَلَوۡ كُنتَ
فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ ١٥٩ ﴾ [ آل عمران: 159 ]
"Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka". (QS al-Imraan: 159).
Demikian juga perintah Allah ta'ala pada hamba -Nya yang beriman secara umum, seperti ditegaskan dalam
firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَا يَأۡتَلِ أُوْلُواْ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤۡتُوٓاْ
أُوْلِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱلۡمُهَٰجِرِينَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَلۡيَعۡفُواْ
وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ
رَّحِيمٌ ٢٢﴾ [ النور: 22 ]
"Dan
janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya),
orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka
mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS
an-Nuur: 22).
Definisi al-'Afwu:
Berkata al-Kafawi menjelaskan, "al-'Afwu
artinya ialah tidak menyakiti (orang yang telah berbuat jahat padanya) walaupun
mampu untuk membalasnya". Dan setiap orang yang berhak mendapat balasan
yang setimpal atas perilakunya, kemudian yang disakitinya
tidak menuntut balas dan dirinya ikhlas dan mampu untuk itu, dan ia membiarkannya maka itulah yang dinamakan al-'Afwu (memaafkan). Dan perbedaan antara al-'Afwu dengan ash-Shafhu (berlapang
dada) sangat tipis, dan keduanya mempunyai kemiripan dalam makna, akan tetapi,
bila dikatakan misalkan, "Aku berlapang dada", yakni bilamana ada
orang yang menyakiktiku lalu dia aku maafkan dan biarkan kesalahan dan celaan
yang ditujukan padaku".
Dan ash-Shafhu itu cakupan
maknanya lebih luas dari hanya sekedar memaafkan, karena bisa jadi ada orang
yang dapat memaafkan namun belum bisa menerimanya, seperti dikatakan, "Aku
berlapang dada atasnya", yaitu manakala dia memprioritaskan untuk
membiarkan sambil menerimanya dengan ikhlas. Hal itu, seperti telah disinggung oleh Allah ta'ala
dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿فَٱصۡفَحۡ
عَنۡهُمۡ وَقُلۡ سَلَٰمٞۚ فَسَوۡفَ يَعۡلَمُونَ ٨٩﴾ [ الزخرف: 89 ]
"Maka
berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: "Salam (selamat
tinggal)." kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk)".
(QS az-Zukhruf: 89).[1]
Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam surat an-Nuur diatas dengan mengatakan, "Ayat ini turun
berkaitan dengan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallahu 'anhu, yaitu manakala beliau
bersumpah tidak akan memberi apa-apa lagi kepada Misthah bin Atsatsah setelah
terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri Aisyah. Maka tatkala turun
firman Allah Shubhanahu wa ta’alla yang menyatakan kesucian umul mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha, melegakan semua orang dari kaum mukminin,
dan merasa bahagia serta tentram atasnya, kemudian Allah Shubhanahu wa
ta’alla menerima
taubatnya orang-orang yang ikut serta menyebarkan berita bohong tersebut dari kalangan mukminin. Dan memerintahkan
supaya ditegakan hukuman bagi mereka sebagai balasannya.
Dan atas anugerah dan keutamaan yang Allah Shubhanahu wa ta’alla berikan, pada Abu Bakar yang biasa menyambung kekerabatan bersama sanak
keluarga dan kerabat, dan diantara mereka ada yang bernama Misthah bin Atsatsah
anak dari bibinya, dia seorang yang fakir yang tidak mempunyai harta. Dan
ketika itu dirinya terlibat di dalam menyiarkan berita bohong tersebut dan
telah bertaubat serta ditegakan hukuman cambuk baginya.
Sedangkan Abu Bakar adalah orang yang terkenal
dengan kedermawanannya, beliau banyak membantu pada sanak kerabat dan juga
orang lain, maka tatkala turun firman Allah tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
٢٢﴾ [النور: 22 ]
"Apakah
kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang". (QS an-Nuur: 22).
Artinya balasan yang mereka lakukan setimpal dengan
perbuatannya. Sebagaimana Engkau telah mengampuni hamba yang berbuat dosa pada -Mu, Kami juga telah mengampunimu. Dan sebagaimana
engkau memaafkan, Kami juga memaafkan kesalahanmu.
Maka tatkala mendengar hal tersebut Abu Bakar langsung
mengatakan, "Tentu, demi Allah kami menyukai Engkau mengampuni kami Duhai
Rabb kami". Kemudian beliau kembali untuk menyantuni dan memenuhi
kebutuhan kerabatnya yang bernama Misthah. Dan beliau mengatakan, "Demi
Allah, aku tidak akan mencabut sedekah untuknya selama-lamanya. Demi Allah, aku
tidak akan menuntut balas pamrih darinya selama-lamanya".
Ibnu katsir mengomentari ucapan
Abu Bakar tadi dengan mengatakan, "Oleh karena itulah dirinya dijuluki
ash-Shidiq karena kejujuran dan keimanannya".[2] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, berkata; "Uyainah bin Hishan pernah
datang menemui Umar bin Khatab. Kemudian dia berkata, "Inilah wahai Ibnu Khatab, demi Allah kamu
tidak pernah memberi pemberian pada kami, tidak pula menghukumi kami secara
adil". Mendengar hal itu, Umar langsung naik pitam, marah sampai dirinya
berkeinginan buruk padanya.
Lalu budak beliau berkata
mengingatkan, "Wahai Amirul mukminin, (ingatlah) sesungguhnya Allah ta'ala
berkata pada Nabi -Nya Muhammad Shalallahu 'alaih wa sallam:
قال الله تعالى:﴿خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩﴾
[ الأعراف: 199 ]
"Jadilah
engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh". (QS al-A'raaf: 199).
Sikap seperti ini adalah sikapnya orang
jahiliyah". Sang rawi mengatakan, "Demi Allah tidak sampai sempurna
ayat tersebut dibacakan pada Umar melainkan dirinya langsung redam emosinya.
Dan beliau adalah orang yang paling memuliakan terhadap firman Allah". HR
Bukhari no: 4642.
Imam Syafi'i mengatakan dalam lantunan bait syairnya:
Mereka menghardik agar aku diam, sedang mereka
yang memulai permusuhan.
Aku
katakan, 'Sesungguhnya membalas
kejelakan pintunya sangat terbuka lebar'
Namun, memaafkan orang bodoh lagi pandir itu
memiliki kemuliaan
Didalamnya ada kebaikan serta menjaga kehormatan
orang
Seekor singa akan tetap diam dan tenang bila tidak diganggu
Sedang
anjing bila dilemparin batu ia menyalak dengan suara yang keras
Allah tabaraka wa ta'ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ
عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ
فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
﴾ [ آل عمران: 133-134]
"Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan". (QS al-Imraan: 133-134).
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriyawatkan
oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ » [أخرجه مسلم]
"Tidaklah sedekah itu
mengurangi dari harta sedikitpun. Tidaklah ada seseorang yang memberi maaf pada
orang lain melainkan itu kemulian baginya, dan tidaklah ada seorang hamba yang
tawadhu kecuali Allah akan angkat derajatnya". HR Muslim no: 2588.
Dan Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling pemaaf dan berlapang dada. Sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Jabir radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ
رَجُلاً أَتَانِى وَأَنَا نَائِمٌ فَأَخَذَ السَّيْفَ فَاسْتَيْقَظْتُ وَهُوَ
قَائِمٌ عَلَى رَأْسِى فَلَمْ أَشْعُرْ إِلاَّ وَالسَّيْفُ صَلْتًا فِى يَدِهِ .فَقَالَ
لِى: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّىّ. قَالَ قُلْتُ: اللَّهُ. ثُمَّ قَالَ فِى
الثَّانِيَةِ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّى. قَالَ قُلْتُ: اللَّهُ . قَالَ فَشَامَ
السَّيْفَ فَهَا هُوَ ذَا جَالِسٌ. ثُمَّ لَمْ يَعْرِضْ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم» [أخرجه البخاري و مسلم]
"Ada
seseorang yang datang padaku dan ketika itu aku sedang tertidur, lalu dirinya
menghunuskan pedang, aku pun terbangun, dan dia berdiri tepat diatas kepalaku
namun aku tidak merasakannya dengan pedang terhunus yang berada ditangannya.
Kemudian dia berkata padaku, "Siapakah sekarang yang akan membelamu? Aku
menjawab, "Allah". Kemudian dia mengulangi kembali, "Siapakah
yang akan menolongmu? Aku menjawab kembali, "Allah". Beliau
mengatakan, "Seketika itu ia menyarungkan pedangnya, lalu dirinya duduk
dan Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak membalasnya". HR Bukhari no: 2910. Muslim no: 843. Dalam redaksi
lain, "Kemudian Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak menyakiti orang tersebut". HR Bukhari no:
4135.
Suatu ketika Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada para pembesar Quraisy yang
dahulu pernah menyakiti dirinya, serta membunuh para sahabat dan mengeluarkan
beliau dari negeri yang beliau cintai, beliau mengatakan pada mereka,
"Pergilah karena kalian semua bebas".[3]
Didalam musnadnya Imam Ahmad
diriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu,
beliau menceritakan, "Tatkala peperangan Uhud ada enam puluh dari kalangan
sahabat Anshar yang mati syahid, sedangkan dari kalangan Muhajiri ada enam
orang. Maka para sahabat Rasulallah berkata, "Kalau seandainya nanti kita
mendapati hari seperti hari ini atas kaum musyrikin (bertemu kembali),
benar-benar kami akan membunuh mereka lebih banyak lagi".
Manakala datang hari penaklukan
kota Makah, berkata seorang yang tidak dikenali namanya, "Habis sudah
riwayat Quraisy pada hari ini". lalu terdengar suara lantang dari
muadzinnya Rasulallah Shalallahu 'alaihi
wa sallam yang menyeru, "Semuanya aman, jangan ada diantara kalian
yang membunuh seorang pun kecuali fulan dan fulan", lalu disebut beberapa
nama pesohor orang-orang kafir. Maka turunlah firman Allah tabaraka wa ta'ala:
"Dan jika kamu memberikan
balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang sabar". (QS an-Nahl: 126).
Maka Rasulallah Shalallahu
'alaihi wa sallam
mengatakan, "Bahkan kami memilih untuk bersabar dan tidak membalas
kejelekan mereka". HR Ahmad 35/152 no: 21229.
Pemaaf ini juga merupakan salah satu sifat Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tercantum didalam Taurat. Sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu 'anhuma, bahwa Atha bin Yasar pernah meminta pada dirinya untuk mengabarkan tentag sifat
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang tercantum didalam Taurat? Beliau menjawab,
"Tentu, sesungguhnya dirinya disifati didalam Taurat dengan beberapa sifat
yang ada didalam al-Qur'an. Wahai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu sebagai
saksi, pemberi kabar gembira, dan peringatan serta penjaga bagi para kaum yang
umi (tidak bisa baca tulis). Engkau adalah hamba dan utusan -Ku, Aku beri nama dirimu al-Mutawakil, tidak kasar
lagi berperangai buruk, tidak berteriak-teriak dipasar, tidak membalas
perbuatan buruk dengan yang semisalnya, akan tetapi memaafkan dan memohonkan
ampun". HR Bukhari no: 2125.
Pemaaf juga merupakan sifatnya para nabi yang
terdahulu, seperti yang dijelaskan oleh Allah ta'ala tentang nabi -Nya Yusuf
ketika dirinya berkata pada saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya,
Allah Shubhanahu wa ta’alla mengkisahkan:
قال الله تعالى: ﴿ قَالَ لَا تَثۡرِيبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡيَوۡمَۖ يَغۡفِرُ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ
وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ ٩٢ ﴾ [ يوسف:
92 ]
"Dia
(Yusuf) berkata: "Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu,
mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara
Para Penyayang". (QS Yusuf: 92).
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, berkata, "Seakan-akan aku pernah melihat
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seorang nabi dari kalangan para
nabi Bani Israil yang dipukul oleh kaumnya sampai berdarah, lantas dirinya
mengusap darah tersebut dari wajahnya sambil berkata:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَايَعْلَمُونَ» [أخرجه البخاري و مسلم]
"Ya Allah ampunilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui". HR
Bukhari no: 3477. Muslim no: 1792.
Disamping itu, sifat pemaaf juga merupakan
ahklaknya para ulama dan orang-orang sholeh. Di kisahakan pada zamannya
Khalifah al-Mu'tashim, dirinya pernah menjebloskan Imam Ahmad ke dalam penjara
dan memukulnya dengan cemeti sampai dirinya pingsan, serta darah mengalir
disekujur tubuhnya, akan tetapi, Imam Ahmad berkata, "Aku jadikan
kehormatanku halal untuk Abu Ishaq –yakni Mu'tashim- dan aku telah maafkan
dirinya".
Imam Malik, beliau pernah dimasukan kedalam
penjara dan dipukul dengan pecut sampai tangannya patah, namun beliau memaafkan
orang yang menyiksanya. Dan bila mau dikumpulkan kisah-kisah mereka akan sangat
banyak sekali kisah para ulama yang menunjukan bagaimana mereka dalam melazimi
sifat memaafkan ini.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, "Aku tidak senang bila membela diriku semata dari seseorang
dengan sebab karena kedustaan yang ditimpakan padaku, atau kedzaliman serta
permusuhan terhadapku. Sesungguhnya aku telah menghalalkan setiap muslim (yang
pernah menyakitiku). Dan saya mencintai kebaikan bagi setiap muslim, dan ingin
bagi setiap mukmin melakukan kebaikan seperti yang aku cintai bagi diriku. Adapun orang-orang yang mendustakan dan berbuat dholim atasku maka mereka semua telah aku
maafkan".[4]
Diantara perkara yang perlu dingatkan disini,
bahwa memaafkan harus ada ketentuannya yaitu bisa memperoleh kebaikan. Allah ta'ala menjelaskan dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ ٤٠ ﴾ [
الشورى: 40]
"Maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah". (QS asy-Syuura: 40).
Dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Sa'di ketika menafsirkan
ayat diatas, "Allah Shubhanahu wa ta’alla akan membalas dengan pahala yang besar, dan
ganjaran yang agung. Dan Allah memberikan syarat ketika memaafkan dengan adanya
perbuatan baik didalamnya, ini menunjukan bahwasanya seorang pelaku kejahatan
tidak layak untuk dimaafkan, karena maslahat syar'iyah mengharuskan dirinya
untuk dihukum, oleh karena itu dalam kasus seperti ini tidak mungkin perintah
untuk memaafkan diterapkan, kemudian Allah Shubhanahu wa
ta’alla menjadikan
pahala orang yang memaafkan di atas tanggungan -Nya,
sehingga hal ini membangkitkan semangat orang untuk senang memaafkan. Dan
hendaknya seorang hamba berinteraksi dengan sesama makhluk yang ia sukai
sebagaimana dirinya suka bila Allah Shubhanahu wa ta’alla memperlakukannya dengan baik. Sebagaimana dirinya
senang bila Allah Shubhanahu wa ta’alla
memaafkan kesalahannya maka begitu pula maafkanlah kesalahan mereka.
Sebagaimana pula dirinya mencintai bila Allah Shubhanahu wa ta’alla memberi udzur padanya maka begitulah hendaknya
dia juga memberi udzur pada mereka, karena sesungguhnya balasan tersebut
setimpal dengan amal perbuatannya".[5]
Dan barangsiapa yang mampu
menerapkan dalam kondisi semacam ini maka hendaknya ia memuji -Nya atas karunia
nikmat yang demikian besar baginya, atas ketentraman jiwa yang dirasakan, dan
begitu banyak buah kebaikan yang bisa ia petik. Dan dianjurkan bagi tiap muslim untuk banyak memohon
agar dirinya dimaafkan oleh Allah azza wa jalla. Sebagaimana tertera dalam
sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi dari Aisyah radhiyallahu
'anha, beliau berkata, "Aku pernah bertanya, "Ya Rasulallah, apa yang
hendaknya aku ucapkan manakala aku mengira bahwa diriku mendapati malam
lailatul Qodar? Beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللهم
إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني » [أخرجه الترمذي]
"Ucapkan, Ya Allah
sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Pemurah, Engkau mencintai untuk
memaafkan maka maafkan hamba -Mu". HR at-Tirmidzi no:
3513. Beliau berkata, "Hadits Hasan Shahih".
Seorang penyair mengatakan dalam lantunan bait
syairnya:
Duhai Rabbku, sungguh banyak dosa yang ku perbuat
Dan aku mengetahui Engkau adalah Maha Pemaaf
Bila hamba -Mu tidak mengharap dari kemurahan –Mu
Lantas
pada siapa hamba yang penuh dosa ini harus mengadu
Tidak ada wasilah yang bisa ku haturkan pada -Mu, melainkan
Hamba seorang muslim dan harapan indah kiranya
Engkau sudi memaafkan
Pelajaran dari menekuni sifat memaafkan ini:
1.
Memenuhi perintah Allah azza wa jalla.
2.
Menghilangkan penyakit hati dari kedengkian dan
kebencian pada sesama.
3.
Ketenangan jiwa dan ketentraman bathin.
4.
Memperoleh pahala besar dari Allah subhanahu wa
ta'ala.
5.
Mencapai derajat yang tinggi didunia maupun diakhirat
kelak.
6.
Menyebarkan kecintaan serta mempererat persaudaraan
diantara kaum muslimin.
7.
Dengan memaafkan maka itu sebagai sarana yang akan
mengantarkan dirinya masuk ke dalam surga.
Akhirnya
kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga
Allah Shubhanahu wa
ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
Post a Comment