Macam-macam Tauhid
Macam-Macam Tauhid
Segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla, kami memuji -Nya, memohon pertolongan dan
ampunan kepada -Nya, kami berlindung kepada -Nya dari kejahatan diri-diri kami
dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah Shubhanahu
wa ta’alla sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu
wa ta’alla semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi
bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul -Nya. Amma Ba'du:
MACAM-MACAM TAUHID
Dari pemaparan yang lalu kita menjadi tahu bahwa
tauhid itu terbagi menjadi dua:
Yang pertama; Tauhid ma'rifat dan Itsbat. Yaitu yang
berkaitan dengan Dzat Allah azza wa jalla, nama-nama, dan sifat serta perbuatan
-Nya. Dan jenis tauhid ini terbagi menjadi dua kembali:
Jenis pertama: Tauhid Rububiyah
Dan ulama menjelaskan definisi dari jenis tauhid ini
dengan berbagai ungkapan, semisal apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, 'Dan tauhid Rububiyah itu ialah (menyakini) tidak ada pencipta selain
Allah Shubhanhahu wa ta’alla.
(Karena) tidak mungkin ada suatu apapun yang lepas dari -Nya, dalam hal
penciptaan suatu benda atau urusan, bahkan, bila -Dia menghendaki pasti
terjadi, dan bila tidak menghendaki maka tidak mungkin terjadi'.[1]
Imam Ibnu Qoyim menjelaskan, "Nama Rabb terhimpun
padanya makna yang mencakup bagi seluruh makhluk yaitu yang menguasai segala
sesuatu dan menciptakan serta maha mampu untuk melakukan hal tersebut. Dan itu
semua tidak mungkin bisa luput sedikitpun dari rububiyah -Nya, dan setiap apa
yang ada di langit serta di muka bumi adalah hamba yang ada dalam genggaman
-Nya serta dibawah kekuasaan -Nya".[2]
Seorang ulama yang bernama Safarini[3] menyebutkan, "Tauhid rububiyah yakni bahwa tidak ada pencipta,
tidak ada pemberi rizki, tidak ada yang menghidupkan, tidak ada yang mematikan,
tidak ada yang mengadakan sesuatu yang tadinya tidak ada melainkan hanya Allah
ta'ala".[4] Dan berkata
Syaikh Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Wahab[5], didalam penjelasan tentang makna tauhid rububiyah tersebut,
"Yaitu menetapkan bahwa Allah ta'ala adalah Rabb segala sesuatu, dan yang
menguasainya, menciptakan serta memberinya rizki.
Bahwasannya Allah Shubhanahu
wa ta’alla saja yang menghidupkan dan mematikan, memberi manfaat dan mara
bahaya, yang tunggal dalam mengabulkan do'a tatkala terkena musibah, yang bagi
-Nya segala urusan diserahkan, ditangan -Nya segala kebaikan berada, yang maha
mampu atas segala sesuatu yang di inginkan -Nya, dan tidak ada satupun sekutu
bagi -Nya, dan masuk dalam hal itu keimanan terhadap takdir".[6]
Dari sini maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa tauhid
rububiyah ialah menetapkan serta mengakui bahwa Allah ta'ala semata yang tidak
ada sekutu bagi -Nya, yang menciptakan seluruh makhluk yang ada atas maupun di
bawah, yang bisa disaksikan maupun tidak.
Bahwa Allah Shubhanahu
wa ta’alla semata yang mengatur alam semesta ini, tidak ada seorangpun yang
bersekutu dengan -Nya, sebagaimana seluruh takdir makhluk berada didalam
genggaman -Nya, dari memberi
rizki, mematikan, menghidupkan, seluruh perkaranya makhluk.
Bahwasannya jikalau -Dia menghendaki sesuatu tinggal
mengucapkan jadilah, maka terjadilah. Dan tidak ada sekutu pada semua itu dan
tidak ada yang sepadan dan tidak pula yang serupa dengan -Nya. Bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla yang mengurusi seluruh makhluk dengan
berbagai macam kenikmatan, dan mengurusi makhluk-makhluk khusus milik -Nya
yaitu para nabi dan pengikutnya, yang beriman kepadanya, membenarkan apa yang
dibawa olehnya dari sisi Rabb mereka, dengan keyakinan yang benar, dan akhlak
yang luhur, serta ilmu yang bermanfaat, dan amal sholeh.
Dan memungkinkan untuk mengetahui tentang tauhid ini
dengan sebuah ungkapan yang ringkas seperti yang diucapkan oleh Ibnu Qoyim,
yakni meng –Esakan Allah azza wa jalla dalam penciptaan dan menghukumi.[7] Ucapannya, meng –Esakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam penciptaan,
maka mencakup dalam hal ini menciptakan pada pertama kalinya, yaitu memulai
penciptaan manusia dan yang lainnya. Kemudian pada penciptaan kedua, yaitu
kebangkitan dari kubur. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah ta'ala dalam firman
-Nya:
قال الله تعالى: ﴿أَفَعَيِينَا
بِٱلۡخَلۡقِ ٱلۡأَوَّلِۚ بَلۡ هُمۡ فِي لَبۡس مِّنۡ خَلۡق جَدِيد ١٥﴾ [ ق: 15
]
"Maka apakah Kami letih dengan penciptaan
yang pertama? sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang
baru". (QS Qaaf: 15).
Dan ini
merupakan kekhususan Allah azza wa jalla.
Dan
ucapannya, mengesakan dalam menghukumi, mencakup dalam hal ini menghukumi dalam
memberi manfaat dan mara bahaya terhadap makhluk, mengurusi urusan mereka,
memberinya rizki, maka Allah azza wa jalla adalah pemberi manfaat dan mara
bahaya, yang mengurusi urusan dan memutuskannya, yang memberi rizki, dan inilah
yang dinamakan hukum takdir dan kauni yaitu apa yang diputuskan oleh -Nya baik
sesuai dengan takdir dan penciptaan.[8]
Demikian
pula mencakup hukumnya secara syar'i, yaitu yang Allah Shubhanahu
wa ta’alla takdirkan dalam bentuk syari'at.[9] Maka
seluruh hukum-hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla secara
syar'i terhadap ciptaan -Nya adalah termasuk dari kandungan rububiyah -Nya. Yang memiliki hak mutlak dalam
memutuskan, Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan didalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَة مِّن رَّبِّي وَكَذَّبۡتُم بِهِۦۚ مَا عِندِي
مَا تَسۡتَعۡجِلُونَ بِهِۦٓۚ إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِۖ يَقُصُّ ٱلۡحَقَّۖ وَهُوَ
خَيۡرُ ٱلۡفَٰصِلِينَ ٥٧ ﴾ [الأنعام: 57 ]
"Katakanlah:
"Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (al-Qur'an) dari
Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu
minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling
baik". (QS al-An'aam:
57).
Dan Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda; "Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah pemutus hukum dan hanya kepada -Nya
kembali hukum tersebut".[10]
Kesimpulannya, tauhid rububiyah ialah menetapkan bahwa
Allah azza wa jalla adalah rabb segala sesuatu, pencipta dan pemberi rizkinya,
yang mematikan dan menghidupkan, memberi manfaat dan mara bahaya, yang maha
mampu atas perbuatan yang di inginkan kapanpun waktunya, dan tidak ada sekutu,
yang sepadan dan pembantu bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam masalah itu semua.[11] Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta'ala didalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ
مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَٰشا
وَٱلسَّمَآءَ بِنَآء وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآء فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ
رِزۡقا لَّكُمۡۖ فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢﴾ [ البقرة: 21-22 ]
"Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah
kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui". (QS al-Baqarah: 21-22).
Demikian pula didalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ ثُمَّ رَزَقَكُمۡ ثُمَّ يُمِيتُكُمۡ ثُمَّ
يُحۡيِيكُمۡۖ هَلۡ مِن شُرَكَآئِكُم مَّن يَفۡعَلُ مِن ذَٰلِكُم مِّن شَيۡءۚ سُبۡحَٰنَهُۥ
وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٤٠ ﴾ [ الروم: 40]
"Allah -lah yang menciptakan kamu, kemudian
memberimu rizki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali).
Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat
sesuatu dari yang demikian itu? Maha sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang
mereka persekutukan". (QS ar-Ruum: 40).
Dan
ayat-ayat yang semakna dengan ini sangatlah banyak walaupun perlu dipahami
bahwa menetapkan tauhdi ini bukan berarti secara otomatis masuk dalam kategori
ikhlas didalam beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla
semata dan menjadikan pelakunya tidak menyekutukan –Nya dengan yang lain baik
secara dhahir maupun batin, dan penetapan tauhid jenis ini tidak serta merta
menjadikan seseorang menjadi muslim, karena Allah tabaraka wa ta'ala merekam
tentang eksistensi orang musyrik pada zaman dahulu yang telah menetapkan jenis
tauhid ini. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla
didalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ
ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَمَن يُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ
مِنَ ٱلۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۚ فَسَيَقُولُونَ ٱللَّهُۚ فَقُلۡ أَفَلَا
تَتَّقُونَ ٣١﴾ [ يونس: 31 ]
"Katakanlah: "Siapakah yang memberi
rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka
Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada -Nya)?"
(QS Yunus: 31).
Dalam ayat
lain Allah ta'ala menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ
يُؤۡفَكُونَ ٨٧ ﴾ [ الزخرف: 87 ]
"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab:
"Allah", Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah
Allah?". (QS az-Zukhruf: 87).
Dengan
penetapan yang mereka lakukan terhadap tauhid ini tidak menjadikan serta merta
menjadi seorang muslim, hal tersebut dikarenakan kekosongan mereka dalam
keikhlasan ketika beribadah kepada –Nya semata.
Bagian
kedua: Tauhid Asma wa Shifat
Yaitu
menyakini keesaan Allah ta'ala dengan kesempurnaan mutlak dari semua sisi
dengan memberikan sifat-sifat keagungan, kemuliaan dan kesempurnaan[12]. Dan hal
itu dengan cara pengakuan dan menetapkan secara pasti dengan segala yang datang
dalam al-Qur'an ataupun sunah Rasulallah Shalallahu
'alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang nama-nama Allah Shubhanahu
wa ta’alla yang indah dan sifat-sifat -Nya yang mulia. Dan
metode salaful Umah dalam perkara ini ialah menetapkan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk diri
nya dan menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Rasul -Nya. Begitu pula menafikan seperti apa yang telah
di nafikan oleh -Nya terhadap dirinya sendiri dan apa yang telah dinafikan oleh
Rasul -Nya terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla, tanpa
melakukan tahrif (merubah), tidak pula ta'thil (menghilangkan
maknanya), tanpa membagaimanakan tidak pula memisalkan.
Mereka
semua menyakini bahwa tidak ada sesuatupun yang
menyerupai -Nya tidak pula ada yang semisal dengan -Nya dari kalangan
makhluk -Nya, tidak dalam Dzat tidak pula dalam perkara sifat-sifat yang
dimiliki -Nya, serta perbuatan -Nya. Maka metode mereka ialah menetapkan tanpa
menyerupakan, dan mencusikan tanpa menta'thil (meniadakan makna yang
sebenarnya), senantiasa berada diatas qaidah firman Allah tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١١ ﴾ [ الشورى: 11 ]
"Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia -lah yang Maha mendengar dan
melihat". (QS asy-Syuraa:
11).
Dan yang dimaksud dengan Tahrif dalam tinjauan bahasa ialah
merubah dan mengganti, merubah harokat dan menggantinya.[13]
Adapun dalam terminologinya ialah berpaling dari
ucapan yang sesuai dan benar kepada ucapan yang lain. Dan bila diterapkan dalam
perkara asma dan sifat ialah merubah lafad nash yang berkaitan dengan nama-nama
dan sifat-sifat Allah Shubhanahu wa
ta’alla, atau merubah makna yang terkandung dari apa yang di inginkan oleh
Allah azza wa jalla, semisal tahrif
i'rab dalam firman Allah ta'ala[14]:
قال الله تعالى: ﴿ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيما ١٦٤
﴾ [ النساء: 164 ]
"Dan Allah telah berbicara kepada Musa
dengan langsung". (QS an-Nisaa': 164).
Dengan
menjadikan nabi Musa yang mengajak Allah Shubhanahu wa ta’alla
berbicara, sedang yang benar ialah Allah Shubhanahu wa ta’alla
yang mengajaknya langsung bicara. Dalam gramatika bahasa arab i'rab lafdhul
jalalah dengan rafa' (didhamah) sebagai pelaku (objek), kemudian mereka
mentahrif (merubah) dengan harakat fathah sebagai subjek. Dan yang senada
dengan tahrif dalam masalah ini ialah makna istawa (bersemayam) dengan istaula
(menguasai) dalam makna firman Allah ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ ٥ ﴾ [ طه: 5 ]
"(Yaitu) Tuhan yang
Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy". (QS Thahaa: 5).
Adapun yang dimaksud dengan ta'thil secara
bahasa ialah dari kata al-'Athal yang bermakna kosong dan tidak berisi dan
meninggalkan, sebagaimana tersirat dalam firman Allah ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَبِئۡر مُّعَطَّلَة وَقَصۡر مَّشِيدٍ ٤٥ ﴾ [ الحج: 45 ]
"Dan (berapa banyak pula) sumur yang telah
ditinggalkan dan istana yang tinggi". (QS al-Hajj: 45).
Maksudnya disia-siakan oleh pemiliknya dan ditinggalkan tidak lagi
diambil airnya[15], adapun menta'thil yang dengan masalah Asma dan
Shifat maka maksudnya ialah menafikan nama-nama dan sifat-sfiat atau menafikan sebagian
atau menyelewangkan makna yang benar terhadap Allah ta'ala[16].
Sedangkan yang dimaksud dengan takyif ialah menjadikan
sesuatu pada hakekat tertentu tanpa mengikatnya dengan yang dipermisalkan[17]. Seperti halnya ucapan sebagian sekte tentang Allah Shubhanahu wa ta’alla, panjangnya
seperti lebarnya[18]. Dan makna ucapan ahlu sunah tanpa mengumpamakan
dengan perumpamaan yang ada dalam benak manusia, dan ini bukan berarti maksud
ucapan mereka, mengumpamakan dengan perumpaan yang menyeluruh secara utuh,
sebab segala sesuatu pasti mempunyai hakekat keadaanya. Akan tetapi, yang
dimaksud ialah bahwa mereka meniadakan pengetahuan tentang bagaimananya sebab
tidak ada yang mengetahui bagaimana keberadaan Dzatnya Allah Shubhanahu wa ta’alla kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla [19].
Dan yang dimaksud dengan tamtsil ialah terambil
dari kata al-Mitsal yang bermakan menyerupai dan menyamai[20]. Adapun bila diterapkan dalam masalah Asma dan Shifat maknanya ialah
menyakini bahwa didalam sifat-sifat -Nya itu ada yang serupa dengan sifat-sifat
makhluk. Maka tauhid Asma dan Shifat ialah mengkosongkan dalam nama-nama dan
sifat-sifat yang telah Allah Shubhanahu
wa ta’alla dan Rasul -Nya tetapkan pada diri -Nya, dari empat hal ini yakni
ta'thil, tahrif, takyif, dan tamtsil. Maka barangsiapa menafikan sifat-sifat
Allah jalla wa 'ala dan mengkosongkan maknanya, maka ta'thilnya tadi telah
mendustakan tauhidnya, dan barangsiapa yang menyerupakan pencipta dan
memisalkan dengan makhluk maka penyerupaan dan permisalan yang diberikan tadi
telah membatalkan tauhidnya[21].
Dan diantara dalil-dalil yang menunjukan tentang
tauhid ini ialah firman Allah ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَيُّ ٱلۡقَيُّومُۚ ٢٥٥ ﴾ [ البقرة: 255 ]
"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan -Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya)". (QS al-Baqarah: 255).
Dan firman
Allah tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيًۡٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن
فَيَكُونُ ٨٢ ﴾ [يس: 82 ]
"Sesungguhnya keadaan -Nya apabila -Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka
terjadilah ia". (QS Yaasin: 82).
Demikian
pula dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ
إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيم
٢٩﴾
[البقرة: 29 ]
"Dia- lah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan
-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu". (QS al-Baqarah: 29).
Dan juga
dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ يَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَيۡدِيهِمۡۚ ١٠ ﴾ [ الفتح: 10 ]
"Tangan Allah di
atas tangan mereka". (QS
al-Fath: 10).
Begitu juga dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ
١١٩﴾
[المائدة: 119 ]
"Allah ridha terhadap -Nya dan mereka pun
ridho kepada Allah. Itulah keberuntungan yang paling besar". (QS al-Maa-idah: 119).
Dan dalam
firman Allah ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ ٥ ﴾ [ طه: 5 ]
"(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam
di atas 'Arsy". (QS
Thahaa: 5).
Dan juga firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيما ١٦٤ ﴾ [ النساء: 164 ]
"Dan Allah telah berbicara kepada Musa
dengan langsung". (QS an-Nisaa': 164).
Dan lain
sebagainya dari ayat-ayat yang semakna dengan ini.
Jenis Kedua
dari macam-macam tauhid ialah
Tauhid Thalab
dan Qashd (Tuntutan dan Tujuan)
Yang
sering diartikan dengan mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dari
perilaku hamba, atau biasa juga di ungkapkan dengan tauhid uluhiyah, yaitu
mengetahui serta mengakui bahwasannya Allah azza wa jalla pemilik hak uluhiyah
dan peribadatan atas seluruh makhluk -Nya, dan mengesakan Allah ta'ala dengan
ibadah dan mengikhlaskan agama hanya untuk -Nya semata.[22]
Dan
jenis tauhid ini bisa terleasisasi dengan melakukan peribadatan kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla semata tanpa menjadikan sekutu bagi -Nya, dan
mencintai -Nya, merasa takut kepada -Nya, berharap, dan bertawakal kepada -Nya,
takut akan siksa -Nya, penuh harap pada -Nya, dengan mengesakan itu semua pada
Allah Shubhanahu wa ta’alla. mendekatkan diri kepada -Nya
dengan seluruh jenis peribadatan mahdah maupun harta dan benda, dan lain
sebagainya dari jenis dan ragam ibadah yang para makhluk beribadah kepada Allah
Shubhanahu
wa ta’alla, tentunya harus sesuai dengan apa yang telah
disyari'atkan serta dijelaskan oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pada mereka.
Dan
jenis tauhid ini merupakan perkara prioritas yang diemban oleh tugas-tugas
kerasulan yang harus disampaikan pada umatnya, dan dengan sebab ini pula
terjadilah perdebatan, dan di syari'atkan jihad, dengan sebab ini manusia dan
jin diciptakan, diturunkan kitab, di utusnya para rasul, dan dengan sebab
tauhid ini pula manusia terkelompok menjadi golongan yang celaka dan golongan
yang berbahagia, serta diciptakannya surga dan neraka.
Dan
Allah ta'ala telah menjelaskan tauhid ini didalam banyak ayat yang bertebaran
didalam al-Qur'an yang mulia. Diantaranya ialah:
1.
Sebagaimana
terkandung didalam surat al-Kafirun. Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ
١ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٣ وَلَآ
أَنَا۠ عَابِد مَّا عَبَدتُّمۡ ٤ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٥ لَكُمۡ
دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦ ﴾ [ الكافرون: 1-6 ]
"Katakanlah:
"Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS al-Kafirun: 1-6).
2.
Dalam surat
Yunus, Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِن كُنتُمۡ فِي شَكّ مِّن دِينِي فَلَآ أَعۡبُدُ ٱلَّذِينَ
تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِنۡ أَعۡبُدُ ٱللَّهَ ٱلَّذِي يَتَوَفَّىٰكُمۡۖ
وَأُمِرۡتُ أَنۡ أَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٠٤﴾ [ يونس: 104 ]
"Katakanlah: "Hai manusia, jika kamu masih dalam
keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu
sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan
aku telah diperintah supaya Termasuk orang-orang yang beriman". (QS Yunus: 104).
3.
Demikian
pula didalam surat al-Imraan, Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ كَلِمَة سَوَآءِۢ بَيۡنَنَا
وَبَيۡنَكُمۡ أَلَّا نَعۡبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشۡرِكَ بِهِۦ شَيۡٔا ٦٤﴾ [ آل عمران: 64]
"Katakanlah: "Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun". (QS al-Imraan: 64).
4.
Dan dalam
surat Yunus, Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي
خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ فِي سِتَّةِ أَيَّام ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰ عَلَى ٱلۡعَرۡشِۖ
يُدَبِّرُ ٱلۡأَمۡرَۖ مَا مِن شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ إِذۡنِهِۦۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ
رَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُوهُۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ٣ ﴾ [ يونس: 3 ]
"Sesungguhnya
Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada
seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin -Nya. (Dzat)
yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu
tidak mengambil pelajaran?". (QS Yunus: 3).
5.
Begitu juga
dalam surat al-Mukminun, Allah ta'ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ فَأَرۡسَلۡنَا فِيهِمۡ رَسُولا مِّنۡهُمۡ أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا
لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓۚ ٣٢ ﴾ [ المؤمنون: 32 ]
"Lalu Kami utus
kepada mereka, seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata):
"Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain
daripada-Nya". (QS al-Mukminuun: 32).
6.
Demikian
pula dalam surat al-A'raaf, Allah ta'ala menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ قَالُوٓاْ
أَجِئۡتَنَا لِنَعۡبُدَ ٱللَّهَ وَحۡدَهُۥ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعۡبُدُ ءَابَآؤُنَا٧٠﴾
[ الأعراف:70 ]
"Mereka berkata:
"Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan
meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?". (QS al-A'raaf: 70).
7.
Dan dalam
surat Yusuf, Allah ta'ala menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُۚ
٤٠ ﴾
[ يوسف: 40 ]
"Keputusan itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia". (QS Yusuf: 40).
8.
Dan dalam
surat Maryam, Allah ta'ala berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ
لِعِبَٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِيّا ٦٥ ﴾ [ مريم: 65 ]
"Tuhan (yang
menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka
sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada -Nya. Apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?". (QS Maryam: 65).
9.
Demikian
pula dalam surat al-Israa', Allah ta'ala menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ وَقَضَىٰ
رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ ٢٣﴾
[ الإسراء: 23 ]
"Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya". (QS al-Israa': 23).
10. Dan Allah ta'ala menyebutkan ketika menceritakan tentang
ucapan seluruh para nabi terhadap kaumnya, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ
٥٩ ﴾
[ الأعراف: 59 ]
"Lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah,
sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain -Nya". (QS
al-A'raaf: 59, 65, 73, 85).
Dengan
ini menjadi jelas akan batilnya persangkaan sebagian ahli kalam yang menyatakan
bahwa puncak ketauhidan adalah ketika menyatakan bahwa Allah Shubhanahu
wa ta’alla adalah esa di dalam Dzatnya yang tidak memiliki bagian
untuk -Nya, demikian pula esa dalam sifat-sifat -Nya yang tidak ada sesuatupun
yang menyerupai -Nya, esa dalam perbuatan -Nya yang tidak ada sekutu bagi
-Nya.
Sebab
tauhid yang dengannya, Allah Shubhanahu wa ta’alla menurunkan
kitab dan mengutus para utusan bukanlah yang dimaksud dalam tiga hal diatas
tadi, walaupun ketiga hal tersebut termasuk dalam kategori tauhid yang dibawa
oleh para rasul, sehingga barangsiapa yang beribadah kepada -Nya semata tanpa
menyekutukan sesuatu apapun dengan -Nya maka dirinya telah bertauhid, dan
barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla
maka dirinya dinamakan musyrik. Bukan orang yang bertauhid lagi ikhlas didalam
menjalan agamanya, walaupun dirinya mengucapkan statmen-statmen diatas tadi
yang mereka sangka termasuk ketauhidan yang sempurna.[23]
Dari
uraian panjang diatas, maka menjadi jelas bagi kita bahwa tauhid terbagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Tuhid
Rububiyah.
2.
Tauhid Asma
wa Shifat. Dan kedua jenis tauhid ini berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan.
3.
Tauhid
Uluhiyah atau tauhid Ibadah. Yang diungkapkan oleh sebagian ulama dengan nama
Tauhid Thalab dan Qashd (Tuntutan dan tujuan).
Dan
pengelompokan Tauhid menjadi tiga jenis semacam ini maka argumentasinya ialah
dari dua sisi:
Dan dapat dipastikan melalui penelitian serta
pengamatan secara menyeluruh bahwa tauhid yang diturunkan dengannya kitab suci
dan menjadi muatan dakwah pertama para rasul ialah terbatas pada ketiga jenis tauhid
ini. Yang tidak sempurna tauhid serta keimanan seseorang melainkan harus
menyempurnakan seluruh tauhid tadi.
Dan kami telah bawakan
dalil-dalil dari al-Qur'an yang menjelaskan pada pembagian ini, maka ini
menunjukan pada kesimpulan dari sesuatu yang melimpah. Bahkan al-Qur'an
seluruhnya menjelaskan pada ketiga jenis tauhid ini. Imam Ibnu Qoyim
menjelaskan, "Setiap surat dalam al-Qur'an maka terkandung didalamnya
masalah tauhid, bahkan bisa kita nyatakan secara menyeluruh, bahwa seluruh ayat
yang ada didalam al-Qur'an mengandung masalah tauhid, sebagai saksi bagi
masalah tauhid dan mengajak padanya. Sebab al-Qur'an bisa diklasifikasikan
menjadi beberap perkara;
1.
Adakalanya
berita tentang Allah azza wa jalla, nama-nama dan sifat-sifat -Nya serta perbuatan
-Nya, maka itu adalah tauhid ilmu yang berupa berita.
2.
Adakalanya
ajakan untuk beribadah kepada Allah semata tanpa berbuat syirik kepada -Nya,
dan melepas segala bentuk peribadatan kepada selain -Nya, maka itu adalah
tauhid Iradah yang dituntut pada hamba.
3.
Adakalanya
berisikan tentang perintah dan larangan, keharusan untuk mentaati Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam larangan dan perintah -Nya. Maka itu merupakan
konsekuensi tauhid dan penyempurnanya.
4.
Adakalanya
berita tentang kemurahan Allah Shubhanahu wa ta’alla bagi orang
yang bertauhid dan berbuat taat pada
-Nya, dan apa yang diperbuat –Nya bagi mereka ketika didunia dan
kemuliaan yang diberikan pada mereka ketika diakhirat maka itu merupakan
balasan bagi orang yang bertauhid.
5.
Adakalanya
berita tentang para pelaku kesyirikan, dan penjelasan adzab dan siksa yang
Allah Shubhanahu wa ta’alla berikan pada mereka didunia.
Berkata
Syaikh Husain bin Mahdi an-Na'imi[26],
"Sungguh kami telah meneliti didalam kitabullah pasal-pasal yang berkaitan
tentang pembentukan kalimat, dan pasal-pasal yang berkaitan dengan gaya bahasa,
maka kami tidak pernah menjumpai Allah ta'ala mengkisahkan tentang kaum
musyrikin yang menyebutkan bahwa aqidah mereka terhadap tuhan-tuhan mereka dan
sekutu yang mereka buat dari selain Allah Shubhanahu wa ta’alla,
bahwa sesembahan dan sekutu tersebut yang menciptakan, memberi rizki,
menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan dari langit, mengeluarkan orang yang
sudah mati, mematikan orang yang hidup dan seterusnya.
Namun,
apabila mereka di timpa suatu musibah dan kondisinya semakin genting maka
mereka langsung meminta pertolongan kepada Allah ta'ala semata. Dan apabila
mereka ditanya tentang hakekat agamanya, 'Apakah termasuk kesyirikan dalam
rububiyah? Mereka segera mendekat dan tunduk bagi Rabb semesta alam, murni
dengan memberikan kekhususan bagi Allah dalam masalah hak rububiyah. Dan ini
merupakan perkara yang sangat gamblang bagi siapa saja yang dikasih pendengaran
oleh al-Qur'an tentang kisah mereka, dimana Allah Shubhanahu wa ta’alla telah
menukil ucapan mereka, diantaranya:
قال الله تعالى: ﴿ قُل لِّمَنِ ٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهَآ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٨٤ سَيَقُولُونَ
لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ ٨٥ قُلۡ مَن رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ ٱلسَّبۡعِ وَرَبُّ
ٱلۡعَرۡشِ ٱلۡعَظِيمِ ٨٦ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٨٧ ﴾ [ المؤمنون: 84-87 ]
"Katakanlah:
"Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui? Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah:
"Maka Apakah kamu tidak ingat? Katakanlah: "Siapakah yang Empunya
langit yang tujuh dan yang Empunya 'Arsy yang besar? Mereka akan menjawab:
"Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak
bertakwa?". (QS al-Mukminuun:
84-87).
Apakah anda melihat dari semua yang dikisahkan oleh
Allah ta'ala tentang mereka diatas tadi, bahwasannya mereka mengira dari Allah Shubhanahu wa ta’alla sedikit ataupun
banyak, dengan anggapan remeh ataupun kondisi genting terhadap ilah-ilah mereka
yang mereka rela menyembahnya, dan duduk disekitarnya punya andil dari itu
semua? Bahkan, mereka mencabut sifat-sifat tersebut dari tuhan-tuhan yang
mereka patuhi dan enggan memisahkan diri, dan mengharuskan untuk rela
menjadikan ilah-ilahnya berada dibelakang (Allah Shubhanahu wa ta’alla), masih bergantung pada -Nya, menyatu dalam
ketauhidan dan menyendirikan -Nya, sehingga mereka tidak menjadikan sekutu dan
tandingan ketika berdo'a dan berdiam disekelilingnya serta mendekatkan diri dan
ibadah lainnya.
Dan kesyirikan kaum tersebut dan pengambilan ilah-ilah
yang menyebabkan rabb mereka mencatat kekuasaan penuh terhadap para hamba -Nya,
dengan kesyirikan, kesesatan, kerancuan, kekufuran, kelaliman, dan
kebodohan".[27] Dengan tegas an-Na'imi menyatakan bahwa barangsiapa
yang meneliti kitabullah maka dirinya akan mendapati didalamnya dua hal dari
jenis tauhid dan dirinya juga akan menjumpai bahwa kesyirikan itu berada pada
peribadatan bukan pada rububiyah.
Syaikh Muhammad al-Amin asy—Syinqithi[28] menjelaskan, "Hasil riset dari al-Qur'an yang agung menunjukan
bahwa tauhid kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla itu terbagi menjadi tiga:
Pertama: Mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam masalah
rububiyah -Nya. Dan jenis tauhid ini termasuk dari jenis tauhid yang diakui
oleh seluruh akal serta fitrah manusia yang masih lurus. Sebagaimana Allah Shubhanahu wa ta’alla tegaskan didalam
firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ
يُؤۡفَكُونَ ٨٧ ﴾
[ الزخرف: 87 ]
"Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab:
"Allah", Maka Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah
Allah)?". (QS az-Zukhruf: 87).
Kedua:
Mengesakan Allah azza wa jalla dalam peribadatan. Dan barometernya dalam
masalah tauhid ini ialah merealisasikan makna laa ilaha ilallah, yaitu
yang tersusun dalam kalimat ini dua hal yaitu menafikan dan menetapkan.
Dan
makna menafikan ialah menghilangkan seluruh jenis peribadatan kepada selain
Allah Shubhanahu wa ta’alla pada semua jenis ibadah yang ada.
Adapun makna menetapkan ialah mengesakan Allah azza wa jalla semata yang berhak
untuk mendapatkan seluruh peribadatan secara ikhlas. Sesuai dengan syari'at
yang telah dijelaskan melalui lisan para rasul -Nya.
Dan
kebanyakan ayat didalam al-Qur'an isinya berkaitan dengan jenis tauhid ini,
yang merupakan faktor terjadinya gesekan antara para Rasul dan umat-umatnya.
Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan didalam firman -Nya:
قال
الله تعالى: ﴿ أَجَعَلَ ٱلۡأٓلِهَةَ إِلَٰها
وَٰحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ عُجَاب ٥ ﴾ [ص: 5 ]
"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan
yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan". (QS Shaad: 5).
Beliau
mengingatkan pada kita bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu diambil melalui
penelitian dari nash al-Qur'an yang mulia. Sehingga itu merupakan hakekat hukum
syar'i yang bersandar pada al-Qur'an bukan perkara baru yang diistilahkan dan
di bikin-bikin oleh segelintir ulama.
Syaikh
Bakar bin Abdillah Abu Zaid menyebutkan, "Pembagian (tauhid) ini melalui
tahap penelitian (yang sangat jeli) dari para ulama-ulama terdahulu dari
kalangan salaf, kemudian beliau mencontohkan semisal Ibnu Hajar dan Ibnu Mandah[30] serta
lainnya. Itu adalah hasil penelitian
secara teliti dari nash-nash syar'i, yang terus berkelanjutan dilakukan oleh
setiap ulama yang pakar pada bidangnya, sebagaimana penelitian yang dilakukan
dalam ilmu nahwu, yang menjadikan pembagian kata menjadi tiga, Isim, Fi'il dan
Huruf. Dan orang Arab tidak meremehkan hal tersebut. Dan ketika pembagian
tersebut ada pada ilmu nahwu dan tidak ada seorangpun yang mencelanya, demikian
pula dari hasil penelitian ini[31].
Berkata
Ustad Abdul Fatah Abu Ghadah[32],
"Adapun pembagian tauhid menjadi seperti apa yang disebutkan oleh
mereka-mereka para Imam, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan muridnya
Ibnu Qoyim, dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab rahimahumullah, menjadi tauhid
Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah, maka pembagian ini adalah pembagian dalam bentuk
istilah yang dikumpulkan oleh para ulama dari apa yang datang dari al-Qur'an
dan Sunah pada tempat yang begitu banyak. Dari bantahan Allah Shubhanahu
wa ta’alla terhadap orang-orang musyrik yang mereka mengimani
dengan adanya tauhid Rububiyah namun tidak mengimani tauhid Uluhiyah. Dan
didalam surat al-Fatihah sendiri yang dibaca oleh jutaan muslim didalam
sholatnya sehari semalam, sebagi bukti akan kebenaran hal itu".[33]
Sehingga
tidaklah dinyatakan telah beriman, tauhid seseorang yang tidak mengimani dengan
adanya macam-macam tauhid yang bersandarkan pada nash-nash syar'i. disebabkan
tauhid yang dituntut secara syar'i ialah mengimani dengan ke Esa- an Allah Shubhanahu wa ta’alla didalam rububiyah
dan uluhiyah -Nya serta Asma dan Shifat -Nya.
Maka siapapun yang tidak menyempurnakan ini semua tidak dikatakan
sebagai orang yang muwahid (yang bertauhid).
Dan
hal ini adalah suatu perkara yang telah ditetapkan melalui penelitian, sedang
penelitian ini adalah argumentasi yang mengantarkan pada sebuah keyakinan
apabila dilakukan secara sempurna. Maka
dari sini kita telah melakukan penelitian secara mendalam terhadap nash-nash
syar'iyah semuanya, dan kami tidak menemukan melainkan tiga macam jenis tauhid
ini serta yang berkaitan dengan ketiganya, yang semakin membuktikan akan
kebenaran pembagian ini, dan pembagian ini membentuk dengan gabungan
seluruhnya, dalam sisi keimanan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla yang kita namakan dengan tauhid[34].
Sehingga
tidak benar tauhidnya seseorang melainkan jika terkumpul ketiga macam jenis
tauhid tadi, yang merupakan satu kesatuan yang memiliki keterkaitan satu sama
lain, yang tidak mungkin hanya mencukupkan satu dengan lainnya. Maka tidak
berguna tauhid rububiyah tanpa dibarengi dengan tauhid uluhiyah, begitu pula
tidak sah dan tidak tegak tauhid uluhiyah tanpa adanya tauhid Rububiyah,
demikian pula mentauhidkan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam masalah rububiyah dan uluhiyah -Nya tidak mungkin menjadi
lurus tanpa disertai mentauhidkan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam masalah Asma dan Shifat -Nya. Sehingga ketika ada
kekurangan dan penyelewengan diantara salah satunya akan menyebabkan
ketimpangan pada semuanya. Dan ma'rifat kepada -Nya tidak mungkin bisa tercapai tanpa
disertai dengan beribadah kepada -Nya, dan ibadah tidak bisa terlaksana tanpa
adanya ma'rifat kepada Allah ta'ala, karena keduanya merupakan dua sejoli, yang
saling memiliki keterkaitan[35].
Syubhat
Tentang Pembagian Tauhid serta Bantahannya
Syubhat
pertama: Mereka menyebutkan, "Sesungguhnya para ulama
berselisih ketika mendefinisikan pembagian tauhid, itu ditandai dengan ungkapan
yang berbeda-beda diantara mereka[36] ada yang
menyebutkan tauhid hanya terbagi menjadi dua; Tauhid dalam Ma'rifat dan
penetapan, yang kedua, Tauhid dalam tuntutan dan tujuan.
Diantaranya
ada yang menyebutkan tauhid terbagi menjadi dua, yaitu, Tauhid ilmu yang
berkaitan dengan kabar, dan Tauhid iradah yang dituntut untuk dikerjakan[37]. Ada lagi yang menyebutkan tauhid menjadi dua,
yaitu Tauhid Qauli (Ucapan) dan Tauhid Amali (perbuatan)[38]. Ada juga
yang membagi dua menjadi, Tauhid Sayadah (Kekuasaan) dan Tauhid Ibadah
(peribadatan)[39].
Dan
sebagian ulama ada yang menyebutkan tauhid terbagi menjadi tiga, sebagaimana
telah lewat penjelasannya, kalau seandainya penelitian dan pengamatan yang anda
lakukan itu benar niscaya tidak mungkin ada pertentangan disana.
Bantahan
atas syubhat tersebut: Sesungguhnya perbedaan cara
mengungkapkan tentang macam-macam tauhid tidak menunjukan adanya kontradiksi
disana, namun, kesemuanya bersepakat secara garis besarnya. Misal, tauhid ilmu
dan khabari, dan tauhid ma'rifat dan isbat, dan tauhid qauli,
begitu juga tauhid sayadah, seluruhnya bersatu pada makna tauhid Asma
dan Shifat dan tauhid Rububiyah.
Sedangkan
tauhid qasd (Tujuan) dan thalab (tuntutan), dan tauhid iradah
thalabi dan tauhid ilmi dan tauhid Ibadah semuanya bersatu
pada makna tauhid uluhiyah.
Syubhat
kedua: Sesungguhnya sebagian ulama, mereka tidak menyebut tauhid
melainkan hanya dua macam; Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah.
Dan
sebagian menambah pembagian tauhid lalu mereka menjadikan menjadi tiga, dengan
menambahkan Tauhid Asma wa Shifat. Bukankah ini membuktikan tidak adanya
penelitian secara mendalam dan sempurna?
Bantahan;
Pembagian tauhid menjadi dua, dan ini biasanya seringkali diucapkan oleh para
ulama terdahulu, disebabkan mereka menggabungkan antara tauhid rububiyah dengan
tauhid asma wa shifat. Hal tersebut karena mereka melihat bahwa keduanya
memiliki kemiripan secara garis besar terhadap sisi ilmu kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dan pengetahuan
tentang -Nya, sehingga mereka menggabungkan keduanya menjadi satu, adapun
tauhid uluhiyah maka itu menggambarkan pada sisi pengamalan hamba untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla. Sehingga
pembagian tauhid menjadi tiga macam kembali pada istilah pengungkapan yang
berkaitan dengan tauhidnya, sedangkan pembagian tauhid menjadi dua maka kembali
pada istilah pengungkapan yang wajib dikerjakan oleh orang yang bertauhid[40].
Syubhat
ketiga: Penelitian ini tidak sempurna, sebab disana ada
sebagian ulama yang menambah tauhid yang keempat, yaitu Tauhid Itiba'
atau Tauhdi Hakimiyyah (artinya berhukum kepada al-Qur'an dan Sunah)[41].
Bantahannya:
Bila dicermati secara seksama dari penyebutan pembagian tauhid ini, maka pada
hakekatnya jenis tauhid ini masuk dalam kandungan tauhid Uluhiyah, sebab ibadah
tidak mungkin diterima melainkan bila terpenuhi dua syarat yakni ikhlas dan
itiba' mengikuti Rasulallah Shalallahu
'alaihi wa sallam. Sebagaimana disinggung oleh Allah tabaraka wa ta'ala
didalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلا صَٰلِحا
وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا ١١٠﴾ [ الكهف: 110 ]
"Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya". (QS al-Kahfi:
110).
Dan ini apabila amalan terpaku pada sisi mencontoh
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam saja, adapun apabila menyakini bolehnya membikin syari'at selain
Allah azza wa jalla, seperti halnya yang membolehkan untuk membuat hukum-hukum
buatan manusia, lalu menggantikan posisi hukum-hukum syar'i yang suci, atau
dirinya mencoba menyamakan dan memutuskan dengan hukum tersebut maka pada saat
itu dirinya telah menafikan tauhid Rububiyah. Sebab membuat hukum syari'at
termasuk dari perkara Rububiyah, sehingga berhukum dengan selain dari al-Qur'an
dan Sunah, dan mematuhi selain dari keduanya, maka sama saja pelakunya sedang
menafikan tauhid Uluhiyah.
Dan tatkala menyakini bolehnya berhukum dengan hukum
buatan tersebut atau menempatkan pada posisi hukum syari'at yang Allah Shubhanahu wa ta’alla buat atau hukum syari'at sama seperti hukum buatan
manusia, sehingga ada pilihan baginya boleh menggunakannya, atau menempatkan
sama posisinya dengan syari'at -Nya maka itu semua menafikan tauhid Rububiyah[42].
Sebagian ulama yang mencoba untuk menggabungkan
tambahan tauhid semacam ini menyebutkan, 'Barangkali maksud (mereka) menjadikan
Itiba' dan Hakimiyyah menjadi bagian tauhid secara tersendiri, hanyalah ingin
menjelaskan akan urgennya dan pentingnya masalah ini, dengan melihat banyaknya
manusia yang berpaling darinya. Wallahu a'lam".[43]
Akan tetapi, yang nampak jelas -wallahu a'lam-
bahwa tambahan tauhid Hakimiyyah –walaupun hanya ingin menampakkan pentingnya
sisi ini- maka didalamnya mengandung beberapa kerancuan. Sebab akan membuka
pintu bid'ah dalam masalah aqidah dan dalam manhaj salafi yang bersih.
Misalkan, salah seorang diantara mereka datang lalu memberi tambahan pada
tauhid Khaliqiyah (yang mencipta) dan tauhid Razqiyyah (pemberi
rizki) dan tauhid Itiba' dan seterusnya[44]. Dari bagian-bagian tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah.
Adapun, jika yang dimaksud dalam penambahan yang
mereka namakan dengan tauhid Hakimiyyah ini, bahwa salaf ketika mereka
menyebutkan bagian-bagian tauhid tersebut, mereka lupa pada sebagian sisi
tauhid, maka sungguh mereka telah tergelincir dalam kesalahan yang buruk dan
nyata. Bahkan bisa menyebabkan pelakunya kehilangan hakekat ilmu dalam memahami
dan menggambarkan ucapan-ucapan para salaf serta pendapat mereka.
Demikian pula kalau seandainya yang mereka inginkan
dengan penyataannya tersebut untuk menjelaskan bahwa urusan terpenting yang
dimiliki oleh para Rasul hanyalah tauhid Hakimiyyah saja, maka mengharuskan
dari ucapannya itu persangkaan buruk terhadap dakwahnya para Rasul yang tidak
mampu menegakkan secuilpun negeri Islam, tidak pula mampu menegakkan hukum
syar'i didalamnya. Sehingga pada akhirnya ucapan tersebut tertolak berdasarkan
nash dari al-Qur'an dan Sunah.
Adapun bila yang diinginkan –sebagaimana nampak dari
tulisan-tulisan sebagian penulis kontemporer- bahwasannya kalau seandainya
telah tegak hukum Islam dan suatu negeri telah berhasil berhukum dengan
syari'at Islam, maka yang namanya perbuatan bid'ah, khurafat dan perilaku
perbuatan syirik dengan sendirinya akan musnah setelahnya. Kesimpulannya
pendapat ini merupakan buah dari rusaknya pemikiran pencetusnya dan tidak
pahamnya dia tentang manhaj dakwah para Nabi dan Rasul serta manhajnya para pendahulu
kita dari kalangan para ulama salaf dalam masalah berdakwah kepada Allah azza
wa jalla[45].
Adanya negeri Islam yang menerapkan syari'at Islam,
maka padanya memiliki peranan penting didalam memberantas kemungkaran dan
praktek-praktek kesyirikan -sebagaimana yang bisa kita lihat bersama pada
negeri Saudi yang berbarokah ini, yang di dirikan dengan pijakan Tauhid dan
memberangus kesyirikan-, akan tetapi, hanya sekedar menegakkan negeri Islam
lalu tidak ada usaha untuk meluruskan
aqidah orang banyak, sebagai bukti nyata yang terbaik akan hal ini, sebagaimana
kita saksikan bahwa disana ada sebagian negeri pada zaman kita sekarang ini
yang merasa bangga bahwa negerinya telah mampu menegakkan negeri Islam, namun,
aqidah yang dimiliki oleh masyarakat negeri tersebut aqidah paganisme yang
penuh dengan hal-hal khurafat dan perdukunan. Hal itu terjadi karena mereka
menyelisihi petunjuk para Nabi dan Rasul didalam berdakwah kepada Allah azza wa
jalla.
Para Nabi seperti kita ketahui mereka memulai
dakwahnya kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla dengan mengajak kaumnya untuk
mengikhlaskan ibadah kepada –Nya dan memerangi kesyirikan –sebagaimana
diketahui oleh orang yang pernah mencium bau ilmu tentang metode dakwah yang di
lakukan oleh para Nabi dalam mengajak orang kepada Allah-, dan setelah selesai
meluruskan aqidah umat manusia baru mereka menerapkan syari'at Allah Shubhanahu wa ta’alla dan memutuskan dengan hukum -Nya tatkala menjumpai ada
yang menyelisihinya.
Dan bukan berarti bahwa kami meremehkan tentang
pentingnya untuk mendirikan negeri Islam atau menerapkan syari'at Islam disuatu
negeri. Maka perkara tersebut sangat urgen, sebab tidak mungkin bisa memutuskan
hukum pada kebanyakan perbuatan bid'ah dan kesyirikan yang nampak melainkan
dengan adanya kekuasaan. Dan ini jelas, alhamdulillah. Akan tetapi, menghukumi
perbuatan syirik yang ada pada dada-dada manusia tidaklah mungkin bisa
terleasisasi melainkan dengan memulai dakwah kepada tauhid Rububiyah dan
Uluhiyah untuk pertama kalinya dan memerangi perkara-perkara yang menyelisihi
keduanya.
Sisi Kedua Dari Sisi Pembagian Tauhid
Munculnya pembagian ini dalam beberapa ungkapan salaf
baik secara gamblang ataupun isyarat dan implisit, maka pada paragraf berikut
ini akan kami nukil ucapan-ucapan mereka yang menunjukan pada peneguhan
pembagian tauhid menjadi dua, dengan urutan sebagai berikut:
1.
Sahabat Ibnu Abas radhiyallahu 'anhuma. Dimana beliau menjelaskan
tatkala menafsirkan firman Allah ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَا يُؤۡمِنُ أَكۡثَرُهُم
بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشۡرِكُونَ ١٠٦ ﴾
[
يوسف: 106 ]
"Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada
Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan
lain)". (QS Yusuf: 106).
Beliau menyebutkan, "Termasuk keimanan mereka
apabila dikatakan padanya, siapa yang menciptakan langit, siapa yang
menciptakan bumi, siapa yang menciptakan gunung? Mereka pasti akan menjawab,
'Allah'. Sedangkan mereka tetap mempersekutukan –Nya dengan ilah-ilah yang
lain".[46]
Beliau juga menjelaskan
ketika menafsirkan ayat yang sama, "Dan bila mereka ditanya, siapa yang
menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka benar-benar akan menyebutkan,
'Allah'. dan jika mereka ditanya siapa yang menciptakan mereka, niscaya mereka
menjawab, Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Sedang mereka dengan keyakinannya tersebut dalam keadaan mempersekutukan -Nya,
menyembah selain Allah Shubhanahu wa
ta’alla, dan sujud terhadap tandingan-tandingan yang mereka ambil selain
Allah".[47]
2.
Seorang Tabi'in yang bernama Mujahid, beliau menjelaskan ketika
menafsirkan firman Allah diatas tadi, "Keimanan mereka ialah tatkala
mereka menyebutkan, 'Allah Shubhanahu
wa ta’alla adalah yang menciptakan kami,
memberi rizki pada kami, mematikan kita'. Dan keimanan ini yang disertai dengan
kesyirikan yaitu manakala mereka beribadah kepada selain -Nya".[48]
Dalam
kesempatan lain beliau menerangkan, "Tidak ada seorangpun melainkan pasti
dirinya mengetahui bahwa Allah Shubhanahu
wa ta’alla adalah penciptanya, dan yang
menciptakan langit dan bumi. Inilah keimanannya mereka, namun, bersamaan dengan
itu mereka mengingkari pada yang lainnya".[49]
3.
Imam Qatadah[50], tatkala beliau berkata menafsirkan firman Allah Shubhanahu wa ta’alla diatas, "Mereka mempersekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla didalam keimanannya ini. Sesungguhnya jika seandainya
engkau bertemu dengan salah seorang diantara mereka kecuali pasti mereka akan
menyebutkan padamu bahwa Allah Shubhanahu
wa ta’alla lah Rabbnya, yang menciptakan
dirinya serta memberinya rizki, namun, bersamaan dengan itu dia mempersekutukan
Allah Shubhanahu
wa ta’alla didalam peribadatan
-Nya".[51]
4.
Imam ahli tafsir lainnya yang bernama Atha[52], menyebutkan tatkala menafsirkan ayat tersebut diatas, "Mereka
mengetahui. secara pasti bahwa Allah Shubhanahu
wa ta’alla adalah rabb mereka, Sedangkan
mereka tetap mempersekutukan -Nya setelah itu".[53]
Dalam teks yang lain, beliau
menyebutkan, "Mereka mengetahui bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah pencipta mereka, pemberi rizki mereka,
namun, dengan itu mereka mempersekutukan -Nya dengan yang lain".[54]
5.
Sa'id bin Jubair[55]
menjelaskan tatkala menafsirkan makna ayat diatas, "Diantara bentuk
keimanan mereka apabila dikatakan padanya, siapa yang menciptakan langit, siapa
yang menciptakan bumi, siapa yang menciptakan gunung? Mereka serempak akan
menjawab, Allah. namun, dengan itu mereka mempersekutukan -Nya".[56]
6.
Seorang
ulama tafsir lainnya, Ikrimah[57]
menjelaskan ketika menafsirkan ayat tadi, "Tanyalah mereka siapa yang
menciptakan dirinya, siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka
akan menjawab, Allah, itulah keimanannya mereka kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, akan tetapi,
mereka beribadah kepada selain -Nya".[58]
Dalam
redaksi lain, beliau menyebutkan, "Diantara bentuk keimanan mereka ialah
apabila mereka ditanya, siapakah yang menciptakan langit? Mereka menjawab,
Allah. dan jika mereka ditanya, siapa yang menciptakan kalian? Mereka akan
menjawab, Allah. kemudian setelahnya mereka
mempersekutukan -Nya".[59]
7.
Amir
asy-Sya'bi[60]
menjelaskan, "Mereka mengetahui bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah Rabb mereka, yang menciptakan mereka,
dan mereka mempersekutukan dengan yang lainnya".
Dalam teks lain, beliau juga
menyebutkan, "Tidak ada seorangpun melainkan dirinya mengetahui bahwa
Allah Shubhanahu wa ta’alla penciptanya,
dan pencipta langit dan bumi. Dan inilah bentuk keimanan mereka, kemudian
mereka mengingkari hak Allah yang lainnya".[61]
8.
Adapun Ibnu
Zaid beliau menyebutkan, "Tidak ada seorangpun yang menyembah sesembahan
bersama Allah Shubhanahu wa ta’alla melainkan
dirinya beriman kepada –Nya, mengetahui bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabbnya, bahwa –Dia lah yang menciptakannya, memberinya
rizki, namun, dengan keberadaanya diawal tadi dirinya sedang mempersekutukan
Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan
yang lain. Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Ibrahim berkata, seperti
dinukil oleh Allah dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ قَالَ أَفَرَءَيۡتُم مَّا كُنتُمۡ تَعۡبُدُونَ ٧٥ أَنتُمۡ وَءَابَآؤُكُمُ
ٱلۡأَقۡدَمُونَ ٧٦﴾ [ الشعراء: 75-76 ]
"Ibrahim berkata:
"Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu
dan nenek moyang kamu yang dahulu?". (QS
asy-Syu'araa': 75-76).
Nabi Ibrahim mengetahui bahwa mereka
beribadah kepada Rabb semesta alam bersamaan dengan peribadatan pada yang lain
-Nya. Beliau menandaskan, "Tidak ada seorangpun yang menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla melainkan dirinya
beriman pada -Nya, tidakkah engkau melihat bagaimana orang-orang Arab dahulu
mengucapkan talbiyah dalam hajinya, 'Aku penuhi panggilan -Mu, aku penuhi
panggilan -Mu, aku penuhi panggilan -Mu, tidak ada sekutu bagi -Mu, melainkan
sekutu yang Engkau miliki, Engkau menguasainya dan apa yang ada padanya".
Orang-orang musyrik mereka biasa mengucapkan ucapan ini".[62]
Bisa
dipahami dari ucapan-ucapan mereka tadi, bahwa para ulama dari imam-imam Salaf
mereka mendefinisikan dua macam tauhid, dimana mereka menyebutkan didalam
tafsir ayat tersebut diatas bahwa orang-orang musyrik mereka mengakui dengan
salah satu jenis tauhid. Yaitu tauhid Rububiyah atau dalam istilah yang mereka
gunakan mentauhidkan Allah Shubhanahu wa
ta’alla bahwa -Dia adalah Rabb yang
menciptakan, yang memberinya rizki, yang menghidupkan serta yang mematikan.
Akan tetapi, pengakuan mereka terhadap jenis tauhid ini belum cukup memasukan
mereka ke dalam tauhid yang diinginkan, tidak pula memasukan mereka dalam
barisan orang-orang yang beriman. Dimana pada
kenyataanya Allah Shubhanahu wa
ta’alla menamai mereka dengan stempel kesyirikan, kemudian Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam juga
memerangi mereka akan hal tersebut. Maka ini menunjukan bahwasannya mereka
belum mendatangi apa yang telah diperintahkan Allah Shubhanahu wa ta’alla terhadap mereka. Dan pemisahan ini merupakan
masalah yang menjadi kesepakatan dikalangan ulama Salaf.
Jenis-jenis
tauhid ini merupakan perkara yang telah dikenal dengan baik oleh para ulama
salaf, hingga orang Arab, mereka mengetahui tentang tauhid ini dengan tabiat
yang mereka miliki, sehingga mereka tidak menuntut untuk di jelaskan lebih
rinci tentang pembagian tauhid ini dengan batasan tertentu, bahkan setiap orang
mengetahui tauhid, dan dirinya tahu pembagiannya, kandungan serta
penyempurnanya. Oleh karena itu, mereka menyelisihi Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan
memerangi beliau dengan kebencian yang dalam.
Kalau
seandainya tauhid itu hanya sekedar mengetahui bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah Rabb kita dan pencipta kita, tentu
tidak mungkin terjadi pertentangan antara para Rasul dan umatnya. Sebab mereka
semua mengakui dengan tauhid seperti ini. Akan tetapi, pertentangan yang
terjadi diantara mereka dan Rasulnya pada bagian terakhir yang merupakan
keharusan dari jenis tauhid ini yaitu beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata tanpa
menyekutukan -Nya, oleh karena itu orang Arab menyebutkan dalam bentuk
pengingkaran, seperti dinukil oleh Allah dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ أَجَعَلَ ٱلۡأٓلِهَةَ إِلَٰها وَٰحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ عُجَاب
٥﴾
[
ص: 5 ]
"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan
yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan". (QS Shaad: 5).
Artinya
apakah engkau akan menjadikan sesembahan yang banyak ini menjadi satu saja?
Maka
pertarungan yang terjadi antara mereka dan para Rasul serta para pengikutnya,
hanyalah terjadi karena faktor tauhid Ibadah yaitu mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam ibadah.
Sebab orang Arab mengetahui hal tersebut melalui lisan mereka yang fasih dan
penguasaan mereka terhadap bahasa serta tabiat yang masih murni. Oleh karenanya
mereka enggan untuk mengucapkan kalimat laa ilaha ilallah, karena
sesungguhnya mereka tahu kalau makna kalimat tersebut ialah mengikhlaskan
ibadah untuk Sang pencipta yang telah kita akui bersama keberadaanya.
Sehingga
engkau akan jumpai para salaf dari kalangan Sahabat mereka tidak merinci
penjelasan tentang pembagian tauhid ini, bukan karena mereka tidak paham, akan
tetapi, karena perkaranya sudah di ketahui oleh seluruh muslim, hingga
orang-orang non Arab masuk Islam, baru kemudian mereka merusak bahasa yang
dikuasai oleh orang Arab asli, sehingga mereka menjadi tidak lagi paham
terhadap bahasanya, tidak pula kandungannya baik secara lafadh maupun
balaghahnya.
Maka
tatkala sebagian ulama Salaf melihat tergerusnya pemahaman syar'iyah, mulai
dari lafadh-lafadh serta nash-nash syar'iyah, maka mereka berusaha untuk
menjaga pemahaman-pemahaman shahih ini sesuai dengan apa yang di ketahui oleh
orang Arab pada zamannya Rasulallah Shalallahu
'alaihi wa sallam dan sebelum terkontaminasinya bahasa mereka bersama orang
non Arab, lalu mereka memperbaiki dan meletakan di dalam buku-buku mereka, dan
mereka rekam hal tersebut dalam tulisan-tulisan mereka hingga istilah-istilah
syar'i tetap terjaga dengan benar.
Atas
pijakan inilah akhirnya mereka membagi atau dengan ungkapan yang lebih dalam
menampakkan pembagian tauhid kepada khalayak umat agar mereka tidak terperdaya
dan tidak lupa terhadap kandungan dan tanda-tanda syari'at dengan berlalunya
zaman. Maka anda akan lihat hal tersebut secara jelas dalam ucapan-ucapan
mereka para Imam yang menulis buku-buku Aqidah ataupun Syari'at. Sebagaimana
akan kami jelaskan dalam paragraf berikut ini:
1.
Berkata
Imam Abu Hanifah[63]
rahimahullah didalam bukunya yang dinisbatkan pada beliau al-Fiqhul Abshat,
"Dan Allah Shubhanahu wa ta’alla
mengajak dari arah atas bukan dari arah bawah, sebab arah bawah tidak termasuk
dari sifat Rububiyah dan Uluhiyah sedikitpun".[64]
Ucapan beliau, "Dan
Allah Shubhanahu wa ta’alla mengajak
dari arah atas bukan dari arah bawah". Didalam ucapannya beliau ini
menunjukan penetapan pada ketinggian Allah azza wa jalla, dan itu adalah tauhid
Shifat. Adapun ucapanya beliau, "tidak termasuk dari sifat
Rububiyah". Disini beliau menetapkan tentang Tauhid Rububiyah. Dan ucapan
beliau yang terakhir, " Dan Uluhiyah". Maka disini beliau sedang
menetapkan adanya Tauhid Uluhiyah.
2.
Berkata
Imam Abu Yusuf[65]
rahimahullah, "Tauhid di tetapkan melalui Qiyas, tidakkah engkau mendengar
pada firman Allah azza wa jalla didalam banyak ayat yang Allah Shubhanahu wa ta’alla mensifati diri
-Nya, bahwasannya Allah Shubhanahu wa
ta’alla adalah Maha mengetahui, Maha mampu, Maha kuat, dan Maha kuasa. Allah Shubhanahu
wa ta’alla tidak menyebutkan, "Sesungguhnya Aku mampu lagi mengetahui,
kalau ada alasan seperti ini baru aku mampu, bila ada sebab ini saya baru tahu,
dengan makna ini saya menguasai.
Oleh karena itu tidak boleh
menganalogikan dalam bab Tauhid, dan Allah Shubhanahu
wa ta’alla tidak diketahui melainkan dengan nama-nama -Nya dan tidak di
sifati melainkan dengan sifat-sifat -Nya.
Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak menyebutkan, 'Lihatlah bagaimana Aku
mengetahui, dan bagaimana aku mampu, dan bagaimana aku menciptakan, akan tetapi
Allah Shubhanahu wa ta’alla
menyebutkan, 'Lihatlah bagaimana aku
menciptakan, kemudian Allah menyebutkan:
"Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu". (QS an-Nahl: 70).
Dan dalam ayat lain Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan:
قال الله تعالى: ﴿ وَفِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ ٢١ ﴾ [ الذريات: 21]
"Dan (juga) pada
dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS adz-Dzariyaat: 21).
Yakni engkau tahu bahwa semua
yang ada disekelilingmu mempunyai Rabb, yang membolak-balik keadaannya,
menciptakan dengan penuh keajaiban, serta mengembalikan seperti semula.
Sedangkan dirimu bagian dari alam tersebut dan engkau adalah salah satunya.
Dan
Allah Shubhanahu
wa ta’alla menunjukan ciptaan -Nya kepada makhluk yang dicipta -Nya,
agar mereka menyadari bahwa mereka hakekatnya mempunyai Rabb yang wajib untuk
di sembah, di taati, dan di esakan. Supaya mereka mengetahui bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla yang menggabungkan bagian dan partikel alam ini
menjadi satu bukan mereka sendiri yang menjadikan itu semua…oleh karenanya
ketahuilah Allah Shubhanahu
wa ta’alla dengan ayat-ayat -Nya, dengan
tanda-tanda ciptaan -Nya, dan sifatilah Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan sifat-sifat yang mulia, dan namakanlah Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan nama-nama sebagaimana Allah Shubhanahu wa ta’alla mensifati diri -Nya didalam kitab -Nya dan apa yang
telah disampaikan oleh Rasul kepada umatnya.
Hingga
ucapan beliau yang menyebutkan, "Sesungguhnya Allah azza wa jalla yang
menciptakan dirimu lalu menjadikan padamu panca indera dan anggota tubuh,
kemudian pada akhirnya anggota badanmu akan melemah satu persatu, dan Allah Shubhanahu wa ta’alla membawamu dari satu kondisi pada kondisi yang lain
agar sekiranya engkau menyadari bahwa dirimu mempunyai Rabb, dan Allah Shubhanahu wa ta’alla juga menjadikan pada dirimu hujah yang bisa engkau
gunakan untuk mengetahui penciptamu, setelah itu Allah Shubhanahu wa ta’alla mensifati diri -Nya sendiri dengan menyebutkan,
"Aku adalah Rabb, Aku adalah Maha penyayang, Aku lah Allah Shubhanahu wa ta’alla, Aku Maha mampu, Aku Maha menguasai seluruh
makhluk". Allah ta'ala telah mensifati dirinya sendiri dan memberinya nama
untuk dirinya sendiri.
Dan
sungguh Allah Shubhanahu
wa ta’alla telah memerintahkan pada kita
supaya kita mengesakan -Nya, dan keberadaan tauhid tidak bisa dilakukan dengan
cara analogi, sebab yang namanya analogi hanya berlaku pada sesuatu yang
memiliki kesamaan dan keserupaan. Sedangkan Allah azza wa jalla, Maha suci
Dirinya dari permisalan dan keserupaan.
Begitu
pula Allah Shubhanahu wa ta’alla telah
menyuruhmu agar selalu mengikuti -Nya, mendengar -Nya, dan mentaati -Nya, dan
jika seandainya umat manusia ini diberi keleluasaan untuk mencari hakekat
tauhid dan mencari kebenaran iman melalui akal, analogi, dan menurut metodenya
sendiri niscaya mereka akan tersesat. Tidakkah engkau mendengar firman Allah
azza wa jalla yang menyebutkan, seperti didalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ
وَمَن فِيهِنَّۚ٧١﴾ [ المؤمنون: 71 ]
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya". (QS al-Mukminuun: 71).
Beliau menegaskan,
"Maka pahamilah baik-baik penafsiran Allah Shubhanahu wa ta’alla
dalam ayat ini"[66]. Ini
adalah ucapan yang sangat berharga dari beliau, Abu Yusuf didalam bab Tauhid
yang nampak jelas didalam masalah Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiiyah serta
Tauhid Asma dan Shifat.
3.
Imam Ibnu
Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata tatkala menjelaskan tafsir firman Allah
tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَا يُؤۡمِنُ أَكۡثَرُهُم
بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشۡرِكُونَ ١٠٦ ﴾ [يوسف: 106 ]
"Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada
Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan
lain)". (QS Yusuf: 106).
Beliau menegaskan, "Dan Allah ta'ala menyebutkan,
-Dan betapa banyak dikalangan mereka yang tidak membacanya-, yaitu orang-orang
yang mensifati Allah azza wa jalla dengan sifat-sifat mereka, dengan firman
-Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَكَأَيِّن مِّنۡ ءَايَة فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ يَمُرُّونَ عَلَيۡهَا وَهُمۡ عَنۡهَا مُعۡرِضُونَ
١٠٥ ﴾ [ يوسف: 105 ]
"Dan
banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka
melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya". (QS Yusuf: 105).
Demi
Allah, bahwasannya Allah Shubhanahu wa
ta’alla adalah penciptanya, pemberi rizki baginya, pencipta segala sesuatu,
namun, dengan keyakinannya tersebut mereka mempersekutukan -Nya didalam
peribadatan bersama patung dan berhala, dan menjadikan tandingan-tandingan
selain Allah Shubhanahu wa ta’alla.
dengan persangkaan mereka bahwa Allah memiliki anak, Maha Tinggi Allah dari apa
yang mereka katakan".[67]
Nampak
jelas dari ucapannya Ibnu Jarir, bahwa beliau ingin menegaskan didalam
perealisasian iman dan tauhid hendaknya seseorang itu mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam ibadah dan
uluhiyah sebagaimana beliau juga menjelaskan tentang Rububiyah Allah Shubhanahu wa ta’alla, dan penciptaan
Allah Shubhanahu wa ta’alla, serta
pemberian rizki dari -Nya, jika dirinya tidak melakukan hal tersebut maka
dirinya masih tergolong musyrik dan terhitung perbuatannya perbuatan syirik
yang merupakan lawan dari tauhid.
Dan
hal ini, tidak mungkin bisa terlealisasi melainkan dengan menetapkan pembagian
tauhid menjadi tauhid Ma'rifah dan Isbat dengan macamnya, dan tauhid Asma dan
Shifat, serta tauhid Thalab dan Qashd.
4.
Imam Abu
Ja'far ath-Thahawi[68]
menyebutkan didalam muqodimah matannya dalam aqidah yang mashur dengan sebutan
Aqidah Thahawiyah, "Kami nyatakan dalam mentauhidkan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dengan keyakinan yang kami pegangi dengan taufik dari
Allah Shubhanahu wa ta’alla, sesungguhnya Allah Shubhanahu
wa ta’alla itu esa tidak ada sekutu bagi -Nya, dan tidak ada
sesuatupun yang membuatnya tidak mampu, serta tidak ada Ilah yang berhak
disembah melainkan diri -Nya"[69].
Tidak diragukan lagi bahwa
didalam ucapan beliau diatas tadi ada penjelasan yang gamblang pada pembagian
tauhid menjadi tiga.
5.
Imam Ibnu
Bathah al-Ukburi[70]
menjelaskan, "Yang demikian itu, karena pokok keimanan kepada Allah azza
wa jalla yang wajib di imani oleh setiap makhluk didalam menetapkan keimanan
pada -Nya ada tiga pokok:
I.
Seorang
hamba menyakini Rububiyah -Nya supaya dirinya bisa membedakan dengan madzhab
ahli Ta'thil yang tidak menetapkan adanya pencipta.
II.
Meyakini ke
esaan Allah Shubhanahu wa ta’alla supaya dirinya bisa membedakan
dengan ahli syirik yang menetapkan adanya pencipta namun mereka mempersekutukan
bersama yang lain manakala beribadah.
III.
Meyakini
sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla,
dengan sifat-sifat yang tidak boleh melainkan dengan sifat yang telah
disandarkan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla dengan -Nya didalam kitab -Nya seperti ilmu, kemampuan, hikmah dan
seluruh sifat-sifat yang telah Allah Shubhanahu
wa ta’alla tetapkan untuk diri -Nya sendiri.
Sebab kita telah mengetahui bahwa kebanyakan orang
yang telah menetapkan hal tersebut, yakni mentauhidkan Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan ucapan yang
bebas tanpa mengikat makna, pada kenyataannya dia telah menyimpang didalam
mensifati -Nya, sehingga penyimpangannya didalam mensifati Allah Shubhanahu wa ta’alla menjadi cela pada
tauhid yang diyakininya. Karena kita dapati bahwa Allah ta'ala telah mengajak
bicara pada hamba -Nya dengan ajakan pada mereka untuk menyakini setiap hal
dari tiga macam ini dan mengimaninya".[71]
Apakah ada yang lebih
gamblang lagi dari ucapan beliau didalam
pembagian tauhid sehingga perlu penjelasan kembali, dan Ibnu Bathah termasuk
ulama Salaf yang mashur dan termasuk dari ulama generasi pertama.
6.
Al-Hafidh
Ibnu Mandah, beliau menulis sebuah kitab yang berjudul 'Kitabut Tauhid wa
Ma'rifatu Asma'illah azza wa jalla wa Shifatihi 'alal Itifaq wat Tafarud'
(Kitab Tauhid dan pengetahuan nama-nama dan sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla bila digabungkan
dan bila sendirian). Beliau menyebut didalamnya pembagian tauhid lalu
memaparkan argumentasinya didalam kitab tersebut dari al-Qur'an dan Sunah
dengan penjabaran yang luas dan rinci yang sudah mencukupi untuk itu semua.[72]
7.
Syaikhul
Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah al-Harrani. Sangat beragam ungkapan
Syaikhul Islam didalam bab ini diantaranya sebagai misal, beliau menyebutkan:
a. Tauhid yang Allah Shubhanahu
wa ta’alla mengutus bersama Rasul -Nya ada dua, ucapan dan perbuatan.
Adapun tauhid Qauli (ucapan), semisal yang terkandung dalam surat al-Ikhlas,
Allah Shubhanahu wa ta’alla
menyebutkan dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ
١ ﴾ [ الإخلاص:1 ]
"Katakanlah:
"Dia -lah Allah". (QS al-ikhlas: 1).
Sedangkan tauhid al-Amali
yaitu dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ
١ ﴾ [ الكافرون:
1 ]
"Katakanlah: "Hai orang-orang
kafir". (QS al-Kafiruun: 1).
Oleh karena itu Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam biasa
membaca dua surat ini pada dua rakaat sebelum shubuh, dua rakaat seusai thowaf
dan lainnya.[73]
b. Beliau menyebutkan tatkala
menjelaskan sabda Nabi Muhammad Shalallahu
'alaihi wa sallam:"Dan tidak berguna kekayaan dan kemulian bagi
pemiliknya, hanya dari -Mu kekayaan dan kemulian".[74]
Maknanya
bahwa orang yang memiliki kekayaan tidak berguna kekayaannya yakni tidak akan
sanggup menyelamatkan, tidak pula menolongnya, sebab yang akan menyelamatkan
dirinya hanyalah amal sholeh. Dan
yang dimaksud dengan al-Jadu adalah kekayaan, dan yang terbesar dalam hal ini
ialah harta. Dari hadits yang mulia ini tersirat dua pondasi yang agung yaitu:
Pertama: Tauhid Rububiyah, yaitu yang terkumpul dalam
sabdanya, 'Tidak ada yang sanggup memberi dari sesuatu yang Allah Shubhanahu wa ta’alla cegah, dan tidak ada yang sanggup mencegah apa yang
–Dia beri, dan tidak boleh bertawakal kecuali kepada -Nya, begitu pula tidak
boleh meminta melainkan kepada -Nya.
Kedua: Tauhid Ilahiyyah. Yaitu penjelasan apa yang
bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat. Bahwa tidak semua orang yang diberi
harta, agama, kekuasaan, hal tersebut bisa bermanfaat baginya disisi Allah Shubhanahu wa ta’alla yang akan menyelamatkan dirinya dari adzab
–Nya.
Dan
tauhid Uluhiyyah ialah menyembah Allah Shubhanahu wa ta’alla dan tidak menjadikan sekutu bersama -Nya, mentaati -Nya, dan mentaati
Rasul -Nya, mengerjakan apa yang dicintai dan di ridhoi oleh -Nya.
Adapun Tauhid Rububiyah masuk dalam hal ini, apa yang ditentukan dan di
takdirkan oleh Allah Shubhanahu
wa ta’alla, walaupun
bukan termasuk yang diperintahkan, diwajibkan ataupun di ridhoi oleh -Nya. Dan
seorang hamba diperintah untuk beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, mengerjakan apa yang diperintah oleh -Nya,
yaitu mengesakan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam
uluhiyah -Nya, dan memohon
pertolongan pada Allah Shubhanahu
wa ta’alla akan hal
tersebut, itulah yang dimaksud mentauhidkan -Nya. Tatkala dirinya mengucapkan:
'Hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu kami meminta pertolongan'.[75]
c.
Beliau juga menjelaskan pada pembicaraan tentang
tauhidnya ahli kalam, 'Sesungguhnya mereka telah keluar dari tauhid dengan
keberadaanya, seperti halnya tauhid ilahiyah, dan penetapan hakekat nama-nama
Allah Shubhanahu
wa ta’alla dan
sifat-sifat -Nya. Mereka tidak menjelaskan dari tauhid melainkan tauhid
Rububiyah, yaitu menetapkan bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah pencipta segala sesuatu. Dan tauhid semacam ini dahulu telah
diakui oleh orang-orang musyrik, yang Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menyebutkan tentang mereka didalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَلَئِن
سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ ٢٥﴾ [لقمان: 25]
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
"Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan
menjawab: "Allah". (QS Luqman: 25).
Adapun tauhid yang Allah ta'ala perintahkan untuk di
imani oleh hamba -Nya ialah tauhid Uluhiyah yang sudah terkandung didalamnya
tauhid Rububiyah, sehingga dengan ini agama semuanya hanya milik Allah[76].
d. Dalam kesempatan lain beliau juga menyebutkan,
"Bukan maksud dengan tauhid itu hanya sekedar mentauhidkan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam Rububiyah, yaitu menyakini bahwa –Dia adalah
Maha Esa di dalam menciptakan alam semesta, sebagaimana di sangka oleh ahli
kalam dan orang-orang tasawuf. Mereka mengira apabila sudah menetapkan hal
tersebut dengan di sertai dalil maka mereka telah sempurna didalam menetapkan
puncak ketauhidan. Mereka juga menyangka apabila sudah bersaksi dan paham akan
hal tersebut maka mereka sudah mencapai puncak tauhid yang sempurna. Hal itu,
dikarenakan seseorang kalau seandainya menetapkan yang menjadi haknya Allah
ta'ala dari sifat-sifat yang dimiliki serta mensucikan dari segala aib dan
cela, serta menetapkan bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla satu-satunya pencipta segala sesuatu, maka dirinya belum dinamakan
telah bertauhid, bahkan, belum dikatakan beriman hingga dirinya bersaksi
bahwasannya tidak ada Ilah yang berhak di sembah melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Dirinya menetapkan bahwasannya –Dia adalah tunggal,
dan -Dia adalah Ilah yang berhak untuk di ibadahi. Sehingga melazimkan dengan
ibadah kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla semata tidak menyekutukan
-Nya"[77].
Beliau
menegaskan kembali, "Maka persaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak di
sembah melainkan Allah Shubhanahu
wa ta’alla terkumpul didalamnya tiga
pondasi yaitu tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah dan tauhid Asma dan Shifat. Dan
ketiga pondasi ini berkisar diatasnya agama para Rasul dan apa yang diturunkan
pada ajaran yang mereka bawa, dan ketiga pondasi ini merupakan pokok yang besar
yang menunjukan padanya serta mempersaksikan denganya akal dan fitrah
manusia"[78].
8.
Imam Ibnu
Qoyim rahimahullah, beliau juga telah menjelaskan masalah ini dalam beberapa
tempat, diantaranya:
a.
Penjelasan
beliau didalam kitab Syarh al-Manazil, beliau menyebutkan, "Pasal yang
terkandung pada surat ini (surat al-Fatihah)
ada tiga macam tauhid yang telah di sepakati oleh semua Rasul.
Tauhid ada dua macam, jenis pertama dalam ilmu dan
keyakinan, yang kedua dalam keinginan dan tujuan. Yang pertama dinamakan dengan
tauhid Ilmi, yang kedua dinamakan tauhid Qashdi dan Iradi. Disebabkan yang
pertama berkaitan erat dengan kabar dan pengetahuan, dan yang kedua berkaitan erat
dengan tujuan dan kehendak.
Dan kedua jenis tauhid ini juga terbagi menjadi kedua,
tauhid dalam Rububiyah dan tauhid dalam Ilahiyah. Maka inilah tiga jenis
tauhid.
Adapun tauhid Ilmu maka berkisar pada penetapan
sifat-sifat yang sempurna dan menafikan tasybih (penyerupaan) dan tamtsil
(permisalan) terhadap Allah, serta mensucikan Allah Shubhanahu wa ta’alla dari cela dan kekurangan"[79].
b.
Dalam
kesempatan lain beliau menjelaskan, "Adapun tauhid yang di serukan oleh
para Rasul dan diturunkan kitab suci oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka dibelakang itu semua, ada dua macam tauhid,
tauhid dalam pengetahuan dan penetapan, dan tauhid dalam tujuan dan harapan.
Yang
pertama, adalah tauhid yang menjelaskan hakekat Dzatnya Allah
Shubhanahu wa ta’alla, dan nama-nama
serta sifat-sifat -Nya, perbuatan -Nya dan keberadaan -Nya yang berada di atas
langit yaitu diatas arsy -Nya. Dan Allah Shubhanahu wa ta’alla
berfirman didalam kitab-kitab -Nya, serta mengajak bicara pada siapa
yang -Dia kehendaki dari kalangan hamba -Nya, dan menetapkan keumuman ketentuan
dan takdir serta hukum -Nya.
Dan dalam hal ini al-Qur'an adalah
perkara yang paling fasih menjelaskan tentang masalah ini dengan bahasa yang
sangat jelas. Sebagaimana diterangkan di awal surat al-Hadid dan surat Thahaa,
akhir surta al-Hasyr, awal surat as-Sajdah, dan surat al-Imraan, surat
al-Ikhlas secara keseluruhan, dan surat-surat lainnya.
Yang kedua:
Semisal yang terkandung di dalam surat al-Kafiruun, demikian pula didalam
firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ
تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ كَلِمَة سَوَآءِۢ
بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمۡ أَلَّا نَعۡبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشۡرِكَ بِهِۦ شَيۡٔا
وَلَا يَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا أَرۡبَابا مِّن دُونِ ٱللَّهِۚ ٦٤ ﴾ [ آل عمران: 64 ]
"Katakanlah: "Hai ahli Kitab, marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". (QS al-Imraan: 64).
Dan didalam awal surat as-Sajdah dan bagian akhirnya,
sebagian surat al-An'aam, dan secara garis besar dalam surat-surat al-Qur'an
lainnya, bahkan setiap surat yang ada didalam al-Qur'an maka terkandung
didalamnya masalah tauhid, sebagai bukti akan kebenarannya serta mengajak pada
perkara tauhid tersebut".[80]
Secara menyeluruh, Imam Ibnu
Qoyim memiliki beberapa ungkapan yang semuanya berkisar tentang pembagian
tauhid menjadi tauhid Ilahiyah, Rububiyah, dan Asma wa Shifat. Semisal ucapan
beliau, bahwa tauhid terbagi menjadi dua:
1.
Tauhid
dalam ilmu dan keyakinan, maka yang dimaksud ialah Tauhid Asma dan Shifat.
2.
Tauhid
dalam kehendak dan tujuan, maka yang dimaksud ialah Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah.
Dalam kesempatan lain beliau menegaskan: Tauhid
terbagi menjadi dua:
1.
Tauhid
dalam pengetahuan dan penetapan, dan tauhid ucapan. Maka yang beliau maksud
ialah Tauhid Rububiyah dan Asma dan Shifat.
2.
Tauhid
dalam permohonan dan tujuan, dan tauhid amal, maka yang beliau maksud ialah
tauhid Uluhiyah[81].
Terkadang beliau juga mengungkapkan, Tauhid terbagi
menjadi dua, Umum dan Khusus[82]. Yang
beliau inginkan dengan tauhid umum adalah Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma dan
Shifat. Dan yang beliau inginkan dengan tauhid khusus ialah Tauhid Uluhiyah.
9.
Al-Allamah
al-Miqrizi, beliau menjelaskan dalam kitabnya Tajridut Tauhid al-Mufid, sebagai
berikut, "Ketahuilah bahwasannya Allah Shubhanahu
wa ta’alla adalah Rabb segala sesuatu, penguasa dan Ilahnya. Maka kalimat
ar-Rabb dari mashdar rabb, yarabbu, rabban, Raabun. Sehingga makna firman Allah
ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
٢ ﴾ [
الفاتحة: 2 ]
"Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam". (QS al-Faatihah: 2).
Maknanya ialah Penguasa
semesta alam. Sebab Rabb adalah penicpta, yang menjadikan manusia menjadi ada,
yang mengurusi dan membimbing urusan mereka, menjamin segala kebutuhan mereka,
dari mencipta, memberi rizki, memberi kesehatan, menjadikan baik agama dan
dunia.
Dan
Ilahiyah artinya ialah keberadaan manusia yang menjadikan Allah azza wa jalla
sebagai Dzat yang ia cintai, dan dia sembah, mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam kecintaan, takut, berharap, inabah, bertaubat,
nadzar, taat, memohon, tawakal dan lain sebagainya yang semisal dengan hal ini.
Hingga
ucapan beliau yang menegaskan, "Dan tauhid ini merupakan kedudukan
orang-orang yang jujur. Tidak diragukan lagi bahwa Tauhid Rububiyah adalah
sesuatu yang tidak pernah di ingkari oleh kaum musyrikin, bahkan mereka
menetapkan bahwasannya Allah azza wa jalla adalah esa yang menciptakan mereka,
yang menciptakan langit dan bumi, yang mengurusi kebutuhan alam semesta
seluruhnya. Akan tetapi, yang di ingkari oleh mereka adalah tauhid Uluhiyah dan
kecintaan sampai akhir perkataan beliau[83].
10. Al-Allamah Ibnu Abul Izzi al-Hanafi[84], beliau
menyebutkan dalam Syarh Aqidah Thahawiyah, "Tauhid yang pertama dan
terakhir yakni Tauhid Ilahiyah. Sesungguhnya tauhid terkandung menjadi tiga
bagian, salah satunya, masalah sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla, kedua, tauhid Rububiyah, serta penjelasan
bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla
dalah Dzat tunggal yang mencipta segala sesuatu, ketiga, tauhid Uluhiyah, yaitu
kepemilikan hak mutlak bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla untuk di sembah dan tidak dipersekutukan dengan lain -Nya"[85].
Ucapan senada juga dikatakan
oleh Mulla Ali Qori[86] dalam bukunya
Syarh Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah, sebagaimana di ceritakan oleh
Syaikh Waliyullah ad-Dahlawi[87] dalam
bukunya al-Fauzul Kabir fii Ushulit Tafsir.
11. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, dimana beliau
sangat jarang sekali dalam tulisan-tulisan beliau yang berkaitan dengan masalah
Tauhid melainkan beliau pasti menyebut pembagian tauhid tersebut. Bahkan beliau
mengajak untuk menonjolkan dengan dua jenis tauhid secara jelas[88].
Inilah
sebagian ucapan para ulama terdahulu dan belakangan yang semuanya menegaskan
adanya dua pembagian tauhid yakni Rububiyah dan Uluhiyah, dan mereka-mereka
adalah ulama panutan dalam umat ini. Dan apa yang kami paparkan disini bukan
sebagai pembatasan, akan tetapi yang kami maksud adalah penjelasan sebagai
contoh apa yang disebutkan oleh para ulama, sehingga tidak ada masalah yang
lebih gamblang dari permisalan yang kami sebutkan, maka orang yang mengingkari
dan tetap bersikukuh menolaknya maka tidak memiliki sandaran syar'i yang kuat
tidak pula penukilan dari para ulama salaf yang kapabel, namun, kesombongan dan
penentangan dalam hatinya, wallahu a'lam.
Kaitan Erat
Pembagian Tauhid
Pembagian
ini bila di gabungkan akan membentuk konsep keimanan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla yang kita namakan
dengan Tauhid, maka tidak sempurna ketauhidan seseorang melainkan bila
terkumpul dalam keyakinannya ketiga jenis tauhid di muka, karena tiga hal tadi
mempunyai keterkaitan yang sangat erat satu sama lain, yang tidak mungkin
dirasa cukup satu dengan lainnya.
Dan
tidak akan bermanfaat tauhid Rububiyah tanpa di sertai tauhid Uluhiyah,
demikian pula tidak sah, tidak pula tegak tauhid Uluhiyah tanpa adanya tauhid
Rububiyah, begitu juga tauhid Rububiyah dan tauhid Uluhiyah tidak akan lurus
tanpa dibarengi dengan tauhid Asma dan Shifat[89]. Sehingga
kekurangan dan penyelewengan pada salah satu dari ketiga jenis tauhid tadi
merupakan kekurangan dalam masalah tauhid secara total.
Bahkan
sebagian ulama menjelaskan hubungan erat dari pembagian ini, dengan ucapannya,
"Dalam ketiganya mempunyai hubungan yang lazim, memiliki kandungan serta
keumuman yang mencakup satu sama lain. Maka tauhid Rububiyah melazimkan adanya
tauhid Uluhiyah, dan adanya tauhid Uluhiyah terkandung didalamnya tauhid
Rububiyah[90], sedangkan
tauhid Asma dan Shifat mencakup bagi kedua jenis tauhid tadi secara bersamaan[91].
Penjabarannya,
bahwa bagi orang yang telah menetapkan dengan tauhid Rububiyah serta mengetahui
bahwasannya Allah ta'ala ada Rabb tunggal yang tidak ada sekutu bagi -Nya dalam
rububiyah -Nya, maka melazimkan penetapannya
tersebut untuk mengesakan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam peribadatan hanya kepada -Nya semata. Sebab tidak patut
menyembah kecuali Rabb sejati yang mencipta, menguasai, dan mengurusi, dan
selagi semua itu hanya untuk Allah Shubhanahu
wa ta’alla semata maka wajib untuk menjadikan Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai sesembahan yang berhak untuk
diibadahi.
Oleh
karena itu, kebiasaan yang di informasikan dalam al-Qur'an tatkala menyebut
ayat-ayat yang berkaitan dengan rububiyahnya Allah Shubhanahu wa ta’alla selalu di gandeng dengan ayat-ayat yang
mengajak untuk mentauhidkan –Nya dalam uluhiyah
-Nya, diantaranya ialah firman Allah tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ
رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١
ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَٰشا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآء وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ
مَآء فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزۡقا لَّكُمۡۖ فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ
أَندَادا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢﴾ [
البقرة: 21-22 ]
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui". (QS al-Baqarah:
21-22).
Adapun
tauhid Uluhiyah maka terkandungan di dalamnya tauhid Rububiyah. Sebab orang
yang menyembah Allah Shubhanahu wa
ta’alla dan tidak menyekutukan -Nya dengan sesuatu apapun, maka sejatinya
sedang menunjukan pada kandungan yang diyakininya yang meyakini bahwasannya
Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah
Rabbnya, yang menguasainya, yang tidak ada Rabb selain -Dia.
Dan
ini merupakan perkara yang bisa di rasakan oleh seorang yang bertauhid pada
dirinya sendiri, manakala dirinya mengesakan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam peribadatan dengan tidak memalingkan
ibadah tersebut kepada selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla, maka tidak lain perilaku tersebut kecuali sebagai penegasan
dirinya sedang menetapkan dengan tauhid Rububiyah, bahwasannya dia tidak
mempunyai Rabb, penguasa, tidak pula yang mengatur alam semesta melainkan Allah
Shubhanahu wa ta’alla semata.
Sedangkan
tauhid Asma dan Sifat maka terdapat dalam cakupan kedua jenis tauhid tersebut
secara bersamaan, hal tersebut dikarenakan dirinya telah menegakan dalam
pengesaan kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla dengan semua yang di miliki -Nya, dari nama-nama yang indah serta
sifat-sifat -Nya yang mulia, yang selayaknya tidak di miliki kecuali oleh Allah
Shubhanahu wa ta'ala. Dan diantaranya
adalah nama ar-Rabb, al-Khaliq, ar-Razzaq, al-Malik, yang merupakan inti dari
tauhid Rububiyah. Diantaranya pula sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti maha pengampun, maha penyayang, maha
menerima taubat, yang ini merupakan inti dari tauhid Uluhiyah.[92]
Dengan
kata lain, bahwa tauhid ilmu dan i'tiqod, dan tauhid amal
thalabi, maka tauhid amal terkandung didalamnya tauhid ilmu. Maka apabila
seorang hamba mengilmui bahwa Rabbnya tidak ada sekutu bagi -Nya dalam
penciptaan, perintah, nama dan sifat -Nya, akan menghasilkan bagi seseorang
tersebut untuk mengerjakan ketaatan dan peribadatan hanya kepada -Nya.
Dan
barangsiapa yang menyembah Allah Shubhanahu
wa ta’alla serta mengesakan -Nya, yang diawali terlebih dahulu pemahaman
bahwa tidak ada rabb yang ikut serta dalam penciptaan dan perintah -Nya, yang
tidak boleh sebaliknya, dikarenakan hati sangat bergantung kepada tauhid
Rububiyah, maka baru setelahnya naik menuju tauhid Uluhiyah[93].
Imam
Ibnu Qoyim menjelaskan, "al-Ilahiyah yang di serukan oleh para Rasul
terhadap umatnya ialah mentauhidkan Rabb dengan ilahiyah yaitu peribadatan dan
penyembahan. Dan kelaziman dari pada ilahiyah ini ialah tauhid Rububiyah yang
diperintahkan oleh Allah Shubhanahu wa
ta’alla untuk menyeru orang-orang musyrik, dan Allah Shubhanahu wa ta’alla telah berhujah pada mereka dengan tauhid
rububiyah ini, maka sesungguhnya melazimkan dari penetapan dengan tauhid
Rububiyah untuk menetapkan tauhid Uluhiyah".[94]
Berpijak
pada apa yang kami paparkan diawal, kita memahami bahwa adanya tauhid Rububiyah
dan tauhid Asma dan Sifat semata, tidak mencukupi untuk memasukan pelakunya
didalam Islam dan tidak akan menyelamatkan dirinya dari siksa Neraka, serta
tidak menjamin keamanan harta dan darahnya, sebagaimana telah lewat
penjelasannya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Kalimat syahadat yang di seru oleh para
Rasul yakni kalimat laa ilaha ilallah, mencakup didalamnya ketiga jenis
tauhid. Dan kalimat tersebut menunjukan pada tauhid Ibadah karena maknanya
adalah tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla. Maka di dalam makna kalimat ini terkandung
penetapan peribadatan hanya untuk Allah Shubhanahu
wa ta’alla serta menafikan
peribadatan pada selain -Nya.
Dan
kalimat itu, juga menunjukan adanya tauhid Rububiyah, dikarenakan sesuatu yang
tidak mampu berbuat tidak mungkin menjadi tuhan, sebab sesembahan tersebut
harus mampu dirinya untuk menciptakan serta mengurusi ciptaanya. Dan menunjukan
pada tauhid Asma dan Shifat, dikarenakan sesuatu yang tidak memiliki nama-nama
yang indah serta sifat-sifat sempurna, dan demikian keadaanya maka tidak layak
untuk dijadikan sebagai ilah dan pencipta".[95]
Untuk
lebih jelas nya, dalam bab ini maka akan saya sebutkan disini perbedaan antara
dua jenis tauhid tersebut, maka kesimpulannya antara kedua tauhid tersebut
memiliki beberapa perbedaan dari beberapa sisi:
i.
Perselisihan
yang terjadi berada pada pecahan kata, kata Rububiyah pecahan dari nama Allah Shubhanahu wa ta’alla, Rabb sedang kata
Uluhiyah pecahan dari lafadh al-Ilah.
ii.
Bahwa
hubungan rububiyah itu berada para perkara-perkara yang ada di alam semesta,
semisal, mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan semisalnya.
Adapun hubungan tauhid Uluhiyah berada pada perintah dan larangan, dari perkara
yang wajib, haram maupun makruh.
iii.
Bahwa
tauhid Rububiyah pada dasarnya di akui oleh orang-orang musyrik, adapun tauhid
Uluhiyah maka mereka menolaknya, seperti di rekam oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla tentang hal itu
dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ
إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ ٣﴾ [ الزمر: 3 ]
"Dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". (QS az-Zumar: 3).
Demikian pula yang terdapat dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ أَجَعَلَ ٱلۡأٓلِهَةَ إِلَٰها
وَٰحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ عُجَاب ٥﴾ [ ص: 5 ]
"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang
satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan". (QS Shaad: 5).
iv.
Tauhid
Rububiyah terambil dari pendalilan ilmu sedang tauhid Uluhiyah terambil dari
pendalilan amal.
v.
Tauhid
Rububiyah melazimkan adanya tauhid Uluhiyah, maknanya bahwa tauhid Uluhiyah
berada di luar pendalilan tauhid Rububiyah, akan tetapi, tidak bisa
terlealisasi tauhid Rububbiyah melainkan dengan tauhid Uluhiyah. Dan tauhid
Uluhiyah terkandung didalamnya tauhid Rububiyah, maknanya bahwa tauhid
Rububiyah bagian dari makna tauhid Uluhiyah.
vi.
Tauhid
Rububiyah tidak serta merta memasukan orang yang mengimaninya masuk ke agama
Islam, berbeda dengan sebaliknya yakni tauhid Uluhiyah, maka orang yang
mengimaniya secara otomatis memasukan dirinya kedalam Islam.
vii. Tauhid Rububiyah seringpula dikatakan dengan tauhid ma'rifat
dan Itsbat, adapun tauhid Uluhiyah dengan tauhid Iradah dan al-Qashd.
Syubhat dan
Bantahan Bagi Pengingkar Pembagian Tauhid
Sekalipun
masalah ini sudah jelas seterang matahari disiang hari, namun masih saja ada
yang mengingkarinya, dan mereka mencoba menampilkan syubhat-syubhat yang
banyak, berusaha untuk mendebat dan mengingkari adanya pembagian tauhid menjadi
tauhid Rububiyah dan tauhid Uluhiyah, mereka membikin statmen kalau kedua
tauhid tadi, tauhid Rububiyah dan tauhid Uluhiyah adalah sinonim dari satu
tauhid, dan kelompok yang mencoba
mengingkari hal tersebut ada dua:
1.
Ahli kalam
dari kelompok Maturidiyah dan Asy'ariyah. Mereka mengklaim bahwa tauhid
Uluhiyah sejatinya adalah tauhid Rububiyah[96].
2.
Kalangan
pengagung kubur dari kelompokTasawuf. Yang mana mereka menyangkal kalau tauhid
Uluhiyah sejatinya sama dengan tauhid Rububiyah yang tidak ada bedanya sama
sekali, keduanya adalah dua hal yang satu tanpa ada perbedaan[97].
Berikut
akan saya globalkan syubhat-syubhat mereka yang kemudian datang bantahan atas
syubhat-syubhat tersebut:
Syubhat
pertama: Mereka menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
al-Ilah adalah Rabb dan Rabb itu ialah al-Ilah. Sehingga tauhid Rububiyah dan
tauhid Uluhiyah menjadi dua makna sejoli yang tidak mungkin terpisahkan satu
sama lainnya dalam hal keberadaan dan keyakinan terhadapnya.
Bantahan
terhadap syubhat tadi: Telah lewat penjelasan kami di
muka tentang makna Ilah dan juga makna Rabb ditinjau dari terminologi maupun
etimologi. Dan menjadi jelas bagi kami bahwa lafadh Ilah maknanya bukan Rabb,
sebab makna Ilah baik secara etimologi maupun terminologi itu sudah dikenal secara
baik oleh generasi salaf (terdahulu) dari kalangan umat ini.[98]
Tinggal
kami isyaratkan disini sebuah kaidah penting untuk memupus syubhat yang sudah
terlanjur mengena, yaitu; Bahwa nama-nama Allah itu a'laam (menunjukan
pada Dzat yang dinamai) dan juga Aushaaf (menunjukan pada Dzat yang
disifati)[99]. Yakni
ditinjau dari sisi pendalilan terhadap Dzat maka menunjukan pada nama, dan bila
di tinjau dari sisi pendalilan makna maka menunjukan pada Dzat yang di sifati.
Dari
tinjaun pertama maka menunjukan pada sebuah sinonim dari segi pendalilan
terhadap satu nama, dalam hal ini yaitu Allah azza wa jalla. Dan bila dilihat
dari tinjaun kedua maka keduanya memiliki dua hal yang berlawanan karena salah
satu dari keduanya mempunyai makna khusus yang dimiliki, sehingga barangsiapa
yang menyatakan bahwa tinjauan yang kedua merupakan bentuk sinonim maka dirinya
jahil, karena dirinya tidak dapat membedakan antara makna Ilah dan Rabb, dan
membuktikan jika dirinya belum sempurna didalam meneliti buku-buku induk bahasa
Arab serta ucapannya para ulama yang bisa melihat perbedaan yang sangat jelas.
Syubhat
kedua: Apabila kafir Makah, mereka dengan jelas telah mengakui
adanya tauhid Rububiyah, maka apakah tauhidnya mereka dalam hal ini benar?
Apakah orang kafir mempunyai tauhid yang benar? Dan apabila tauhid mereka tidak
benar maknanya bahwa mereka belum mengakui dengan tauhid ini, sehingga
kesimpulannya pembagian ini tidak dianggap![100]
Bantahan:
Belum pernah ada seorang ulamapun yang mensifati bagi orang yang mengakui
adanya tauhid Rububiyah bahwasannya orang tersebut dikatakan sebagai orang yang
bertauhid secara mutlak, akan tetapi, mereka mensifati orang yang bertauhid
apabila dirinya telah mengakui dengan tiga tauhid diawal.
Namun,
yang jelas dari ucapan para ulama, bagi orang yang telah menetapkan
rububiyahnya Allah Shubhanahu wa ta’alla yakni
dirinya telah mengesakan -Nya, yang maha mencipta, memberi rizki, menguasai,
dan mengaturnya dengan keyakinan bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak memiliki sekutu dalam hal itu, kemudian dirinya tidak mengesakan dalam
peribadatan, dirinya hanya mengakui dengan tauhid Rububiyah atau menetapkan
dengan tauhid Rububiyah atau yang semakna dengannya, maka para ulama tidak
memandang hal tersebut suatu hal yang akan menyelamatkan pelakunya dari siksa
Allah Shubhanahu wa ta’alla atau
mengeluarkan mereka dari kekafiran.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Adapun tauhid Rububiyah yang telah
diakui oleh seluruh makhluk demikian pula diakui oleh ahli kalam, maka itu saja
belum mencukupi, bahkan, itu merupakan hujah atas mereka".[101] Imam Ibnu
Qoyim menyebutkan, "Adapun tauhid Rububiyah yang telah ditetapkan oleh
muslim dan kafir, demikian pula ditetapkan oleh ahli kalam dalam buku-buku
mereka, maka itu saja belum mencukupi, bahkan itu merupakan hujah atas mereka
sebagaimana telah di jelaskan oleh Allah ta'ala didalam kitab -Nya dalam banyak
tempat".[102]
Imam
Shan'ani[103]
menyebutkan dalam muqodimah kitabnya[104],
"Segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla yang tidak menerima tauhid Rububiyah dari para hamba hingga
dirinya secara individu mengesakan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam tauhid Uluhiyah...". Kemudian para ulama mengambil
hukum umum bagi tiap orang yang menetapkan Rububiyah Allah Shubhanahu wa ta’alla bahwasannya –Dia adalah pencipta, pemberi
rizki dan seterusnya. Bahwa pelakunya telah mengakui adanya tauhid Rububiyah
walaupun dirinya seorang musyrik dalam peribadatan maka perkataan mereka
selaras dengan yang dijelaskan oleh al-Qur'an, yakni dalam firman Allah
tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ
أَندَادا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢ ﴾ [
البقرة: 22 ]
"Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui". (QS al-Baqarah: 22).
Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma
menafsirkan, "Maknanya janganlah kalian mengambil sekutu-sekutu bagi -Nya,
dari tandingan-tandingan yang kalian buat, yang tidak mampu memberi manfaat
tidak pula memberi mara bahaya sedangkan dirimu mengetahui bahwa tidak ada Rabb
yang kalian miliki yang memberimu rizki, dan kalian mengetahui bahwa ajakan
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam
pada kalian adalah mengesakan Allah Shubhanahu
wa ta’alla yang benar".[105]
Qatadah menjelaskan, "Maknanya kalian mengetahui
bahwa Allah Shubhanahu
wa ta’alla yang menciptakan kalian,
menciptakan langit dan bumi, kemudian kalian membuat tandingan-tandingan bagi
-Nya".[106] Imam Ibnu Jarir menyebutkan dalam tafsir ayat diatas,
"Akan tetapi Allah azza wa jalla telah mengabarkan didalam kitab -Nya tentang mereka (yakni kaum Jahiliyah)
bahwa mereka telah mengakui dengan keesaan Allah Shubhanahu wa ta’alla, namun, mereka berbuat kesyirikan dalam beribadah kepada -Nya yang
tidak mereka lakukan dalam mengesakan -Nya, Allah Shubhanahu wa ta’alla mengabarkan tentang mereka dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَا يُؤۡمِنُ أَكۡثَرُهُم
بِٱللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشۡرِكُونَ ١٠٦ ﴾
[يوسف: 106]
"Dan
sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)". (QS Yusuf:
106).[107]
Telah
lewat ucapan ulama Salaf tentang tafsir ayat ini, yang menunjukan bahwasannya
para ulama menghukumi secara umum jika ada orang yang mengakui bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah pencipta
lalu menyembah -Nya bersama sekutu yang lain, maka pelakunya dihukumi telah
mengakui dengan tauhid Rububiyah, namun, dirinya masih dihukumi sebagai seorang
musyrik tatkala beribadah kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, oleh karena itu Imam Shan'ani menandaskan,
"Lafadh mempersekutukan memberi implisit terhadap penetapan adanya Allah
azza wa jalla".[108]
Kemudian
di sini ada perkara yang harus dijelaskan yaitu bahwa ucapan para ulama tentang
kaum musyrikin bahwasannya mereka mengakui adanya tauhid Rububiyah bukanlah
yang dimaksud bahwa mereka telah mengakui adanya pembagian tauhid ini secara
lengkap dan sempurna. Maka dalam hal ini tidak ada seorang pun dari ulama yang
menyebutkan seperti itu, namun, yang mereka maksud ialah menetapkan apa yang
telah ditetapkan dalam al-Qur'an tentang keadaan orang-orang musyrik dari
pengakuan mereka terhadap beberapa sifat Rububiyah dan kekhususannya.
Selanjutnya
hal itu bukan termasuk hukum umum bagi seluruh orang musyrik, bahkan, mereka
sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam, "Bahwa kebanyakan para pelaku
kesyirikan dan kesesatan dirinya menyandarkan adanya kemungkinan serta kejadian
yang terjadi dalam fenomena alam kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka bagi setiap orang yang berpendapat
semacam ini melazimkan terjadinya suatu kejadian tanpa adanya sebab, dan mereka
bersama kesyirikannya serta kelaziman mereka yang mengharuskan adanya sedikit
menghilangkan makna Rububiyah, dengan itu mereka tidak menetapkan adanya sekutu yang menyamai Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam sifat dan
perbuatan -Nya".
Dari
situ kita mengetahui bahwasannya tidak ada seorang pun dari ulama ahlu Sunah
yang menyebutkan bahwa orang yang berbuat kesyirikan dalam Uluhiyah dan telah
menetapkan adanya Rububiyah menjadi seorang yang tauhidnya benar, yang
mengharuskan dirinya masuk surga, bagaimana mungkin sedangkan Allah Shubhanahu wa ta’alla menegaskan dalam
firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ
وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَار ٧٢ ﴾ [
المائدة: 72 ]
"Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun". (QS al-Maa-idah: 72).
Didalam ayat ini Allah Shubhanahu wa ta’alla menghukumi secara umum, yakni barangsiapa yang berbuat kesyirikan besar
didalam Uluhiyah atau Rububiyah, maka dirinya akan masuk ke neraka. Adapun
ucapan mereka yang menyebutkan bahwa bagi orang yang telah mengakui Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan tauhid Rububiyah dirinya telah bertauhid dengan
benar, maka ini merupakan pokok aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah dan kekasih
mereka dalam kalangan Sufiyah. Karena tauhid Rububiyah merupakan puncak
tertinggi bagi mereka, namun, tidak bagi kami Ahlu Sunah.
Syubhat ketiga: Apakah
kaum muslimin pernah mendengar dalam hadits maupun sejarah yang menerangkan
bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa
sallam apabila datang utusan pembesar suatu kaum untuk menyatakan ke
islamannya dihadapan beliau, lalu beliau menjelaskan pada mereka tentang tauhid
Rububiyah dan tauhid Uluhiyah? Lantas beliau mengabarkan pada mereka bahwa
tauhid Uluhiyah adalah faktor yang menjadikan mereka masuk Islam?
Sanggahan atas syubhat ini bisa dari dua sisi:
Pertama: Kita katakan sebagai bentuk sanggahan, apakah
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam
pernah bersabda bahwa keesaan terjadi pada Dzat, Sifat dan juga perbuatan,
seperti yang dinyatakan oleh sekte Asy'ariyah, walapun ketiganya merupakan
jenis tauhid yang berbeda? Demikian pula sebagaimana di klaim oleh para ulama
pengagung kubur?
Kedua: Syubhat ini –seperti yang dipahami dari soal yang
bernada mengingkari- bahwa belum pernah dinukil Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan bagi utusan delegasi
Arab yang ingin masuk Islam dengan dua jenis tauhid. Maka jawaban atas hal itu
bisa di klasifikasikan menjadi dua kemungkinan:
1.
Apa yang mereka katakan dalam ucapannya tadi yang menyatakan kalau
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam
sama sekali tidak pernah menjelaskan pada mereka makna tauhid, maka jelas ini
adalah batil, kebatilannya bisa terendus secara pasti dari agama Islam.
Dan
memungkinkan untuk bisa mengetahui tentang penjelasan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam terhadap
tauhid bisa dari pelarangan beliau terhadap perbuatan syirik dan juga
peringatan beliau akan hal tersebut, dan juga penjelasan beliau akan bahaya
kesyirikan dan kejelekannya –sebagaimana akan datang penjelasannya-.
Demikian
pula dapat diketahui dari hujah dan dalil yang beliau tegakkan atas kewajiban
mengesakan Allah ta'ala dalam ibadah dengan berbagai macam dalil, seperti
penjelasan tentang Rububiyah Allah Shubhanahu
wa ta’alla, dan kenikmatan yang diakui oleh orang-orang kafir pada saat
itu, dan juga penjelasan akan lemah dan tidak kuasanya orang yang menyembah
selain Allah Shubhanahu wa ta’alla,
dan penjelasan beliau akan bahayanya sarana-sarana kesyirikan, larangan,
peringatan, dan tindakan preventif lainya. Dari itu semua, bagaimana mungkin
dikatakan bahwa Rasulallah Shalallahu
'alaihi wa sallam tidak pernah menjelaskan makna tauhid?
2.
Atau kemungkinan kedua mereka menginginkan atas syubhat tadi, bahwa
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam
tidak pernah menyebutkan secara harfiah bahwa tauhid terbagi menjadi Rububiyah
dan Uluhiyah, maka kemungkinan terakhir ini benar adanya. Namun, tidak
mengharuskan hal tersebut, dengan tidak adanya penjelasan tentang makna tauhid.
Dan perkara ini, jikalau memang perkara istilahi
semata sebagaimana di istilahkan oleh sekte Asy'ariyah atas pembagian yang cekak
terhadap tauhid, tentu tidak ada hujah sedikitpun atas mereka atas pengingkaran
yang mereka lakukan, apalagi, tentang pembagian ini termasuk dari hakekat
syar'iyah yang bersandarkan pada al-Qur'an, maka hal tersebut bukan istilah
yang dibuat-buat oleh sebagian ulama, dan dalil-dalil yang ada menunjukan akan
ke universalan pembagian tauhid yang dilakukan oleh ahlu sunah.
Syubhat keempat: Bahwa
pendapat yang menyebutkan adanya tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah dan tauhid
Asma dan Shifat adalah perkara jelek, bid'ah yang diada-adakan oleh Salafiyah,
bahkan, tidak kita jumpai ada agama selain agama Nashrani, yang menetapkan bagi
Allah konsep trinitas, makanya pembagian tauhid menjadi tiga serupa dengan
trinitas milik orang-orang Nashrani.[109]
Jawaban atas syubhat ini: Bahwa
trinitas merupakan keyakinan orang Nashrani yang tegak di atas pilar menjadikan
tuhan tiga, yaitu bapak, anak dan ruh kudus. Dan aqidah semacam ini telah
ditegaskan kekafirannya oleh Allah ta'ala didalam kitab -Nya.
Adapun pembagian tauhid menjadi tiga, tauhid
Rububiyah, Uluhiyah dan Asma dan Shifat, atau dibagi menjadi dua tauhid
ma'rifat dan itsbat dan tauhid iradah dan thalab, maka ini merupakan keyakinan
kaum muslimin berdasarkan al-Qur'an dan sunah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bukan perkara bid'ah yang menyesatkan,
sebagaimana telah lewat pemaparan dalil-dalil dari al-Qur'an maupun hadits
tentang penetapan adanya ketiga tauhid tersebut, yang kami rasa tidak perlu
disebutkan kembali.
Selanjutkan kita katakan pada mereka, bukankah kalian
juga menyebutkan, Allah Shubhanahu wa ta’alla esa dalam Dzatnya
tidak terbagi, -Dia esa dalam sifat azali tidak ada yang semisal dengan -Nya,
Allah Shubhanahu wa ta’alla esa dalam
perbuatan yang tidak ada sekutu bagi -Nya.
Kalian sendiri telah menetapkan konsep trinitas yang
kalian tidak bisa lari darinya kemudian setelah itu kalian melempar tuduhan
tersebut kepada kami, apa yang kalian jawab maka kami juga lebih berhak untuk
menjawabnya. Lalu, pembagian tauhid menjadi tiga macam, maka dari itu merupakan
pembagian yang hak yang Allah Shubhanahu
wa ta’alla miliki, bukan pembagian tuhan sebagaimana aqidah trinitas yang
dimiliki oleh orang Nashrani.
Syubhat kelima: Adanya
pembagian tauhid semacam ini maka tidak kami diketahui ada seorang ulamapun sebelum
Ibnu Taimiyah, namun, yang ada dialah yang membuat inovasi tersebut.
Bantahan atas syubhat tersebut:
Syubhat ini menunjukan dangkalnya pengetahuan mereka serta sedikitnya bekal
ilmu dan pemahaman mereka terhadap buku-buku salafu sholeh. Yang mana, banyak
sekali dijumpai secara gamblang, baik dengan isyarat atau langsung pada
pembagian ini. Kalau seandainya saya nukil semua ucapan mereka tentu akan
menambah jumlah halaman, akan tetapi, saya telah menukil beberapa perkataan
mereka yang mencakup penyebutan pembagian tauhid menjadi tiga dari sebagian
ulama yang hidup sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, agar nampak jelas
kedustaan mereka yang menuduh beliau dengan tuduhan keji semacam ini, dimana
sebelumnya saya telah bawakan ucapan sebagian ulama semisal Ibnu Bathah, Ibnu
Mandah, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Ibnu Jarir ath-Thabari dan selain mereka rahimahumullah.
Masalah: Jika ada yang menyanggah,
lantas kenapa kebanyakan dari ulama yang menulis buku-buku yang berkaitan
dengan ilmu filsafat dari kalangan ahli kalam, mereka berpaling dari penjelasan
pembagian tauhid, bahkan, sebagian besar mereka berusaha semampu mungkin hanya
untuk menjelaskan bagian pertama saja dari tauhid, kemudian mereka tidak
memaparkan bagian-bagian lainnya.
Apakah disana ada faktor yang mendorong mereka untuk
enggan menjabarkan tentang tauhid Uluhiyah? Atau hal itu buah dari ketidak
pahaman mereka terhada nas al-Qur'an dan sunah yang shahih. Apakah mungkin
semuanya, dari para pendahulu demikian pula orang yang datang belakangan,
terisolir secara sempurna dari pengetahuan pembagian tauhid?
Sanggahan atas masalah tadi: Jelas tidak, namun, bisa jadi kalangan
pendahulu mereka ada yang mengetahui pembagian tersebut, hanya saja mereka
tidak mencantumkan dalam karya mereka secara khusus tentang hakekat tauhid
Uluhiyah serta lawan-lawannya dari kesyirikan, praktek-prakteknya, sarana serta
pendorong kesyirikan tersebut, disebabkan belum nampak secara terang-terangan
sebagaimana yang terjadi dikebanyakan kaum muslimin pada hari ini.
Dan yang menguatkan hal ini, bahwa para ulama dari
kalangan Ahlu Sunah wal Jama'ah yang berusaha untuk membantah sekte Asy'ariyah
dan lainnya mereka tidak menyebutkan -sepengetahuan kami-
permasalahan-permasalahan tauhid Uluhiyah yang menjadi ajang perdebatan
diantara mereka, kalaupun seandainya mempunyai sedikit perbedaan niscaya mereka
akan menyebutkan serta membantahnya.
Secara menyeluruh, maka hal ini semakin menguatkan
bahwa para pendahulu berbagai kelompok serta pendahulu Asya'irah dan
Maturidiyah mereka sama sekali tidak mempersoalkan dalam permasalahan jika
meminta perlindungan kepada selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla maka itu jelas tidak dibolehkan, begitu pula berdo'a,
istighotsah kepada sesuatu yang tidak mampu selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, bersumpah dan lain sebagainya. Sebagaimana
perbedaan yang terjadi dikalangan belakangan diantara mereka seperti ahli
filsafat, dan tasawuf. Maka hal itu bisa dipahami dari dua sisi:
Pertama: Penegasan secara jelas dari
sebagian ulama pendahulu Asya'irah terhadap tauhid Uluhiyah, diantaranya;
pernyataan al-Baqalani[110] yang menyebutkan tentang tauhid menurut pengertian
beliau adalah, 'Menetapkan bahwa Allah Shubhanahu
wa ta’alla benar dan ada sebagai Ilah yang satu, esa yang harus disembah,
tidak ada sesuatupun yang semisal dengan -Nya'.[111]
Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan,
'Sesungguhnya tidak ada bersama Allah, Ilah yang lain dan tidak ada yang berhak
disembah melainkan diri -Nya'.[112]
Diantara ulama mereka yang terang-terangan
menyatakan hal tersebut ialah al-Bajuri[113], dimana beliau menegaskan tatkala mendefinisikan tauhid, 'Tauhid ialah
mengesakan sesembahan dalam ibadah sambil dibarengi keyakinan akan ke Esa-annya
serta membenarkan dengan itu dalam Dzat Allah Shubhanahu wa ta’alla, sifat, dan perbuatan -Nya'[114]. Definisi ini, biarpun disebut secara global dalam masalah Asma dan
Shifat, namun, mencakup bagi pendalilan seluruh jenis tauhid.
Diantara perkara yang menegaskan lagi, bahwa kalangan
pendahulu mereka telah mengetahui apa yang tidak banyak diketahui oleh kalangan
belakangan diantara mereka, khususnya pada zaman ini, bahwa berdo'a, raghbah,
rahbah, dan takut adalah perkara yang tidak dibolehkan kecuali bila ditujukan
hanya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla,
dan dari -Nya. Yang menguatkan hal tersebut adalah ucapan-ucapan ulama
terdahulu yang memperingatkan bagi sebagian praktek kesyirikan sebagai tindakan
preventif agar tidak terjerumus kedalamnya. Seperti diantaranya;
1.
Ucapan al-Hulaimi[115] yang menyebutkan, "Berdo'a secara garis besar
termasuk bagian ibadah yang memperlihatkan kekhusyu'an dan merendahkan diri.
Sebab tiap orang yang memohon dan meminta, dirinya telah memperlihatkan
kebutuhannya, dengan memelas dan menyadari akan kerendahan, kefakiran serta
kebutuhan terhadap Dzat yang dia berdo'a dan meminta padanya. Sehingga jika hal
tersebut dilakukan oleh seorang hamba maka berubah menjadi bentuk ibadah yang
bisa dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah jalla wa
'ala. Oleh karenanya, Allah Shubhanahu wa
ta’alla menegaskan hal itu dalam firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ
أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ
جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ٦٠ ﴾ [ غافر: 60]
"Dan
Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada -Ku, niscaya akan Kuperkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah -Ku
akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS Ghafir: 60).
Dari ayat ini jelas sekali
jika berdo'a adalah ibadah, sebab orang yang merasa takut sebagaimana kami
sifati, dirinya akan berharap, sebab jika dirinya merasa takut dia akan khusyu
dan merendahkan diri terhadap orang yang ditakutinya dan menundukan diri
padanya dalam rangka supaya diampuni"[116].
Dalam kesempatan lain dirinya juga menyebutkan, "Tidak sepantasnya
menjadikan rasa harap kepada selain Allah azza wa jalla, yang mempunyai ke Esa-
an, kekuasaan dan agama. Dimana tidak ada suatu dzatpun selain –Dia yang mampu
memberi manfaat tidak pula memberi mara bahaya".[117]
2.
ar-Razi[118] menyebutkan, "Mayoritas para pembesar cendekia
menyebutkan, bahwa do'a adalah termasuk perkara terpenting dalam kedudukan
ubudiyah (peribadatan), sebagaimana ditunjukan oleh banyak dalil baik naql
(nash) maupun aql (analogi)". Kemudian dirinya menyebutkan satu persatu[119].
Dalam
kesempatan lain, dia juga menyebutkan, "Sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,
"Do'a adalah ibadah". Maka sabdanya, 'Do'a adalah ibadah'. Artinya
ialah, do'a merupakan ibadah yang paling utama dan sari pati dari ibadah".[120]
Dia
juga menyebutkan, "Tiap orang yang menjadikan sekutu bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla maka mengharuskan
dirinya untuk mendahulukan peribadatan terhadap sekutu tersebut dari beberapa
sisi, baik dalam hal memohon manfaat atau lari dari mara bahaya.
Adapun
orang-orang yang tegak diatas tauhid dan membatalkan ucapan yang membolehkan
sekutu dan tandingan bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla, maka mereka tidak beribadah kecuali kepada -Nya, mereka tidak
berpaling sedikitpun dari selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla, rasa harap mereka tujukan hanya pada -Nya, rasa takut dan
raghbah hanya pada Allah Shubhanahu wa
ta’alla, dan rahbah (berharap) hanya pada -Nya. Mereka bersih, sama sekali tidak
menyembah melainkan kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla, tidak meminta pertolongan kepada selain -Nya, oleh karena itu
mereka semuanya menyebutkan (dalam sholatnya).
قال الله تعالى: ﴿ إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ
نَسۡتَعِينُ ٥ ﴾ [ الفاتحة: 5 ]
"Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan". (QS al-Faatihah: 5).
Sehingga
ucapannya mereka, "Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan". Sama kedudukannya dengan ucapan,
'Laa ilaha ilallah".[121]
Ungkapan-ungkapan diatas secara tidak langsung
membantah atas persangkaan kebanyakan generasi belakangan yang membolehkan
untuk berdo'a kepada selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla secara mutlak. Dengan argumentasi yang mereka klaim, bahwa hal
tersebut tidaklah syirik kecuali apabila diyakini oleh orang yang sedang
berdo'a adanya pengaruh dari yang didoai selain Allah azza wa jalla.
Sisi kedua, yang juga menunjukan bahwa
perkara tauhid Uluhiyah adalah perkara yang sudah dikenal dengan baik
disebagian ulama mereka, bahwa tatkala mereka berbicara tentang sebagian
tindakan preventif dari kesyirikan serta praktek-prakteknya dalam masalah
tauhid Uluhiyah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, maka sebagian ulama
ahli kalam mengingkari dengan keras akan hal tersebut, diantaranya ialah,
ar-Razi, tatkala dirinya menafsirkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
قال الله تعالى: ﴿ وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ
مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ
ٱللَّهِۚ ١٨ ﴾ [ يونس:
18 ]
"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa
yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula)
kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at
kepada Kami di sisi Allah". (QS Yunus: 18).
Dirinya menukil dalam penjelasannya bagaimana kaum
musyrikin menjadikan sesembahan-sesembahannya sebagai pemberi syafa'at, beliau
menyebutkan para ulama berbeda pendapat dalam hal itu setidaknya ada enam
pendapat. Lalu dirinya menjelaskan setelah menyebutkan tiga pendapat
sebelumnya, "Dan pendapat yang keempat, "Bahwa kaum musyrikin
membikin patung-patung dan berhala sesuai dengan bentuk para nabi dan pembesar
mereka, dan mereka mengira bahwa ketika mereka menyibukan diri dengan beribadah
pada patung-patung tadi, maka pembesar berhala-berhala tersebut akan menjadi
pemberi syafa'at bagi mereka di sisi Allah ta'ala. Dan yang hampir mirip dengan
ini pada zaman (kita) sekarang, perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan orang
dengan mengagungkan kuburan orang sholeh dengan keyakinan bahwasannya mereka
apabila telah diagungkan kuburannya akan menjadi pemberi syafa'at di sisi Allah
Shubhanahu wa ta’alla kelak".[122]
Ulama mereka lainnya, yang bernama Abu Syamah[123] menyebutkan, "Telah menjadi musibah yang merebak, yakni sikap
mengesampingkan syari'at, dari perkara yang di hiasi oleh setan yang dilakukan
oleh sebagian kaum muslimin ialah membikin tembok, tiang dan lentera pada
tempat-tempat khusus di seluruh negeri, dengan alasan ada yang mengkisahkan
pada mereka bahwa dirinya melihat dalam mimpi bertemu dengan seseorang yang
telah terkenal dengan kesholehannya yang melakukan hal tersebut, sehingga
merekapun mengikutinya, melakukan hal yang sama, dan begitu menjaga tradisi
tersebut, dengan kondisi mereka yang melalaikan kewajiban-kewajiban Allah Shubhanahu wa ta’alla serta sunah-sunah
-Nya, dengan persangkaan mereka lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Kemudian perkaranya menjadi lebih parah lagi, hingga
ada yang sampai mengagungkan tempat-tempat tersebut didalam hati mereka, dan
dilanjutkan dalam praktek nyata dalam perbuatan, mereka mengharap kesembuhan
terhadap penyakit mereka, meminta supaya dikabulkan kebutuhannya, bernadzar
padanya, dan mereka melakukan hal tersebut pada tempat-tempat, seperti mata
air, pohon, tembok, dan batu. Dan lain sebagainya sama persis seperti Dzatu
Anwath yang dijelaskan dalam hadits".[124]
[3] . Beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin Salim bin
Sulaiman as-Safarini, an-Nablusi, al-Hanbali. Abul Aun, Syamsudin. Ahli hadits,
fakih, ahli ushul, sejarahwan, ikut serta dalam ilmu pengetahuan yang banyak.
Lahir pada tahun 1114 H, dan meninggal pada tahun 1188 H. Diantara karya
tulisnya yang sangat banyak ialah al-Buhur Zaakhirah fii Ulumil Akhirah.
Lawami'ul Anwaril Bahiyah li Syarh Mandhumah ad-Durah Madhiyah fii Aqidah
Firqotun Najiyah dan yang lainnya. Lihat biografinya dalam Mu'jamul Mu'alifiin
8/262.
[5] . Beliau adalah Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin
Abdul Wahab, dari keluarga Alu Syaikh. Fakih ahli Nejed, lahir Di Dir'iyah pada
tahun 1200 H. beliau termasuk ulama besar dalam ilmu Tafsir, hadits dan fikih.
Pernah diadukan dengan kejelekan oleh sebagian orang munafik kepada Ibrahim
Basya setelah masuk dan mampu menguasai Dir'iyah. Kemudian Ibrahim Basya
memanggilnya dan menyuruh tentaranya untuk menembak dirinya secara
bersama-sama, kemudian beliaupun tersungkur meninggal, inalillahi wa ina ilahi
raji'un, dan kejadian itu bertepatan pada tahun 1233 H. diantara karya tulisnya
ialah Taisirul Azizil Hamid fii Syarh Kitabut Tauhid. Lihat biografinya dalam
al-A'lam karya Zarkali 3/129.
[11] . Lihat dalam Taisirul Azizil Hamid hal: 33. Syarh
Thahawiyah 1/25, Syarh Fiqhul Akbar hal: 15, Dha'ul Ma'ali hal: 10-11, Qaulus
Sadid hal: 13, al-Kasyaaful Jaliyah hal: 417, Majmu' Fatawa Ibnu Baz 1/34-35,
2/34, 74.
[14] . Sebagaiman di nukil oleh Ibnu Qoyim dari ucapan
sebagian sekte Jahmiyah dalam kitabnya Shawa'iqul Mursalah 1/218.
[21] . Lihat dalam Ijtima'ul Juyush Islamiyah oleh Ibnu
Qoyim hal: 28. D. Muhammad at-Taimi dalam kitabnya Mu'taqad Ahli Sunah wal
Jama'ah fii Tauhid Asma wa Shifat hal: 70-86.
[22] . Madarijus Salikin Ibnu Qoyim 3/510. Ijtima' Juyusy
93. Qaulus Sadid Ibnu Sa'di hal: 14. al-Kasyaaful Jaliyyah Syaikh Abdul Aziz
Salman hal: 418. Syarh Fiqh Akbar Ali Qori hal: 19. Quratu Uyuun Muwahidin
Syaikh Abdurahman bin Hasan hal: 15-16. Taisir Azizil Hamid Syaikh Sulaiman bin
Abdillah, Fathul Majid Syaikh Abdurahman bin Hasan hal: 17-18. Taudhihul
Kaafiyah asy-Syaafiyyah Ibnu Sa'di hal: 134. Majmu' Fatawa Syaikh Abdul Aziz bin
Baz 1/15.
[24] . Yang dimaksud penelitian secara menyeluruh baik
secara parsial maupun universal untuk mencapai sebuah hukum umum yang mencakup
seluruhnya. Atau memindahkan konsep dasar dari hukum parsial menjadi hukum
universal yang masuk hukum parsial didalamnya. Lihat penjelasannya dalam kitab
Dhawabithul Ma'rifah oleh al-Midani hal: 188.
Dan penelitian terhadap nash
itu terbagi menjadi dua:
1.
Secara sempurna, Yaitu
melakukan penelitian secara menyeluruh dari semua cabang atau cabang tertentu
yang menjadi inti pembahasan dengan cara memeriksa mempelajarinya secara ilmiah
selaras dengan tuntutan studi ilmiah yang mengantarkan pada ilmu yang pasti.
2.
Kurang, yaitu penelitian pada
pembahasan yang ada pada sebagian cabangnya saja, yang hanya mengantarkan pada
persangkaan saja.
Lihat penjelasannya dalam kitab Dhawabithul Ma'rifah
oleh al-Midani hal: 193-195.
[26] . Beliau adalah al-Alamah an-Nabil at-Taqi al-Fahamah.
Al-Husain bin Mahdi an-Na'imi at-Tuhami kemudian ash-Shan'ani. Beliau hijrah ke
Shan'a lalu menikah disana. Tatkala Imam Mahdi al-Abbasi membangun masjid
Qubah, beliau dijadikan imam disana, beliau meninggal pada tahun 1187 H. lihat muqodimah
kitabnya Ma'arijul alBaab fii Minhaajil Haq wa ash-Shawab karya Muhammad Hamid
al-Faqi ha;: 17-19. Lihat biografinya dalam al-A'laam oleh az-Zarkali 2/160.
[28] . Beliau adalah guru dari guru-guru kami. Muhammad
al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, berakhir nisbatnya kepada kabilah Jakniyyin
yang merupakan kabilah besar di Mauritania. Lahir pada tahun 1325 H. Di
Mudiriyah Kifa Mauritania. Belajar pada ayahnya dan keluarganya. Datang ke
negeri Suadi pada tahun 1367 H untuk menunaikan ibadah haji, kemudian tinggal
disana. Beliau menjadi staf pengajar di Masjid Nabawi, dosen di Unversitas
Islam Madinah mulai pertama kali di buka pada tahun 1381 H. dan beliau memiliki
banyak karya tulis, diantaranya Adhwa'ul Bayyaan fii Tafsiril Qur'an bil
Qur'an. Adaabul Bahts wal Munadharah dan lainnya. Meninggal pada tahun 1393 H.
lihat biografinya yang ditulis oleh Syaikh Athiyah Muhammad Salim di akhir
kitanya al-Mashaalihul Mursalah hal: 25.
[30] . Beliau adalah Imam, Hafidh, ahli Hadits Islam.
Muhammad bin Ishaq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah. Lahir pada tahun 310 H di
Asfahan, dan meninggal pada tahun 395 H. Lihat biografinya oleh al-Hafidh
Dzahabi dalam Mizanul I'tidal 3/479. Ibnu Katsir dalam Bidayah wa Nihayah
11/336.
[31] . at-Tahdzir min Mukhtasharaat ash-Shaabuni fii Tafsir
hal: 30. karya Bakar bin Abdillah Abu
Zaid.
[32] . Ucapannya ini, walaupun dirinya punya hubungan yang
sangat mesra dengan Quburiyun (pengagung kubur) dan menisbatkan dirinya pada
ustadnya al-Kautsari, penentang dan pencela Ahlu Sunah, secara insaf kita
mengakui hakekat kebenaran ucapannya ini. saya nukil ucapannya dari kitab dia
sebagai argumentasi yang benar terhadap penyimpangan para pengagung kubur dan
pengekor al-Kautsari. Terkadang kebenaran keluar dari pelaku yang menjadi hujah
untuk dirinya sendiri.
[34] . Oleh karenanya Fairuz Abadi mendefinisikan tauhid
dengan pernyataannya, tauhid adalah beriman kepada Allah semata. Lihat dalam
Qamus Muhith 1/344.
[35] . Tahdzir Ahlil Iman fii al-Hukmi Bi Ghairi maa
Anzallarahman karya Isma'il bin Ibrahim al-Khatib 1/140. Yang terkumpul dalam
Rasail Muniriyyah.
[39] . Mu'taqad Ahli Sunah wal Jama'ah fii Tauhidil Asma wa
Ash-Shifat 1/46. Karya Muhammad bin Khalifah at-Tamimi.
[40] . Mu'taqad Ahli Sunah wal Jama'ah fii Tauhidil Asma wa
Ash-Shifat 1/43-44. Karya Muhammad bin Khalifah at-Tamimi.
[41] . Lihat ucapan seperti ini dalam Kitabaat Sayid Quthub
oleh Muhammad Quthub. Dan tulisan Muhammad Ja'far as-Subhani dalam kitabnya
Tauhid wa Asy-Syirku fiil Qur'anil Karim hal: 33.
[43] . Mu'taqad Ahli Sunah wal Jama'ah
fii Tauhidil Asma wa Ash-Shifat 1/43. Karya Muhammad bin Khalifah at-Tamimi.
[44] . Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang syi'ah yang
bernama Ja'far as-Subhani dalam bukunya yang berjudul Tauhid wa asy-Syirku fiil
Qur'anil Karim. Dimana ia membagi tauhid menjadi enam macam bersamaan dengan
keberadaannya serta kelompoknya yang merupakan manusia yang paling jauh dari
yang namanya tauhid yang Allah mengutus dengan sebab itu para RasulNya dan
menurunkan kitab suci dengannya.
[45] . Lihatlah buku yang ditulis oleh guru kami Syaik
Rabi' bin Hadi bin Amir al-Madkhali dalam kitabnya Manhaaj al-Anbiyaa' fii
ad-Da'wah Ilallah fiihi al-Hikmah wal Aql.
[50] . Beliau adalah Qotadah bin Da'amah as-Sudusi, Abul
Khathab, al-Bashari al-Akmah. Seorang ulama besar, Hafidh, sering melakukan
tadlis (penyamaran hadits), yang meriwayatkan hadits darinya Anas bin Malik,
Ibnu Musayib, Ibnu Sirin dan lainnya. Dan juga Ayub, Humaid, Husain,
al-Mu'alim, al-Auza'i, Syu'bah, dan Alqomah. Berkata Ibnu Musayib memuji
beliau, "Belum pernah ada yang mendatangi kami penduduk Irak yang lebih
hafidh dari pada Qotadah". Berkata Ibnu Sirin, "Qotadah adalah orang
yang paling hafal hadits". Berkata Ibnu Mahdi, "Qotadah hafal hadits
lima ribu seperti Humaid". Hamad bin Zaid mengatakan, 'Beliau meninggal
pada tahun 117 H". dan riwayat beliau banyak dijadikan referensi oleh para
penyusun buku-buku hadits shahih. Lihat biografinya dalam kitab Khulashatul
Khazraji 315.
[52] . Beliau adalah Atha bin Abi Rabah, lahir dari seorang
tentara, ibunya orang yang berkulit hitam bernama Barakah. Beliau tumbuh besar
di makah, dan mengajar al-Qur'an disana. Beliau bekas budak Bani Fihr,
berkun'yah Abu Muhammad. Beliau berkulit hitam, buta, berhidung pesek,
tangannya lumpuh, pincang, kemudian beliau buta total setelahnya. Kemudian
tangannya dipotoang oleh Ibnu Zubair. Meninggal pada tahun 115 H. Lihat
biografinya dalam kitab al-Ma'arif hal: 253, karya Ibnu Qutaibah
[55] . Beliau adalah Bekas budak Bani Walibah dari Bani
Asad, berkun'yah Abu Abdullah. Beliau berkulit hitam, keluar bersama Ibnul
Asy'asy dalam sebuah pemberontakan. Dan tatkala pasukan Ibnul Asy'asy terpukul
mundur, dan dirinya adalah gembong pemberontakan tersebut, dirinya ditawan oleh
Khalid bin Abdillah al-Qusary lantas di gelandang untuk dihadapkan pada Hajaj
bin Yusuf, kejadian tersebut terjadi pada tahun 95 H. lihat Biografinya oleh
Ibnu Qutaibah dalam al-Maa'arif hal: 253, 254. dan oleh Imam Dzahabi dalam
Siyar a'lamu Nubala 4/341.
[57] . Beliau bekas budaknya Ibnu Abas, dan Ibnu Abas
meninggal dirinya masih sebagai status budaknya, kemudian dijual oleh Ali bin
Abdullah bin Abas pada Khalid bin Zaid bin Mu'awiyah senilai empat ribu dinar.
Lalu Ikrimah mendatangi Ali, dan berkata padanya, "Tidak ada kebaikan
bagimu takala engkau membuang ilmu ayahmu hanya dengan empat ribu dinar".
Kemudian beliau minta dispensasi, lalu dibebaskan. Beliau mempunyai kun'yah Abu
Abdillah. Meninggal pada tahun 105 H. pada hari yang bertepatan dengan banyaknya orang besar meninggal waktu itu.
Lihat biografinya dalam al-Maa'arif hal: 209.
[60] . Beliau bernama Amir bin Syarahil bin Abdu
asy-Sya'bi, beliau dari Himyar, dan menisbatkan pada sebuah gunung di Yaman.
Mempunyai kun'yah Abu Umar. Bertubuh kurus, kerempeng, lahir tidak lama setelah
kekhalifahan Utsman bin Affan. Beliau senang bersendau gurau. Al-Waqidi
menyatakan, "Dirinya meninggal pada tahun 105 H, dalam usia tujuh puluh
tujuh tahun". Lihat biografinya oleh Ibnu Qutaibah dalam al-Maa'arif hal:
256.
[63] . Beliau adalah Nu'man bin Tsabit al-Farisi, Abu
Hanifah, Imam ahli Irak, Faqihul Umat. Meriwayatkan dari Atha, Nafi', A'raaj, dan
yang lainya. Lalu yang meriwayatkan dari beliau Hamad, anaknya, Zafir, Abu
Yusuf, Muhammad, dan lainnya. Di tsiqohkan oleh Ibnu Ma'in, berkata Ibnu
Mubarak, "Belum pernah aku melihat dalam fiqh yang lebih pandai dari pada
Abu Hanifah". Berkata Makki, "Abu Hanifah orang yang paling tahu ilmu
pada zamannya". Berkata al-Qathan, "Kami tidak mendustakan Allah,
demi Allah kami belum pernah mendengar yang lebih baik dari pada pendapatnya
Abu Hanifah". Ibnu Mubarak mengatakan, "Aku belum pernah melihat
orang yang lebih wara' dari pada beliau". Meninggal pada tahun 150 H.
Lihat biografinya didalam Khulashah Tadzhib wa Thadzibul Kamal hal: 402. Oleh
al-Khazraji.
[65] . Beliau adalah Imam, Mujtahid, al-Allamah, ahli hadits,
pembesar Qadhi, Abu Yusuf, Ya'qub bin Ibrahim al-Anshari, al-Kufi. Menemani Abu
Hanifah selama tujuh belas tahun, dan berguru padanya, beliau termasuk muridnya
yang paling cerdas dan yang paling tahu pendapatnya, meninggal pada tahun 182
H. Lihat biografinya dalam Siyar a'lamu Nubala 8/353-539 oleh adz-Dzahabi.
[66] . Tauhid wa Isbat Shifaat ar-Rabb 3/304-306 oleh Ibnu
Mandah. Al-Hujjah fii Bayaanil Mahajah wa Syarh Tauhid wa Madzhab Ahli Sunnah
1/111-113 oleh Abul Qosim Isma'il at-Taimi.
[68] . Beliau adalah Imam Abu Ja'far, Ahmad bin Muhammad
bin Salamah al-Azdi, ath-Thahawi. Lahir pada tahun 239 H. dan meninggal pada
tahun 321 H, ada lagi yang mengatakan meninggal pada tahun 322 H. Hidup pada
zaman para imam dan penghafal hadits dari para penulis enam buku induk, dan
hidup dalam thabaqahnya serta ikut serta dalam periwayatan-periwayatan mereka.
Diantara guru-guru beliau adalah al-Muzani, Isma'il bin Yahya, Abu Hazim Abdul
Humaid, Imam Nasa'i, Rabi' muridnya Imam Syafi'i, Abu Zur'ah ad-Dimasyqi, Abu
Bakar bin Abi Dawud as-Sijistani. Dan diantara murid-murid beliau adalah
al-Hafidh Thabarani, ad-Damighani, Abu Utsman al-Azdi, dan selain mereka.
Diantara peninggalan karya tulisnya Bayan as-Sunah, Aqidahnya (yang dikenal
dengan Aqidah Thahawiyah), Syarh Ma'anil Atsar, Syarh Musykilil Atsar, dan yang
lainnya. Lihat biografi beliau dalam Siyar a'lamu Nubala 15/27 oleh Imam
Dzahabi, dan dalam kitab Tadzkirah hal: 808, Imam Dzhabai, serta dalam al-Waafi
8/9 oleh ash-Shufdi.
[70] . Beliau adalah Imam, suri tauladan, ahli Ibadah,
fakih, ahli hadits, Syaikhnya penduduk Irak, Abu Abdullah, Ubaidullah bin
Muhammad bin Muhammad bin Hamdan al-Ukburi, al-Hambali, Ibnu Bathah. Penulis
al-Ibanah al-kubra wa Shughra. Meriwayatkan dari al-Baghawi, Ibnu Sha'id,
al-Baghandi, dan yang lainnya. Dan yang meriwayatkan darinya Abu Nu'aim
al-Ahsfahani, Abu Ishaq al-Burmuki, dan yang lainnya. Lahir pada tahun 304 H,
dan meninggal pada tahun 398 H. lihat biografinya oleh Imam Dzahabi dalam
Mizanul I'tidal 3/15. Siyar a'lamu Nubala 16/529. dan dalam kitab al-I'bar
3/35. Oleh Ibnu Katsir dalam Bidayah wa Nihayah 11/321-322.
[71] . Ibnu Bathah, al-Ibanah 'an Syar'iyah al-Firqathul
Najiyyah wa Mujaniyyah al-Firaq al-Madzmumah (al-Kubra), buku ketiga dengan
Tahqiq Yusuf al-Wabil 2/172-173.
[75] . Majmu Fatawa 22/447-448. Dan 10/283-284. Kemudian
beliau menambahkan, "Walaupun didalam tauhid Ilahiyah terkandung tauhid
rububiyah, dan Rububiyah mengharuskan adanya tauhid Uluhiyah. Maka sesungguhnya
apabila salah satu dari keduanya mengandung yang lainnya tatkala di pisahkan
maka tidak mengapa memberikan makna yang lebih khusus apabila
digandengkan".
[78] . Lihat ucapan Ibnu Taimiyah ini yang di nukil oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Nashir ar-Rasyid dalam kitab Tanbihaat as-Sunah hal: 9.
[79] . Lihat pula dalam Madarijus Salikin 1/24, 25. Ijtima'
Juyusy Islamiyah hal: 27. Bada'i al-Fawaid 1/156.
[84] . Beliau adalah Imam al-Allamah, Shadarudin, Abul
Hasan, Ali bin Ala'udin Ali bin Syamsudin, Abu Abdillah, Muhammad bin
Syarafudin, Abul Barakat, Muhammad bin Izudin Abul Izzi al-Adzra'i,
ad-Dimasyqi, al- Hanafi. Lahir pada tahun 721 H di kota Damaskus, di antara
karya tulis beliau adalah al-Itiba', Syarh Aqidah at-Thahawiyah, dan at-Tanbih
'ala Musykilaatil Hidayah. Meninggal pada tahun 792 H. lihat biografi beliau
dalam Anba'ul Ghamr bii Anba'il Umr 2/95-98. ad-Durarul Kaminah 3/87 Ibnu
Hajar.
[86] . Beliau adalah Ali bin Sulthan Muhammad, Abul Hasan
al-Harawi, al-Makki. Termasuk ulama besar dari kalangan madzhab Hanafiyah, yang
menggabungkan antara Hadits dan Fikih. Meninggal pada tahun 1014 H. Lihat
biografi beliau seperti yang disebutkan oleh Umar Ridha Kahalah 7/100. dan oleh
al-Kahnawi dalam Hasyiyah al-Fawaid al-Bahiyah hal: 7.
[87] . Beliau bernama Waliyullah Ahmad bin Abdurahim
al-Umri, ad-Dahlawi. Ahli Hadits, ahli tafsir, fakih, ahli Ushul. Lahir di kota
Dehli India pada 4 Syawal tahun 1114 H, dan tumbuh besar di sana, berangkat
ibadah haji ke tanah suci lalu tinggal beberapa waktu disana, banyak mengambil
ilmu dari ulama-ulamanya, kemudian kembali ke India, dan mengajar di sana
hingga meninggal pada tahun 1176 H. diantara peninggalan beliau, al-Irsyaad ila
Muhimati Ilmil Isnaad, Insanul A'in fii Masyayikh al-Haramain, A'qdul Jizad fii
Ahkamil Ijtihad wat Taqlid, al-Fauzul Kabir fii Ushuli Tafsir, Hujatullahi
Balighah. Lihat biografinya dalam Hidayatul A'rifiin oleh al-Baghdadi 2/500.
Mu'jamul Mu'alifiin 13/169.
[91] . Dar'u Ta'arudh al-Aql wan Naql 9/344-345, Minhajus
Sunah 2/22 oleh Ibnu Taimiyah. Syarh Aqidah Thahawiyah 1/41.
[93] . al-Ubudiyah hal: 49, Ibnu Taimiyah. Madarijus
Salikin 1/411 Ibnu Qoyim. Shiyanatul Insan hal: 47, as-Sahwani. Da'watut Tauhid
hal: 73-74, al-Haras.
[95] . Lihat apa yang dinukil oleh Abdul Aziz bin Nashir
ar-Rasyid dalam Tanbihaat as-Saniyah hal: 9, dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[96] . Lihat ucapan tersebut seperti yang di nukil oleh
al-Kastali dalam Hasyiyah 'ala Syarh Aqa'id an-Nasfiyah oleh Tafatazaani hal:
63. dan oleh al-Khayali dalam Hasyiyah kitab yang sama hal: 51. dan al-Jundi
dalam hasyiyah masih dalam kitab yang sama hal: 87.
[97] . Lihat perkataan ini seperti yang di nukil oleh Ibnu
Jarjis dalam Shalahul Ikhwan hal: 124, 127. dalam Sa'adatul Daarayain
2/20, 21,23. oleh al-Hadaad dalam Misbahul Anam hal: 17. oleh Dahlan dalam
Durarus Saniyah fii Radd 'ala Wahabiyyah hal: 40-41. oleh al-Qudha'I
dalam al-Baraahin hal: 378-381. asy-Syijli dalam Tadzkiratul
Ghautsiyah hal: 134. ad-Dajwi dalam al-Maqalaat 1/249-261. Ibnu
Marzuq dalam Tawasul bii Nabi hal: 29, 30, 97. Bara'atul Asy'ariyiin
hal: 98-99. an-Nuri dalam ar-Rudud hal: 242. al-Amili dalam Kasyful
Irtiyaab hal: 140-141.
[100] . Lihat al-Maqalaat oleh ad-Dajawi 1/162. Tandid liman
Adada Tauhid Hasan Tsaqaf hal: 6. dan lihat bantahan bukunya ini oleh Syaikh
Abdurazzaq bin Abdul Muhsin al-Badar dalam Qaulus Sadid fii Radd 'ala Man
'Ankara Taqsiim at-Tauhid hal: 50-52.
[103] . Beliau adalah Muhammad bin Isma'il, Amir, al-Allamah
al-Hasyimi, al-Fathimi, al-Kahlani, lahir pada tahun 1099 H. ahli hadits,
fakih, ahli ushul, mujtahid, ahli kalam, termasuk ulama Yaman, tumbuh besar di
negeri Yaman, kemudian mengembara ke Makah dan Madinah, meninggal pada tahun
1182 H. diantara peninggalan karya tulisnya yaitu Subulus Salam Syarh Bulughul
Maram, Tathirul I'tiqad 'an Adranil Ilhad, Taudihul Afkar. Lihat biografinya
dalam Mu'jamul Mu'alifiiin 9/56.
[109] . Muhammad Nuri Rasyid dalam bukunya Rudud 'ala
Syubhaatis Salafiyah hal: 237-238. 254-255. Hasan bin Ali Saqaf dalam
bukunya Tandiid liman Adadat Tauhid hal: 1.
[110] . Beliau adalah Muhammad bin at-Tiib bin Muhammad bin
Ja'far bin al-Qosim, al-Bashari, lebih dikenal dengan nama al-Baqalani. Lahir
pada tahun 338 H, dan meninggal pada tahun 403 H. ahli filsafat dari sekte
Asya'irah. Diantara karya tulisnya ialah Tamhidul Awail wa Talkhisul Dalail,
I'jaazul Qur'an. Lihat biografinya dalam Mu'jamul Mu'alifiin 10/109-110.
[113] . Beliau adalah Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad
al-Bajuri, lahir pada tahun 1198 H, dan meninggal pada tahun 1277 H. Syaikh
Azhar, diantara karya tulisnya yang sangat banyak, Tuhfatul Murid 'ala Jauharit
Tauhid. Lihat biografinya dalam Mu'jamul Mu'alifiin 1/84.
[115] . Beliau adalah Abu Abdullah al-Hasan bin al-Hasan
al-Bukhari, asy-Syafi'i. lahir pada tahun 338 H. penulis al-Minhaaj fii
Syu'abil Iman. Meninggal pada tahun 403 H. lihat biografinya dalm Siyar a'lamu
Nubala 17/231 oleh Imam Dzahabi, dan juga dalam Thabaqat asy-Syafi'iyah 4/333
oleh Imam Subki.
[118] . Beliau adalah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin
al-Husain bin Ali at-Taimi, al-Bukri, ar-Razi, asy-Syafi'i, yang lebih dikenal
dengan Ibnul Khatib dan Fakhrurazi. Ahli Tafsir, ahli filsafat, fakih, ahli
ushul, dan pandai dalam banyak disiplin ilmu. Beliau memiliki karya tulis lebih
dari seratus judul. Diantara yang paling terkenal ialah Tafsir Mafatihul Ghaib
fii Tafsiril Qur'an. Lahir pada tahun 543 H, dan meninggal pada tahun 606.
Lihat biografinya dalam Mu'jamul Mu'alifiin 11/79.
[123] . Beliau adalah Abul Qosim, Abdurahman bin Isma'il bin
Ibrahim al-Maqdisi, yang lebih dikenal dengan Abu Syamah, bermadzhab Syafi'i.
lahir pada tahun 599 H, dan meninggal pada tahun 655 H. menulis sebuah kitab
tentang tafsir mimpi sejalan dengan pemikiran Asya'irah. Dan beliau memiliki
kitab yang berjudul al-Baits 'ala Inkaril Bida' wal Hawadits. Lihat biografinya
dalam tadzkiratul Hufaadh 4/1460. dan dalam Thabaqaat Syafi'iyyah 8/165.
Post a Comment