Agar Anak Menjadi Muslim Berprestasi
Agar Anak Menjadi Muslim
Berprestasi
Setiap orang tua tentu
senang jika anaknya memiliki prestasi yang tinggi di dunia. Ini adalahfithrah manusia
sebagaimana yang Umar radhiallâhu ‘anhu pernah katakan kepada anaknya
‘Abdullâh bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, ketika
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallambertanya kepada para sahabatnya:
((إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ
يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَهِيَ مَثَلُ الْمُسْلِمِ، حَدِّثُونِي
مَا هِيَ؟)) فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَادِيَةِ، وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. قَالَ عَبْدُ
اللهِ: فَاسْتَحْيَيْتُ. فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ أَخْبِرْنَا بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم- ((هِيَ
النَّخْلَةُ)). قَالَ عَبْدُ اللهِ: فَحَدَّثْتُ أَبِي بِمَا وَقَعَ فِي نَفْسِي.
فَقَالَ: لأَنْ تَكُونَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَكُونَ لِي كَذَا
وَكَذَا [رواه البخاري]
“Sesungguhnya di antara banyak pohon ada satu
pohon yang daun-daunnya tidak rontok, pohon tersebut seperti seorang muslim.
Kabarkanlah kepadaku pohon apakah itu?” (Ibnu ‘Umar pun mengatakan),
“Orang-orang membayangkan pohon tersebut berada di daerah pelosok. Sedangkan
saya membayangkan pohon tersebut adalah pohon kurma. Kemudian saya pun malu.
Berkatalah para sahabat, ‘Ya Rasulullah! Kabarkanlah kepada kami, pohon apakah
itu?’ Kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Dia adalah
pohon kurma.’ Kemudian saya kabarkan ayahku tentang apa yang tadi saya
bayangkan di dalam diriku. Kemudian beliau berkata, ‘Jika tadi kami mengatakan
hal tersebut, maka itu lebih aku sukai daripada memiliki ini dan itu.’.”[1]
‘Umar radhiallâhu ‘anhu merasa
senang jika anaknya berprestasi mengungguli orang-orang yang di sekitarnya.
Bagaimana agar anak kita
menjadi anak yang memiliki prestasi tinggi?
Setiap anak harus
diajarkan untuk memiliki motto hidup. Dengan motto tersebut dia bisa menghadapi
berbagai macam rintangan dan cobaan di dalam hidup ini. Ketika para tokoh
masyarakat ditanya, “Bapak/Ibu motto hidupnya apa?” Niscaya kita akan
mendapatkan jawaban yang sangat beragam. Ada yang mengatakan motto hidupnya: ‘Menunggu
kesuksesan adalah tindakan sia-sia yang bodoh’, ‘Tiada keyakinanlah yang
membuat orang takut menghadapi tantangan’, ‘Kegagalan hanya terjadi bila kita
menyerah’, ‘Segala yang indah belum tentu baik, tetapi segala yang baik sudah
tentu indah,’ dan seterusnya.
Tetapi kita, sebagai
seorang yang beriman, harus memiliki motto hidup yang paling mulia. Motto hidup
yang paling mulia adalah “Saya harus hidup di bawah naungan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.” atau perkataan sejenisnya. Karena dengan bimbingan Allah dan
Rasul-Nya-lah seorang muslim dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Rasulullah shallâllahu
‘alaihi wa sallam pernah mengatakan:
((خَلَّفْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى
يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضِ )) [رواه الدارقطني]
“Saya tinggalkan untuk kalian dua hal yang kalian
tidak akan tersesat setelah berpegang teguh dengannya, yaitu: Kitabullah dan
Sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiku di telaga.”[2]
Apa yang menjadi timbangan
seorang anak dikatakan sebagai seorang yang berprestasi tinggi?
Menentukan timbangan atau
standar seseorang dikatakan berprestasi tinggi sangatlah penting. Jangan sampai
kita menganggap seseorang yang telah melakukan sesuatu yang sangat luar biasa
tetapi berbahaya untuk orang lain, lalu kita mengatakan orang tersebut
berprestasi tinggi. Atau melakukan hal yang di luar kemampuan manusia, ternyata
menggunakan hal-hal yang diharamkan dalam syariat kita.
Lalu apa timbangannya?
Apakah dengan banyaknya
harta? Ataukah dengan tingginya jabatan? Ternyata tidak.
Tentu kita sepakat bahwa
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah seorang muslim yang paling
tinggi prestasinya dari seluruh manusia. Apakah Rasulullah shallâllahu ‘alaihi
wa sallam menjadikannya sebagai timbangan prestasi?
Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam ketika berdakwah di Makkah beliau didatangi oleh seorang
petinggi Quraisy yang bernama ‘Utbah bin Rabî’ah untuk menghalangi dakwah
beliau. ‘Utbah mengatakan:
((يَا ابْنَ أَخِيْ إِنْ كُنْتَ
إِنَّمَا تُرِيْدُ بِمَا جِئْتَ بِه مِنْ هَذَا اْلأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَكَ
مِنْ أَمْوَالِنَا حَتَّى تَكُوْنَ أَكْثَرَنَا مَالاً وَإِنْ كُنْتَ
تُرِيْدُ بِه شَرَفًا سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا حَتَّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا
دُوْنَكَ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ بِه مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا)) [سيرة ابن
هشام ]
“Wahai anak saudaraku! Jika
engkau menginginkan harta dengan perkara yang kau bawa ini, maka kami akan
mengumpulkan harta-harta kami untukmu, sampai engkaulah yang memiliki harta
paling banyak di antara kami. Jika engkau menginginkan kedudukan, maka kami
akan jadikan engkau tuan kami, sehingga kami tidak bisa memutuskan suatu
perkata tanpa izinmu. Jika engkau menginginkan
kerajaan, maka kami akan menjadikanmu sebagai raja.”[3]
Apakah
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menerima tawaran tersebut?
Jawabannya tidak. Karena Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam paham, bahwa itu semua bukanlah tujuan hidupnya.
Di akhir hayat
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau tidaklah meninggalkan
harta peninggalan. Karena memang para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
tetapi hanya mewariskan ilmu.
Apakah dengan banyaknya
istri dan anak?
Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam tidak memiliki banyak anak. Adapun banyaknya istri
beliau, itu hanyalah suatu kekhususan untuk beliau tidak untuk yang lain.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak menikahi istri-istri
tersebut karena syahwatnya, sebagai buktinya hanyalah ‘Aisyah yang berstatus
perawan sebelum dinikahi. Selain ‘Aisyah, semuanya adalah janda. Ada juga yang
Allah paksa untuk menikahinya. Ada yang dinikahi karena banyak kemaslahatan di
dalamnya.
Yang jelas, banyaknya anak
dan wanita bukanlah standar atau timbangan orang tersebut dikatakan
berprestasi.
Lalu apa timbangannya?
Timbangan yang benar harus
berdalil dari Al-Quran dan Assunnah.
-
Haruslah
yang memiliki ketaatan dan ketakwaan tertinggi kepada Allah dan memiliki
kedudukan mulia di akhirat
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ
أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا﴾ [النساء: 79]
“Barang siapa yang menaati
Allah dan Rasul-Nya maka mereka akan bersama orang-orang yang Allah beri
kenikmatan kepada mereka dari kalangan para nabi, orang-orang yang shiddiqin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang soleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisâ : 69)
Allah subhânahu wa
ta’âla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ﴾ [الحجرات : 13]
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kalian adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurât:
13)
Anak yang berprestasi
tinggi adalah anak yang di akhirat memiliki kedudukan yang tinggi di surga,
karena dia memiliki hubungan yang baik kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena
itu, orang tua harus berupaya menjadikan anaknya sebagai anak yang taat dan
rajin beribadah.
Kita semua mengetahui
bahwa ketaatan dan ketakwaan kepada Allah berisi perintah yang harus
dilaksanakan dan larangan yang harus dijauhi. Untuk mengetahui semua jenis
ketaatan adalah dengan mempelajari ilmu agama. Karena perintah dan larangan
dalam agama sangat banyak sekali. Dengan demikian, anak-anak kita harus kita
ajarkan ilmu agama sehingga bisa menuntun dia untuk selalu taat kepada Allah.
-
Haruslah
yang memiliki hubungan terbaik dengan manusia
Selain memiliki hubungan
yang baik dengan Allah, seorang anak yang berprestasi tinggi haruslah memiliki
hubungan yang sangat baik kepada manusia dan seluruh makhluk di sekitarnya. Hal
ini ditentukan dengan akhlak yang mulia.
Oleh karena
itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( إِنَّ أَكْمَلَ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ
خُلُقًا. وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ))
[رواه الترمذي وصححه الألبانيٍ]
“Sesungguhnya orang mukmin yang paling sempurna
keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya dan yang paling lembut kepada
istrinya.”[4]
Orang yang berakhlak mulia
pasti disenangi oleh banyak orang. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
((خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ
وَشَرُّكُمْ مَنْ لاَ يُرْجَى خَيْرُهُ وَلاَ يُؤْمَنُ شَرُّهُ )) [رواه الترمذي وصححه الألبانيٍ]
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan
kebaikannya dan dirasakan aman dari bahayanya. Seburuk-buruk kalian adalah
orang yang tidak diharapkan kebaikannya dan tidak dirasakan aman dari
bahayanya.”[5]
Orang yang memiliki akhlak
mulia, maka dia akan senantiasa berlaku baik dalam segala urusannya, termasuk
di dalam bermuamalah mâliyah (interaksi yang berhubungan
dengan harta), seperti: jual beli, hutang-piutang, dll.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ قَضَاءً)) [رواه البخاري]
“Sesungguhnya di antara orang yang paling baik di
antara kalian adalah yang paling baik dalam pembayaran hutang.”[6]
-
Haruslah
yang memiliki manfaat yang besar untuk manusia
Selain memiliki hubungan
yang baik kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang di sekitarnya. Seorang anak
yang berprestasi haruslah memiliki manfaat yang besar untuk orang lain.
Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda:
((أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ
أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ)) [رواه الطبراني وابن أبي الدنيا]
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah
yang paling bermanfaat untuk manusia.” [7]
Memberikan manfaat kepada
orang lain dapat dilakukan dengan berbagai cara, contohnya:
1. Orang yang memiliki kelebihan harta, maka dia
menginfakkan hartanya di berbagai macam jalan kebaikan, seperti: membangun
masjid dan sekolah agama, membangun jalan, menyediakan sumur bor untuk daerah
yang kekeringan, membagikan mushhaf (Al-Qur’an) dan terjemahannya
kepada orang yang belum memilikinya, membantu kegiatan dakwah serta al-amr
bil-ma’rûf wan-nahy ‘anil-munkar dan seluruh jalan-jalan kebaikan lainnya.
2. Orang yang memiliki kemampuan untuk
me-manage maka dia menggunakan kemampuannya untuk mengumpulkan orang-orang
di sekitarnya, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat bagi kemaslahatan agama dan orang banyak.
3. Para ilmuwan mengadakan berbagai macam penelitian
untuk menciptakan suatu karya baru yang sangat bermanfaat untuk banyak manusia.
4. Orang yang memiliki kecerdasan dalam menghafal
dan memahami ilmu agama, maka dia menggunakan apa yang dimilikinya untuk
berdakwah dan mengajarkan ilmu dan kebaikan kepada orang lain, dan lain-lain.
Dengan ketiga hal ini,
yaitu: ketaatan-ketakwaan, akhlak mulia dan manfaat kepada orang lain,
seorang muslim ditimbang prestasinya. Semakin tinggi pengamalan ketiga
hal ini pada diri seseorang maka semakin tinggi pula prestasinya di dunia ini.
Oleh karena itu, orang tua harus benar-benar memperhatikan hal ini dalam proses
pendidikan anaknya.
Sebenarnya, ketiga hal
tersebut bisa dengan mudah dimiliki oleh sang anak apabila ada orang-orang yang
bisa diteladani di sekitarnya, baik orang tua, para tetangga, keluarga dan
masyarakat dimana dia tinggal. Dan di zaman kita sekarang ini, kaum muslimin
benar-benar merasakan krisis keteladanan, karena jauhnya niat-niat mereka untuk
belajar dan mengamalkan agama Islam yang mulia ini, apalagi mendakwahkan agama
islam yang haqiqi.
Mudahan-mudahan tulisan
ini bermanfaat dan Allah memudahkan kita untuk memperbaiki diri kita dan
mendidik anak-anak kita yang kita sayangi. Amin.
Marâji’:
1. Al-Jâmi’ fi Ahkâm wa Âdâb Ash-Shibyan. Abu ‘Abdillah ‘Âdil bin Abdillâh Âlu Hamdân Al-Ghâmidi. Makkah:
Maktabah Al-Asadi.
2. Manhaj At-Tarbiyah An-Nabawiyah liththifl. Muhammad Nûr bin ‘Abdil-Hafîdzh Suwaid. Makkah: Dâru thaibah
Al-Khadhrâ’.
3. Tarbiyatul-Aulâd fil-Islâm. ‘Abdullâh Nâshih ‘Alawân. Kairo: Darussalâm.
4. Dan maraji’ lainnya yang sebagian besar
dicantumkan di footnotes.
[1] HR. Al-Bukhâri no. 131
dan Muslim no. 2811/7099.
[2] HR. Ad-Dâruquthni no.
4606. Di-shahîh-kan oleh Syaikh Al-Albani di Shahîh
Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr no. 3232.
[3] As-Sîrah
An-Nabawiyah lIbnu Hisyâm II/131.
[4] HR At-Tirmidzi no.
2612. Di-shahîh-kan oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no.
1590.
[5] HR. At-Tirmidzi no.
2263. Di-shahîh-kan oleh Syaikh Al-Albâni di Shahîh Sunan
At-Tirmidzi.
[6] HR. Al-Bukhâri no.
2306.
[7] HR Ibnu Abi Ad-Dunya
dalam Qadha’ Al-Hawaij no. 36, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam
Al-Kabir no. 13646. Hadits ini memiliki syahid dari
riwayat Jabir bin ‘Abdillah.
Post a Comment