Al-Asmâ-Ul-Husnâ Dan Penyimpangan Terhadapnya
Al-Asmâ-Ul-Husnâ
Dan Penyimpangan Terhadapnya
قال الله تعالى: ﴿ وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ
الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴾ [الأعراف : 180]
Artinya: “Hanya milik
Allah Al-Asmâ-ul-Husnâ. Oleh karena itu, bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut Al-Asmâ-ul-Husnâ itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’râf : 180)
RINGKASAN
TAFSIR
“Hanya milik
Allah Al-Asmâ-ul-Husnâ.” Al-Asmâ’ artinya nama-nama, sedangkan Al-Husnâ
artinya yang paling bagus atau indah. Al-Asmâ-ul-Husnâ adalah
nama-nama Allah yang paling bagus atau indah. Seluruh nama Allah subhânahu
wa ta’âla menunjukkan kepada zat Allah dan juga sifat sempurna yang tidak
ada kekurangan di dalamnya. Kesempurnaan Al-Asmâ-ul-Husnâ ini tidak
dimiliki oleh seorang pun di antara makhluknya.
“Oleh karena itu,
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asmâ-ul-Husnâitu!” dengan
perkataan seperti:
(( اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ اْلغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ ))
(Ya Allah! Ampunilah dan rahmatilah aku!
Sesungguhnya engkau adalah Al-Ghafûr [Yang Maha Pengampun] dan Ar-Rahîm [Yang
Maha Penyayang])
(( تُبْ
عَلَيَّ يَا تَوَّابُ ))
(Terimalah taubatku! Wahai Tawwâb [Yang Maha
Penerima Taubat]!)
اُرْزُقْنِيْ يَا رَزَّاقُ
(Berilah aku Rezeki! Wahai Ar-Razzâq [Yang Maha
Pemberi Rezeki]!)
“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya,” baik dengan cara
mengubah-ubah artinya (ta’wîl/tahrîf), meniadakan artinya (ta’thîl) atau
menyerupakannya dengan makhluk-Nya. “Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”[1]
SEBAB
TURUNNYA AYAT
Diriwayatkan dari
Muqâtil rahimahullâh bahwasanya dia berkata, “Sesungguhnya dulu ada
seseorang yang berdoa kepada Allah ketika dia shalat dan juga berdoa kepada
Ar-Rahmân. Berkatalah sebagian orang-orang musyrik Mekah, ‘Sesungguhnya
Muhammad dan para sahabatnya menyatakan bahwa mereka hanya menyembah Rabb yang
satu. Lalu mengapa orang ini menyembah dua Rabb?’ Kemudian Allah menurunkan
ayat ini.”[2]
AL-ASMÂ-UL-HUSNÂ TIDAK HANYA SEMBILAN
PULUH SEMBILAN
Banyak orang yang
menyangka bahwa Allah hanya memiliki sembilan puluh sembilan nama, dengan dalil
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallâhu ‘anhu bahwasanya
Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا
وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّة ))
Artinya: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan
puluh sembilan nama/seratus dikurangi satu. Barang siapa yang dapat menghitung
atau menghapalnya maka dia akan masuk surga.”[3]
Padahal, Allah memiliki
banyak nama yang tidak kita ketahui dan disembunyikan di sisi-Nya. Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda:
(( مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ ، فَقَالَ :
اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ ، أَسْأَلُكَ
بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ
أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ
أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ
أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلاَءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي إِلاَّ أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَحًا ))
Artinya: “Tidaklah seseorang ditimpa kebimbangan
dan kesedihan kemudian dia berdoa:
‘Ya
Allah! Sesungguhnya aku adalah seorang anak hamba laki-laki-Mu, ubun-ubunku di
tanganmu, hukummu berlaku padaku, keputusanmu sangat adil padaku. Saya
memohon dengan seluruh nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakan diri-Mu
dengannya, yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, yang
Engkau turunkan di dalam Kitab-Mu atauyang Engkau sembunyikan di ilmu ghaib di
sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur’an sebagai musim semi hatiku dan cahaya di
dadaku, serta menjadi penghilang kesedihan dan kebimbanganku,’ kecuali Allah
akan menghilangkan kebimbangan dan kesedihannya dan menjadikan kesenangan
sebagai gantinya.”[4]
Hadîts di atas sangat
jelas menyatakan bahwa nama Allah subhânahu wa ta’ala tidak hanya
sembilan puluh sembilan, karena ada nama-nama yang disembunyikan di sisi-Nya.
Seandainya ada seseorang
mengatakan, “Saya punya uang Rp 10.000,00.” Apakah pengabaran ini menunjukkan
dia hanya punya uang Rp 10.000,00 saja? Tentu tidak. Bisa saja dia memiliki
uang lebih dari itu. Begitu pula dengan penyebutan sembilan puluh sembilan pada
hadits di atas.
Al-Qurthubi berkata,
“Telah kami sebutkan bahwa nama-nama Allah ada yang telah disepakati oleh para
ulama dan ada yang masih diperselisihkan. Yang kami dapatkan di buku-buku para
imam kami, (nama-nama tersebut) mencapai lebih dari dua ratus nama.”[5]
Ibnu Katsîr berkata,
“Al-Faqîh Al-Imâm Abu Bakr bin Al-‘Arabi –salah satu imam madzhabmâliki
menyebutkan di dalam kitabnya ‘Al-Ahwadzi fî Syarhi
At-Tirmidzi’ Bahwasanya sebagian ulama mengumpulkan nama-nama Allah dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebanyak seribu nama. Allâhu a’lam.”[6]
ARTI
‘BARANG SIAPA YANG MENGHITUNG/MENGHAPALNYA, MAKA DIA AKAN MASUK SURGA.’
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh
sembilan nama/seratus dikurangi satu. Barang siapa yang dapat menghitung atau
menghapalnya maka dia akan masuk surga.”[7]
Ihshâ’ (menghitung/menghapal) Al-Asmâ-il-Husnâ di
dalam hadîts tersebut memiliki empat tingkatan, yaitu:
1. Menghitung dan menghapal nama-nama tersebut.
2. Memahami makna yang terkandung di dalamnya
3. Berdoa dengan menggunakan nama-nama tersebut,
seperti telah disebutkan di RINGKASAN TAFSIR.
4. Menyembah Allah dengan seluruh kandungan nama-nama
tersebut. Jika kita tahu bahwa Allah Ar-Rahîm (Maha Pemberi Rahmat), maka kita
selalu mengharapkan rahmat atau kasih sayang-Nya. Jika kita tahu bahwa Allah
Al-Ghafûr (Maha Pemberi Ampun), maka kita selalu memohon ampun kepadanya. Jika
kita tahu bahwa Allah As-Samî’ (Maha Mendengar), maka kita selalu menjaga
perkataan kita, jangan sampai membuat Dia marah. Jika kita tahu bahwa Allah
Al-Bashîr (Yang Maha Melihat), maka kita selalu menjaga perbuatan kita agar
tidak mengerjakan sesuatu yang tidak diridhainya. [8]
SEMBILAN
PULUH SEMBILAN AL-ASMÂ-UL-HUSNÂ DI DALAM HADITS
Tidak ditemukan hadits
yang shahîh yang menyebutkan dan mengumpulkan sembilan puluh
sembilan Al-Asmâ-ul-Husna dalam satu hadîts. Adapun hadits yang
diriwayatkan di dalam Sunan At-Tirmidzi, Mustadrak Al-Hakim dan yang lainnya,
para ulama mendhaifkannya.
At-Tirmidzi setelah
menyebutkan hadîts yang terdapat di dalamnya Al-Asmâ-ul-Husna tersebut,
beliau mengatakan, “Hadîts ini gharîb…hadîts ini diriwayatkan
dengan jalan lain dari Abu Hurairah dan kami tidak mengetahui pada sebagian
besar riwayat-riwayat tersebut yang menyebutkan nama-nama ini kecuali
di hadîts ini…”[9]
Ibnu katsîr mengatakan,
“Yang menjadi pegangan Jamâ’ah Al-Huffâdzh (para muhadditsîn) adalah hadîts tersebut mudraj[10].”[11]
BOLEHKAH
SESEORANG DIBERI NAMA DENGAN SALAH SATU NAMA ALLAH?
Nama-nama
Allah subhânahu wa ta’âla terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Nama-nama yang mengandung sifat yang hanya khusus
dimiliki oleh Allah subhânahu wa ta’âla, seperti: Ar-Rahmân, Al-Khâliq,
Al-Bâri, Al-Qayyûm, Al-Ilâh, Ar-Razzâq, Ash-Shamad, dll. Nama-nama Allah
yang seperti itu hanyalah milik Allah dan tidak boleh digunakan oleh
makhluknya.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang seseorang diberi nama
denganMalikul-Amlâk (Raja semua raja), dengan sabdanya:
( إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ
رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ… لَا مَالِكَ إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ )
Artinya: “Sesungguhnya nama yang paling hina di
sisi Allah adalah seseorang yang bernamaMalikul-Amlâk (Raja semua
raja)…Tidak ada raja kecuali Allah ‘azza wa jalla.”[12]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam melarang menggunakan nama tersebut, karena di dalamnya terdapat
suatu penyerupaan dengan Allah pada nama dan sifat-Nya. Ini semua untuk menjaga
tauhid, menjaga hak Allah dan menutup pintu-pintu menuju kesyirikan pada
ucapan-ucapan manusia. Karena bisa saja, dengan nama-nama yang sebenarnya hanya
dikhususkan untuk Allah, seseorang menyangka bahwa selain Allah yang
menggunakan nama tersebut juga memiliki sifat-sifat yang terkandung pada nama
tersebut. Ini termasuk syirik.
Mâlikul-Amlâk (Raja semua raja) adalah
Allah. Tidak ada yang berhak memiliki gelar itu kecuali Allah. Oleh karena itu,
para ulama sepakat akan terlarangnya menggunakan nama-nama jenis ini untuk
makhluknya[13].
Di negara kita banyak orang yang menggunakan nama-nama
yang seperti ini atau dipanggil dengan nama-nama tersebut, seperti: Rahmân,
Shamad, Khâliq, Razzâq dll. Hal ini tentu tidak diperbolehkan.
2. Nama-nama yang mengandung sifat yang tidak
dikhususkan untuk Allah subhanahu wa ta’ala, seperti: Al-Halîm, Ar-Rahîm,
Ar-Ra-ûf, Al-‘Azîz, Al-Karîm, Al-Hakîm, Al-Hakam, Al-‘Aliy dll. Nama-nama Allah
yang seperti itu boleh digunakan oleh makhluknya. Karena Allah subhanahu wa
ta’ala di dalam Al-Qur’an menamakan makhluknya dengan nama-nama tersebut,
seperti pada ayat-ayat berikut:
قال الله تعالى: ﴿ فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ
حَلِيمٍ ﴾ [الصفات : 101]
“Kemudian kami berikan kabar gembira kepadanya
(yaitu Ibrahim) dengan seorang anak yang (sabar/tenang).” (QS
Ash-Shâffât : 101)
Allah menamai Nabi Muhammad dengan Ra-ûf dan
Rahîm
قال الله تعالى: ﴿ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴾ [التوبة : 128]
“(Dia) amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin.” (QS At-Taubah : 128)
Di dalam kisah Nabi Yûsuf ‘alaihis-salâm, Allah
menyebut penguasa pada saat itu dengan Al-Azîz.
قال الله تعالى: ﴿ قَالَتِ
امْرَأَتُ الْعَزِيزِ ﴾
“Istri Al-‘Azîz pun berkata.” (QS
Yusuf : 51)
Para sahabat banyak yang menggunakan nama-nama
seperti ini dan tidak diingkari oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
seperti: ‘Ali, Karîm bin Al-Hârits bin ‘Amr As-suhami, setidaknya ada 10 orang
bernama Hakîm dan setidaknya ada 30 orang yang bernama Al-Hakam.[14]
Akan tetapi, kita harus paham bahwa kesamaan nama
dan sifat Allah dengan makhluknya tidak berarti Allah sama dengan makhluknya.
Seseorang bisa saja dijuluki Halîm (yang sabar dan tenang),
tetapi hilm (kesabaran/ketenangan) yang dimilikinya tidak akan sama
dengan hilm yang dimiliki oleh Allah. Allah memiliki sifat yang
sempurna, tidak ada kekurangan dan tidak ada yang bisa menandinginya.[15]
Meskipun menggunakan nama-nama jenis kedua
diperbolehkan, tetapi tetap disunnahkan untuk menambahkan nama penghambaan di
depannya, yaitu dengan menggunakan kata ‘Abd (عبد)
untuk laki-laki, seperti: ‘Abdul-Halîm, ‘Abdul-Hakîm dll.[16]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengganti nama seseorang yang bernama ‘Aziz menjadi ‘Abdurrahman sebagaimana
disebutkan di dalam riwayat Khaitsamah bin ‘Abdirrahman bin Abi Sabrah, dia
menceritakan bahwa dulu bapaknya – yaitu ‘Abdurrahman- pernah pergi bersama
kakeknya menuju ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Siapa nama anakmu ini?” Kakekku
pun menjawab, “’Azîz.” Nabi pun mengatakan, “Jangan kau namai dia dengan nama
‘Azîz. Tetapi, Namailah dia dengan ‘Abdurrahman.” Kemudian Nabi pun berkata, “Sesungguhnya
nama-nama yang paling bagus adalah ‘Abdullâh, ‘Abdurrahmân dan Al-Hârits. [17]
Pada hadits ini tidak terdapat larangan
menggunakan nama ‘Azîz, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggantikannya dengan yang lebih baik, yaitu ‘Abdurrahman.
Firman Allah:
قال الله تعالى: ﴿ وَذَرُوا
الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ﴾
Para ulama tafsir
menyebutkan beberapa arti dari kata (يُلْحِدُونَ)pada ayat di atas, di antaranya adalah sebagai berikut[18]:
1.
Berbuat syirik (يُشْرِكُوْن), sehingga arti ayat tersebut: “Dan tinggalkanlah orang-orang yang berbuat
syirik pada nama-nama-Nya.” Syirik pada ayat ini, maksudnya
adalahtasybîh/tamtsîl (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
2. Mendustakan (يُكَذِّبُوْن), sehingga arti ayat
tersebut: “Dan tinggalkanlah orang-orang yang mendustakan nama-nama-Nya.”
3. Menyimpangkan (يَنْحَرِفُوْنَ/يَمِيْلُوْنَ), sehingga arti ayat
tersebut: “Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya.”
BENTUK-BENTUK
PENYIMPANGAN TERHADAP AL-ASMÂ-UL-HUSNÂ
1. Menamakan patung-patung yang diambil dari
nama-nama Allah, seperti: Patung yang bernama Al-Lât (اللات) diambil dari nama Allah
Al-Ilâh (الإله), Al-‘Uzzâ (العزى) dari nama Allah Al-‘Azîz (العزيز), Al-Manât (مناة) dari nama Allah Al-Mannân
(المنان).
2. Menamakan Allah dengan sesuatu yang tidak layak
bagi Allah, seperti: para filosof menamakan Allah dengan Prime Cause (Sebab
Utama) dan kaum Nashrâni (Kristen) menamakan Allah dengan Al-Ab (الأب) atau Tuhan Bapa.
3. Menamakan Allah dengan sifat-sifat kekurangan,
seperti yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi bahwa Allah Faqîr (Miskin) atau
tangan Allah terbelenggu.
4. Mentiadakan/menolak nama-nama Allah (ta’thîl),
seperti yang dilakukan oleh kaum Jahmiyah mereka mengatakan bahwa
Al-Asmâ-ul-Husnâ hanya sekedar nama yang tidak memiliki makna dan arti. Mereka
mengatakan, “Ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang), tetapi Allah tidak disifati dengan
Rahmah (memberi kasih sayang), Al-Hayyu (Yang Maha Hidup), tetapi Allah tidak
disifati dengan hidup, As-Samî’ (Yang Maha Mendengar) dan Al-Bashîr (Yang Maha
Melihat), tetapi Allah tidak disifati dengan memiliki pendengaran dan penglihatan.
Ada juga orang-orang yang hanya menetapkan
beberapa sifat yang terkandung pada nama-nama tersebut tetapi menolak sifat
yang lainnya. Mereka menetapkan sifat berilmu pada Allah, karena Allah memiliki
nama Al-‘Alîm (Yang Maha Berilmu), tetapi mereka tidak menetapkan sifat memberi
kasih sayang (rahmah) pada Allah, padahal Allah memiliki nama Ar-Rahmân dan
Ar-Rahîm.
Orang yang mentiadakan/menolak nama-nama Allah
ada bermacam-macam. Di antara mereka ada yang keluar dari agama Islam dan ada
juga yang belum keluar dari agama Islam, tergantung kepada seberapa besar
tingkat kesesatannya.
5. Menyerupakan Allah dengan makhluknya (tamtsîl),
seperti mengatakan bahwa penglihatan dan pendengaran Allah seperti penglihatan
dan pendengaran manusia, hidup Allah seperti hidup makhluknya dll. Ini tidak
diperbolehkan. Allah telah menyatakan di dalam Al-Qur’an bahwa Allah tidak
serupa dengan segala apapun. Allah berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ ﴾ [الشورى : 11]
Artinya: “Tidak ada yang sesuatu apapun yang
semisal dengan-Nya dan Dia adalah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS
Asy-Syûrâ : 11)
KESIMPULAN
1. Allah subhânahu wa ta’âla memiliki
nama-nama yang indah/ Al-Asmâ-ul-Husnâ. Kita diperintahkan untuk
mengetahuinya, menghapalnya, berdoa dengannya dan beribadah kepada Allah dengan
seluruh kandungan yang terdapat di dalamnya.
2. Allah tidak hanya memiliki sembilan puluh sembilan
nama. Ada nama-nama Allah yang di sembunyikan di sisi-Nya.
3. Seseorang tidak boleh menggunakan nama Allah yang
hanya dikhususkan untuknya, seperti: Ar-Rahmân, Al-Khâliq, Ar-Razzâq dll. Dan
seseorang boleh menggunakan nama yang tidak dikhususkan untuk Allah, seperti:
‘Ali, ‘Azîz, Hakîm dll.
4. Penyimpangan
terhadap Al-Asmâ-ul-Husnâ ada lima macam, yaitu: menamakan
patung-patung yang diambil dari nama-nama Allah, menamakan Allah dengan sesuatu
yang tidak layak bagi Allah,menamakan Allah dengan sifat-sifat kekurangan,
mentiadakan/menolak nama-nama Allah (ta’thîl) dan menyerupakan Allah dengan
makhluknya (tamtsîl)
NASIHAT
Mengenal
Allah subhânahu wa ta’âla adalah suatu kewajiban. Salah satu cara
mengenal Allah adalah dengan mempelajari Al-Asmâ-ul-Husnâ dan
Sifat-Sifat Allah yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seseorang
tidak mungkin memahami dengan benar arti dari setiap nama dan sifat Allah
kecuali dengan memahami bahasa Arab. Contohnya: Ar-Rahmân diterjemahkan dengan
Yang Maha Pengasih dan Ar-Rahîm diterjemahkan dengan Yang Maha Penyayang,
padahal kedua terjemahan tersebut kurang tepat dan memang tidak kita temukan
kata yang sepadan untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Begitulah
halnya dengan sebagian besar Al-Asmâ-ul-Husnâ dan sifat-sifat
Allah. Oleh karena itu, sempatkanlah diri untuk benar-benar mempelajari
bahasa Arab.
Demikian, mudahan bermanfaat.
Prabumulih, Dzul-Hijjah 1432/November
2011
DAFTAR
PUSTAKA
1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri.
2. Al-Jâmi’ li ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. 1423 H/2003 M. Riyadh: Dar ‘Âlam
Al-Kutub.
3. Al-Qaul Al-Mufîd ‘Alâ Kitâbit-Tauhîd. Muhammad bin Shâlih Al-‘Utsaimîn. 1424 H. KSA: Dâr Ibnil-Jauzi.
4. At-Tadmuriyyah. Ahmad
bin ‘Abdil-Halîm bin ‘Abdissalam bin Taimiyah. 1424 H/2003. Ar-Riyadh: Maktabah
Al-‘Ubaikân.
5. Jâmi’ul-bayân fî ta’wîlil-Qur’ân. Muhammad bin Jarîr Ath-Thabari. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
6. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M.
Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
7. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr
Ath-Thaibah.
8. Taisîr Al-‘Azîz Al-Hamîd fî Syarhi Kitabit-Tauhîd. Sulaiman bin ‘Abdillah. 1423 H/2002. Beirut: Al-Maktab Al-Islâmi.
9. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
10. Tasmiyatul-Maulûd. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid. 1416 H/1995. Ar-Riyadh: Dârul-‘Âshimah.
11. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar telah
dicantumkan di footnotes.
[1] Tafsîr As-Sa’di hal.
309-310 dan Aisarut-Tafâsîr pada ayat di atas.
[2] Tafsîr Al-Baghawi (III/306).
Penulis tidak menemukan riwayat yang shahîh yang menjelaskan
tentang sebab turunnya ayat ini. Riwayat di atas disebutkan oleh Al-Baghawi di
dalam tafsirnya tanpa sanad. Penulis mencantumkannya karena banyaknya para
ulama tafsir yang mencantumkannya di dalam tafsir-tafsir mereka, begitu juga di
buku-buku ‘aqîdah. Allahau a’lam bish-shawâb.
[3] HR Al-Bukhâri no. 2736
dan Muslim no. 6/2677.
[4] HR Ahmad no. 3712,
Al-Hâkim no. 1877 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albâni berkata di Ash-Shahîhah no.
199, “Hadîst ini shahîh.”
[5] Tafsîr Al-Qurthubi (VII/325)
[6] Tafsîr Ibni Katsîr (III/515).
[7] HR Al-Bukhâri no. 2736
dan Muslim no. 6/2677.
[8] Lihat Taisîr
Al-‘Azîz Al-Hamîd hal. 555 dan Al-Qaul Al-Mufîd (II/314-316)
[9] Sunan At-Tirmidzi no.
3507
[10] Yaitu hadîts yang
di dalamnya terdapat tambahan dari orang yang meriwayatkan hadîtsyang
tidak termasuk bagian hadîts tersebut. Hadîts mudraj adalah
salah satu jenis hadits dha’îf.
[11] Tafsîr Ibni Katsîr (III/515).
[12] HR Muslim 20/2143.
[13] Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah (XI/335-336).
[14] Lihat Al-Ishâbah
fi Tamyîzish-shahâbah. Ibnu Hajar Al-‘Asqalâni pada nama-nama tersebut.
[15] At-Tadmuriyyah hal.
21-24.
[16] Sebagian ulama
mengharamkan menggunakan nama-nama Allah untuk nama seseorang secara mutlak,
walaupun nama-nama tersebut termasuk jenis yang kedua. Pendapat ini lemah,
tetapi sebaiknya kita tetap berhati-hati untuk tidak menggunakannya untuk
menghormati nama-nama Allah, sebagaimana Rasulullah pernah mengganti orang yang
berkun-yah Abul-Hakam dengan Abu Syuraih.
[17] HR Ahmad no. 17606 dan
yang lainnya. Syaikh Syu’aib berkata, “Hadîts ini shahîh.”
[18] Lihat Tafsîr
Ath-Thabari (X/596-598), Tafsîr Al-Qurthubi (VII/328-329)
dan Tafsîr Ibni Katsîr (III/516).
[19] At-Tadmuriyah hal.
31-42, Tafsîr Al-Qurthubi (VII/328-329), Taisîr
Al-‘Azîz Al-Hamîd hal. 560-561 dan Al-Qaul Al-Mufîd (II/317-318).
Post a Comment