Bacaan dalam Shalat Malam



Bacaan dalam Shalat Malam

Disunnahkan bagi yang shalat malam agar membaca al-Qur`an dari awal hingga akhirnya, dan sangat dianjurkan bagi imam dalam shalat Tarawih untuk memperdengarkan al-Qur`an secara sempurna kepada orang-orang yang shalat (jama’ah/makmum). Inilah yang diamalkan oleh kaum muslimin.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Membaca al-Qur`an dalam shalat Tarawih disunnahkan dengan kesepakatan para imam kaum muslimin, bahkan termasuk tujuan utama shalat Tarawih adalah membaca al-Qur`an padanya, agar kaum muslimin mendengarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (al-Qur`an). Sesungguhnya di bulan Ramadhan itulah diturunkan al-Qur`an. Pada bulan itulah Jibril ‘alaihissalam tadarus al-Qur`an dengan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah yang paling pemurah di bulan Ramadhan, dan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam lebih pemurah lagi di bulan Ramadhan saat bertemu Jibril ‘alaihissalam lalu tadarus al-Qur`an kepadanya.[1]
Bahkan Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang imam shalat di bulan Ramadhan yang meninggalkan beberapa ayat dari satu surat, apakah engkau berpendapat bahwa bagi yang di belakangnya agar membacanya? Ia menjawab: Benar, semestinya ia melakukan. Sungguh mereka di Mekkah mewakilkan kepada seseorang yang menulis apa yang ditinggalkan imam dari beberapa huruf, apabila di malam khataman (penutup) ia mengulanginya.
Ibnu Qudamah rahimahullah memberi komentar terhadap hal ini: Sesungguhnya disunnahkan hal itu agar sempurna khataman dan pahala.[2]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: Sungguh penduduk Mekkah, imam Ahmad rahimahullah, dan pengikutnya menjadikan mengulangi ayat-ayat yang dilupakan secara tersendiri menyempurnakan khataman dan pahala, sekalipun menyalahi susunan (tartib) surah di sini, karena ia tidak membaca surah secara sempurna. Hal ini diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa ia lupa satu ayat dalam satu surah, kemudian di pertengahan bacaan ia membacanya dan kembali ke tempat bacaannya, dan tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ia lupa kecuali orang yang hapal al-Qur`an.[3]
Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah berkata: Tidak disunnahkan kurang dari satu kali khatam dalam satu bulan untuk memperdengarkan kepada manusia semua al-Qur`an.[4]
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata: Adapun membaca, para ulama menganjurkan bagi imam agar tidak kurang dari membaca satu juz (dalam satu malam) agar manusia bisa mendengarkan semua al-Qur`an dalam shalat tarawih.[5]
Peringatan: disunnahkan bagi imam agar tidak menyusahkan para makmum dalam melaksanakan qiyam Ramadhan. Tidak ada batas tertentu dalam kadar bacaan menurut para ulama, dan membaca al-Qur`an secara sempurna sangat mungkin tanpa menyusahkan jama’ah bagi yang bisa melakukan hal itu dan membagi al-Qur`an atas beberapa juz atas beberapa malam hingga ia menyempurnakannya.[6]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: Jumlah pendapat dalam masalah ini bahwa tidak batasnya di sisi Imam Malik rahimahullah dan di sisi para ulama dalam kadar bacaan (al-Qur`an), dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «مَنْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ»
Barangsiapa yang menjadi imam  hendaklah ia meringankan.”
Dan Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Janganlah kamu menyebabkan murka Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, maksudnya: janganlah kamu memanjangkan dalam shalat mereka.[7]
Dan ia berkata: Saya tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama dalam anjuran meringankan bagi setiap orang yang menjadi imam terhadap jamaah  menurut yang kami syaratkan dengan sekurang-kurang yang cukup. Shalat fardhu dan sunnah menurut mereka semua adalah sama dalam sunnah meringankan apabila dilaksanakan shalat berjamaah bersama imam, kecuali yang diriwayatkan pada shalat kusuf (gerhana).[8]
Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang seseorang yang membaca al-Qur`an dua kali pada bulan Ramadhan, maksudnya shalat berjamaah? Ia menjawab:  Ini menurut kadar rajinnya manusia, karena di antara jamaah ada yang pekerja kasar, dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: ‘Apakah engkau menciptakan fitnah?[9]
Dianjurkan agar ia pertengahan (tidak terlalu cepat dan tidak lambat) dalam membaca, tidak lambat padanya dengan memanjangkan, ghunnah, meninggikan suara dan memaksakan diri dengan hukum-hukum tajwid, dan jangan pula ia terlalu cepat yang menodai bacaan, akan tetapi semestinya ia membaca secara pertengahan di antara cepat dan lambat. Ada para imam, terutama sekali yang masih muda, memaksakan diri dalam mempraktikkan hukum-hukum tajwid sehingga bacaan terasa berat atasnya dan pada akhirnya tidak bisa menyempurnakan al-Qur`an dalam shalat Tarawih dan Tahajud dan menghalangi jama’ah di belakangnya dari mendengarkan semua al-Qur`an. Maka tepat sekali atas mereka sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الْمُنْبتَّ لاَ أَرْضًا قطع  وَلاَظَهْرًا أَبْقَى»
Sesungguhnya munbatt tidak (berjalan) melewati bumi dan tidak pula tetap berada di tempat.”
Maka mereka tidak mampu menyempurnakan al-Qur`an sekalipun hanya sekali. Padahal para imam di negeri ini (Saudi Arabia) hingga masa yang tidak terlalu jauh (belum lama), di antara mereka ada yang mengkhatamkan al-Qur`an tiga kali dalam shalat Tarawih dan Tahajud. Ada yang mengkhatamkannya dua kali dan ada pula yang satu kali. Ini adalah yang paling kurang. Hingga akhirnya banyak di antara mereka yang tidak mampu menyelesaikan satu kali khatam. Bisa saja mereka mengatakan: Mengkhatamkan adalah bid’ah! Dan mereka tidak membedakan di antara mengkhatamkan dalam arti menyempurnakan al-Qur`an dan mengkhatamkan yang maksudnya adalah berdoa saat selesai al-Qur`an dalam shalat. Maka yang pertama adalah sunnah, adapun yang kedua maka tempat perbedaan pendapat. Persoalannya tidak terlalu susah.
                Dan yang mengherankan bahwa sebagian mereka berusaha mengkhatamkan al-Qur`an dalam shalat fardhu. Di mana dia meneruskan membaca al-Qur`an padanya hingga mengkhatamkannya. Maka ia melakukan bid’ah sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak pula para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan mengingkari yang diriwayatkan dalam shalat Tarawih dan Tahajud.[10]
                Faedah: Manakah yang paling utama bagi yang shalat sendirian, ia menyaringkan bacaan atau pelan? Ibnu Quddamah berkata: Dia boleh memilih di antara menyaringkan bacaan dan pelan dengannya. Kecuali bila nyaring membuatnya bertambah rajin dalam membaca, atau ada yang ikut mendengarkan bacaannya, atau mengambil manfaat dengannya maka nyaring lebih utama. Dan jika ada yang sedang shalat Tahajud di dekatnya, atau ada yang terganggu dengan suaranya maka pelan lebih utama. Dan jika tidak ada ini dan tidak ada yang ini maka hendaklah ia melakukan apa yang dikehendakinya.[11]


[1] Al-Fatawa 23/122-123.
[2] Al-Mughni 2/610.
[3] Al-Fatawa 21/411.
[4] Al-Mughni 2/606.
[5] Ad-Durarus saniyah 4/375 dan Majmu’ah rasail wa masail 1/95.
[6] Tambahan Syaikh Shalih al-Fauzan ghafarallahu lahu.
[7] Al-Istidzkar 5/178.
[8] At-Tamhid 19/9.
[9] Masa`il Abu Daud 91 no masalah 444.
[10] Dari penjelasan Syaikh kami Shalih al-Fauzan ghafarallahu lahu.
[11] Al-Mughni 2/562.

Tidak ada komentar