Pemisah Antara Tarawih dan Qiyam
Memisah dalam hukum berdasarkan nama tidak ada dalilnya. Tidak terbentuk
satu hukum dari hukum shalat malam karena semata-mata penamaannya dengan
tarawih atau qiyam, keduanya adalah shalat malam. Syaikh Abdullah Aba Bithin rahimahullah
berkata: Yang berlaku dalam ucapan masyarakat awam dari penamaan mereka
sesuatu/shalat yang dilakukan di permulaan malam dinamakan tarawih dan shalat
yang dilakukan setelah itu disebut qiyam, ia adalah pemisahan kalangan awam,
akan tetapi semuanya adalah tarawih dan qiyam. Sesungguhnya qiyam Ramadhan
dinamakan tarawih karena mereka beristirahat setelah empat rekaat karena mereka
memanjangkan shalat mereka.[1]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: Semua shalat di
bulan Ramadhan dinamakan qiyam.[2]
Sebagian mereka mengira bahwa pemisahan ini di antara shalat permulaan
malam dan akhir malam adalah ‘ta’qib’ yang disebutkan oleh para fuqaha dan
tidak disukai oleh sebagian mereka. Syaikh Abdullah Aba Bithin mengingatkan
kekeliruan dugaan ini dengan katanya: Yang diduga sebagian orang bahwa shalat
kita di sepuluh terakhir adalah shalat ta’qib yang tidak disukai sebagian
fuqaha, sebenarnya dugaan itu keliru. Karena ta’qib adalah melakukan shalat
sunnah berjamaah setelah selesai shalat tarawih dan witir. Inilah ungkapan para
fuqaha dalam mendefinisikan ta’qib bahwa ia adalah shalat sunnah berjamaah
setelah shalat witir yang mengiri shalat tarawih. Maka ucapan mereka sangat
jelas bahwa shalat berjamaah sebelum witir bukan ta’qib.[3]
Kemudian, andaikan itulah yang dimaksud ta’qib, mayoritas fuqaha
berpendapat bahwa hal itu tidak makruh. Ibnu Rajab berkata: mayoritas fuqaha
berpendapat bahwa ia tidak makruh dalam kondisi apapun.’[4]
Kemudian, sebagian ulama yang memakruhkannya seperti Hasan al-Bashri,
memakruhkan karena alasan lain, yaitu yang dia tegaskan dalam ucapannya saat
ditanya tentang ta’qib: ‘Janganlah kamu membuat manusia bosan.’ Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya. Ibnu Rajab berkata dalam memberi
komentar terhadap ucapan Hasan al-Bashri: Makruh ini adalah karena maksud lain
selain shalat setelah witir.[5]
Al-Kausaj mengutip dari Ishaq bahwa apabila imam menyempurnakan shalat
tarawih di awal malam, makruh baginya shalat dengan mereka di akhir malam
secara berjamaah yang lain, dan kesempurnaan tarawih adalah menutupnya dengan
witir. Adapun bila ia belum menyempurnakannya dengan mereka di permulaan malam
maka ia boleh menyempurnakannya di akhir malam, dan atas dasar ini tidak dimakruhkan.[6]
Memisah di antara shalat di permulaan malam dan di akhirnya bukan sesuatu
yang bid’ah, bahkan ia diriwayatkan dari Nabi saw. Al-Bukhari meriwayatkan
dalam shahihnya dari Ibnu Abbas rad, ia berkata: ‘Aku menginap di rumah bibiku
Maimunah rad, maka beliau shalat Isya, kemudian datang (ke rumah) lalu shalat
empat rekaat, kemudian tidur, kemudian bangun, lalu aku datang berdiri di
sebelah kirinya, maka beliau menjadikan aku di sebelah kanannya. Lalu beliau
shalat lima rekaat, kemudian shalat dua rekaat kemudian tidur sehingga aku
mendengar dengkurnya, kemudian beliau keluar menuju shalat.’
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushannafnya dari Anas rad bahwa ia
berkata tentang ta’qib: tidak mengapa dengannya, sesungguhnya mereka kembali
kepada kebaikan yang mereka harapkan dan berlepas diri dari keburukan yang
mereka khawatirkan.
Dan hakikatnya bahwa untuk keutamaan sepuluh malam terakhir (di bulan
Ramadhan) mereka menambahkan shalat tahajjud di akhir malam setelah
melaksanakan shalat tarawih di awal malam, karena Nabi saw bersungguhnya di
sepuluh terakhir yang tidak beliau lakukan di malam lainnya: ‘Apabila masuk
sepuluh terakhir beliau beliau bersungguh-sungguh, mengencangkan sarungnya dan
menghidupkan malamnya, dan para sahabat melakukan hal itu karena mengikuti Nabi
saw.
Pengambilan dalil mereka yang keliru bahwa ‘Nabi saw tidak menambah di
bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan lainnya dari sebelas rekaat’ menghalangi
mereka dari kebaikan yang sangat banyak. Karena sebelas rekaat yang beliau
lakukan menghabiskan sebagian besar malam dengan lama berdiri, rukuk dan sujud,
yang tidak mereka perhatian, di mana mereka hanya mengambil jumlah rekaat bukan
tata caranya. Dan kebiasaan kondisi Nabi saw bahwa beliau shalat sendirian di
malam hari, dan beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَيُّكُمْ
أَمَّ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيْهِمُ الْكَبِيْرَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا
الْحَاجَةِ فَإِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُصَلِّ مَا شَاءَ»
“Siapapun di antara kamu yang mengimami manusia maka hendaklah ia meringankan,
karena di antara jama’ah ada yang tua, lemah, dan mempunyai kebutuhan, apabila
ia shalat sendirian maka hendaklah ia shalat sekehendaknya.’
Karena alasan inilah tatkala para shahabat melaksanakan shalat tarawih
berjama’ah di masa Umar rad mereka melaksanakan dua puluh tiga rekaat lalu
mereka meringankan sifatnya dan menambah bilangan. Dan Nabi saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ»
“Hendaklah kamu berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur
rasyidin.”
Maka dua puluh tiga rekaat termasuk sunnah khulafaurrasyidin dan sebelas
adalah perbuatan Nabi saw, dan semuanya adalah sunnah. Perbedaannya adalah
dalam bilangan karena perbedaan cara pelaksanaan dan karena perbedaan kondisi
orang-orang yang shalat sendirian dan berjamaah.
Nabi saw mendorong melaksanakan qiyamullail dan beliau tidak menentukan
batas tertentu yang menunjukkan bahwa perkaranya adalah luas, dan sesungguhnya
ditinggalkan karena keinginan orang yang shalat dan jenis shalatnya. Wallahu
A’lam.
Dalam fatwa Lajnah Daimah: tidak mengapa menambah bilangan rekaat di sepuluh malam terakhir
dari bilangannya di dua puluh pertama, dan membaginya menjadi dua bagian, satu
bagian dilaksanakan di permulaan malam dan meringankannya atas dasar bahwa ia
adalah shalat tarawih sebagaimana dalam dua puluh pertama, dan satu bagian
dilaksanakan di akhir malam dan ia memanjangkannya atas dasar bahwa ia adalah
shalat tahajjud. Sesungguhnya Nabi saw bersungguh-sungguh di sepuluh malam
terakhir yang tidak beliau lakukan di malam lainnya. Apabila masuk sepuluh
terakhir beliau bersungguh-sungguh, mengencangkan sarung dan menghidupkan
malamnya, serta membangunkan istri-istrinya karena menjaga lailatul qadar. Maka
yang mengatakan bahwa beliau tidak menambah di akhir malam dari yang beliau lakukan
di awal bulan menyalahi petunjuk Nabi saw dan menyalahi petunjuk salafus shalih
berupa lama berdiri di akhir bulan di akhir malam. Maka yang wajib adalah
mengikuti sunnahnya dan sunnah khulafaur rasyidin sesudahnya, mendorong kaum
muslimin untuk melaksanakan shalat tarawih dan shalat qiyam bukan malah
menghinakan mereka dalam hal itu dan bukan melemparkan syubhat yang mengurangi
semangat mereka melaksanakan qiyam Ramadhan.[7]
Post a Comment