Boleh Melaksanakan Shalat Malam dalam Kondisi Duduk
Boleh Melaksanakan Shalat Malam dalam
Kondisi Duduk
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari Imran bin Hushain radhiyallahu
‘anhu, sesungguhnya ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang shalat malam dalam kondisi duduk? Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى
قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ» [ رواه البخاري ]
“Jika ia shalat berdiri maka ia lebih utama, dan siapa yang shalat dalam
kodisi duduk maka baginya setengah pahala shalat orang yang berdiri.” [HR. Bukhari]
Para ulama ijma’ (konsensus) bahwa boleh bagi makmum melaksanakan shalat
sambil duduk di belakang imam pada shalat sunnah, dan termasuk di antaranya
adalah shalat malam. Ibnu Abdil Barr rahimahullah
berkata: ‘Mereka ijma’ bahwa berdiri dalam shalat fardhu adalah wajib, bukan
atas jalan memilih,dan sesungguhnya shalat sunnah boleh memilih dalam berdiri
padanya.[1]
Dan ia berkata: ‘Para ulama ijma’ bahwa boleh duduk bagi yang shalat di
belakang imam yang berdiri dalam shalat sunnah.’[2] Dan ia berkata: dan semua ini tidak ada
perbedaan pendapat padanya.[3]
Dan di antara para ulama yang meriwayatkan tidak ada perbedaan pendapat padanya
adalah Ibnu Hazm,[4]Ibnu
Quddamah,[5]
an-Nawawi rahimahumullah,[6]
dan selain mereka.
Dua faedah: Faedah pertama: al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan
dalam shahihnya dari Ibnu Buraidah rahimahullah, ia berkata: ‘Imran bin
Hushain radhiyallahu ‘anhu menceritakan kepada saya – ia menderita
penyakit ambiyen- ia berkata: ‘Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang shalat seseorang sambil duduk. Beliau menjawab:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ
صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ
نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ» [رواه
البخاري]
“Jika ia shalat berdiri maka ia lebih utama, dan
siapa yang shalat dalam kondisi duduk maka baginya setengah pahala shalat orang
yang berdiri, dan siapa yang shalat berbaring maka baginya setengah pahala
shalat orang yang duduk.” [HR. Bukhari]
Pada asalnya bahwa seseorang shalat berdiri. Jika ia tidak mampu maka
duduk, jika tidak mampu maka di atas lambung (berbaring). Kemudian ijma’
menentukan boleh melakukan shalat sunnah dalam kondisi duduk, sekalipun ia
mampu berdiri dan tidak ada dalil yang menunjukkan boleh melakukannya sambil
berbaring tanpa ada uzur, maka tetaplah asalnya seperti semula. Wallahu A’lam.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Tidak boleh bagi seseorang
melaksanakan shalat fardhu dalam kondisi duduk atau berbaring kecuali dalam
kondisi uzur, dan tidak boleh baginya melaksanakan shalat sunnah sambil
berbaring menurut pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, kecuali satu wajah
(pendapat) dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad. Dan sudah diketahui bahwa melaksanakan
shalat sunnah sambil berbaring adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh
seseorang dari kaum salaf. Dan sabdanya:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ
مِنَ الْعَمَلِ مَا كَانَ يَعْمَلُ وَهُوَ صَحِيْحٌ» [رواه البخاري]
‘Apabila hamba
sakit atau safar niscaya ditulis baginya (ibadah) yang biasa
dilakukannya saat masih sehat.” [HR. Bukhari].
Menunjukkan bahwa ditulis baginya karena niatnya.
Sekalipun ia tidak bisa melakukan kebiasaannya sebelum sakit dan safar. Maka
hal ini menunjukkan bahwa siapa yang meninggalkan shalat jama’ah karena sakit
atau safar dan ia biasa melakukannya, niscaya ditulis baginya pahala berjamaah.
Dan jika ia tidak melakukannya secara rutin niscaya tidak ditulis baginya.
Sekalipun dalam dua kondisi itu dia melaksakan shalat sendirian, demikian pula
orang yang sakit apabila ia shalat duduk atau berbaring.[7]
Dan ia berkata: Dan tidak ada seorang
pun dari kalangan salaf yang membolehkan shalat sunat berbaring tanpa ada halangan, dan tidak diketahui bahwa
seorang salaf pernah melakukan hal itu. Dan bolehnya merupakan satu wajh
(pendapat) dalam mazhab Syafi’i dan Hanbali, dan tidak diketahui bagi yang
berpendapat ini ada pendapat salaf yang mendahuluinya, padahal masalah ini yang
banyak terjadi. Andaikan boleh bagi setiap muslim melaksanakan shalat sunat
sambil berbaring, padahal dia sehat, bukan sedang sakit, sebagaimana boleh
melaksanakan shalat sunat sambil duduk dan di atas kenderaan/tunggangan niscaya
hal ini termasuk yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk umatnya dan para sahabat pasti mengetahui hal itu. Kemudian,
kendati kuatnya pendorong kepada kebaikan, hal itu mesti dilakukan oleh
sebagian sahabat. Maka tatkala tidak ada seorang pun dari mereka yang melakukan
hal itu pasti hal itu tidak disyari’atkan di sisi mereka.[8]
Al-Khathabi rahimahullah berkata:
Saya tidak mengingat dari dari seorang ulama bahwa ia membolehkan shalat sunat
sambil berbaring, sebagaimana mereka membolehkan padanya sambil duduk. Jika
shahih lafazh ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan dari
ucapan sebagian perawi yang memasukkannya dalam hadits dan mengqiyaskan
terhadap shalat yang duduk, atau dipandang shalat orang sakit sambil berbaring
apabila tidak mampu duduk, maka sesungguhnya shalat berbaring bagi yang mampu
duduk adalah boleh.[9]
Ibnu Baththal rahimahullah
berkata: ‘Adapun perkataannya ‘Siapa yang shalat dengan memberi isyarat maka
baginya setengah pahala shalat yang duduk’ maka tidak sah maknanya menurut
para ulama, karena mereka ijma’ bahwa shalat sunat tidak sah dilakukan secara
isyarat oleh yang mampu berdiri, sesungguhnya terjadi wahm (kerancuan)
terhadap yang mengutip riwayat ini, maka ia memasukkan lafazh fardh
dalam lafazh nafilah (sunat)...’[10]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata
pada shalat orang yang berhalangan: Sesungguhnya ia pada orang yang uzur
(berhalangan), jika tidak demikian maka yang tidak uzur tidak ada pahala
baginya apabila pada shalat fardhu. Dan jika shalat sunat, tidak boleh baginya
shalat sunnat sambil berbaring. Maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya satu hari pun semasa hidupnya,
tidak pernah sama sekali dilakukan oleh salah seorang sahabat padahal mereka
sangat bersemangat dalam melaksanakan berbagai macam ibadah dan melakukan
segala kebaikan. Karena alasan ini mayoritas ulama umat melarang hal itu. Dan
tidak boleh shalat berbaring kecuali bagi yang tidak bisa duduk, sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Imran radhiyallahu
‘anhu:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: «صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ
فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ» [رواه البخاري]
“Shalatlah
berdiri, jika engkau tidak mampu maka (shalatlah) sambil duduk, jika engkau
tidak mampu maka (shalatlah) sambil berbaring.” [HR. Bukhari].
‘Imran bin Hushain radhiyallahu
‘anhu adalah yang meriwayatkan kedua hadits dan dia lah yang bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keduanya.[11]
Faedah kedua: an-Nasa`i
meriwayatkan dalam Sunan Shughra, ia berkata: ‘Harun bin Abdullah mengabarkan
kepada kami, ia berkata: ‘Abu Daud al-Hafari menceritakan kepada kami, dari
Hafsh, dari Humaid, dari Abdullah bin Syaqiq, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ia berkata: ‘Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dalam
kondisi tarabbu’ (bersila).’
Abu Abdurrahman an-Nasa`i rahimahullah
berkata: ‘Saya tidak mengetahui seseorang meriwayatkan hadits ini selain Abu
Daud. Dia tsiqah dan saya tidak mengira hadits ini kecuali suatu kekeliruan.
Muhammad bin Nasr rahimahullah
berkata: ‘Tidak ada berita (hadits) yang kami diriwayatkan kepada kami dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat duduk, cara
duduknya bagaimana adanya kecuali pada dalam hadits yang diriwayatkan dari
Hafsh bin Ghiyats yang dia keliru padanya...[12]
Ia berkata: Tidak ada riwayat shahih
tentang tata cara duduk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat.
Andaikata tata cara duduk dalam shalat adalah sunnat yang tidak semestinya
dilewati niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya, dan
jika beliau menjelaskannya tentu diriwayatkan oleh para sahabatnya dari beliau
dan mereka menjelaskannya. Apabila demikian adanya, maka bagi yang duduk dalam
shalat ia boleh duduk bagaimana yang termudah baginya, jika ia menghendaki ia
bisa bersila, jika ia mau ia bisa ihtiba`, jika ia menghendaki ia boleh duduk
di saat membaca seperti duduk untuk tasyahhud dan duduk di antara dua sujud,
dan jika ia menghendaki ia bisa bersandar. Semua itu pernah dilakukan oleh kaum
salaf dari kalangan tabi’in dan sesudah mereka, selain bersila secara khusus
yang diriwayatkan dari satu orang lebih bahwa ia memakruhkannya dan jama’ah
membolehkannya serta dipilih oleh yang lain. Adapun ihtiba` dan duduk
seperti duduk tasyahud maka kami tidak mengetahui ada seorang salaf yang
memakruhkannya.[13]
Ibnu Mundzir rahimahullah
berkata: Hadits Hafsh bin Ghiyats dipersoalkan pada sanadnya. Jama’ah
meriwayatkan dari Abdullah bin Syaqiq tanpa ada kata-kata ‘bersila’ dan saya
tidak mengira bahwa hadits ini tsabit (shahih) secara marfu’. Apabila tidak
shahih maka tidak ada dalam sifat duduk orang yang shalat satu sunnah yang
harus diikuti. Dan apabila seperti itu, orang yang sakit boleh shalat bagaimana
yang termudah baginya. Jika ia menghendaki ia shalat bersila, bisa ihtiba`,
boleh duduk seperti duduk di antara dua sujud. Semua itu telah diriwayatkan
dari para salaf.[14]
[10] Syarh al-Bukhari 3/102. Sebagian mereka menyebutkan
beberapa masalah, yaitu: Siapakah yang dimaksud dengannya? Apakah dia orang
yang udzur? Syaikhul Islam membicarakan secara panjang lebar dalam fatawa
23/234-237. Ucapannya diringkas oleh muridnya Ibnu Muflih dalam Nukat ‘ala
Muharrar 1/156, Ibnul Qayyim mengingatkan hal itu dalam Bada’iul Fawaid
4/1665-1666, dan lihat: at-Tamhid 1/134.
Post a Comment