Haji dan Tawakkal
HAJI DAN TAWAKKAL
Sesungguhnya
haji adalah perjalan yang penuh barakah dan agung menuju bumi yang terbaik lagi
mulia untuk memenuhi panggilan Allah, memburu pahala-Nya, berharap untuk
mendapatkan keagungan janji-Nya dan banyaknya balasan-Nya, serta pahala yang
melimpah. Haji adalah gerbang selamat datang untuk para tamu Allah yang menghapus kesalahan dan menambah
kebaikan, mempersedikit kemungkinan untuk melakukan kemaksiatan, dan membebaskan
dari api neraka.
Barangsiapa
yang keluar dari rumahnya untuk haji yang diniatkan untuk Rabb-nya dengan
bertawakkal kepada-Nya dan menyerahkan segala urusannya kepada-Nya. Meminta
perlindungan, taufiq, dan hidayah hanya kepada-Nya saja. Ia mengetahui bahwa
perkara seluruhnya ada dibawah ketentuan dan taqdir Allah, jika Allah
berkehendak maka terjadilah, sedangkan
jika Allah tidak menghendaki maka tidak akan terjadi, dan tidak ada
kekuatan kecuali pada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Bersamaan dengan
itu ia membawa bekalnya, mencurahkan semua usaha untuk mendapatkan rahmat dan
pahala dari Allah.
Renungkanlah firman Allah dalam
ayat haji:
“Berbekallah, dan
Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa”[1]
Telah
disebutkan sebab turunnya ayat ini adalah ketika ada sekelompok manusia keluar
untuk haji tanpa membawa bekal, mereka mengira itulah tawakkal yang sebenarnya.
Kemudian mereka memaksa manusia untuk memberi kebutuhan mereka.
Diriwayatkan
dari Imam Bukhari dalam shahihnya dari Abdullah bin Abbas berkata: “ Dahulu
penduduk Yaman berhaji dan tidak membawa bekal, mereka mengatakan: “ kami
bertawakkal”. Jika mereka tiba di Makkah maka
mereka meminta bantuan kepada penduduknya. Maka Allah menurunkan
firman-Nya:
“Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik
bekal adalah takwa”[2]
Ibnu
Abi Dunya meriwayatkan dalam kitab Tawakkal
dari Muawiyah ibnu Qurroh berkata: Umar bertemu dengan manusia dari penduduk
Yaman. Beliau berkata:
مَن أنتم؟ قالوا: نحن المتوكِّلون، قال: بل أنتم المتَّكلون، إنَّ المتوكِّل الذي
یلقي حبَّة
في الأرض ویتوكَّل على الله عزَّ وجلَّ.
“Siapa kalian?” mereka
menjawab: “Kami adalah orang-orang yang bertawakkal”. Beliau berkata: “Kalian
orang-orang yang bertawakkal?, sesungguhnya orang yang bertawakkal itu yang
membawa biji-bijian dari bumi dan bertawakkal kepada Allah”.[3]
Sesungguhnya
hakikat tawakkal yaitu amalan hati, penghambaan diri terhadap Allah, percaya
pada-Nya, kembali kepada-Nya, menyerahkan diri, dan ridho atas apa yang terjadi
pada dirinya menurut ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Allah memilihkan
yang terbaik untuk hamba-Nya jika ia menyerahkan semua urusannya kepada-Nya,
dengan tidak meninggalkan sebab yang telah diperintahkan dan kesungguhan untuk
mendapatkannya. Makna tawakkal adalah, bersandar diri kepada Allah saja dan tidak
menyekutukan-Nya dengan melaksanakan sebab-sebab yang telah diperintahkan.
Manusia
dalam menjalankan tawakkal terbagi menjadi tiga, yang pertama: ia
meninggalkan sebab atau usaha dengan bertawakkal. Kedua: meninggalkan
tawakkal dengan menjalankan sebab-sebabnya. Ketiga adalah yang diantara
keduanya, Mengetahui bahwa tawakkal yang sebenarnya tidak akan sempurna kecuali
dengan menjalankan sebab, maka tawakkal kepada Allah itu bersamaan dengan
menjalankan sebab. karena keduanya itu harus dilakukan untuk mewujudkan
tawakkal yang sebenarnya.
Kedua
dasar tawakkal diatas telah digabungkan dalam banyak nash, seperti firman Allah:
“Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah
kepada-Nya..”[4]
dan firman-Nya:
“ hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya
kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.”
Serta ayat-ayat lain yang
sejenis.
Diriwayatkan
dari Imam Muslim dalam shahihnya dari hadits Abu Hurairah berkata, Rasulullah
bersabda:
المؤمن القوي خیرٌ وأحبُّ إلى الله من المؤمن الضعیف، وفي كلٍّ خیر، احرص
على ما ینفعُك واستعن بالله ولا تعجز.
“Mukmin yang kuat lebih baik
dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, dan di setiap
kebaikan, bersungguh-sungguhlah terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu dan
mintalah pertolongan pada Allah serta jangan lemah”.[5]
Sabda
Nabi: “bersungguh-sungguhlah terhadap sesuatu yang bermanfaat” terdapat
perintah untuk melaksanakan usaha yang baik dalam urusan agama ataupun duniawi.
Bahkan didalamnya terdapat perintah untuk bersungguh-sungguh dengan dibarengi
niat, tekad yang kuat, dan pelaksanaan. Sabda Nabi: “dan mintalah
pertolongan kepada Allah” didalamnya terdapat iman dengan ketentuan dan
taqdir Allah dan perintah untuk bertawakkal kepada-Nya, bersandar diri, dan
percaya kepada-Nya.
Tirmidzi
meriwayatkan dari Anas bin Malik berkata:
قال رجل: یا رسول الله! أعقلُه وأتوكَّل أو أُطلقه وأتوكَّل؟ فقال له:
اعقله وتوكَّل.
Seorang lelaki berkata kepada
Rasulullah: “apakah aku mengikatnya dan tawakkal ataukah aku melepaskannya dan
tawakkal?” Rasulullah menjawab, “ikatlah dan tawakkallah”[6].
Rasulullah
memberi petunjuk untuk menggabungkan dua perkara melaksanakan sebab dan
bersandar diri kepada Allah.
Tirmidzi
meriwayatkan juga dari Umar bin Khattab dari Nabi berkata: “
لو أنَّكم توكَّلون على الله حقَّ توكُّله لرزقكم كما یرزق الطیرَ تغدو خماصاً وتروح بطاناً
Seandainya kalian bertawakkal
kepada Allah sebenar-benar tawakkal maka Allah akan memberi rizki kepada kalian
sebagaimana Allah memberi rizki kepada
burung yang pergi di pagi hari dengan rasa lapar kemudian pulang sore dengan
perut kenyang”[7].
Dua
perkara tersebut disebutkan secara bersamaan, burung pergi di pagi hari petang
ia berusaha mencari rizki dengan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya.
Dikatakan
kepada Imam Ahmad apa yang dikatakan
oleh seorang lelaki yang duduk di rumahnya atau masjid ia berkata:
“Aku tidak akan melakukan apapun sampai rizki mendatangiku”.
Imam
Ahmad berkata, "ini adalah laki-laki yang bodoh. Tidakkah ia mendengar
sabda Nabi:
إنَّ الله جعل رزقي تحت ظلِّ رُمحي
“Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku dibawah lemparan
panahku”.
Beliau
berkata ketika menyebutkan tentang burung:
تغدو خماصاً وتروح بطاناً
“mereka pergi dipagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore
hari dengan perut kenyang”.[8]
Dari
pelajaran tersebut diketahui bahwa dalam tawakkal harus ada penggabungan antara
melaksanakan usaha dan bersandar diri kepada Allah. Barangsiapa yang
meninggalkan sebab dan ia beranggapan telah bertawakkal maka hakikatnya ia
orang bertawakkal yang tertipu, dan dari perbuatannya ini ia hanya mendapatkan
kelemahan, dan sia-sia. Seandainya seseorang berkata, “ Seandainya aku ditakdirkan
pintar maka aku akan bersungguh-sungguh atau tidak akan bersungguh-sungguh”,
atau ia berkata, “seandainya aku ditakdirkan punya anak maka aku akan menikah
atau tidak akan menikah”. Demikianlah ia berharap untuk mendapatkan hasil atau
panen tanpa menanam dan menyiram lebih dulu. Demikian juga dengan orang yang
meninggalkan keluarga dan anaknya tanpa nafkah dan makanan, dia juga tidak
berusaha untuk mendapatkannya hanya bertawakkal pada taqdir. Semua itu sia-sia,
bermalas-malasan, dan bertawakkal tanpa (mencari) usaha.
Ibnu
Qudamah berkata, “Sebagian manusia mengira bahwa makna tawakkal itu
meninggalkan usaha dengan anggota badan, meninggalkan pengaturan hati, dan
jatuh ke bumi seperti daging diatas papan landasan tempat pemotongan. Ini
adalah dugaan orang-orang bodoh. Hal itu diharamkan oleh syari’at.”[9]
Barangsiapa
yang melaksanakan sebab dengan menunggu datangnya sebab secara sengaja dan
lalai dari mengambil musabbab (akibat) yang bisa didapat darinya, maka tawakkal
yang seperti ini lemah dan berujung pada kesia-siaan. Oleh
karena itu sebagian ulama berkata: “Meninggalkan sebab itu syirik dalam tauhid,
meninggalkan sebab menjadikan sebab berkurangnya akal, berpaling dari sebab
secara keseluruhan tercela dalam syariat. Sesungguhnya tawakkal dan berharap
itu maknanya dibangun atas tauhid, akal dan syariat”.
Sesungguhnya
tawakkal kepada Allah hanya dilakukan oleh mukmin yang benar dalam setiap
urusan agama dan dunianya, juga yang benar dalam shalatnya, puasanya, hajinya,
berbuat baiknya, dan selainnya dari urusan agamanya. Dan juga yang benar dalam
mendapatkan rizkinya, mencari yang dihalalkan, dan selainnya dari urusan
dunianya.
Tawakkal
adalah dasar dari semua perkara agama, kedudukannya seperti kedudukan badan
dari kepala. Bagaimana kepala itu bisa berdiri jika tidak diatas badan. Begitu
juga iman tidak akan tegak bersama amalan-amalannya kecuali bertumpu dengan tawakkal.
Semoga
Allah menjadikan kita dari orang-orang yang bertawakkal dengan
sebenar-benarnya, juga termasuk dari orang-orang yang berpegang teguh kepada
Allah dengan keyakinan dan kejujuran. Allahlah sebaik-baik penolong.
[1] Al
Baqarah : 197
[2]
Shahih Bukhari (1523)
[3] At
Tawakkul (10)
[4]
Hud : 123
[5]
Shahih Muslim (2664)
[6]
Sunan Tirmidzi (2517)
[7]
Sunan Tirmidzi (2344) dan dishahihkan oleh Al Albani dalam shahih Al Jami’
(5254)
[8]
Disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qasidin (95)
[9]
Mukhtashar Minhajul Qasidin (361)
Post a Comment