Hukum Haid
Hukum haid
Seorang wanita yang sedang haid
mempunyai hukum yang sangat banyak, oleh karena itu, kami sebutkan di sini
sebagianya saja yang dianggap cukup penting dan banyak dibutuhkan, di antaranya
adalah:
- Sholat
Haram hukumnya bagi perempuan yang
sedang haid mengerjakan ibadah sholat baik yang wajib maupun yang sunah, kalau
ia tetap mengerjakan maka sholatnya tidak sah.
Demikian juga tidak wajib baginya sholat melainkan apabila dirinya telah
mendapati waktu sholat walau hanya sedikit, seukuran mendapati satu raka'at
secara sempurna, maka pada saat seperti itu ia wajib untuk mengerjakan sholat
baik ia mendapatinya di awal waktu maupun di akhir waktu.
Contoh mendapati di awal waktu, Perempuan keluar darah
haidnya setelah tenggelam matahari seukuran yang ia masih bisa mengerjakan satu
raka'at, maka wajib baginya apabila telah suci untuk mengqodho sholat maghrib
pada hari itu, karena dirinya telah mendapati waktu sholat sebanyak satu
raka'at sebelum keluar darah haidnya.
Sedangkan contoh mendapati di akhir
waktu, Kalau ada perempuan yang suci dari haidnya sebelum terbit matahari
seukuran dia mendapati satu raka'at, maka wajib baginya apabila telah suci
untuk mengqodho sholat subuh pada hari itu, karena dirinya telah mendapati
sebagian dari waktu sholat shubuh yang mencukupi untuk satu raka'at.
Adapun jika perempuan yang sedang haid mendapati bagian
dari waktu sholat namun tidak mencukupi satu raka'at secara sempurna, semisal
perempuan yang haid pada contoh yang pertama setelah tenggelam matahari dalam
jangka waktu yang sangat sedikit atau suci dari haid seperti pada contoh yang
kedua sebelum terbit matahari dengan tersisa waktu yang sangat sedikit, maka
sholat yang ketinggalan seperti itu tidak wajib baginya untuk di qodho berdasarkan
sabda Nabi Shalallahu 'alihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من
أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة » [رواه البخاري ومسلم]
"Barangsiapa yang mendapati
(waktu sholat) mencukupi satu raka'at, sungguh dirinya telah mendapati
(kewajiban) sholat". HR Bukhari dan
Muslim.
Maka pengertian
dari hadits ini, bahwa barangsiapa yang mendapati sholat kurang dari satu
raka'at maka dirinya tidak di katakan sebagai orang yang telah mendapati
sholat.
Dan
apabila mendapati satu raka'at dari waktu sholat ashar, apakah wajib baginya
untuk mengerjakan sholat dhuhur dengan di jamak bersama ashar? Atau mendapati
akhir waktu sholat Isya seukuran satu raka'at, apakah juga wajib baginya untuk
mengerjakan sholat maghrib bersama isya tersebut?
Dalam
masalah ini terjadi perselisihan panjang di kalangan para ulama, adapun
pendapat yang kuat dan benar adalah yang mengatakan tidak wajib baginya kecuali
sholat yang dirinya telah mendapati waktunya yaitu sholat ashar dan isya saja.
Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alahi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من
أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر» ]رواه البخاري ومسلم[
"Barangsiapa yang mendapati
(waktu sholat) mencukupi satu raka'at, dari sholat ashar sebelam tenggalam
matahari sungguh dirinya telah mendapati sholat ashar". HR Bukhari dan Muslim.
Di dalam
hadits ini Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan: "Sungguh
dirinya telah mendapati sholat dhuhur dan ashar". Dan tidak di sebutnya
kewajiban sholat dhuhur menunjukan bahwa asal baginya adalah telah terlepas
dari beban kewajiban tersebut.
Masalah
selanjutnnya: Apakah perempuan yang sedang haid boleh membaca al-Qur'an?
Telah tejadi perselisihan pendapat di kalangan para
ulama di dalam masalah ini, adapun yang seharusnya di ingatkan serta di nasehatkan
kepada perempuan yang sedang haid adalah:
Pertama, agar tidak membaca al-Qur'an dengan
mengeluarkan suara dari bibirnya kecuali kalau memang ada kebutuhan untuk
melakukan hal tersebut, semisal seorang guru yang memang membutuhkan untuk
menuntun murid-muridnya, atau ketika sedang ujian yang membutuhkan siswa atau
murid untuk membaca dan mengulang pelajaran guna untuk persiapan ujian tersebut
atau kebutuhan yang lainnya.
Adapun
jika dirinya membaca hanya dengan melihat atau memperhatikan dengan hati tanpa
mengeluarkan suaranya maka hal itu tidak mengapa.
- Puasa
Bagi
perempuan yang sedang haid haram baginya untuk berpuasa baik puasa wajib maupun
sunah dan tidak sah puasanya kalau dirinya tetap berpuasa, namun yang menjadi
kewajibanya adalah mengqodho puasa wajib saja, berdasarkan haditsnya Aisyah
radhiyallahu 'anha,di mana beliau pernah mengatakan: "Adalah kami
sering kedatangan haid, sedangkan kami
hanya di perintah (oleh Nabi) untuk mengqodho puasa dan tidak di suruh untuk
mengqodho sholat". HR Bukhari dan Muslim.
Maka
apabila ada seorang perempuan yang sedang berpuasa kemudian keluar darah
haidnya maka puasanya secara otomatis menjadi batal walaupun keluarnya hanya
kurang sedikit sebelum matahari tenggelam, kemudian yang menjadi kewajibanya
adalah mengqodho puasanya dengan mengganti pada hari yang lain, apabila puasa
yang di lakukannya adalah puasa wajib.
Adapun
jika dia hanya merasa akan keluar darah haidnya pada saat sebelum tenggelam
matahari, akan tetapi darahnya tidak keluar kecuali setelah tenggelam matahari
maka puasanya tetap sempurna sebagaimana wudhu tidak bisa menjadi batal kecuali
apabila keluar hadats.
Apabila
fajar kedua telah masuk sedangkan darah haidnya masih keluar walaupun sedikit
maka tetap saja tidak boleh dan tidak sah puasanya, walaupun ia suci setelah
melewati sedikit saja dari waktu fajar tersebut. Dan apabila dirinya telah suci
menjelang fajar kemudian dirinya berniat puasa maka puasanya sah walaupun
dirinya belum bisa mandi suci kecuali setelah waktu fajar, hal ini seperti
orang yang terkena junub di malam hari, kemudian ia berniat puasa namun dirinya
belum bisa mandi janabah melainkan setelah terbit fajar, maka puasanya tetap
sah.
- Thowaf di Ka'bah
Perempuan yang sedang haid tidak boleh untuk melakukan thowaf di
sekeliling ka'bah baik thowaf wajib maupun thowaf sunah, dan tidak sah
thowafnya kalau dirinya tetap melakukanya, hal itu berdasarkan sabdanya Nabi
Shalallahu 'alaihi wa sallam kepada Aisyah tatkala dirinya terkena haid manakala
beliau sedang ihram, Nabi bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
« افعلي ما يفعل الحاج غير أن لاتطوفي بالبيت حتى تطهري» (رواه البخاري ومسلم)
"Lakukanlah semua seperti apa
yang di lakukan orang haji, kecuali kamu jangan thowaf di ka'bah sampai kamu suci
(dari darah haid)". HR Bukhari dan Muslim.
Adapun
semua amalan ibadah haji dan umrah maka tidak mengapa ia kerjakan walaupun
darah haidnya masih keluar, maka berdasarkan ini, kalau sekiranya ada perempuan
yang melakukan thowaf, dalam keadaan suci kemudian darah haidnya keluar setelah
selesai dari thowafnya atau keluar darahnya ketika sedang melaksanakan sa'i
maka darah haidnya tersebut tidak berpengaruh terhadap thowafnya dan ia tetap
sah.
Dan bagi
perempuan yang darah haidnya masih tetap keluar ketika ia sudah menyelesaikan
semua manasik hajinya maka gugur kewajiban untuk mengerjakan thowaf wada'
(thowaf perpisahan), adapun thowaf haji dan umrah maka keduanya tidak bisa
gugur dengan sebab keluar darah haidnya, namun dirinya tetap menunggu sampai
suci dari haidnya baru setelah itu melakukan thowaf haji maupun umrahnya
tersebut.
- Tinggal di dalam masjid
Haram hukumnya bagi seorang perempuan
yang sedang haid untuk duduk dan tinggal di dalam masjid, demikian juga tempat
sholat i'ed, maka ia tidak boleh tinggal di dalamnya, karena ada hadits shahih
yang secara tegas melarang perempuan haid untuk menetap di dalam masjid:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
« ويعتزل الحيض المصلى » (رواه البخاري ومسلم)
"Dan hendaknya perempuan yang sedang haid
meninggalkan tempat sholat". HR
Bukhari dan Muslim.
- Melakukan hubungan suami istri
Tidak
boleh bagi seorang suami menggauli istrinya yang sedang haid, demikian juga
tidak boleh bagi perempuan untuk memberi kesempatan untuk itu bagi suaminya.
Hal itu berdasarkan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ وَيَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ
ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ ﴾ ( سورة البقرة : 222)
"Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran".
oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi wanita ketika sedang haid, dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci". (QS al-Baqarah: 222).
- Bercerai
Haram
hukumnya bagi suami menceraikan istrinya yang sedang haid, sehingga perceraian
yang di lakukan tatkala wanitanya sedang haid maka itu tidak di bolehkan, dan
perceraian seperti itu termasuk jenis perceraian yang bid'ah, sedangkan setiap
bid'ah adalah sesat. Demikian juga
perceraian di saat sedang suci namun sudah di gauli maka ini juga tidak boleh.
Adapun tholaq
(cerai) yang sesuai dengan sunnah adalah apabila seorang suami yang mencerai
istrinya tatkala istrinya sedang hamil atau dalam keadaan suci namun dirinya
tidak menggaulinya, maka jika itu di lakukan ia terhitung sebagai tholaq satu.
Dan di kecualikan haramnya mencerai istri di saat haid pada tiga masalah:
a.
Apabila
tholaq di ucapkan sebelum berduaan di dalam kamar atau menyentuhnya maka tidak
mengapa mencerainya dalam keadaan haid karena pada kasus seperti itu tidak ada
lagi waktu iddah baginya.
b.
Jika
haidnya terjadi pada saat sedang mengandung maka tidak mengapa mencerainya
karena iddahnya selesai dengan sebab melahirkan, sehingga tatkala mencerainya
dalam keadaan seperti itu maka ia termasuk tholaq yang benar bukan termasuk
tholaq bid'ah.
c.
Apabila
tholaq terjadi dengan ganti rugi maka ini juga tidak mengapa di lakukan
manakala istrinya sedang haid.
- Terhitungnya masa iddah dengan sebab tholaq pada saat haid
Apabila
seorang suami mencerai istrinya setelah mempergaulinya atau sudah berduan di
dalam kamar maka wajib baginya untuk menghitung masa iddahnya dengan tiga kali
haid secara sempurna, jika istrinya termasuk orang yang masih mendapatkan haid dan tidak sedang dalam keadaan hamil, hal
itu berdasarkan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ
قُرُوٓءٖۚ ﴾ ( سورة
البقرة: 228)
"Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali haid". (QS al-Baqarah: 228). Maksudnya tiga kali terkena
haid.
Dan bila
istrinya dalam keadaan mengandung maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan,
dan hukumnya sama apakah masa iddahnya bertambah lama atau lebih sedikit, maka
waktu selesai masa iddahnya adalah ketika melahirkan, berdasarkan firman Allah
Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ﴾ ( سورة الطلاق: 4)
"Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya". (QS ath-Thalaaq: 4).
Dan
apabila istrinya termasuk perempuan yang tidak mendapatkan haid dikarenakan
masih kecil atau sudah menopause maka masa iddahnya adalah selama tiga bulan,
berdasarkan firman Allah Azza wa jalla:
قال الله تعالى : ﴿ وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ
فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ ﴾ ( سورة الطلاق: 4)
"Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang
tidak haid". (QS ath-Thalaaq: 4).
- Wajib mandi suci
Wajib
bagi perempuan yang sudah selesai dari haidnya untuk segera mandi berdasarkan
sabdanya Nabi Shalallah 'alaihi wa sallam kepada Fatimah binti Abu Hubais,
beliau mengatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
« فإذا أقبلت
الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغتسلي وصلي» (رواه البخاري)
"Apabila
masa haidmu datang maka tinggalkan sholat, dan jika telah suci maka mandi dan
sholatlah". HR Bukhari.
Apabila
ada seorang wanita yang haid lalu ia suci dari haidnya setelah masuk waktu
sholat, maka wajib baginya untuk segera mandi kemudian sholat, dan jika dirinya
dalam perjalanan lalu ia tidak mempunyai air atau membawa air namun takut nanti
di butuhkan atau dirinya sakit yang akan menambah sakit bila terkena air maka
pada kondisi-kondisi seperti di atas ia boleh bertayamum sebagai ganti dari
mandi sucinya, sampai penghalang-penghalang tersebut hilang, kemudian setelah
itu baru ia mandi.
Post a Comment