Membatalkan Shalat Witir
Membatalkan Shalat Witir
Yang dimaksud membatalkan Witir adalah: melakukan shalat satu rekaat untuk
menggenapkan Witir yang telah dilakukannya sebelumnya.
Hukumnya: al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-Nya,
dari Abu Jamrah rahimahullah, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aidz bin
‘Amr radhiyallahu ‘anhu –ia termasuk sahabat yang hadir di bawah pohon
(Hudaibiyah)- ‘Apakah dibatalkan Witir? Ia menjawab: ‘Apabila engkau sudah
shalat witir di awal malam maka janganlah engkau shalat witir di akhirnya.’
Imam Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`i rahimahullah
meriwayatkan dengan isnad yang dihasankan oleh Ibnu Hajar rahimahullah[1],
dari hadits Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لاَوِتْرَانِ
فِى لَيْلَةٍ )) [ رواه أحمد وأبو داود والترمذي ]
“Tidak ada dua shalat Witir dalam
satu malam.”
At-Tirmidzi rahimahullah berkata[2]: ‘Para
ulama berbeda pendapat pada orang yang shalat di permulaan malam, kemudian ia
bangun di akhir malam: Sebagian ulama dari kalangan sahabat dan sesudah mereka
berpendapat membatalkan witir, dan mereka berkata: Ia menambah kepadanya satu
rekaat dan melakukan shalat sesuai keinginannya, kemudian ia shalat witir di
akhir shalatnya, karena tidak ada dua witir dalam satu malam, dan ini adalah
pendapat Ishaq rahimahullah.
Dan sebagian ulama dari kalangan sahabat
dan selain mereka berpendapat: Apabila seseorang sudah shalat witir di
permulaan malam kemudian tidur, kemudian bangun di akhir malam maka ia shalat
sesuai keinginannya dan tidak perlu membatalkan witirnya, dan membiarkan
witirnya seperti semula. Ini adalah pendapat Sufyan rahimahullah, Malik
bin Anas rahimahullah, Ibnul Mubarak rahimahullah, asy-Syafi’i rahimahullah,
Ahlu Kufah dan imam Ahmad rahimahullah.
Ini lebih benar karena diriwayatkan dari
beberapa jalur bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam shalat setelah
shalat witir.
Para sahabat dan para ulama berbeda
pendapat atas dua perkara:
Pendapat pertama: tidak dibatalkan witirnya,
akan tetapi ia shalat dua rekaat-dua rekaat dan cukup dengan witirnya yang
pertama. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu,
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Thalq
bin Ali radhiyallahu ‘anhu, ‘Aidz bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu,
dan ia merupakan pendapat imam yang empat dan jamaah dari kalangan salaf dan
dihikayatkan dari Qadhi ‘Iyadh dari mayoritas ulama.[3]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
Ia adalah pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu –menurut riwayat yang
masyhur darinya-, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Aisyah radhiyallahu
‘anha, Ammar radhiyallahu ‘anhu, ‘Aidz bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhu, Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu, Rafi’ bin Khudaij radhiyallahu ‘anhu,
diriwayatkan dari Sa’ad, dan diriwayatkan oleh Ibnul Musayyab, dari Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu..dan ia menyebutkan: bahwa membatalkan membawa kepada shalat sunnah
dengan beberapa shalat witir, dan ia dimakruhkan atau dilarang.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
‘anha bahwa ia berkata: hal itu
termasuk bermain-main dengan witir.
Ahmad rahimahullah berkata:
Aisyah radhiyallahu ‘anha memakruhkannya dan saya memakruhkannya.[4]
Ibnul Mundzir rahimahullah
berkata: ‘Saya tidak mengetahui ada perbedaan pada seseorang yang telah selesai
melaksanakan shalat fardhu sebagaimana diwajibkan kepadanya, kemudian ia ingin
membatalkannya setelah selesai darinya bahwa tidak ada jalan baginya kepada hal
itu. Maka hukum yang diperselisihkan padanya dari shalat witir sama seperti
hukum sesuatu yang kami tidak mengetahui mereka berbeda pendapat padanya.[5]
Pendapat kedua: bahwa ia shalat satu
rekaat untuk menggenapkan witirnya, kemudian ia shalat sesuai keinginannya,
kemudian ia shalat witir di akhir shalatnya. Ia adalah pendapat segolongan
sahabat.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
Banyak kalangan sahabat yang berkata: Ia shalat satu rekaat maka dengannya ia
menjadikan witirnya sebelumnya menjadi genap, kemudian ia shalat sesuai
keinginannya,kemudian ia shalat witir di akhir shalatnya. Dan mereka mengambil
dalil dengan sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jadikanlah
witir sebagai akhir shalatmu.” (HR. Bukhari)
Dan karena inilah Ibnu Umar radhiyallahu‘anhuma
meriwayatkan hadits tersebut, dan ia membatalkan witirnya, maka hal itu
menunjukkan bahwa ia memahaminya seperti itu.
Dan diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiyallahu‘anhu
dan lebih dari satu orang dari kalangan sahabat, sehingga imam Ahmad rahimahullah
berkata: Hal itu diriwayatkan dari dua belas orang sahabat.
Dan di antara mereka yang diriwayatkan
hal itu darinya adalah Umar, Utsman, Ali, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dalam
satu riwayat radhiyallahu‘anhum, ia adalah pendapat Amar bin Maimun,
Ibnu Sirin, Urwah, Makhul, Ahmad dalam satu riwayat, dipilih oleh Abu Bakar dan
selainnya rahimahumullah. Ibnu Abi Musa berkata: Ia adalah yang nampak
darinya. Dan pendapat Ishaq rahimahullah, ia rahimahullah
berkata: Dan jika ia tidak melakukan hal itu niscaya tidak diamalkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((اِجْعَلُوْا آخِرَ
صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا)) [
رواه البخاري ]
“Jadikanlah
witir sebagai akhir shalatmu.”[6] Dan diriwayatkan dari imam Ahmad rahimahullah:
bahwa ia boleh memilih di antara dua perkara, karena keduanya diriwayatkan dari
sahabat [7]
Post a Comment