Mewaspadai Bahaya Korupsi
Mewaspadai Bahaya Korupsi
Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang
melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita dapati dalam
semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang paling bawah, menengah sampai
kalangan atas. Khalayak pun kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini
menjadi berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap. Dalam
lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai,
seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah
dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak
memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah,
melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja.
Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’
sampai milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami
mencoba mengulasnya dengan mengambil salah satu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam berikut ini. Semoga bermanfaat, dan kita dapat menghindari ataupun
mewaspadai bahayanya.
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : « مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ
فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ » ، قَالَ: « فَقَامَ
إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟)) ، قَالَ:
سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ
اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا
أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى» [رواه البخاري ومسلم]
“Barangsiapa di antara kalian
yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari
kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu,
harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada
seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah,
copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar
engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang,
(bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan
(urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak.
Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya.
Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Takhrij
Hadits
-
Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab
Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110.
-
Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Isma’il bin Abu
Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy bin ‘Amirah al Kindi
Radhiyallahu 'anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
BIOGRAFI
SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLAHU 'ANHU
Beliau
merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy bin ‘Amirah bin Farwah
bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al Kindi. Beliau hanya sedikit
meriwayatkan hadits Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya
adalah hadits ini.
Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu [1].
Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu [1].
Wallahu
a’lam bish shawab.
Mufrodat
(Kosa Kata)
Kata
ghululan (غُلُولاً) dalam lafadz Muslim, atau ghullun (غُلٌّ) dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain berharakat
dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna belenggu
besi, atau berasal dari kata kerja ghalla (غَلَّ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir
menerangkan, kata al ghulul (الْغُلُولُ), pada asalnya bermakna khianat dalam
urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang
sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan
khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]
Jadi,
kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk
setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan
dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang
yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi,
seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini.
Makna Hadits
Makna Hadits
Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang
yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil
sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan
atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya,
meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar
tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia
lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia
akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari Kiamat.
Ketika
kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang
orang ini merupakan satu di antara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas
dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara
keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan
yang ditahan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh
mengambilnya.
Syarah
Hadits
Hadits
di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta
di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang
menugaskannya. Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah
Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : « مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ
فَرَزَقْنَاهُ رِزْقاً فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ» [رواه البخاري
ومسلم]
"Barangsiapa yang kami
tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya,
maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".[5]
Asy
Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram)
bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah
ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu
adalah ghulul (korupsi).[6]
Dalam
hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada
dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang
menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan
zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat
menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan
tidak menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya.
Hukum
Syari'at tentang Korupsi
Sangat
jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (al
Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
shahih. Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
قال الله تعالى : ﴿ وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ ۚ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا
غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ﴾ ( سورة آل عمران: 161)
"Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan
harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan
perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161].
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut
penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini diturunkan pada saat
(setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil
rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa
mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu
Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam
penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7].
Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar.
Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
Mengenai
besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam
ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat
(dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu …”
Ibnu
Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras.” [8]
Selain
itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta
manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebagaimana dalam firmanNya :
قال الله تعالى : ﴿ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا
بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ
بِالْأِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَٰ﴾ (سورة البقرة : 188)
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui"
[al Baqarah/2:188]
Juga
firmanNya :
قال الله تعالى : ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِٰ﴾ ( سورة البقرة : 29)
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an
Nisaa`/4 : 29].
Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu di atas.
Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu 'anhu di atas.
Pintu-pintu Korupsi
Peluang
melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang
diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus
selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui
pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga
nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi.
1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta
tersebut dibagikan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan :
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : « غَزَا نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لَا
يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا
وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا
وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلَادَهَا
فَغَزَا فَدَنَا مِنْ الْقَرْيَةِ صَلَاةَ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ
فَقَالَ لِلشَّمْسِ إِنَّكِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا
عَلَيْنَا فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ
فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا فَقَالَ إِنَّ
فِيكُمْ غُلُولًا فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَلَزِقَتْ يَدُ
رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ
فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمْ الْغُلُولُ
فَجَاءُوا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ فَوَضَعُوهَا فَجَاءَتْ
النَّارُ فَأَكَلَتْهَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الْغَنَائِمَ رَأَى
ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَأَحَلَّهَا لَنَا» [رواه البخاري ومسلم]
"Ada seorang nabi
berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku
(berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin
menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah
membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang
telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia
menunggu (mengharapkan) peranakannya". Lalu nabi itu pun berperang
dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba
shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah,
dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka
tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia
mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya,
tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada
kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil
harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari
setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan
seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu)
berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya
kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua
atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia
(nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka
mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya,
lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan
perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita [9]
2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا» [رواه البخاري ومسلم]
"Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?" (HR.Bukhari dan Muslim)
Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ» [رواه البخاري ]
"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …" [10]
3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ» [رواه البخاري ومسلم]
"Hadiah untuk para petugas adalah ghulul".
[11]
4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).[12]
Bahaya Perbuatan Ghulul (KORUPSI)
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat tersebut.
Diantaranya :
1.
Pelaku ghulul (korupsi) akan
dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana
ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah
Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu
'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « ... وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ... » [رواه البخاري ومسلم]
"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …” [13]
2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « ... فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشَنَارٌ وَنَارٌ » [رواه البخاري ومسلم]
"…(karena) sesungguhnya
ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".
[14]
3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ » [رواه البخاري ومسلم]
"Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang". [15]
4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ» [رواه البخاري ومسلم]
"Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)" [16]
5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ » [رواه البخاري ومسلم]
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?". [17]
Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian singkat ini bermanfaat.
Wallahu a’lam bish Shawab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016].
_______
Footnote:
Footnote:
[1]. Lihat Tahdzibul Kamal, II/924 -copy manuskrip oleh
Penerbit Daarul Ma’mun lit Turats, Damaskus, dan didistribusikan oleh
Maktabatul Ghuraba, Madinah. Lihat juga Taqributh Tahdzib, urutan no. 4544.
[2]. Lisanul ‘Arab, 11/499.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380.
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023.
[6]. Nailul Authar, 4/233.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (1/398).
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287.
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam, hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622.
[12]. Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869.
[15]. HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329, dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anh, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu 'Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Radhiyallahu 'anhu.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686.
[2]. Lisanul ‘Arab, 11/499.
[3]. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu tentang kisah seorang nabi (sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ) dengan umatnya ketika mereka memperoleh rampasan perang. Kemudian di antara mereka ada yang mencuri harta rampasan perang tersebut, hingga Allah mengirimkan api dan melahap semua harta rampasan perang tersebut, dan Allah mengharamkannya untuk umat sebelum umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Muttafaqun ‘alaihi. Al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124, dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sair, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshatan, hadits no. 3287.)
[4]. Lihat an Nihayah fi Gharibil Hadits, 3/380.
[5]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab al Kharaj wal Imarah wal Fa-i, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023.
[6]. Nailul Authar, 4/233.
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (1/398).
[8]. Ibid.
[9]. HR al Bukhari dalam kitab Fardhul Khumus, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124 dan Muslim dalam kitab al Jihad was Sayr, bab Tahlilil Ghana-im li Hadzihil Ummati Khashshah, hadits no. 3287.
[10]. HR al Bukhari dalam kitab al Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam, hadits no. 6636 dan lainnya dengan lafazh yang berdekatan, serta Muslim dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413 dan 3414 dengan lafazh yang serupa, dan ada sedikit perbedaan.
[11]. HR Ahmad, no. 23090 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622.
[12]. Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 5.
[13]. HR al Bukhari dalam kitab al Hibah wa Fadhluha wat Tahridhu ‘Alaiha, bab Man lam Yaqbalil Hadiyata li ‘Illatin, hadits no. 2597 dan Muslim (dengan lafazh serupa) dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadayal ‘Ummal, hadits no. 3413.
[14]. HR Ibnu Majah dalam kitab al Jihad, bab al Ghulul, hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869.
[15]. HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572; an Nasaa-i dan Ibnu Majah.
[16]. HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth Thaharah lish Shalati, hadits no. 329, dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anh, dan diriwayatkan pula oleh yang lain dari Ibnu 'Umar dan Usamah bin Umair al Hudzali Radhiyallahu 'anhu.
[17]. HR Muslim dalam kitab az Zakat, bab Qabulush Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686.
Post a Comment