Rahasia Bulan Muharram
Seakan
tidak terasa, waktu berjalan dengan cepat; pergantian hari, pekan, bulan, dan
tahun berlalu silih berganti seiring dengan bergantinya siang dan malam.
Sebagai seorang hamba Allah tentu saja kita
dituntut untuk memanfaatkan umur kita dalam rangka beribadah kepada-Nya di segala
bulan yang ada, akan tetapi syariat Islam juga mengajarkan kepada kita bahwa ada
beberapa bulan yang memiliki keutamaan, karakteristik dan ibadah tertentu yang
dianjurkan padanya. Atas dasar itulah Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbali
rahimahulloh menyusun kitabnya yang berjudul “Lathoif Al Ma’aarif Fiimaa Limawaasimil ‘Aam minal Wazhoif”, kitab beliau ini merinci keutamaan beberapa bulan yang ada beserta
amalan-amalan sholeh yang dianjurkan padanya.
Bagaimana dengan bulan
Muharram, apa saja keutamaannya dan ibadah apa yang dianjurkan padanya? Semoga
tulisan yang ringkas dan sederhana ini bisa memberikan pencerahan bagi anda,
wahai para pecinta sunnah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam.
Kata Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al
‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena peperangan (jihad) diharamkan
pada bulan tersebut” (Tarikh Ad Dimasyq 1/51);
jika saja jihad yang
disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan tersebut maka hal ini bermakna
perbuatan-perbuatan yang secara asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan
pengharaman untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan
ini.
Beberapa Keutamaan Bulan
Muharram
a. Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan
Haram
Allah Ta’ala berfirman:
Allah Ta’ala berfirman:
قال الله تعالى : ﴿ إِنَّ عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ
كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ
الْمُتَّقِينَ ﴾ ( سورة التوبة: 36)
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua
belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka
janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (Q.S.
at Taubah :36).
Salah seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in
yang bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi
rahimahulloh menyatakan, “Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan
di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar
dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain
meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar” (lihat Tafsir Al Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir)
Dalam hadis yang diriwayatkan
dari sahabat Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan
keempat bulan haram yang dimaksud :
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : « إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ
خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو
الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى
وَشَعْبَانَ » ( رواه البخاري ومسلم )
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah
menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya
terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan
yang terpisah yaituRajab
Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh dan
Sya’ban.”[ HR.
Bukhari (3197) dan Muslim(1679) ]
Para ulama
bersepakat bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan
dengan bulan-bulan yang lain selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda
pendapat, bulan apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada
? Imam Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya
Allah telah memulai waktu yang setahun dengan bulan haram (Muharram) lalu
menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam
setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah melebihi bulan
Muharram” (Lihat : Lathoif Al Ma’arif hal
36)
b. Bulan
Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua
belas bulan yang ada adalah makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram
meraih keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai
“syahrullah” (Bulan Allah)
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : « أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ
الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ » (رواه البخاري ومسلم)
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram.
Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. [ H.R.
Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan adanya keutamaan khusus yang
dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul
Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk disandarkan pada lafzhul
Jalalah maka itu
mengindikasikasikan tasyrif(pemuliaan) terhadap makhluk tersebut,
sebagaimana istilah baitullah(rumah Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah(unta Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh
‘alaihis salam dan lainsebagainya.
Al Hafizh
Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan
Muharram sebagai syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ?
Mungkin dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara
bulan-bulan haram yang Allah haramkan padanya berperang, disamping itu bulan
Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul
Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan
lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul
Jalalah melainkan bulan Muharram” (lihat Hasyiah As Suyuthi ‘ala Sunan An Nasaai)
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana
telah disebutkan di atas dari perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan
sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara
umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan
kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada
bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang telah disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau
berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : « أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ
الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ»
(رواه مسلم)
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan
adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama
setelah puasa wajib adalah sholat lail”
[ HR. Muslim(11630) ]
Mulla Al
Qari’ menyebutkan bahwa hadits di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di
seluruh hari bulan Muharram. Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan
berkaitan dengan hadits ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini
dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam
memperbanyak puasa di bulan Sya’ban bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi
rahimahullah telah menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh jadi
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram
kecuali di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang
menghalangi beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau
mengadakan safar atau sakit. [Lihat Al Minhaj Syarah Shohih Muslim bin Hajjaj]
Kemudian
anjuran berpuasa di bulan Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan
hukumnya pada hari yang dikenal dengan istilahYaumul 'Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh
bulan ini. ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari
‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya
untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu
ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.
Hadits-Hadits
Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa
tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya dengan pengklasifikasian
sebagai berikut:
1. Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى
اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا
أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ (رواه البخاري ومسلم)
Ibnu Abbas
radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.
tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura,
maka Beliau bertanya : "Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari
istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya,
Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, "Aku lebih berhak terhadap Musa
daripada kalian“
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. [ H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa. [ H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
عَنْ أَبِي
مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ (متفق عليه)
Dari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata, “Hari ‘Asyuro
adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai
hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda (kepada
ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut
periwayatan imam Muslim)
2. Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga berpuasa Asyuro
dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum kewajiban puasa Ramadhan
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ
شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ ( متفق عليه)
Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata, Kaum Qurays pada
masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam juga berpuasa pada hari itu, ketika beliau telah tiba di Medinah maka
beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah
puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa
‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa maka silakan
tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa” [ HR. Bukhari (1863) dan
Muslim(1897) ]
عن عَبْد
اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ
كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ
رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ
فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma bahwa kaum
Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam serta
kaum muslimin juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk
hari-hari Allah, barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin
meninggalkan maka boleh” [ HR. Muslim(1901) ]
3.
Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi
alaihim ajmain yang begitu besar terhadap puasa ‘Asyuro
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا
هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ (
متفق عليه)
"Aku
tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk
puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari
‘Asyura dan bulan ini
yaitu Ramadhan.” [ H.R.
Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]
عَنْ الرُّبَيِّعِ
بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ
الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ
أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ
نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ
فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ
الْإِفْطَارِ ( متفق عليه)
Dari
Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad
shallallohu alaihi wasallam di pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum
Anshar yang berada di sekitar Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak
berpuasa hari itu hendaknya menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan
berpuasa dan barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”.
Rubai’ berkata, “Maka sejak itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak
kami berpuasa dan kami buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas
lalu jika salah seorang dari mereka menangis karena ingin makan maka kami
berikan kepadanya permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari (1960) dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut
periwayatan Imam Muslim ]
4. Keutamaan puasa Asyuro
عَنْ أَبِي
قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ (رواه أحمد والترمذي و ابن ماجه )
Dari Abu
Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam
bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan
dosa tahun lalu” [ HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah
(1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam kitab Shohih beliau (1162) ]
5. Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro
hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas
radhiyallohu ‘anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, "Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat) menyampaikan, "Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda
فَإِذَا كَانَ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
:"Jika tahun depan insya Allah (kita bertemu kembali dengan
bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada
hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan
tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam wafat di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
(رواه البيهقي في السنن الكبرى)
Ibnu Abbas
radhiyallohu anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan
sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi”
[
Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665)
dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]
6. Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)
Imam Ibnu
Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan
riwayat-riwayat seputar puasa ‘Asyuro, beliau menyimpulkan :
Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua;puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits .Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zaadul Ma’aad 2/63)
Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua;puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits .Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zaadul Ma’aad 2/63)
Kesimpulan
Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallohu
anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
قال رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا
فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا )) (رواه أحمد)
"Puasalah
pada hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah
sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun
hadits ini sanadnya lemah, Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan,
“Hadits ini sanadnya lemah karena salah seorang perowinya yang bernama Muhammad
bin Abdurrahman bin Abi Laila jelek hafalannya, selain itu riwayatnya
menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan
dengan sanad yang shohih bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas
radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi [Ta’liq Shohih Ibn Khuzaimah
(3/290)]
Namun
demikian puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan :
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10)
2. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
1. Sebagai kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10)
2. Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10, pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.
Sedangkan
puasa pada tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun
sebagian ulama yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro
(tanggal 10) saja,wallohu a’lam.
Secara
umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram menunjukkan anjuran
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan puasa,sekalipun hukumnya
tidak wajib tetapi sunnah muakkadah(sangat dianjurkan), dan tentunya kita
sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh
kaum muslimin.
Beberapa Pelanggaran dan Bid’ah Yang Sering Terjadi di
Bulan Muharram
1. Pada awal Muharram, yang kadang dikenal dengan istilah 1 Suro, di tanah air sering diadakan acara ritual dan adat yang beraneka macam bahkan tidak jarang mengarah bahkan telah terjatuh pada kesyirikan, seperti meminta berkah pada benda-benda yang dianggap keramat dan sakti, membuang sesajian ke laut agar Sang Dewi penjaga laut tidak marah dan lain sebagainya. Sebagian lagi dari kaum muslimin menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang keramat dan sakral, sehingga menurut keyakinan mereka tidak boleh mengadakan hajatan besar di bulan tersebut seperti pernikahan, membangun rumah dan lain-lain. Di sisi lain ada juga di kalangan kaum muslimin menjadikan hari ‘Asyuro seperti layaknya hari lebaran, dimana mereka memperbanyak belanja dapur pada hari tersebut seakan-akan mengadakan pesta atau berhari raya. Sehingga di hari itu dikenal berbagai macam model makanan yang dinamakan secara khusus dengan ‘Asyuro seperti bubur ‘Asyuro. Perbuatan mereka ini didasari hadits yang diriwayatkan:
(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ في يَوْمِ
عَاشُورَاءَ وَسَّعَ الله عَلَيْهِ في سَنَتِهِ كُلِّهَا)) (رواه الطبراني
والبيهقي )
“Barangsiapa
yang melapangkan (nafkah) kepada keluarganya pada hari ‘Asyura, niscaya Allah
akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu”
[
HR. Thobrani(10007) dan Baihaqi di kitab Syu’abul Iman (3792) ]
Hadits
ini telah dilemahkan oleh banyak ulama hadits, bahkan ada yang
menghukuminya sebagai hadits palsu. Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini
tidak memiliki asal, silakan lihat kitab Al Maudhu’at oleh ibnul Jauzi, Ahadits
Al Qushshash oleh Ibnu Taimiyah dan Al Fawaid Al Majmu’ah oleh Syaukani.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas dari kemungkaran-kemungkaran yang biasda terjadi di bulan Muharram harus dihindari oleh setiap muslim dimanapun mereka
berada karena
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai seorang Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa Jalla. Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai seorang Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa Jalla. Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Karena sebaik-baik pedoman
adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, yang tidak
ada keselamatan kecuali dengan berpegang kepada keduanya dengan mengikuti
pemahaman para sahabat, tabi'in dan penerus mereka yang setia berpegang kepada
sunnahnya dan meniti jalannya, adapun hal-hal baru dalam masalah agama adalah
sesat sedangkan kesesatan itu akan menghantarkan ke neraka, wal'iyadzubillah.
2. Pada tanggal 10 Muharram 61 H,
terjadilah tragedi berdarah yang memilukan dalam sejarah Islam, yaitu
terbunuhnya Husein radhiyallohu anhu cucu Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam di sebuah tempat yang bernama Karbala. Peristiwa ini kemudian
dikenal dengan “Peristiwa Karbala”. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh
pendukung Khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu yaitu Yazid bin
Mu’awiyah, meskipun sebenarnya Khalifah sendiri saat itu tidak menghendaki
pembunuhan tersebut.
Karena
peristiwa berdarah ini maka kaum Syi’ah yang mengklaim diri mereka sebagai
pengikut ahlul bait menjadikan ‘Asyura sebagai hari berkabung, duka cita dan
menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap
‘Asyura kaum Syi’ah di seluruh dunia termasuk di negeri kita memperingati
kematian Husein radhiyallohu ‘anhu dengan melakukan perbuatan-perbuatan tercela
seperti berkumpul, menangis, meratapi Husein secara secara histeris,
memukuli tubuh dan wajah mereka, bahkan ada yang sampai tega melukai diri dan
anak-anak kecil dengan senjata tajam pada hari tersebut.
Peristiwa wafatnya Husain radhiyallohu anhu memang sangat tragis dan memilukan bagi siapa saja yang mengenang atau membaca kisahnya, dan kita tentu mencintai keluarga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, apalagi terhadap orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Namun musibah apapun yang terjadi dan betapapun kita sangat , hal itu jangan sampai membawa kita larut dalam kesedihan dan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai bentuk duka dengan yang memukul-mukul diri, menangis apalagi sampai mencela shahabat Rasulullah yang tidak termasuk Ahli Bait (keluarga dan keturunan beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan suatu kelompok Syi'ah yang mengaku memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap Ahli Bait (Keluarga Rasulullah), pdahal kenyataanya tidak demikian. Meratapi musibah kematian diharamkan, siapapun yang meninggal dunia bahkan kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun kita dilarang memperingati dan meratapi wafat beliau. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
Peristiwa wafatnya Husain radhiyallohu anhu memang sangat tragis dan memilukan bagi siapa saja yang mengenang atau membaca kisahnya, dan kita tentu mencintai keluarga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, apalagi terhadap orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Namun musibah apapun yang terjadi dan betapapun kita sangat , hal itu jangan sampai membawa kita larut dalam kesedihan dan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai bentuk duka dengan yang memukul-mukul diri, menangis apalagi sampai mencela shahabat Rasulullah yang tidak termasuk Ahli Bait (keluarga dan keturunan beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan suatu kelompok Syi'ah yang mengaku memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap Ahli Bait (Keluarga Rasulullah), pdahal kenyataanya tidak demikian. Meratapi musibah kematian diharamkan, siapapun yang meninggal dunia bahkan kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun kita dilarang memperingati dan meratapi wafat beliau. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
قال رسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ
أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ
وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ
وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا
تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ
وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ )) (رواه مسلم)
“Ada
empat perkara yang terdapat pada ummatku termasuk, termasuk perbuatan kaum
Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan: Menyombongkan kebangsawanan, mencela
nasab, meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratap”. Beliau berkata, “Orang
yang meratapi kematian jika dia belum taubat sebelum meninggal dunia maka
akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan berpakaian hitam yang terbuat dari
ter dan baju besi yang berkudis” (HR. Muslim(1550) dari sahabat Abu Malik Al Asy’ari radhiyallohu
anhu)
Khatimah
Inilah pembahasan ringkas dan sederhana berkaitan dengan bulan suci nan agung Muharram, semoga kita selalu diberi taufiq dan dibimbing oleh Allah subhanahu wata’ala ke jalan-Nya yang lurus serta mendapatkan keridhaan dan ampunan-Nya, dan dimudahkan dalam menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam di segala tempat dan di sepanjang waktu serta dijauhkan dari segala bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan syariat yang suci ini, amin ya rabbal 'alamin.
Wallohu Waliyyut Taufiq.
Inilah pembahasan ringkas dan sederhana berkaitan dengan bulan suci nan agung Muharram, semoga kita selalu diberi taufiq dan dibimbing oleh Allah subhanahu wata’ala ke jalan-Nya yang lurus serta mendapatkan keridhaan dan ampunan-Nya, dan dimudahkan dalam menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallohu alaihi wasallam di segala tempat dan di sepanjang waktu serta dijauhkan dari segala bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan syariat yang suci ini, amin ya rabbal 'alamin.
Wallohu Waliyyut Taufiq.
Post a Comment