Wara’
Wara’
Segala
puji hanya bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda
Rasulullah Muhammad saw, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak
disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi -Nya
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya.
Amma Ba’du:
Di
antara sifat terpuji yang dianjurkan dan diperintahkan oleh syara’ adalah bersikap
wara’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun wara’ adalah menahan diri dari perkara
yang terkadang bisa memudharatkan, termasuk di dalam perkara ini adalah
perkara-perkara yang diharamkan dan yang syubhat, sebab bisa berdampak negatif, dan
orang yang menjaga perkara yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan
kehormatan dirinya dan orang yang terjebak ke dalam perkara yang syubhat maka
dia telah terjatuh pada perkara yang diharamkan, sama seperti seorang penggembala
yang menggembalakan gembalaannya di sekitar
perbatasan, hampir saja dia melewati batasnya”.[1]
Syekh
Ibnu Utsaimin berkata, “Wara adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, hal
itu terwujud dengan meninggalkan segala sesuatu yang hukumnya belum jelas dan belum jelas pula
hakekatnya.
Pertama: sesuatu
yang belum jelas hukumnya apakah dia halal atau haram. Dan yang kedua adalah
samar dalam keadaannya”.[2]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir RA berkata: Aku
telah mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal
itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas dan di antara keduanya
terdapat perkara-perkara yang masih samar yang tidak diketahui oleh sebagian besar
orang, maka barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara yang syubhat
maka dia telah menjaga agama dan kehormatan dirinya dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang syubhat maka sungguh dia
telah terjatuh dalam perkara yang haram, sama seperti penggembala yang
menggembala di sekitar perbatasan yang hampir saja memasuki ladang orang lain
dan ketahuilah bahwa setiap raja itu memiliki batas-batas dan batasan-batasan
Allah adalah segala perkara yang diharamkannya”.[3]
Diriwayatkan
oleh Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Keutamaan
ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga
agamamu adalah bersikap wara’”. [4]
Diriwayatkan
oleh Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkanlah
apa-apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukannmu”.[5]
Di
dalam shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah bertanya kepada
Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau bersabda, “Kebaikan
itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa yang telah merasuk ke dalam
hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”.[6]
Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “ Sekalipun banyak
orang yang memberikan fatwa kepadamu”.[7]
Sikap
wara’ ini memiliki jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan,
pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan yang lain-lain. Banyak orang
yang terjebak ke dalam perkara-perkara yang diharamkan dan syubhat karena
meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut
dan pandangan. Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isro’: 36).
Allah SWT berfirman: يَعْلَمُ
خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
Dia
mengetahui (pandangan) mata yang khianat) dan apa yang
disembunyikan oleh hati. (QS.
Gafir: 19)
Imam
Ahmad bin Hambal berkata: Seorang lelaki yang berada pada suatu kaum lalu
seorang wanita lewat dan pandangannya mengikuti langkah wanita tersebut”.[8]
Dalam ash-shahihaini
dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang
hamba berbicara dengan suatu kata yang maknanya tidak dipikirkan oleh dirinya,
akibatnya dia terjatuh ke dalam jurang neraka yang dalamnya lebih dari jarak
antara timur dan barat”.[9].
Arti sabda Rasulullah Muhammad SAW: (ما
يتبين) adalah dia tidak memikirkan tentang kejelasan
maknanya dan tidak pula merenungkannya apakah dia baik atau buruk.
Di
dalam hadits riwayat Aisyah RA tentang berita
bohong yang menimpa dirinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bertanya kepada
Zainab binti Jahsy RA dan dia berkata, “Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku,
dan diriku tidak mengetahui kecuali kebaikan”. Aisyah berkata: Dialah dari
sekian istri-istri Nabi Muhammad SAW yang selalu menyaingiku maka Allahpun
menjaga dirinya dengan sikap wara’.[10]
Wuhaib bin Wurd berkata, “Seandainya
engkau berada di dalam kelompok pasukan perang ini maka tidak ada yang
memberikan manfaat apapun bagimu sehingga engkau meneliti apa-apa yang masuk ke
dalam perutmu apakah dia halal atau haram.
Nabi Muhammad
SAW adalah tauladan dalam bersikap wara’, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim di dalam kitab shahihnya dari Anas bahwa Nabi
Muhammad saw bersabda, “Aku pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan
sebiji buah yang terbuang di atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk
memakannya, kemudian aku khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan
maka akupun membuangnya”.[11]
Sebab sedeqah tersebut diharamkan bagi diri beliau dan keluarga beliau Muhammad
SAW. Dan para shahabat mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW ini, mengikuti sunnah
beliau. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Aisyah RA
berkata, “Abu Bakr memiliki seorang pembantu yang yang selalu memberikannya
makanan dari pajak, dan pada suatu hari pembantunya datang memberinya makanan dan Abu Bakr pun
memakannya, lalu pembantunya berkata
kepadanya: Tahukan anda apakah ini?. Maka Abu Bakr bertanya: Dari manakah asal makanan ini?. Pembantunya
berkata: Aku, di masa jahiliyah telah meramal
seseorang, padahal diriku bukan peramal yang baik, hanya saja aku telah
menipunya, lalu dia memberikan upah bagiku dengan makanan ini, dan makanan yang
kamu makan ini adalah bagian darinya, maka Abu Bakr pun memasukkan tangannya ke
dalam mulutnya sehingga dia memuntahkan apa-apa yang ada di dalam perutnya”.[12]
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Nafi’, yaitu dari Ibnu Umar dari
Umar bin Khattab berkata, “Bahwa telah ditetapkan bagi kaum muhajirin generasi
pertama empat ribu, dan ditetapkan bagi Ibnu
Umar tiga ribu lima
ratus. Lalu dia ditanya: dia termasuk orang muhajirin lalu mengapa engkau
mengurangi bagiannya dari empat ribu?. Maka Umar menjawab: Sesungguhnya dia
telah dihijrahkan oleh bapaknya, dia berkata:
Bukan seperti orang yang hijrah dengan
sendirinya”.[13]
Umar RA berkata, “Kami meninggalkan
sembilan persepuluh yang halal karena khawatir terhadap riba”.[14]
Abdullah
bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta
yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”.
Dan Umar bin Abdul Aziz dinyalakan baginya sebuah lilin untuk menunaikan tugas
menyelesaikan perkara kaum muslimin, lalu jika dia telah selesai maka diapun
memadamkan lampu lilin tersebut lalu dia menyalakan lampunya sendiri. Suatu
hari, dia pernah berkata kepada istrinya: Apakah engkau memiliki satu dirham
untuk membeli anggur?. Istrinya menjawab: Aku tidak memiliki uang. Dia bertanya
kembali: Apakah engkau memiliki satu keping uang?. Istrinya menjawab: Aku tidak
punya, dan engkau sebagai amirul mu’minin apakah engkau tidak memiliki uang
satu dirham saja?. Dia menjawab: Perkara ini lebih mudah daripada melepaskan
diri dari ikatan rantai di dalam neraka jahannam”.
Telah
disebutkan sebelumnya tentang perkataan syekh Utsaimin bahwa kesamaran tersebut
bisa terjadi dalam beberapa hal, yaitu kesamaran dalam hukum, dan seorang
mu’min tidak mengetahui apakah dia termasuk di dalam perkara
halal dengan jelas atau di dalam perkara yang
haram dengan jelas. Perkara ini memiliki contoh yang sangat banyak, sebab
perbedaannya didasarkan pada perbedaan pemahaman para ulama, di antara mereka
ada yang menganggap halal dan sebagian yang lain berkata haram, hal ini
terlihat dalam sebagian aqad transaksi dan cara jual beli yang banyak
berkembang di masa sekarang ini”.[15]
Kedua:
Samar dalam keadaan. Perkara ini tampak pada hukum tentang daging ayam yang diimpor dari
luar, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa daging itu halal sebab termasuk
dalam kategori makanan ahli kitab. Allah SWT berfirman:
وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ
Makanan
)sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu,
(QS. Al-Maidah: 5)
Dan
sungguh telah jelas terbukti bagi sebagian penuntut ilmu bahwa banyak daging
ayam impor disembelih dengan menggunakan strum listrik atau cara lain yang
tidak sesuai dengan cara penyembelihan yang syar’i. Maka perkara ini termasuk
perkara yang samar dari sisi keadaan sehingga
orang yang wara’ seharusnya meninggalkannya.
Dan hal
yang perlu diingatkan bagi orang yang meninggalkan dan menjauhi perkara syubhat
bahwa Allah SWT akan memberikan ganti baginya dengan sesuatu yang lebih baik
dari apa yang telah terlewat. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam
musnadnya dari Abi Qotadah dan Abi Dahma’ bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya
tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah SWT kecuali Dia akan
memberikan ganti bagimu dengan yang lebih baik darinya”.[16]
Segala
puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan
kepada Nabi kita Muhammad saw dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh
pengikut beliau.
[1] Majmu’ Fatawa: 10/615
[2] Syarah riyadhus Shalihin:
6/168
[3] Shahih Muslim: no: 1599 dan
shahih Muslim: no; 52
[4] Kasyful Astar: 1/85 no: 139
dan dishahihkan oleh Albani pada kitab shahihul Jami’ no: 4214
[5] An-Nasa’i: no: 5711
[6] Shahih Muslim: no: 2553
[7] Shahih Muslim: 4/227
[8] Al-Wara’, karangan Al-Marwazi,
halaman: 111
[9] Shahih Muslim: no: 988 dan
shahih Bukhari: no: 6477
[10] Shahih Bukhari: no: 4750 dan Shahih Muslim:
no: 2770
[11] Al-Bukhari: no: 2432 dan
Muslim: 1070
[12] Al-Bukhari: no: 3842
[13] Al-Bukhari: 3912
[14] Mushannaf Abdur Razzaq: 8/152
no: 14683
[15] Lihat kitab: Al-Ashum
Al-Mukhatalitah, karangan syekh shaleh Al-Ushaimi
[16] Musnad Imam Ahmad: 5/363 dan
Al-Hutsaimi berkata di dalam kitab: Majma’uz Zawa’id: 10/296 diriwayatkan oleh
Ahmad dengan sanad-sanadnya dan rijalnya yang merawikannya adalah rijal dalam
kategori shahih. Dan AlBani berkata di dalam di dalam silsilah Al-Dahifah: 1/62
dan sanadnya shahih dengan syarat muslim
Post a Comment