Hikmah (Bijaksana)



Hikmah (Bijaksana)

وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
"Dan barangsiapa yang diberikan hikmah maka sungguh ia telah diberikan kebaikan yang banyak."

          Sesungguhnya orang yang mempunyai niat yang baik dan ibadah yang benar, kebaikannya hanya terbatas untuk dirinya sendiri dan tidak memberi pengaruh kepada orang lain (intransitif), selama ia tidak diberikan hikmah dalam berinteraksi dan benar dalam memilih. Sebagaimana orang yang memiliki hikmah, hikmahnya menjadi salah satu bagian kemunafikan sosial jika tidak disertai kejiwaan yang tinggi dan istiqamah di atas jalur al-Qur`an dan as-Sunnah.
          Di dalam kitab-kitab tafsir, kata-kata hikmah terkadang didefinisikan dengan makna al-Qur`an, terkadang dengan arti as-Sunnah atau kenabian. Karena itulah diriwayatkan dalam beberapa hadits tentang do'a Rasulullah r kepada Abdullah bin Abbas t yang berbunyi semoga Allah I mengajarkan kepadanya hikmah, kitab dan paham dalam agama, dan digabungkan dalam riwayat al-Bukhari dengan sabda beliau:
اَللّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ
"Ya Allah, ajarkanlah kepadanya hikmah."[1]
Maksudnya adalah paham terhadap al-Qur`an dan as-Sunnah, serta mengamalkan keduanya, seperti yang ditegaskan oleh mayoritas tabi'in dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan ucapannya: '… adapun hikmah dalam al-Qur`an, maka maksudnya adalah mengenal kebenaran dan mengamalkannya…'[2]
          Hikmah tersebut ada yang bersifat fitrah dan ada pula yang berawal dari usaha. Dan di antara sebab-sebab usaha untuk mendapatkan hikmah adalah paham dalam agama, dan ia adalah kebaikan yang banyak yang diisyaratkan oleh ayat:
وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (QS. Al-Baqarah :269)
As-Sunnah memperkuat hal itu dan menjelaskan usaha mendapatkan hikmah:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
"Barangsiapa yang Allah I menghendaki kebaikan kepadanya, niscaya Dia I memberikan pemahaman dalam agama kepadanya."[3]
          Dan Sayyid Quthb rahimahullah mengisyaratkan hal itu dalam tafsirnya bahwa hikmah adalah buah tarbiyah Qur`ani: 'Hikmah adalah buah pendidikan dengan kitab ini (al-Qur`an), yaitu kemampuan meletakkan segala urusan di tempatnya yang benar dan menimbangnya dengan timbangan yang tepat, serta mendapatkan kesudahan segala urusan dan pengarahan…'[4]
          Sedangkan Luqman al-Hakim memandang hikmah merupakan sesuatu yang bisa didapatkan dengan duduk bersama orang-orang shalih yang dijadikan panutan, sebagaimana dalam wasiatnya kepada anaknya: 'Wahai anakku, duduklah bersama para ulama dan bersimpuhlah di hadapan mereka dengan kedua lututmu. Maka sesungguhnya Allah I menghidupkan hati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Allah I menghidupkan bumi yang tandus dengan tetesan air hujan.'[5]
          Imam al-Bukhari memberikan judul satu bab dalam kitab ilmu yang berbunyi: (Ingin memperoleh ilmu dan hikmah) dengan memandang bahwa sesungguhnya ilmu adalah wasilah (sarana) dan hikmah adalah hasil secara alami.
          Kemudian, sesungguhnya di antara sumber untuk mendapatkan hikmah adalah mengambil faedah dari perjalanan umur dan pengalaman, dengan mengambil pelajaran dan berhati-hati untuk perkara agama dan dunia. Disebutkan dalam hadits:
لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
"Seorang mukmin tidak digigit (ular, kalajengking) dari satu lobang sebanyak dua kali."[6]
          Banyak pengalaman termasuk yang menyebabkan seseorang mendapatkan sifat santun dan hikmah. Inilah yang dipahami dari hadits Rasulullah r:
لاَ حَلِيْمَ إِلاَّ ذُوْ عثرَةٍ, وَلاَ حَكِيْمَ إِلاَّ ذُوْ تَجْرِبَةٍ
"Tidak ada yang bersifat santun kecuali yang mempunyai kekeliruan, dan tidak ada yang bersifat hikmah (bijaksana) kecuali yang mempunyai pengalaman."[7]
          Maksudnya: sifat santun tidak diperoleh sehingga ia melakukan beberapa perkara dan keliru, lalu mengambil pelajaran, menjadi jelas tempat-tempat kesalahan, dan menjauhinya…[8]
          Orang yang bijaksana kemungkinan tidak bisa memperoleh sifat bijaksana kecuali setelah belajar dari kesalahan, kekeliruan, dan terjatuh, yang dia terjatuh di dalamnya dengan dirinya sendiri atau ia menyerap dari pengalaman dari orang yang lebih darinya dari segi usia, atau ilmu, atau pengalaman. Dan orang yang bodoh adalah yang tidak mengambil manfaat dari pengalaman dan tidak belajar dari perjalanan waktu. Karena itulah al-Khaththabni rahimahullah menjelaskan: 'Hendaklah seorang mukmin selalu teguh dan tetap waspada, janganlah ia terlalai lalu tertipu beberapa kali. Terkadang hal itu dalam persoalan agama, sebagaimana dalam persoalan dunia, dan persoalan agama lebih utama untuk diwaspadai.[9]
          Maka wajib kepada orang yang bijaksana agar ia menyerap dan berpikir, serta tidak memberikan dirinya untuk kesalahan. Disebutkan dalam hadits bahwa sahabat Nabi r datang kepada beliau seraya berkata: 'Ajarkanlah kepadaku dan persingkatlah! Maka beliau bersabda:
إِذَا قُمْتَ فِى صَلاَتِكَ فَصَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ, وَلاَ تكلمْ بِكَلاَمٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعِ الْيَأْسَ عَمَّا فِى أَيْدِي النَّاسِ.
"Apabila engkau berdiri di dalam shalatmu, maka laksanakanlah seperti shalat orang yang akan pergi, janganlah engkau berbicara yang akan membuat engkau menyelasinya, dan gabungkanlah sikap putus asa dari apa saja yang ada di tangan manusia."[10]
Maka beliau menjadikan sikap waspada dalam menggunakan kata-kata dan menjauhkan diri dari terjatuh dalam kesalahan merupakan buah hikmah yang menyimpulkan berbagai pengalaman laki-laki.
          Dan termasuk rasa syukur orang yang memiliki hikmah terhadap apa yang telah diberikan Allah I kepadanya bahwa ia memberitahukan kepada manusia hasil hikmahnya, kesimpulan pemahaman dan pengalamannya. Saat itulah sudah menjadi kemestian orang-orang ingin seperti dia dan mereka ingin mencapai seperti kedudukannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لاَحَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسلطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى اْلحَقّ, وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
"Tidak boleh bersikap dengki (ghibthah, ingin meniru) kecuali dalam dua perkara: Seseorang yang telah diberikan harta oleh Allah I, lalu ia menggunakannya dalam kebenaran, dan seseorang yang telah diberikan oleh Allah I hikmah, maka ia memutuskan dengannya dan mengajarkannya."[11]
Dan Ibnu Hajar rahimahullah memberikan komentar tentang makna hikmah yang mencakup semua makna, ia berkata: 'Yang dimaksud dengan hikmah adalah: segala yang menghalangi dari kebodohan dan mencegah dari yang jelek.'[12]
          Dan tujuan utama untuk mencapai derajat tertinggi dari hikmah adalah bersungguh-sungguh agar lurus dalam ucapan dan perbuatan, dan menggunakan hikmah ini dalam berdakwah kepada Allah I:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik (QS. An-Nahl :125)
Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata: 'Hikmah disebutkan secara mutlak, tanpa disertakan sifat hasanah (yang baik), karena semua hikmah adalah kebaikan, dan sifat hasan baginya adalah sifat zat.'[13]
          Karena itulah sesungguhnya orang-orang yang bergaul dengan para dai yang memiliki kecerdasan dan hikmah merasakan kenikmatan belajar adab lewat tangan mereka, menerima pengarahan mereka dengan senang hati, ridha, serta penerimaan yang mutlak. Sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ruh al-Ma'ani: 'Sesungguhnya ia adalah ucapan yang benar, yang menyentuh hati dengan tepat.'[14]  Dan setiap kali seorang dai lebih paham, lebih kuat akal, dan lebih tepat mata hatinya, niscaya ia lebih banyak hikmah. Dan disebutkan dalam Fath al-Qadir: Sesungguhnya hikmah yang diberikan Allah I kepada Luqman adalah: paham, berakal, dan tepat.' dan pengertian ini disepakati oleh al-Qurthubi.'[15]
          Di antara gambaran bijaksana dalam berdakwah adalah: memperhatikan kondisi para audien dan keadaan mereka, serta kadar yang dijelaskannya kepada mereka setiap saat, sehingga tidak terasa berat atas mereka, tidak menjadi beban sebelum siapnya jiwa baginya, metode yang digunakan dalam berbicara di depan mereka, dan membuat variasi dalam metode ini menurut tuntutannya.
Kesimpulan:
1.      Hikmah tanpa didukung sifat istiqamah adalah kemunafikan sosial.
2.      Di antara pengertian hikmah adalah:
a.             Memahami al-Qur`an, mengenal kebenaran dan mengamalkannya.
b.            Meletakkan sesuatu pada tempatnya.
c.             Selalu sederhana, berusaha memahami sebab, dan meletakkan segala perkara sesuai porsinya.
3.      Di antara sebab untuk mendapatkan hikmah:
a.             Memahami agama.
b.            Mengambil faedah dari pengalaman usia.
c.             Belajar dari kesalahan.
d.            Waspada supaya jangan terjerumus dalam kesalahan.
4.      Di antara pengungkapan rasa syukur terhadap nikmat hikmah adalah mengajarkannya kepada manusia.
5.      Bersungguh-sungguh untuk mencapai kebenaran termasuk hikmah yang tertinggi.
6.      Termasuk hikmah dalam berdakwah adalah memperhatikan kondisi audien dan keadaan mereka.




[1]  Shahih al-Bukhari, Fadhail ash-Shahabah, bab ke-24, no. 3756.
[2] Majmu' al-Fatawa 15/45.
[3] Shahih al-Bukhari, kitab al-Ilmu, bab ke-13, hadits no. 71.
[4]  Fi Dzhilalil Qur'an 1/133.
[5]  Muwaththa` Malik 2/1002, kitab Ilmu, bab ke-1.
[6]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Adab, bab ke-83, hadits no. 6133.
[7]  Ibnu Hajar rahimahullah mengutip hadits ini dalam Fath al-Bari dan ia berkata: diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam as-Adab al-Mufrad. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
[8]  Dari Fath al-Bari 1/530.
[9]  Dari al-Fath al-Bari 1/530
[10]  Shahih Sunan Ibnu Majah, Syaikh al-Albani, kitab Zuhud, bab ke- 15, no. 3363/4171. (Hasan).
[11]  Shahih al-Bukhari, kitab Ahkam, bab ke-3, hadits no. 7141.
[12]  Fath al-Bari 1/166, saat menerangkan hadits no. 73.
[13] Madarijus Salikin 1/445.
[14]  Ruh al-Ma'ani 14/254
[15]  Fath al-Qadir, karya asy-Syaukani, 4/237.

Tidak ada komentar