Persaingan yang mulia
Persaingan yang mulia
Bukan sesuatu yang aneh bahwa
seseorang melebihi saudaranya dalam bidang ilmu pengetahuan, atau keahlian,
atau berbagai sektor lainnya dalam kehidupan. Sebagaimana bukan termasuk
perbuatan tercela bahwa yang rendah berusaha menyusul yang lebih tinggi dan
mengerahkan segenap kemampuannya untuk melebihinya, dalam batas mengharapkan
ridha Allah I,
dan selamat dari penyakit sombong, ujub dan riya', dan dengan bersihnya perasaan hati dan sucinya hubungan
persaudaraan. Dengan standar netral, adil dalam penilaian untuk diri sendiri
dan orang lain, di mana semua itu membawa hasil untuk merealisasikan
kepentingan Islam yang tinggi, jauh dari hawa nafsu.
Ketika persaingan yang mulia menjadi
pendorong beribadah kepada Allah I,
menjadi jalan untuk mengarahkan pandangan kepada amal-amal kebaikan, yang
memancarkan persaingan sebagai tambahan kebaikan untuk individu dan masyarakat,
sehingga individu dari umat ini selalu menoleh kepada yang lebih tinggi, dan
bagaimana ia ridha dengan yang lebih rendah?...Dan dialah yang ingin agar Allah
I
menjadikannya sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa. Dia yang mengintai
kepada surga Firdaus yang paling tinggi, bersama pada nabi, para syuhada, dan
orang-orang shalih. Dan dia yang mengharapkan agar menjadi orang yang terdahulu
dengan kebaikan:
أُوْلَئِكَ
يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
mereka
itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang
segera memperolehnya. (QS. Al-Mukminun:61)
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. (QS. Al-Baqarah:148)
خِتَامُهُ
مِسْكُُ وَفيِ ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
laknya
adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.
(QS. Al-Muthaffifiin:26)
Di antara yang demikian itu,
persaingan mulia yang terdapat dalam hadits tentang orang yang beribadah dan
berinfak:
لاَحَسَدَ
إِلاَّ فِى اثْنَيْنِ: رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوْهُ
آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ, فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ: لَيْتَنِي
أُوْتِيْتُ مِثْلَمَا أُوْتِيَ فُلاَنٌ, فَعَمِلْتُ مِثْلَمَا يَعْمَلُ. وَرَجُلٌ
آتَاهُ اللهُُ مَالاً فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِى الْحَقِّ. فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي
أُوْتِيْتُ مِثْلَ مَا أُوْتِيَ فُلاَنٌ, فَعَمِلْتُ مِثْلَمَا يَعْمَلُ.
"Tidak ada hasad kecuali dalam dua
perkara: (pertama) seseorang yang Allah I
mengajarkan al-Qur`an kepadanya, dia membacanya siang dan malam hari. Lalu
tetangganya mendengarnya seraya berkata, 'Andaikan aku diberikan seperti yang
diberikan kepada fulan, maka aku beramal seperti dia. Dan (kedua) laki-laki
yang diberikan Allah I
harta, maka dia menggunakannya dalam kebaikan. Maka seorang laki-laki yang lain
berkata, 'Andaikan aku diberikan seperti fulan, maka aku beramal seperti ia
beramal."[1]
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata, 'Adapun hasad yang disebutkan dalam hadits tersebut maksudnya adalah ghibthah
(ingin meniru), yaitu ingin mendapatkan seperti yang diperoleh orang lain,
tanpa hilangnya nikmat itu dari orang lain. Berkeinginan seperti ini disebut munafasah
(persaingan), maka jika dalam perbuatan taat, maka merupakan perbuatan yang
terpuji.'[2]
Di antara gambaran persaingan yang
mulia adalah berlomba-lomba dalam ibadah, terkadang tidak bisa istiqamah
melaksanakannya kecuali orang-orang yang terdahulu, seperti azan, shaf pertama,
bersegera melaksanakan shalat, bersungguh-sungguh melaksanakan shalat isya dan
shubuh berjamaah. Rasulullah r
bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى
النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا
عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا عَلَيْهِ, وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِى التَّهْجِيْرِ
لاَسْتَبَقُوْا إِلَيْهِ, وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِى الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ
َلأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
"Jikalau manusia mengetahui pahala
yang ada pada azan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya
kecuali dengan diundi niscaya mereka melakukan undian. Dan jikalau mereka
mengetahui pahala bersegera menuju shalat tentu mereka berlomba kepadanya. Dan
jikalau mereka mengetahui pahala pada shalat isya dan shubuh niscaya mereka
mendatanginya sekalipun sambil merangkak."[3]
Di antara gambaran perlombaan yang
mulia dari sisi amal ibadah, persaingan dalam kebaikan yang terjadi di antara
Abu Bakar t
dan Umar t.
Di antara hal itu adalah ketika keduanya mendengar pujian Rasulullah r
terhadap bacaan Abdullah bin Mas'ud t
dengan sabdanya:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَقْرَأَ
الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْهُ مِنْ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ
"Barangsiapa
yang ingin membaca al-Qur`an murni sebagaimana diturunkan, maka hendaklah ia
membacanya dari Ibnu Ummi Abd (Abdullah bin Mas'ud)."[4]
Lalu
pada malam hari, Umar t
segera berangkat untuk memberikan kabar gembira kepada Ibnu Mas'ud t.
Maka Ibnu Mas'ud t
berkata, 'Apakah yang mendorongmu datang pada saat ini? Umar berkata, 'Aku
datang untuk memberikan kabar gembira kepadamu dengan ucapan Rasulullah r.
Ibnu Mas'ud t
berkata, 'Abu Bakar t
telah mendahuluimu.' Umar t
berkata, 'Jika ia melakukan, maka sesungguhnya ia adalah jagonya berlomba dalam
kebaikan. Belum pernah kami berlomba dalam kebaikan kecuali Abu Bakar telah
mendahului kami kepadanya."[5]
Gambaran seperti ini terulang kembali
saat Rasulullah r
meminta dari pada sahabatnya untuk bersedekah. Umar t
berkata, 'Kebetulan aku mempunyai harta, maka aku berkata, 'Pada hari ini aku
mendahului (melebihi) Abu Bakar t
-jika aku bisa mendahuluinya pada suatu hari- lalu aku datang dengan setengah
hartaku. Rasulullah r
bertanya, 'Apakah yang engkau sisakan untuk keluargamu?' Aku menjawab,
'Seumpamanya (sama seperti jumlah ini).' Dan Abu Bakar t
datang dengan semua miliknya, maka beliau r
bertanya, 'Wahai Abu Bakar, apakah yang engkau sisakan untuk keluargamu? Maka
ia menjawab, 'Aku tinggalkan untuk mereka Allah I dan
Rasul-Nya.' Saat itulah Umar t
berkata, 'Aku tidak bisa mendahuluinya (melebihinya) untuk selamanya.'[6]
Seperti inilah persaingan di antara
sesama teman sejawat dengan rasa cinta dan hormat, bukan dengan rasa dendam dan
penghinaan. Adapun persaingan yang tidak sehat (mulia), maka bermula seperti
yang dijelaskan oleh an-Nawawi rahimahullah dalam syarh Muslim: 'Para ulama berkata, 'Persaingan kepada sesuatu adalah
berlomba kepadanya dan tidak suka orang lain mengambilnya, ia adalah permulaan
tingkatan sifat dengki. Adapun hasad (dengki) yaitu inginnya hilang nikmat dari
orang lain)."[7]
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan pengertian dengki dengan ucapannya:
'Maka yang dicela bahwa engkau mengharapkan hilangnya nikmat Allah I
dari saudaramu sesama muslim. Sama saja engkau mengharapkan agar nikmat itu
kembali kepadamu… Sesungguhnya hal itu menjadi tercela karena di dalamnya
mengandung menyalahkan Allah I
dan sesungguhnya Dia I
memberikan nikmat kepada orang yang tidak berhak menerimanya.'[8]
Persaingan yang membawa kepada sifat
dengki inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah r apabila sudah
ditaklukkan kerajaan Persi dan Romawi, beliau bersabda:
تَتَنَافَسُوْنَ ثُمَّ
تَتَحَاسَدُوْنَ ثُمَّ تَتَدَابَرُوْنَ ثُمَّ تَتَبَاغَضُوْنَ...
"Kamu saling bersaing, kemudian
saling mendengki, kemudian saling membelakangi, kemudian saling membenci…"[9]
Itulah
yang terlarang dalam sabdanya r:
وَلاَتَحَسَّسُوْا
وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَنَافَسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا
وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا
"Janganlah kamu suka mendengar
(isu, atau semisalnya), janganlah mencari-cari aib orang lain, janganlah saling
bersaing (bukan dalam urusan kebaikan atau akhirat), janganlah saling
mendengki, janganlah saling membenci, dan janganlah saling membelakangi, dan
jadilah kamu hamba-hamba Allah I
yang bersaudara."[10]
Dan
yang paling dikhawatirkan bahwa tergelincirnya seseorang kepada persaingan
dalam maksiat, atau persaingan atas dunia dan perhiasannya. Dan Rasulullah r
telah mengingatkan umatnya dari tergelincir ini, beliau bersabda:
إِنِّي فَرَطُكُمْ وَأَنَا شَهِيْدٌ
عَلَيْكُمْ وَإِنِّي وَاللهِ َلأَنْظُرُ إِلَى حَوْضِي اْلآنَ وَإِنِّي قَدْ
أُعْطِيْتُ مَفَاتِيْحَ اْلأَرْضِ وَإِنِّي وَاللهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ
تُشْرِكُوْا بَعْدِي وَلكِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنَافَسُوْا فِيْهَا
"Sesungguhnya aku mendahului kamu,
dan aku menjadi saksi atasmu, dan sesungguhnya aku –demi Allah- melihat
telagaku sekarang, dan sesungguhnya aku telah diberikan kunci-kunci
perbendaharaan bumi, dan sesungguhnya aku –demi Allah- tidak khawatir bahwa
kamu berbuat syirik sesudahku, akan tetapi aku khawatir atasnya bahwa kamu
bersaing padanya."[11]
Dan tatkala Rasulullah r
melihat bersegeranya manusia saat mengetahui datangnya Abu Ubaidah t
dengan membawa harta dari Yaman, beliau r
bersabda kepada mereka:
...فَوَاللهِ مَاالْفَقْر أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلكِنْ أَخْشَى
عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ
قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا وَتُلْهِيْكُمْ كَمَا
أَلْهَتْهُمْ
"Maka
demi Allah, bukanlah kemiskinan yang kukhawatirkan terhadapmu, akan tetapi aku
khawatir dibukakan dunia terhadapmu sebagaimana telah dibukakan terhadap umat
sebelum kamu, lalu kamu bersaing sebagaimana mereka telah bersaing, dan
melalaikan kamu sebagaimana telah melalaikan mereka."[12]
Sesungguhnya masyarakat yang urusannya
adalah persaingan yang mulia, anak kecil berlomba untuk ikut serta dalam
berperang, para wanita bersaing untuk
membantu para mujahidin, manusia bersaing untuk menghapal al-Qur`an dan mengamalkan
sunnah Rasulullah r.
Dan ketika suasana seperti ini sudah hilang, jadilah persaingan dalam
memperbanyak harta benda dan dalam kerancuan segala yang baru.
Dan yang lebih berbahaya dari semua
ini adalah persaingan orang-orang malas dan bodoh, yang menunggu dilimpahkan
nikmat Allah I
kepada mereka, di atas kebodohan dan lemahnya semangat mereka. Dan sekalipun
nikmat ini tidak meliputi mereka, mereka tetap duduk. Mereka hanya digerakkan
oleh semangat jahat untuk melakukan tipu daya kepada orang-orang bekerja,
dengki terhadap orang yang mendahului mereka, dan dendam terhadap orang yang
diberikan Allah I
nikmat kepada mereka. dan Rasulullah r
telah memberi peringatan dengan sabdanya:
دَبَّ
إِلَيْكُمْ دَاءُ اْلأُمَمِ قَبْلَكُمْ: الحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ, وَالْبَغْضَاءُ
هِيَ الْحَالِقَةُ, حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ, وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا. أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ
إِذاَ فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
"Telah menular kepadamu penyakit
umat-umat sebelum kamu: dengki dan kebencian, dan kebencian ialah yang
mencukur, mencukur agama, bukan mencukur rambut. Demi Allah I
yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, kamu tidak beriman sehingga kamu
saling mencintai. Maukah kamu kukabarkan sesuatu yang apabila kamu lakukan kamu
saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kamu."[13]
Salam
yang sebenarnya adalah memberikan kesenangan hati, dan tidak ada penghormatan
itu melainkan hanya salah satu indikasinya.
Ketika tersebar jalur persaingan dalam
kebaikan, seseorang tidak mengintai-intai kecuali kepada orang yang berada di
atasnya dari sisi wara' dan ibadah, dakwah dan jihad. Dan orang-orang yang
menoleh kepada nikmat yang diberikan Allah I kepada
sebagian hamba-Nya, lalu ia ingin berlomba memperbanyak harta benda dunia, atau
memandang kepada mereka dengan pandangan hasud, Rasulullah r
mengingatkan mereka dengan sabdanya:
اُنْظُرُوْا
إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ,
فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدِرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ
"Lihatlah kepada orang yang di
bawah kamu (dari sisi kehidupan dunia), dan jangan engkau melihat kepada orang
yang berada di atasmu, maka sesungguhnya ia lebih pasti bahwa kamu tidak
menghinakan nikmat Allah I
kepadamu."[14]
Di antara perkataan para ulama yang
dikutip an-Nawawi rahimahullah dalam memahami hadits di atas, Ibnu Jarir
rahimahullah dan yang lainnya berkata: 'Hadits ini menggabungkan semua
jenis kebaikan, karena apabila manusia melihat orang yang diberi kelebihan
atasnya dalam urusan dunia, nafsunya meminta seperti itu dan menganggap sepele
nikmat Allah I
yang ada di sisinya, sangat bernafsu untuk menambah untuk menyusul hal itu atau
mendekatinya. Inilah realita mayoritas manusia. Adapun apabila ia melihat dalam
urusan dunia kepada orang yang lebih rendah darinya, nampaklah atasnya nikmat
Allah I
kepadanya, maka ia bersyukur dan merasa rendah diri, serta melakukan kebaikan
padanya.[15]
Manusia dalam golongan inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah r
saat ditanya:
أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟ قَالَ:
كُلُّ مَخْمُوْمِ الْقَلْبِ صَدُوْقُ اللِّسَانِ؟ قَالُوْا: صَدُوْقُ اللِّسَانِ
نَعْرِفُهُ, فَمَا مَخْمُوْمُ الْقَلْبِ؟ قَالَ: هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ, لاَ
إِثْمَ فِيْهِ وَلاَ بَغْيَ وَلاَ غِلَّ وَلاَحَسَدَ.
'Manusia
apakah yang paling utama? Beliau menjawab, 'Setiap orang yang makhmum hatinya,
benar lisannya.' Mereka berkata, 'Benar lisannya, kami mengetahuinya, apakah
maksud makhmum hatinya? Beliau menjawab, 'Yaitu orang yang taqwa, bersih, tidak
ada dosa padanya, tidak ada zalim, tidak ada penipuan, dan tidak ada kedengkian."[16]
Dan tidak sempurna iman di hati orang
yang terseret persaingan tidak terpuji kepada sifat kedengkian, sebagaimana
dalam sabdanya r:
...لاَ
يَجْتَمِعَانِ فِى قَلْبِ عَبْدٍ: الاِيْمَانُ وَالْحَسَدُ
"Ada
dua perkara yang keduanya tidak bisa berkumpul di hati hamba: iman dan sifat
dengki."[17]
Dan tidaklah disyari'atkan berlindung
"dari kejahatan orang yang dengki, apabila ia dengki" kecuali
hal itu mendorongnya bersaing secara tidak sehat; berupa tipu daya dan makar.
Dan tidak adalah dosa orang yang didengki kecuali karena Allah I
telah memberikan karunia kepadanya dengan sebagian nikmat-Nya, atau memberi
taufik kepadanya untuk memanfaatkan waktu dan kemampuannya, sehingga ia
berhasil melangkah lebih ke depan dan menjadi bahan pandangan orang lain.
Asy-Syaukani berkata: Dan pengertian 'apabila ia dengki', apabila ia
menampakkan kedengkian yang ada di hatinya dan mengamalkan tuntutannya, dan
kedengkian mendorongnya melakukan kejahatan kepada yang didengki.[18]
Ingatlah cerita kedua putra Adam u
dalam firman Allah I:
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَىْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ اْلأَخَرِ قَالَ
لأَقْتُلَنَّكَ
Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima salah seorang
dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain(Qabil). Ia berkata
(Qabil):"Aku pasti membunuhmu!". (QS.al-Maidah5:27)
Dan
orang yang beruntung adalah yang ditetapkan Allah I
bahwa ia tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, seperti yang dilakukan oleh
putra Adam u
yang pertama ketika ia berkata:
لَئِن
بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَآأَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ
لأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
Sungguh
kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali
tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku
takut kepada Allah, Rabb seru sekalian alam". (QS. Al-Maidah:28)
Dan
terus berulang cerita pada keturunan Adam u
tentang kedengkian atas dunia, atau cemburu karena kepentingan semu (ilusi)
atau karena sebab yang lain.
Dan di antara pintu kejatuhan dalam
persaingan tidak mulia: yaitu yang terjadi di antara teman sejawat dari para
ahli satu disiplin ilmu, atau satu profesi, atau kedudukan sosial, atau
kedudukan di kantor… Di mana setiap orang menungguh-nunggu kejatuhan yang lain,
padahal sebaiknya adalah menggunakan fikiran dan bekerja dengan sungguh-sungguh
untuk memberikan yang terbaik.
Di antara berita gembira dari
Rasulullah r
untuk mereka yang berlomba dalam persaingan yang mulia dan bebas dari sifat
hasud: sesungguhnya mereka adalah golongan pertama yang memasuki surga:
قُلُوْبُهُمْ عَلَى قَلْبِ رَجُلٍ
وَاحِدٍ, لاَتَبَاغُضَ بَيْنَهُمْ وَلاَتَحَاسُدَ
"Hati
mereka di atas hati seorang laki-laki (semuanya satu hati dan sikap), tidak ada
rasa benci di antara mereka dan tidak kedengkian."[19]
Kesimpulan:
1. Perbedaan
di antara manusia adalah persoalan taqdir dan alami.
2. Persaingan
yang mulia menggerakkan semangat menuju kebaikan.
3. Para sahabat telah memberikan contoh terbaik
dalam persaingan mulia yang sehat.
4. Bahaya
berubahnya persaingan menjadi kedengkian.
5. Sifat
hasud terjadi setelah terbukanya dunia.
6. Masyarakat
bersih adalah yang meratanya persaingan yang mulia.
7. Iman
dan hasud tidak bisa bergabung dalam satu hati.
8. Kejahatan
orang yang hasud adalah karena kedengkian yang mendorongnya melakukan tipu
daya.
9. Golongan
pertama yang memasuki surga adalah yang 'tidak ada kebencian di antara mereka
dan tidak ada kedengkian. Wallahu A'lam.
[4] Shahih Sunan Ibnu
Majah karya Syaikh al-Albani, al-Muqaddimah, bab ke-11, hadits no. 114/138
[5] Musnad Ahmad, 1/38,
dari Umar bin al-Khaththab t, dan Ahmad Syakir
menshahihkan isnadnya dalam ta'liqnya terhadap musnad (265).
[9] Shahih Muslim, kitab
Zuhud, bab ke-7, hadits no. 2962.
[10] Shahih al-Bukhari,
kitab adab, bab 57, hadits no.6064.
[11] Shahih al-Bukhari,
kitab ar-Riqaaq, bab ke-7, hadits no. 6426
[13] Musnad Ahmad 1/165 dan
dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2038/2641
dan dihasankan aleh Syaikh al-Arna`uth (Jami' al-Ushul 3/626).
[15] Syarh an-Nawawi
terhadap Shahih Muslim 9/308-309, syarh hadits ke-9 dari kitab Zuhud.
[16] .Shahih Sunan Ibnu Majah karya Syaikh al-Albani, kitab zuhud,
bab ke-24, hadits no. 3397/4216 (Shahih).
[17] Shahih Sunan
an-Nasa`i karya Syaikh al-Albani, kitab zuhud, bab ke-8, hadits no.2912.
Post a Comment