MengHORMATI ORANG LAIN
MengHORMATI ORANG LAIN
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا
"Bukan
termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak
menyayangi yang muda dari kami."
Orang yang paling pantas dihormati dan dihargai adalah
orang yang paling banyak ilmu dan amal ibadahnya. Rasulullah bersabda:
إِنَّ
اللهَ تعالى يَرْفَعُ بِهذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
"Sesungguhnya Allah mengangkat beberapa kaum
dengan kitab ini dan merendahkan yang lain."[1]
Itulah standar mengutamakan dan memuliakan.
Orang yang memiliki akhlak ihtiram (menghormati
orang lain) menghormati ilmu dan pemiliknya,
dan termasuk penghormatanmu terhadap ulama bahwa engkau merasakan
wibawanya. Al-Bukhari meriwayatkan sesungguhnya Hudzaifah menyampaikan hadits tentang
fitnah, lalu para tabi'in ingin bertanya kepadanya, mereka berkata:
"Karena wibawa Hudzaifah kami tidak mampu bertanya kepadanya…"[2]
Sungguh seperti inilah keadaan para sahabat bersama
Rasulullah r, pada suatu ketika mereka ingin bertanya kepada
beliau r tentang orang yang menepati janjinya kepada Allah
I, siapakah yang dimaksud
dengannya dalam firman Allah I:
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا
مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ
Di antara orang-orang mu'min itu ada
orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara
mereka ada yang gugur. (QS. al-Ahzab :23)
Mereka berkata kepada arab
badawi yang jahil, "Tanyakanlah kepada beliau r tentang orang yang menepati
janjinya kepada Allah I, siapakah dia? Rawi (yang
meriwayatkan) berkata: 'Mereka tidak berani menanyakannya, mereka menghormati
dan membesarkannya r.'[3]
Dan di dalam hadits sujud sahwi, sesungguhnya Rasulullah r shalat dua rekaat, bukan empat
rekaat. Maka sebagian sahabat mengira bahwa shalat diqashar. Abu Hurairah t berkata: 'Dalam jamaah adalah
Abu Bakar t dan Umar t, keduanya merasa segan
mempertanyakannya…"[4]
Rasulullah r mendorong mereka agar selalu bertanya, beliau r bersabda: 'Bertanyalah
kepadaku' –maka mereka segan bertanya kepada beliau r.[5]
Maka Allah I mengutus Jibril u dalam bentuk manusia untuk
bertanya kepada beliau agar mereka belajar tentang agama mereka.
Di antara tatakrama menghormati ulama adalah tidak
berbicara bersama mereka dalam masalah-masalah yang langka. Rasulullah r melarang dari ghuluthat.
Al-Auza'i berkata: al-Ghluthat adalah masalah-masalah yang berat dan
susah.[6]
Dan disebutkan dalam hadits yang shahih:
لاَ تَعَلَّمُوْا
الْعِلْمَ لِتُبَاهُوْا بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ تُمَارُوْا بِهِ السُّفَهَاءَ
وَلاَ لِتَجْتَرِؤُوْا بِهِ الْمَجَالِسَ, فَمَنْ فَعَلَ ذلِكَ فَالنَّاُر
النَّارُ
"Janganlah engkau menuntut ilmu (bertujuan, berniat) untuk
mengalahkan para ulama atau membantah orang-orang bodoh dan jangan pula untuk
berani di majelis. Maka barangsiapa yang melakukan hal itu maka api neraka, api
neraka."[7]
Maka hendaklah merasa takut
orang-orang yang bertanya hanya untuk membantah atau untuk menguji, bukan untuk
belajar. Maka sesungguhnya sifat umat Muhammad r adalah menghormati dan
membesarkan ilmu dan pemiliknya.
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِف
لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
"Bukan
termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak
menyayangi yang muda dari kami serta tidak mengenal hak orang alim dari kami."[8]
Sebagaimana wajib menghormati orang alim, penuntut ilmu juga berhak mendapat
penghormatan. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam hadits utusan
dari Bani Qais, sesungguhnya Rasulullah r menempatkan mereka sebagai
tamu kepada kaum Anshar: (…Maka tatkala di pagi hari, beliau bersabda, 'Bagaimana
kalian melihat penghormatan saudara-saudara kalian dan jamuan mereka terhadap
kalian? Mereka menjawab, 'Sebaik-baik saudara, mereka melembutkan tempat
tidur kami dan membuat enak makanan kami, malam dan pagi hari mereka
terus-menerus mengajarkan kepada kami Kitabullah (al-Qur`an) dan sunnah nabi
kami.'[9]
Dan yang lebih jelas dari itu, riwayat yang disebutkan dalam hadits Hasan:
سَيَأْتِبْكُمْ
أَقْوَامٌ يَطْلُبُوْنَ الْعِلْمَ فَإِذاَ رَأَيْتُمُوْهُمْ فَقُوْلُوْا لَهُمْ:
مَرْحَبًا بِوَصِيَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَأَفْتُوْهُمْ
'Akan datang kepada kalian satu
kaum yang menuntut ilmu. Maka bila kamu melihat mereka maka katakanlah kepada
mereka: Selamat datang dengan wasiat/pesan Rasulullah r, dan berikanlah fatwa kepada
mereka.'[10]
Maka hendaklah para ulama
memberi pesan kebaikan kepada para santrinya, sesungguhnya hal itu menambah
penghormatan dan penghargaan para murid (santri) kepada para guru dan pendidik
mereka.
Dan sesungguhnya yang sangat penting untuk diingat adalah
menghormati orang-orang shalih dari generasi terdahulu. Maka di antara wasiat
Umar t sebelum wafatnya: 'Saya berpesan kepada khalifah
sesudahku agar berbuat baik kepada kaum Muhajirin generasi pertama, agar ia
mengetahui hak mereka dan menjaga kehormatan mereka, dan aku berpesan agar
berbuat baik kepada kalangan Anshar –orang orang yang telah menyiapkan rumah
dan iman- agar menerima kebaikan mereka dan memaafkan kesalahan mereka.'[11]
Maka maafkanlah kesalahan orang-orang yang telah mendahuluimu di medan dakwah dan jihad,
jagalah posisi mereka dan jangan engkau melupakan keutamaan mereka.
Anas t meriwayatkan, sesungguhnya
Jarir bin Abdullah t melayaninya –padahal usianya lebih tua darinya-
karena Jarir t ini tidak pernah melupakan penghormatan kaum
Anshar kepada Rasulullah r, ia berkata, 'Aku tidak
menemukan seorangpun dari kalangan Anshar
kecuali aku memuliakannya."[12]
Dan Ahmad rahimahullah meriwayatkan sesungguhnya Rasulullah r bersabda di dalam khutbah:
...وَإِنَّ اْلأَنْصَارَ عَيْبَتِي الَّتِي آوَيْتُ إِلَيْهَا,
فَأَكْرِمُوْا كَرِيْمَهُمْ وَتَجَاوَزُوْا عَنْ مُسِيْئِهِمْ
"Sesungguhnya
kaum Anshar adalah orang khusus bagiku yang aku kembali kepadanya, maka
muliakanlah yang mulia dari mereka dan maafkanlah yang bersalah dari mereka."[13]
Dan ketika generasi penerus
dari umat ini terdidik untuk memuliakan
generasi terdahulu dalam kebaikan dan lebih dahulu dalam melayani Islam.
saat itu meratalah kebaikan di antara beberapa generasi.
Di antara gambaran
penghormatan yang terpuji adalah yang muda memuliakan yang lebih tua
usianya, atau lebih banyak keutamaannya dari padanya. Maka sesungguhnya Ibnu
Umar t tatkala mengetahui jawaban pertanyaan Rasulullah r tentang pohon yang menyerupai
seorang muslim, ia berkata, 'Aku ingin mengatakan bahwa ia adalah pohon kurma.
Lalu aku melihat, ternyata aku adalah yang paling muda. Maka aku diam."[14] Dan dalam hadits shahih "Berkah
bersama yang tua darimu".[15]
Dan yang dimuliakan di tengah kaumnya tidak pantas diperlakukan kecuali dengan
penghormatan. Disebutkan dalam hadits yang hasan :
إِذَا أَتَاكُمْ
كَرِيْمُ قَوْمٍ فَأَكْرِمُوْهُ
"Apabila datang kepadamu yang mulia dari suatu kaum maka
muliakanlah dia."[16]
Di antara kemuliaan orang yang beriman adalah menghormati
orang yang telah berbuat baik kepadanya, sesungguhnya Rasulullah r tidak melupakan jasa sebagian
kaum musyrik yang punya peran dalam melindungi diri dan dakwahnya r. Bahkan, bangsa arab di masa
jahiliyah mempunyai budi pekerti yang terpuji, yaitu menghormati orang yang
berbuat baik kepada mereka. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari kaum
musyrik yang bernama Urwah bin Mas'ud, tatkala Abu Bakar t bersikap kasar kepadanya dalam
perdamaian Hudaibiyah, ia tidak menjawab sedikitpun, karena Abu Bakar t pernah berbuat baik kepadanya
yang belum sempat dibalasnya. Karena itulah ia berkata: 'Demi (Allah) yang
diriku berada di tangan-Nya, kalau bukan karena jasamu terhadapku yang belum
sempat kubalas niscaya aku menjawab ucapanmu.'[17]
Dan di dalam hadits yang shahih:
مَنْ صَنَعَ
إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُ
"Barang siapa yang berbuat baik kepadamu maka balaslah."
[18]
Dan sekurang-kurang balasan
yang mesti kamu berikan kepada yang berbuat baik kepadamu adalah
menghormatinya.
Setiap mukmin pastas mendapat penghormatan maka dia tidak boleh
disuruh berdiri untuk menempatkan orang lain, wajib menjamunya, disyari'atkan
musyawarah dengannya, menghadapinya dengan muka manis, dan memasukkan rasa
senang di hatinya. Pada dasarnya manusia senang dihormati dan dimuliakan serta
meminta kepada Rabb-nya agar memuliakannya. Disebutkan dalam doa Nabi r:
اَللّهُمَّ
زِدْنَا وَلاَتَنْقُصْنَا وَأَكْرِمْنَا وَلاَتُهِنَّا وَأَعْطِنَا
وَلاَتُحْرِمْنَا وَآثِرْنَا وَلاَتُؤَثِّرْ عَلَيْنَا
"Ya Allah, tambahlah kepada kami dan jangan Engkau
kurangi, muliakanlah kami dan jangan Engkau hinakan, berikanlah kepada kami dan
jangan Engkau tahan, dan utamakanlah kami dan jangan engkau sisihkan…"[19]
Ketahuilah, sangat merugi suatu
umat yang tidak bisa saling menghormati dan menghargai:
حَسبَ امْرِئٍ
مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
"Cukuplah seseorang menjadi jahat bahwa ia menghinakan
saudaranya sesama muslim."[20]
Dan dalam pendirian Abu Sufyan t di masa jahiliyahnya menjadi
pelajaran bagi orang-orang yang jahil dan bagi mayoritas kaum muslimin dalam
menghormati jiwa. Yaitu saat dia enggan memberikan kesaksian palsu di hadapan
kaisar Hiraqlius dan rombongan yang menyertainya pada hak Rasulullah r. Dalam riwayat Ibnu Ishaq, ia
menyebutkan alasan tersebut, ia berkata, 'Demi Allah, jika aku berdusta niscaya
mereka tidak menyanggah, akan tetapi saya adalah seorang pemuka yang enggan
berdusta, dan aku mengetahui bahwa paling tidak –jika aku berdusta- mereka akan
mengingat hal itu tentang diriku kemudian mereka membicarakannya, maka aku
tidak berdusta.'[21]
Ringkasan:
- Standar penghormatan seseorang
adalah sekadar kebaikannya.
- Di antara gambaran penghormatan
kepada ulama:
1. Membesarkannya dan merasa segan
darinya.
2. Mengurangi bertanya kepadanya.
3. Tidak mencelanya karena
kesalahan.
- Penghormatan ulama terhadap
penuntut ilmu adalah dengan memuliakannya.
- Penghormatan kepada para senior
dalam kebaikan adalah tanda kejujuran.
- Yang muda menghormati yang
lebih tua.
- Menghormati kepada orang yang
berbuat baik kepadanya.
- Setiap mukmin pantas mendapat
penghormatan.
- Barangsiapa yang menghormati
dirinya niscaya ia menghormati orang lain.
[1] Shahih Muslim, Kitab
Shalat orang-orang musafir, bab 47, hadits no. 817 (Syarh an-Nawawi 3/346).
[5] Shahih Muslim, kitab
iman, bab 1, hadits no. 7-10 (Syarh an-Nawawi 1/278).
[6] Musnad imam Ahmad
5/435
[7] Shahih al-Jami',
hadits no 7370 (Shahih).
[8] Shahih al-Jami',
hadits no. 5443 (hasan).
[9] Musnad Ahmad 3/432
[10] Shahih al-Jami',
hadits no. 3651 (hasan).
[12] Shahih al-Bukhari,
kitab Jihad, bab 71, hadits no. 2888 (al-Fath 6/82).
[13] Musnad Ahmad 3/500
[14] Shahih al-Bukhari,
kitab ilmu, bab 14, hadits no. 72.
[16] Shahih Sunan Ibnu
Majah 2/303, hadits no. 2991 (hasan).
Post a Comment