MENGINGAT KEMATIAN DAN MENYIAPKAN DIRI UNTUK MENGHADAPINYA
MENGINGAT KEMATIAN DAN MENYIAPKAN DIRI UNTUK MENGHADAPINYA
Sudah
menjadi sunnatullah bahwa setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati,
hanya tidak ada di antara kita yang mengetahui kapan kematian itu akan datang
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
"Setiap
jiwa pasti akan merasakan mati…"[i]
Karena kematian itu pasti akan tiba, maka
Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita semua agar selalu mengingatnya dan
menyiapkan diri dengan bekal setelah kematian itu. Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هادم اللَّذَّاتِ
"Perbanyaklah
mengingat yang memutuskan kenikmatan (maksudnya: kematian)."[ii]
Dalam hadits ini Rasulullah SAW
menganjurkan kepada kita semua agar selalu mengingat yang memutuskan atau
mengalahkan atau menghancurkan kenikmatan, yaitu kematian yang suatu saat pasti
akan tiba, bahkan seringkali datang tanpa terduga dan secara tiba-tiba. Ibnu
Umar RA berkata: "Aku sedang duduk bersama Rasulullah, maka datanglah
seorang laki-laki dari golongan Anshar, lalu ia memberi salam kepada Nabi seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, mukmin
yang seperti apa yang paling utama? Beliau menjawab:
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
'Yang paling baik akhlaknya.'
Ia bertanya lagi, 'Mukmin seperti apakah
yang paling cerdas? Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا
وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا, أُولئِكَ اْلأَكْيَاسُ
"Yang
paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik mempersiapkan diri untuk
sesudah kematian itu, mereka itulah orang-orang yang cerdas."[iii]
Inilah standar kecerdasan yang sebenarnya,
yaitu tidak pernah melupakan sesuatu yang pasti akan tiba dan menyiapkan diri
dengan sebenarnya untuk hal itu. Tanpa adanya persiapan diri untuk kematian
itu, tentu hanya sekedar mengingat tidak banyak berguna dan tidak bermanfaat.
Oleh karena itu, cobalah kita bercermin untuk melihat diri kita sendiri,
sebelum orang lain, apakah kita sudah memulai untuk melaksanakan perintah
Rasulullah SAW ini? Kalau kita sudah memulainya, kalau sudah, lalu bagaimana
dengan orang-orang terdekat kita?
Para
ulama rahimahullah berkata: sabda Rasulullah SAW yang berbunyi "Perbanyaklah
mengingat yang memutuskan kenikmatan (maksudnya: kematian)." Merupakan
kalimat ringkas yang menggabungkan peringatan dan nasehat, maka orang yang
teringat kematian dengan sebenarnya pasti akan mengurangi nikmatnya keindahan
dunia yang dia rasakan dan menghalanginya berangan-angan yang tak berujung,
serta membuat dia bersikap zuhud terhadap kenikmatan dunia yang semu. Akan
tetapi jiwa yang kosong dan hati yang lupa membutuhkan nasehat yang panjang dan
kalimat yang indah. Jika tidak demikian, maka dalam sabda Nabi "Perbanyaklah mengingat yang
memutuskan kenikmatan (maksudnya: kematian)" dan firman Allah SWT:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
"Setiap
jiwa pasti akan merasakan mati…"
Sudah cukup sebagai nasehat yang utama.
Khalifah Umar bin Khaththab RA sering
membuat perumpamaan dengan bait-bait
sya'ir berikut ini:
Tidak
ada sesuatu yang engkau lihat tetap keceriaannya
Tuhan tetap kekal sedangkan harta dan anak
akan binasa
Perbendaharaan
harta yang dimiliki Hurmuz[iv],
tidak bisa memberi manfaat kepadanya walau hanya satu hari
Dan keabadian yang diusahakan oleh kaum
'Aad, maka mereka tetap tidak bisa kekal
Tidak
pula Nabi Sulaiman AS saat angin bertiup untuknya
Sedang jin dan manusia datang di antaranya
Di
manakah para raja yang karena kebesarannya
Setiap utusan datang kepadanya dari setiap
penjuru?
Telaga
yang ada di sana pasti akan didatangi, bukan dusta
Suatu hari pasti mendatanginya, sebagaimana
diriwayatkan
Apabila
sudah jelas keterangan di atas, ketahuilah bahwa mengingat mati mewariskan rasa
gelisah terhadap dunia yang fana ini dan setiap saat memusatkan fikiran ke
negeri akhirat yang kekal abadi. Kemudian, setiap manusia tidak terlepas dari dua sisi kehidupan:
kesempitan hidup dan keluasan, nikmat dan cobaan. Maka jika ia berada dalam
kesempitan dan cobaan, mengingat kematian memudahkan dia menghadapi semua itu.
Sesungguhnya ia tidak kekal dan kematian lebih susah dari hal itu, atau di saat
kenikmatan dan keluasan, maka mengingat mati menghalangi dia dari terperdaya
dengannya dan cenderung kepadanya, karena ingat mati memutuskannya dari semua
kenikmatan itu. Alangkah indahkan orang yang berkata:
Ingatlah
kematian yang meruntuhkan kenikmatan
Dan persiapkan untuk kematian yang pasti
akan tiba
Yang lain berkata:
Dan
ingatlah kematian niscaya engkau mendapatkan ketenangan
Dalam mengingat kematian memutuskan
angan-angan.
Semua
umat sepakat (konsensus) bahwa kematian tidak mempunyai batasan umur yang
diketahui dan tidak pula zaman yang diketahui, agar seseorang menyiapkan diri
menghadapi hal itu. Sebagian orang shalih berseru di malam hari di pinggiran kota Madinah: Berangkat,
berangkat. Maka tatkala ia wafat, amir (gubernur) kota Madinah bertanya tentang dia, maka
dikabarkan bahwa ia telah meninggal dunia, maka amir itu berkata berkata:
Senantiasa
ia melantunkan keberangkatan dan mengingatkannya
Sehingga unta berhenti di depan pintunya
`Maka
ia terjaga, bersungguh-sungguh
Bersiap-siap, tidak terlalaikan oleh
angan-angan.
Yazid
ar-Raqqasy rahimahullah berkata kepada dirinya sendiri: 'Celakalah
engkau wahai Yazid, siapakah yang menshalatkan engkau setelah meninggal dunia?
Siapakah yang menggantikan puasa engkau setelah mati? Siapakah yang memohon
keridhaan Rabb untukmu setelah engkau wafat? Kemudian ia berkata, 'Wahai
manusia, apakah engkau tidak menangisi dan meratapi dirimu sendiri di
hari-harimu yang masih tersisa? Siapa yang kematian mencarinya, kubur sebagai
rumahnya, tanah sebagai kasurnya, ulat sebagai temannya, di samping itu ia
sedang menunggu kejutan terbesar, bagaimanakah keadaannya?' Kemudian ia
menangis sehingga jatuh pingsan.
At-Taimi
rahimahullah berkata, 'Dua perkara yang memutuskan kenikmatan dunia
dariku: Mengingat mati dan mengingat posisi saat berada di hadapan Allah SWT.'
Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengumpulkan para ulama, maka
mereka saling mengingatkan mati, hari kiamat dan akhirat, lalu mereka menangis
sehingga seolah-olah di hadapan mereka ada jenazah.
Abu
Nu'aim rahimahullah berkata: Apabila Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
diingatkan mati, tidak bisa diambil manfaat dengannya selama beberapa hari
(maksudnya: ia tidak bisa mengajar). Jika ia ditanya tentang suatu masalah, ia
berkata: Aku tidak tahu, aku tidak tahu.' Asbath rahimahullah berkata:
Seorang laki-laki dipuji-puji di hadapan Nabi , maka Rasulullah SAW bertanya:
"Bagaimana ingatnya terhadap mati?' Maka hal itu tidak disebutkan darinya.
Maka beliau bersabda: 'Dia tidak seperti yang kamu katakan."
Ad-Daqqaq
rahimahullah berkata: Barangsiapa yang benyak mengingat mati, ia diberi
kemuliaan dengan tiga perkara: Segera bertaubat, hati bersifat qana'ah, dan
rajin dalam beribadah. Dan barangsiapa yang lupa terhadap mati, ia disiksa
dengan tiga perkara: menunda-nunda taubat, tidak ridha dengan menahan diri dari
meminta, dan malas dalam ibadah. Maka pikirkanlah -wahai yang terperdaya-
tentang mati dan saat sakaratul maut, berat dan pahitnya. Wahai kematian,
sebuah janji yang pasti benar dan hakim yang sangat adil. Cukuplah kematian
yang melukai hati, membuat mata menangis, memisahkan kelompok, menghancurkan
kenikmatan, dan memutuskan angan-angan. Apakah engkau sudah memikirkan wahai
keturunan Adam di hari kematianmu, berpindahmu dari tempatmu. Dan apabila
engkau telah dipindah dari tempat yang luas ke tempat yang sempit, sahabat dan
rekanmu mengkhianatimu, saudara dan temanmu meninggalkanmu, dan mereka
menutupimu dengan tanah setelah sebelumnya engkau diselimuti kain yang lembut.
Wahai yang mengumpulkan harta dan bersungguh-sungguh dalam bangunan, tidak ada
sesuatu pun untukmu selain kain kafan. Bahkan demi Allah hanya untuk kehancuran
dan sirna, dan tubuhmu untuk tanah dan tempat kembali. Maka di manakah harta
yang engkau kumpulkan? Apakah bisa menyelamatkan engkau dari huru hara? Sama
sekali tidak, bahwa engkau meninggalkannya kepada orang yang tidak memujimu,
engkau memberikan dengan dosa-dosamu kepada orang yang tidak memaafkanmu.
Alangkah
indahnya orang yang berkata dalam firman Allah SAW:
وَابْتَغِ فِيمَآءَاتَاكَ اللهُ
الدَّارَ الآخرة
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, (QS. al-Qashash:77)
Maksudnya Wallahu A'lam-: carilah di
dalam dunia yang diberikan Allah SWT kepadamu untuk negeri akhirat, yaitu
surga. Maka sesungguhnya hak seorang mukmin bahwa ia memalingkan dunia untuk
yang berguna di akhirat, bukan pada tanah, air, tindakan sombong dan zalim.
Seolah-olah mereka berkata: Jangan lupa bahwa engkau akan meninggalkan semua
hartamu kecuali untuk kafan yang menjadi jatahmu. Dan seperti inilah ungkapan
seorang penyair:
Jatahmu
dari semua yang engkau kumpulkan
Dua selendang yang dilipat dan pengawet
Dan yang lain berkata:
Ia
adalah sifat qana'ah yang engkau tidak perlu mencari gantinya
Mengandung kenikmatan dan ketenangan badan
Perhatikanlah
kepada orang yang memiliki semua dunia
Apakah ia merasakan ketenangan darinya
selain dengan kapas dan kafan?
Syaddad
bin Aus RA berkata, 'Rasulullah SAW bersabda:
اَلكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ
وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نْفْسهُ هَوَاهَا
وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
"Orang
yang cerdas adalah yang menghitung dirinya dan beramal untuk masa setelah mati,
dan orang yang lemah adalah yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan
berangan-angan kepada Allah SWT."[v]
Abu Ubaid rahimahullah berkata,
'Maksudnya: menghinakannya dan memperbudaknya, maka ia menghinakan dirinya
dalam beribadah kepada Allah SWT, sebagai amal ibadah yang dipersiapkannya
setelah mati dan untuk bertemu Allah SWT. Dia juga menghisab dirinya terhadap
amal perbuatannya di masa lalu, menggantikannya dengan amal shalihnya sebagai
penebus kesalahannya yang telah berlalu. Dia berzikir kepada Allah SWT dan taat
kepada-Nya di segala tingkah lakunya. Inilah bekal sebenarnya untuk hari
kembali. Dan orang yang lemah adalah orang kekurangan dalam semua perkara. Di
samping kekurangannya dalam ibadah kepada Rabb-nya dan mengikuti hawa nafsunya,
dia masih berangan-angan kepada Allah SWT agar mengampuninya. Inilah orang yang
terperdaya. Sesungguhnya Allah SWT menyuruh dan melarangnya.
Al-Hasan
al-Bashari berkata: Sesungguhnya suatu kaum dilalaikan oleh angan-angan,
sehingga ia keluar dari dunia tanpa mempunyai amal kebaikan. Salah seorang dari
mereka berkata: Sesungguhnya aku berbaik sangka kepada Rabb-ku. Dia bohong,
jika ia benar-benar berbaik sangka (husnuzh-zhann) tentu ia memperbaiki
amal perbuatan, dan ia membaca firman Allah SWT:
وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي
ظَنَنتُم بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُم مِّنَ الْخَاسِرِينَ
Dan yang demikian itu adalah prasangkamu
yang telah kamu sangka terhadap Rabbmu, prasangka itu telah membinasakan kamu,
maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Fuhshilat:23)
Sa'id
bin Jubair rahimahullah berkata: Terperdaya dengan Allah SWT bahwa
seseorang terus menerus melakukan maksiat dan berangan-angan mendapat ampunan
Allah SWT.
Baqiyyah
bin al-Walid rahimahullah berkata: Abu 'Umair rahimahullah menulis
kepada sebagian saudara-saudaranya: 'Amma ba'du, sesungguhnya engkau menjadi
berharap banyak kepada dunia dengan panjangnya usiamu dan berangan-angan kepada
Allah SWT dengan buruknya perbuatanmu. Sesungguhnya engkau hanyalah memukul
besi yang dingin. Wassalam.'
Wallahu A'lam.
Dikutip dari kitab:
المرجع:
التذكرة في أحوال الموتى وأمور الآخرة للإمام القرطبي ، دار
الحديث - القاهرة تحقيق عصام الدين الصبابطي، ط 1 -1424هـ
at-Tadzkiran fi ahwalil mauta wa umuril
akhirah (Peringatan tentang kondisi orang-orang
yang mati dan keadaan akhirat), bab: Dzikrul maut wal isti'dad lahu
(mengingat mati dan menyiapkan diri untuknya).
[i] Ali 'Imran 185.
[ii] HR. an-Nasa`i 4/4,
at-Tirmidzi 2307, Ibnu Hibban 2992, dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah (3434).
[iii] HR. Ibnu Majah (4259)
dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[iv] Penguasa Persia di masa itu, yaitu negera Iran di masa sekarang. Hurmuz ini
mempunyai kekayaan yang tidak terhingga pada masa itu.
[v] HR. at-Tirmidzi
(2459) dan ia menyatakan hadits hasan. Dan ia berkata: maksud sabda beliau:
menghitung dirinya: yaitu menghitung/menghisab dirinya semasa di dunia sebelum
dihisab di hari qiyamat. Sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (4260)
dan didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani.
Post a Comment