Syubhat Para Pengagung Kubur



Syubhat Para Pengagung Kubur
Segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla, kami memuji -Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada -Nya, kami berlindung kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul -Nya. Amma Ba'du:

Syubhat Orang Yang Menyatakan Tidak Adanya Kesyirikan Pada Umat Ini Serta Bantahannya:
Dengan berlandaskan pada nushus syar'iyah sebagai dalil yang autentik, para pengusung pemikiran ini mengatakan, bahwa umat kita sekarang ini dalam keadaan bersih dari noda syirik, tidak ada seorangpun yang terjerumus kedalam kesyirikan. Mereka membawakan dalil apa yang kita bawakan dimuka, dengan mengambil sisi pendalilannya beda jauh dengan apa yang kita kemukakan diawal, yang bila kita cermati justru semakin mendukung kebenaran yang kita sampaikan yaitu fenomena nyata yang menimpa umat ini, yaitu adanya diantara mereka yang terjerumus ke dalam kesyirikan.
Diantara nushus syar'iyah yang sering dijadikan hujah oleh mereka, yang bisa dipahami secara jelas sisi pengambilan dalilnya dibanding yang lain, dan menjadi syubhat (kerancuan) mereka ialah:
Syubhat Pertama: Sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dibawakan oleh Imam Bukhari. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَاللَّهِ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوا بَعْدِي وَلَكِنْ أَخَافُ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنَافَسُوا فِيهَا » [أخرجه البخاري]
"Demi Allah, bukan kesyirikan yang aku takutkan menimpa atas kalian setelahku, tapi, yang aku khawatirkan ialah kalian akan saling berlomba-lomba dalam urusan dunia".[1]

Segi pengambilan dalil dari hadits diatas yaitu bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengkhawatirkan kesyirikan yang akan menimpa kita, kalau demikian, maka itu menunjukan bahwa pemeluk umat ini tidak ada yang terjatuh kedalam kesyirikan.[2]
Sanggahan: Untuk menjawab syubhat ini kita bawakan ucapan al-Hafidh Ibnu Hajar yang telah membantah kerancuan ini didalam kitabnya Fathul Bari, tatkala beliau menjabarkan hadits diatas. Mari kita simak jawaban beliau, beliau mengatakan; "Maksudnya aku khawatir akan menimpa sebagian besar diantara kalian, sebab fenomena dilapangan membuktikan adanya sekumpulan orang yang telah terjatuh kedalam kesyirikan. Kita meminta perlindungan dari Allah Shubhanahu wa ta’alla agar dijauhkan dari kesyirikan".[3]
Atau bisa juga kita katakan, kitab tersebut ditujukan kepada para sahabat. Karena Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, "Atas kalian". Al-Hafidh Ibnu Hajar menjelaskan dalam pernyataannya, "Didalam hadits ini sebagai dalil untuk lebih berhati-hati dengan apa yang akan terjadi seperti yang diprediksi oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam". Lalu beliau menegaskan, "Bahwa para sahabat sepeninggalan beliau tidak ada yang terjatuh ke dalam kesyirikan, seperti yang dikatakan oleh Nabinya. Namun, yang terjadi ialah kekhawatiran beliau yaitu adanya dikalangan umatnya yang saling berlomba-lomba dalam masalah dunia".[4]
Sanggahan berikutnya, bisa juga dikatakan, barangkali Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti itu sebelum mengetahui dan menerima wahyu dari Allah ta'ala akan adanya dikalangan umat beliau yang terjatuh dalam kesesatan dan perbuatan syirik.[5]
Syubhat Kedua: Mereka membawakan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatha serta al-Baihaqi. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ » [أخرجه مالك في الموطأ والبيهقي في سنن الكبرى]
"Tidak akan berkumpul dua agama di jazirah Arab".[6]
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini yaitu sesungguhnya negeri-negeri ini dengan keutamaan yang Allah Shubhanahu wa ta’alla berikan, suci dari segala kotoran noda syirik dan bersih dari segala praktek kesyirikan, berdasarkan kabar berita yang disampaikan oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam.[7]
Sanggahan atas syubhat ini: Pemahaman yang di usung oleh para pendukung pendapat ini tidak pernah dipahami secuil pun oleh para ahli hadits generasi pertama. Namun, para ulama hadits memahami bahwa makna hadits ini ialah larangan adanya dua agama yang berkuasa di jazirah Arab, bukan berarti beliau sedang menafikan adanya agama selain Islam disana. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak sedang menafikan keberadaanya. Sebab, bagaimana mungkin dibawa pada makna penafikan sedangkan fenomenanya disana banyak sekali agama –bukan hanya dua- sepeninggal Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga diawal-awal kekhalifahan para khalifah rasyidah di jazirah Arab.
Kedua: kalau sekiranya kita bawa makna hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan redaksi semacam ini pada maksud penafikan maka sama saja kita sedang mendustakan kenyataan yang sedang terjadi. Sebab jazirah Arab sesuai dengan teretorial wilayah batasannya, dari selatan hingga utara dimulai dari Adn hingga Diyar Bakar. Dari timur ke barat dimulai dari negeri Irak hingga Mesir, maka masuk didalam wilayah jazirah Arab negeri Yaman, Hijaz, Nejed, Irak, Syam dan Mesir.[8]
Kalau kita tetap bersikukuh membawa makna hadits pada penafikan maka sama saja kita sedang membikin orang-orang diluar agama Islam mentertawakan kita, sebagai bahan tertawaan, mempertanyakan akal sehat kita ketika dengan mudahnya menolak hadits-hadits yang sangat banyak, dengan bukti fenomena nyata dilapangan yang secara otomatis mendustakan hadits tersebut. Sebab, berapa banyak agama yang telah dipeluk oleh umat manusia di negeri-negeri Arab, berapa banyak pula kita menjumpai adanya gereja yang dibangun disana. Dan itu dilestarikan oleh para penganutnya mulai dari awal kemunculan agama Islam hingga zaman kita sekarang ini. 
Ketiga: hadits yang dibawakan oleh pengusung pendapat ini, diriwayatkan oleh Imam Malik[9] dalam kitabnya al-Muwatha, juga bisa dijumpai redaksi yang senada dalam riwayat yang lain. Diantaranya yaitu, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَبْقَيَنَّ دِينَانِ بِأَرْضِ الْعَرَبِ » [أخرجه مالك في الموطأ والبيهقي في سنن الكبرى]
"Tidak akan tersisa dua agama (yang saling berkuasa) dinegeri Arab".[10]
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dengan redaksi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لاَ يَتْرُك بجَزِيرَةِ الْعَرَبِ دِينَانِ» [أخرجه أحمد]
"Jangan biarkan di Jazirah Arab ada dua agama (yang saling berkuasa)".[11]

Hadits-hadits yang senada dengan ini hanyalah disampaikan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk barisan wasiat beliau diakhir hayatnya.
Maka hal itu semakin menunjukan bahwa yang dimaksud dalam hadits ialah larangan adanya dua agama besar yang berkuasa di jazirah Arab bukan menafikan adanya agama-agama lain yang ada disana, sebagaimana pemahaman rancu yang dipahami oleh para pengusung syubhat diatas.

Keempat: bahwa seluruh perawi hadits yang membawakan hadits ini semuanya mengatakan dengan  redaksi yang menunjukan maksud hadits adalah larangan bukan menafikan. Diantara yang mendukung hadits ini ialah beberapa riwayat berikut ini. Dari Umar bin Khatab radhiyallahu 'anhu, beliau mendengar bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لأُخْرِجَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ..» [أخرجه مسلم]
"Benar-benar aku ingin sekali mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nashrani dari jazirah Arab".[12]

Masih dari sahabat Umar, beliau mengatakan, "Kalau saya hidup panjang -insya Allah- benar-benar aku pasti akan mengeluarkan orang-orang Yahudi dan Nashrani dari jazirah Arab".[13] Bahkan, disana ada sumber riwayat yang secara gamblang menunjukan pada maksud hadits diatas, bahwa maksud yang diinginkan oleh hadits tersebut ialah perintah dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara hadits pendukung tersebut ialah, haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dalam hadits yang cukup panjang, lalu disebutkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَخْرِجُوا المُشْرِكِينَ مِنْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ» [أخرجه البخاري ومسلم]
"Keluarkanlah kaum musyrikin dari jazirah Arab".[14]

Riwayat-riwayat yang begitu jelas ini semuanya menunjukan pada larangan, oleh karena itu tidak mungkin ada seorangpun yang membawa pada makna penafikan kecuali orang bodoh saja yang tidak memahami dan mencium ilmu hadits sedikitpun. Wallahu a'lam.

Syubhat ketiga: Mereka juga berargumen dengan sebuah hadits yang tidak ketahuan asalnya, dikatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَ فِى جَزِيرَتكم -جَزِيرَةُ الْعَرَبِ.. » [أخرجه مسلم]
"Sesungguhnya setan telah putus asa untuk bisa disembah di jazirah kalian ini yakni jazirah Arab". [15]

Demikian mereka membawakan redaksi hadits dengan lafad seperti diatas. Adapula yang membawakan dengan redaksi yang hampir mirip:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِى جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِى التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ » [أخرجه مسلم]
"Sesungguhnya setan merasa putus asa untuk bisa disembah oleh orang yang sedang sholat di jazirah Arab, akan tetapi, mereka mampu menjadikan kalian saling bermusuhan".[16]

Mereka juga membawakan haditsnya Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إن الشيطان قد يئس أن تعبد الأصنام بأرض العرب ولكن رضي منهم بما دون ذلك بالمحقرات وهي من الموبقات» [أخرجه الجاكم و أبو يعلى]
"Sesungguhnya setan telah putus asa untuk menjadikan berhala disembah di negeri Arab, akan tetapi, dirinya merasa puas tatkala mereka berhasil menjerumuskan dalam perkara-perkara yang membinasakan (selain kesyirikan)".[17]
Sisi pengambilan dalil dari riwayat-riwayat diatas, bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan kalau setan telah berputus asa untuk bisa disembah oleh orang yang sedang sholat di jazirah Arab. Dalam redaksi yang dibawakan oleh Ibnu Mas'ud dikatakan, setan telah putus asa untuk bisa menjadikan berhala disembah di tanah Arab. Maka hal itu sangat kontradiksi sekali dengan pemahaman yang ada dalam madzhab kalian (maksudnya kita).
Sesungguhnya Bashrah dan sekitarnya, Irak selain tempat disemayamkannya kubur Ali dan Husain radhiyallahu 'anhuma, begitu pula seluruh Yaman, dan juga Hijaz semuanya termasuk tanah Arab. Sedangkan kalian bilang bahwa tempat-tempat ini seluruhnya sebagai tempat disembahnya setan, dan berhala, yang dikatakan seluruh pelakunya adalah kafir. Maka riwayat-riwayat diatas sebagai bantahan telak atas kengeyelan pendapat kalian.[18]
Sanggahan: atas syubhat diatas melalui beberapa jawaban;
Pertama: Riwayat pertama yang kalian bawakan dengan redaksi semacam tadi, maka belum saya temukan dalam buku-buku referensi induk hadits. Setidaknya redaksi yang berhasil saya temukan yang selaras dengan riwayat tersebut ialah redaksi yang dibawakan oleh sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, disebutkan dalam riwayat tersebut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أيها الناس! إن الشيطان قد أيس أن يعبد في بلدكم هذا آخر الزمان, قد رضي منكم بمحقرات الأعمال فاحذروه على دينكم » [أخرجه البزار]
"Wahai manusia! sesungguhnya setan diakhir zaman kelak telah putus asa untuk bisa disembah di negeri kalian. Namun, dirinya merasa cukup atas kalian untuk bisa menjerumuskan ke dalam dosa-dosa besar. Maka hati-hatilah kalian untuk tidak sampai terjerumus ke dalam amalan tersebut".[19]

Namun, sayangnya hadits ini lemah tidak bisa dijadikan sebagai argumen.
Adapun riwayat kedua yang kalian bawakan, maka haditsnya tsabit[20]. Akan tetapi, apakah mungkin ada hadits-hadits yang shahih bisa saling kontradiktif satu sama lainnya? Jawabannya, jelas tidak. Namun, harus ada salah satu yang dibawa pada makna hadits yang lain. Bila diperhatikan, hadits yang sedang kita perbincangkan ini secara jelas bertentangan –menurut sebagian orang- dengan hadits-hadits shahih yang menerangkan kekhawatiran serta peringatan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pada umatnya supaya tidak terjerumus dalam corak warna kesyirikan yang sangat beragam jumlahnya.
Dan para ulama telah menerangkan hadits ini dengan memberikan berbagai kemungkinan jawaban untuk bisa mendudukan makna hadits dengan benar, diantara jawaban para ulama ialah:
Pertama: sesungguhnya setan merasa putus asa atas dirinya sendiri. Dia tidak putus asa tatkala melihat kejayaan Islam dimasa hidupnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga banyaknya kabilah Arab yang mau menerima dan masuk ke dalam agama ini, yang dengannya Allah Shubhanahu wa ta’alla memuliakan mereka. Namun, tatkala setan melihat hal tersebut dirinya merasa putus asa untuk bisa mengembalikan kaum muslimin untuk kembali ke agamanya dahulu (menyembah berhala), agar mereka kembali menyembahnya, yakni mau menuruti perintahnya.
Hal ini didukung dengan berita yang dikabarkan oleh Allah ta'ala tentang orang-orang kafir, Allah ta'ala berfirman:

﴿ ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ ٣ [ المائدة: 3 ]
"Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu". (QS al-Maa-idah: 3).

Mereka telah berputus asa untuk bisa mengembalikan kaum muslimin kedalam agama batil kaum musyrikin yang dibangun diatas penyembahan berbagai macam tuhan, dan memalingkan ubudiyah kepada segala sesuatu selain Allah azza wa jalla. Sebagaimana kaum musyrikin merasa putus asa, manakala melihat keteguhan kaum muslimin didalam memegang ajaran agama Islam, untuk dapat mengembalikan mereka kufur. Begitu pula setan, dirinya juga berputus asa tatkala melihat kejayaan kaum muslimin dengan banyaknya orang dan hampir seluruh wilayah jazirah Arab yang masuk Islam.
Sebab, setan -yang terlaknat- tidak mengetahui perkara ghaib. Dimana dirinya berusaha sekuat tenaga untuk mencari kesempatan agar bisa menjaring umat manusia supaya mereka tidak bisa masuk ke dalam agama Islam dan mengesakan Allah ta'ala.  Diantara target pertama yang mereka lakukan ialah memalingkan manusia untuk beribadah kepada Allah Shubhanahuw ata’alla setelah kematian Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dimana ada sebagian orang dan kabilah yang mentaatinya dengan keluar dari agama Islam, ada yang enggan membayar zakat, atau menjadi pengikut nabi palsu. Hal itu menjadikan dirinya semakin bersemangat, upaya dan usaha tetap dilakukan, namun, Allah Shubhanahuw ata’alla menentukan lain sesuai dengan kehendak        -Nya.
Inti dari penjelasan ini, bahwa setan merasa putus asa tatkala melihat adanya orang-orang yang berpegang teguh dengan tauhid, mengakui dan memegangnya, serta adanya orang yang sangat kuat mencontoh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan dirinya sangat berambisi untuk bisa memalingkan manusia dari dua perkara tadi.  Oleh sebab itu, sejarah membuktikan adanya masa-masa yang mereka berhasil memenangi targetnya, semisal, sekte Qaramitah yang menyembahnya dengan ketaatan penuh, dan tempat mereka berkuasa dahulu berada di tanah Arab, mereka adalah kaum yang haus darah dan banyak membikin kerusakan. Begitu pula ada beberapa sekte berikutnya yang menyembah setan, sebagaimana bisa diketahui dengan jelas bagi orang yang sedikit mempunyai ilmu.[21]
Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan bahwa kesyirikan tidak dijumpai pada umat ini sangat kontradiksi dengan fenomena dilapangan. Disamping itu sebelumnya, dia telah terjatuh dalam pemahaman keliru ketika berinteraksi dengan nash-nash syar'i yang shahih tadi.
Kedua: atau bisa juga dikatakan padanya, bahwa Nabi kita setelah menjabarkan secara jelas apa itu syirik dan apa itu tauhid dengan penjelasan yang sangat terang, beliau telah meninggalkan agama diatas cahaya yang terang benderang, malamnya bagaikan siang. Cahaya terang benderang inilah kandungan dari makna kalimat la ilaha ilallah yaitu mengesakan Allah Shubhanahuw ata’alla dalam ibadah, mencampakan seluruh sesembahan yang ada, kufur dengan segala sesuatu yang disembah selain -Nya, berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama kita.
Apabila demikian, maka sangat mustahil kesyirikan yang telah dilarang oleh Allah Shubhanahuw ata’alla dengan berbagai macam corak ragamnya, ada diberbagai negeri, yang jelas-jelas telah dihukumi dengan kesyirikan ada di jazirah Arab dengan berbagai corak warnanya lalu kita menutup mata dengan tidak menghukumi adanya kesyirikan. Maka ini termasuk tipu daya, dan mengikuti hawa nafsu.[22]
Ketiga: keterangan Ibnu Rajab tatkala menjabarkan makna hadits diatas, beliau mengatakan, "Sesungguhnya setan merasa putus asa untuk menjadikan kebanyakan penduduk muka bumi kufur kepada Allah Shubhanahuw ata’alla ".[23] Hal senada juga tersyirat dari ucapannya Imam Ibnu Katsir tatkala beliau sedang menafsirkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿ ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ ٣ [ المائدة: 3 ]
"Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu". (QS al-Maa-idah: 3).

Beliau menjelaskan, "Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengatakan, "Maksudnya mereka telah berputus asa untuk mengalahkan agama kalian".[24]
Keempat: Barangkali tidak terlalu jauh untuk mengatakan bahwa maksud sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, "Sesungguhnya setan..". Kalau setan sudah tidak berhasrat besar lagi untuk bisa di sembah oleh orang-orang yang beriman di jazirah Arab. Yaitu orang-orang yang telah membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dari sisi Rabbnya, serta tunduk terhadap kandungan isinya, dan mengerjakan segala perintah –Nya.
Tentu tidak diragukan lagi, seseorang yang mempunyai sifat-sifat diatas, dirinya sedang berada diatas ilmu dan petunjuk Rabbnya. Makanya setan tidak punya hasrat lagi untuk berpeluang disembah oleh mereka. Adanya orang yang semacam tadi di jazirah Arab tidak menafikan makna hadits shahih yang lainnya, sebagaimana tidak tersamar lagi bagi orang yang memiliki hati sehat dan akal yang cerdas.  Mengungkapkan dengan lafad orang yang sedang sholat secara mutlak bagi orang-orang yang beriman, sering kita jumpai, dan sering dikonotasikan bagi orang-orang yang berilmu. 
kelima: kemungkinan yang lain, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang sedang sholat yaitu orang-orang yang telah jelas diketahui tandanya, dan yang dimaksud dengan mereka yaitu orang yang mengerjakan sholat secara sempurna, tidak bisa kita sangkal, mereka adalah generasi terbaik umat ini, yaitu sahabat. Hal itu didukung dengan hadits lain, dimana Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, "Akan tetapi, dirinya puas dengan menjadikan kalian saling bermusuhan".
Dijelaskan oleh ulama, "Barangkali Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengabarkan dengan perkara yang akan terjadi sepeninggal beliau yaitu terjadinya perselisihan diantara para sahabat radhiyallahu 'anhum. Artinya, setan merasa putus asa untuk bisa disembah kembali di jazirah Arab, akan tetapi, dirinya berusaha keras untuk menaburkan benih permusuhan (dikalangan mereka)". Dan kaidah mengatakan, "Jika ada dalil yang banyak memiliki kemungkinan maka tidak bisa dibawa pada satu makna saja".[25]
Keenam: atau bisa kita katakan, sebagaimana Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang adanya kesyirikan, dan terjadinya ditubuh umat ini, serta kejadiannya pasti terjadi. Maka berita ini sebagai bentuk saksi yang membuktikan kebenarannya, tidak ada seorangpun yang mengingkarinya melainkan orang yang telah dibutakan oleh Allah ta'ala mata hatinya.
Demikian pula kabar yang disampaikan oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam didalam hadits ini yaitu adanya sekelompok kaum yang jelas orang-orangnya, tidak bisa dikuasai oleh setan. Mereka itulah yang di isyaratkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam didalam sebuah sabdanya:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ, منْصُورة, لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَن خَالَفَهم حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ » [أخرجه مسلم]
"Senantiasa akan ada dikalangan umatku yang berada diatas kebenaran, yang mendapat pertolongan, tidak memudharatkan orang yang memusuhinya, tidak pula yang menyelisihinya, hingga datangnya hari kiamat".[26]

Ketujuh, atau kita katakan, lafad hadits tadi mengatakan, "Sesungguhnya setan merasa putus asa untuk bisa disembah". Tekstualnya mengatakan, bahwasannya setan merasa putus asa untuk bisa disembah, artinya dia sendiri sebagai media yang disembah, bukan orang lain dari kalangan makhluk yang disembah, semisal para nabi, malaikat, orang-orang sholeh, pepohonan, batu, dan kuburan.
Sebab setan, ketika dirinya ditaati dalam peribadatan yang ditujukan kepada makhluk, dirinya mendapat porsi peribadatan tersebut namun porsinya tidak diperoleh secara langsung, porsi yang dia peroleh karena dirinya sebagai orang yang menyuruhnya, adapun yang diinginkan dengan beribadah kepada setan ialah ketika orang menujukan peribadatan secara langsung kepada dirinya.
Delapan, yang dimaksud, bahwa setan telah putus asa untuk disembah atau disembahnya berhala di jazirah Arab, pada setiap waktu dan zaman. Maka hal itu tidak mungkin terjadi, insya Allah. Dengan dalil adanya riwayat yang mendukung ini, yaitu adanya tambahan redaksi disebagian riwayat, "Selama-lamanya".[27] 
Syubhat keempat:  Para pengagung kubur berhujah dengan sebuah hadits lain yang dibawakan oleh Imam Bukhari, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَإِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي وَلَا تَزَالَ أَمْر هَذِهِ الْأُمَّةُ مُسْتَقِيماً حتى تَقُومُ السَاعَةِ أَو يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ » [أخرجه البخاري ]
"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka akan dipahamkan dalam masalah agama. Sesungguhnya aku hanyalah membagai sedangkan Allah yang memberi. Senantiasa perkara umat ini dalam keadaan lurus hingga datangnya hari kiamat atau datangnya ketentuan Allah ta'ala".[28]

Segi pengambilan dalil dari hadits diatas, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita kalau urusan umat ini akan senantiasa lurus hingga berakhirnya zaman. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa perkara-perkara ini (kesyirikan) yang banyak diingkari, senantiasa ada semenjak dahulu kala, sebagaimana terlihat jelas di negeri Arab, kalau seandainya itu dianggap sebagai berhala terbesar, dan bagi orang yang melakukan hal tersebut di vonis sebagai penyembah berhala, niscaya hilang sudah kandungan sabda Nabi yang mengatakan urusan umat ini akan senantiasa lurus, sehingga maknanya terbalik.[29]
Sanggahan: bagi syubhat diatas, bila di teliti kembali, syubhat diatas maka akan kita dapati bahwa faktor munculnya syubhat tersebut bersumber dari minimnya ilmu hadist. Sebab apabila dijumpai ada hadits, maka akan datang dengan redaksi yang berbeda-beda dan satu sama lainya akan saling menafsirkan maksudnya. Dan hadits yang sedang kita bicarakan ternyata masuk dalam jenis ini, datang dengan redaksi yang berbeda-beda, hingga dibawakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya dengan lima redaksi dari sahabat Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu.
·       Pertama beliau cantumkan dalam kitab ilmu dengan redaksi

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ » [أخرجه البخاري]
"Senantiasa umat ini akan tegak diatas perintah Allah, orang-orang yang menyelisihinya tidak akan mampu memudharatkan mereka hingga datang perintah Allah azza wa jalla".[30]

·       Kedua beliau letakkan hadits tersebut dalam kitab al-I'thisam (berpegang kuat pada agama), dengan redaksi:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَلَا تَزَالُ هَذِهِ الْأُمَّةُ ظَاهِرِينَ عَلَى مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ » [أخرجه البخاري]
"Senantiasa umat ini akan selalu menampakan kebenaran pada orang-orang yang menyelisihinya hingga datang perintah Allah, sedang mereka dalam keadaan seperti itu".

·       Ketiga beliau bawakan hadits tersebut dalam kitab Manakib, dengan redaksi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَة قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللَّهِ » [أخرجه البخاري]
"Senantiasa akan ada dari kalangan umatku yang tegak diatas perintah Allah".[31]

·       Keempat, beliau bawakan kembali hadits ini dalam kitab al-I'thisam dengan redaksi:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا تزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ » [أخرجه البخاري]
"Senantiasa akan ada sekelompok dari kalangan umatku yang selalu menampakan kebenaran hingga datang perintah Allah, sedang mereka dalam kondisi seperti itu".[32]

·       Kelima, beliau sebutkan hadits tadi didalam kitab Tauhid dengan redaksi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَة قَائِمَةً بأَمْرِ اللَّهِ» [أخرجه البخاري]
"Senantiasa akan ada dari kalangan umatku kelompok yang tegak diatas perintah Allah".

Hadits dengan redaksi serupa juga dibawakan oleh Imam Muslim, beliau membawakan dengan redaksi:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَلَنْ يَزَالَ قَومٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ على النَاسِ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ » [أخرجه مسلم]
"Senantiasa akan ada kaum dari kalangan umatku yang selalu menampakan kebenaran pada manusia hingga datang perintah Allah, sedang mereka dalam kondisi demikian".[33]

Artinya, bahwa riwayat-riwayat mutlak yang dijumpai pada sebagian hadits harus dibawa pada makna riwayat hadits-hadits yang muqayad. Diantara kaidah ushul fikih disebutkan, makna mutlak harus dibawa pada makna muqayad apabila dijumpai sisi keselarasan hukum. Dan dalam kasus ini ternyata hukumnya sama.[34] Mengacu pada hal inilah al-Hafidh Ibnu Hajar dalam penjabaran hadits-hadits diatas menyatakan, "Bahwa sebagian orang dari kalangan umat ini akan tetap berada diatas kebenaran selama-lamanya".[35] Dan tidak perlu diragukan lagi bahwa sebagian kalangan tersebut adalah para ahli hadits dan pengikut atsar bukan para pengagung kubur, sebagaimana banyak ditegaskan oleh para ulama salaf.
Syubhat kelima: Diantara syubhat yang senantiasa dijadikan sebagai pegangan oleh mereka, para pengagung kubur ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ يَذْهَبُ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ حَتَّى تُعْبَدَ اللاَّتُ وَالْعُزَّى . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ لأَظُنُّ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ (هُوَ الَّذِى أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ). أَنَّ ذَلِكَ تَامًّا قَالَ: إِنَّهُ سَيَكُونُ مِنْ ذَلِكَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ رِيحًا طَيِّبَةً فَتَوَفَّى كُلَّ مَنْ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَيَبْقَى مَنْ لاَ خَيْرَ فِيهِ فَيَرْجِعُونَ إِلَى دِينِ آبَائِهِمْ » [أخرجه مسلم]
"Tidak akan hilang siang dan malam (tegak hari kiamat) hingga disembah kembali Latta dan Uzza". Maka aku tanyakan pada beliau, "Ya Rasulallah! Bukankah anda dahulu pernah mengatakan tatkala turun firman Allah ta'ala:
 ﴿ هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٩ [ الصف: 9 ]
"Dia-lah yang mengutus Rasul -Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci". (QS ash-Shaaf: 9).

Aku katakan, "Bahwa itu sudah sempurna? Beliau menjawab, "Sesungguhnya itu akan terjadi hingga waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah Shubhanahuw ata’alla akan mengutus angin yang sejuk hingga mengambil nyawa setiap orang yang masih mempunyai keimanan didalam hatinya walaupun seberat biji sawi. Setelah itu tinggal tersisa orang-orang yang tidak lagi punya kebaikan, mereka akan kembali kepada agama nenek moyangnya".[36]
Demikian  pula mereka berhujah dengan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dibawakan oleh Imam Abu Dawud dengan redaksi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ..حتى يُقَاتِلُ آخِرَهم المَسِيح » [أخرجه أبو داود]
"Senantiasa akan ada sekelompok dari kalangan umatku yang berperang diatas kebenaran hingga terjadinya peperangan terakhir yang dipimpim oleh al-Masih (Isa bin Maryam)".[37]

Dan berhujah dengan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَنْ يَبْرَحَ هَذَا الدِّينُ قَائِمًا عَلَيْهِ عِصَابَة الْمُسْلِمِينَ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ » [أخرجه مسلم]
"Tidak akan membahayakan agama ini selagi ada orang yang tegak diatas kebenaran dari kalangan kaum muslimin hingga tegaknya hari kiamat".[38]

Begitu pula mereka berargumen dengan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ تَزَالُ عِصَابَةٌ مِنْ أُمَّتِى يُقَاتِلُونَ عَلَى أَمْرِ اللَّهِ قَاهِرِينَ لِعَدُوِّهِمْ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ ». فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ أَجَلْ. ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ رِيحًا كَرِيحِ الْمِسْكِ مَسُّهَا مَسُّ الْحَرِيرِ فَلاَ تَتْرُكُ نَفْسًا فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنَ الإِيمَانِ إِلاَّ قَبَضَتْهُ ثُمَّ يَبْقَى شِرَارُ النَّاسِ عَلَيْهِمْ تَقُومُ السَّاعَةُ » [أخرجه مسلم]
"Senantiasa akan ada sekelompok dari kalangan umatku yang selalu memperjuangkan agama Allah hingga menundukan musuh-musuhnya, tidak memudharatkan baginya orang-orang yang menyelisihinya hingga datang hari kiamat, sedang mereka dalam kondisi demikian".

Lalu Abdullah bin Amr menambahkan, "Benar, hingga kemudian Allah mengutus angin yang wangi bagaikan minyak kesturi lagi lembut bagaikan sutera. Yang tidak akan membiarkan seorangpun yang masih memiliki keimanan walau sebesar biji sawi melainkan  akan  dicabut nyawanya. Selanjutnya tinggal tersisa manusia terburuk, dan pada merekalah hari kiamat datang".[39]
Sisi pengambilan dalil dari riwayat-riwayat diatas, Didalam hadits-hadits shahih ini terkandung dalil yang sangat gamblang yang membungkam argumen pendapat kalian (maksudnya kita). Yaitu, bahwa seluruh hadits-hadits tadi secara tegas menjelaskan bahwa umat ini tidak ada lagi yang menyembah berhala melainkan setelah dicabutnya seluruh nyawa orang yang beriman, dan itu hanya terjadi kelak di akhir zaman.[40]
Sanggahan: atas syubhat diatas; Barangkali bisa kita jawab dengan beberapa jawaban, yaitu:
Pertama: Yang dimaksud oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini yaitu menjelaskan waktu munculnya kesyirikan secara umum, hal itu dimulai dari tidak diperdulikannya lagi perkara tauhid, lalu banyak diantara para pembawa bendera tauhid musnah dimuka bumi.
Dikatakan, bahwa kejadian tersebut akan terjadi diakhir zaman, sebelum terjadinya hari kiamat besar, setelah keluarnya angin yang akan mencabut seluruh nyawa orang yang beriman hingga tidak menyisakan seorangpun dari kelompok yang selamat dan ditolong ini dimuka bumi.[41] Bukti kuat yang menunjukan hal itu ialah pemahaman yang dipahami oleh sahabat mulia Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhuma tatkala beliau mengomentari sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam diatas dengan ucapannya, "Benar, hingga kemudian Allah Shubhanahuw ata’alla mengutus angin yang wangi bagaikan minyak kesturi lagi lembut bagaikan sutera..".
Kesimpulannya, hadits ini hanyalah sedang menjelaskan tentang waktu terjadinya kesyirikan yang akan menyebar ditengah-tengah umat ini, hingga tidak menyisakan lagi seorang pun dimuka bumi melainkan dia akan melakukan kesyirikan. Maksudnya bukan sedang menegaskan tidak mungkin lagi terjadi kesyirikan ditubuh umat ini, sebagaimana di sangka oleh kalian, dan sebagian orang yang mengaku berilmu. Sebab kalau tidak dibawa pada pemahaman seperti ini niscaya dirinya akan bertubrukan dengan hadits-hadits shahih lainnya dan menyelisihi fenomena lapangan yang jelas menunjukan adanya kesyirikan ditubuh umat ini, dulu maupun sekarang.
Adapun menjadikan hadits ini sebagai hujah atas tidak adanya pemeluk agama ini yang terjatuh dalam kesyirikan maka tidak bisa diterima sama sekali, karena tidak ada sisi yang menunjukan hal tersebut, sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya maksud hadits ini. Kemudian, tidak adanya dalil yang menjelaskan secara spesifik tidak mengharuskan hilangnya pengambilan dalil tertentu, sebagaiman hal itu telah diketahui oleh setiap orang yang menasabkan dirinya kepada ilmu. 
Syubhat Keenam: Diantara dalil yang senantiasa dijadikan sebagai alasan untuk mendukung syubhatnya ialah firman Allah ta'ala yang mengatakan:
﴿ كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ ١١٠ [ آل عمران: 110 ]
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia..". (QS al-Imran: 110).

Begitu pula mereka berhujah dengan keumuman firman Allah ta'ala:
﴿ وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّة وَسَطا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ ١٤٣ [ البقرة: 143]
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia". (QS al-Baqarah: 143).

Sisi pengambilan dalil dari ayat ini yaitu bahwa umat ini dijelaskan tidak ada yang melakukan perbuatan kekufuran, semuanya sebagai umat yang baik -dari awal hingga akhir- tidak ada yang melakukan perbuatan syirik.[42]
Sanggahan atas syubhat diatas, dari beberapa sisi:
Pertama: Mereka membiarkan dua ayat ini dalil yang sejatinya membungkam mereka. Yaitu, Allah ta'ala telah mensifati sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia apabila terpenuhi tiga sifat yaitu bagi orang-orang yang beriman secara khusus, bukan bagi para pelaku kekufuran dan kesyirikan, perbuatan nifak, bid'ah dan kefasikan. Dimana Allah Shubhanahu wa ta’alla melanjutkan dalam ayat tersebut:
﴿ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ ١١٠ [آل عمران: 110]
"Menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah". (QS al-Imran: 110).

Orang-orang yang senang melakukan perbuatan syirik dan orang munafik tentu tidak masuk dalam kriteria umat terbaik, bahkan mereka bisa dikatakan sebagai makhluk terjelek disisi Allah azza wa jalla.[43]
Kedua: Setiap orang yang beragama dari agama Yahudi dan Nashrani, Majusi, Shabi'ah masuk dalam bingkai umat yang telah diutus bagi mereka seorang rasul yaitu nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, mereka masuk dalam barisan umat beliau, namun, dalam jajaran umat dakwah. Sedangkan hukumnya, bagi orang yang enggan beriman kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mau mengikuti agama Islam dari lima agama yang kita singgung diatas maka tempatnya kelak akan berada didalam neraka. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta'ala didalam firman -Nya:
﴿ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ ٦ [ البينة: 6 ]
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk". (QS al-Bayyinah: 6).

Allah ta'ala mengabarkan bagi orang-orang yang ingkar terhadap agama ini dan berbuat kesyirikan akan masuk kedalam neraka walaupun mereka mendapat predikat masuk dalam umat ini.
Adapun berargumen dengan firman Allah ta'ala:
﴿ وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّة وَسَطا  ١٤٣ [ البقرة: 143 ]
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pilihan". (QS al-Baqarah: 143).

Maka ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Merekalah yang dimaksud dalam ayat ini, demikian pula orang-orang yang meniru mereka dikalangan ahli iman, juga mendapat predikat tersebut.
Adapun orang-orang kafir, kaum musyrikin, dan munafik maka mereka adalah musuh-musuh umat pilihan di setiap waktu dan tempat, tidak mungkin ada seorangpun yang mengira bahwa mereka adalah umat pilihan kecuali orang bodoh, semisal orang yang mengusung pemikiran aneh yang mengatakan, 'Tidak ada seorangpun ditubuh umat ini yang terjatuh dalam kekufuran dan kesyirikan".[44]
Syaikh Abdurahman bin Hasan menjelaskan sisi perbuatan bid'ah, kesyirikan dan kesesatan yang terjadi didalam tubuh umat, dengan pernyataanya, "Semisal orang-orang yang murtad dimasa Abu Bakar Shidiq, sekte Khawarij pada masanya Ali bin Abi Thalib, lalu sekte Qadariyah, Jahmiyah, Jabriyah, daulah Qaramitah, yang disifati oleh Syaikhul Islam sebagai manusia yang paling kufur, begitu juga sekte Ubaidiyah dan Buwaihiyah serta sekte-sekte sesat lainnya".[45]
Ringkasnya, orang yang menyangkal masalah ini sambil berdalil membawakan lafad umat, maka dirinya telah kacau pemahamannya, maka bagi orang yang mempunyai sifat semacam ini, Allah Shubhanahu wa ta’alla telah mencela didalam firman -Nya:
﴿ وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  ٤٢ [ البقرة: 42 ]
"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui". (QS al-Baqarah: 42).

Maka pemahaman semacam tadi termasuk mengaburkan, mencampur adukan dan menyamarkan makna nash dengan cara yang paling fatal. Karena lafad umat dalam ayat disebutkan secara mutlak, sedangkan yang di inginkan adalah keumuman umat yang didakwahi, masuk didalamnya umat yang enggan menerima seruan Allah Subhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya.
Terkadang lafad umat juga sering di konotasikan dengan umat yang menerima dakwah dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh para Rasul.  Sehingga orang yang tidak merinci dan meletakan nushus sebagaimana mustinya maka dia termasuk orang-orang bodoh yang mencampur adukan antara yang hak dan batil.[46] Syaikh Abdul Lathif bin Abdurahman bin Hasan[47] telah menyingkap tabir mereka, dan mengungkap asal syubhat ini serta faktor yang memicunya, beliau menjelaskan, "Ketahuilah, sesungguhnya orang yang menyangkal seperti ini pada hakekatnya belum bisa memahami apa hakekat Islam dan tauhid yang sesungguhnya. Namun, dirinya hanya sekedar menyangka dan mengucapkan tanpa didasari pengetahuan dan keyakinan yang kuat, karena orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lantang pada zaman ini sama seperti orang yang sedang memusuhi dua kalimat syahadat tersebut, disebabkan tidak adanya gambaran tentang masalah itu sehingga dirinya mengingkari.
Dan orang-orang yang berbuat kesyirikan pada zaman ini enggan bila dimasukan dalam barisan orang yang berbuat kesyirikan pada zaman dulu, tidak mau bila dikasih hukum sama seperti hukum yang divoniskan bagi perbuatan yang sama, menyamakan hukum berbarengan dengan ilatnya. Lalu meyakini bahwa ada diantara hamba, dari kalangan orang sholeh yang layak untuk dijadikan wasilah dalam berdoa dan bersandar, mendekatkan diri dengan berbagai ibadah, dikatakan masih sebagai seorang muslim karena dirinya telah menyaksikan dengan ucapan la ilaha ilallah".[48]
Nampak jelas kebodohan para pengusung pendapat ini tatkala dirinya tidak bisa membedakan antara umat ijabah (yang telah menerima seruan Nabi) dan umat dakwah (yang belum menerima seruan Nabi).  Dan Syaikh Abdul Lathif telah membantah kerancuan ini dalam pernyataannya, "Tidak setiap orang yang di sifati dengan lafad umat secara otomatis termasuk dalam barisan umat ijabah dan ahli kiblat, didalam sebuah hadits disebutkan:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « ما من أحد من هذه الأمة يهودي أو نصراني يسمع بي ثم لا يؤمن بي إلا كان من أهل النار » [أخرجه مسلم]
"Tidak ada seorangpun diantara umat ini baik Yahudi ataupun Nashrani mendengar ajakan ku kemudian dirinya tidak mau beriman kepada ku melainkan dirinya pasti akan menjadi penduduk neraka".[49]

Demikian pula didalam ayat Allah ta'ala mengatakan:
﴿ فَكَيۡفَ إِذَا جِئۡنَا مِن كُلِّ أُمَّةِۢ بِشَهِيد وَجِئۡنَا بِكَ عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِ شَهِيدا ٤١ يَوۡمَئِذ يَوَدُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَعَصَوُاْ ٱلرَّسُولَ لَوۡ تُسَوَّىٰ بِهِمُ ٱلۡأَرۡضُ وَلَا يَكۡتُمُونَ ٱللَّهَ حَدِيثا ٤٢ [ النساء: 41-42 ]
"Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu. Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun". (QS an-Nisaa': 41-42).

Ayat ini menunjukan bahwa orang-orang kafir termasuk dari umat yang menjadi saksi akan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Dan perlu dipahami, ketika dijumpai ada lafad umat dalam kedudukan pujian dan janji maka yang dimaksud ialah ahli kitab dan orang-orang yang memenuhi ajakan Nabi, dan bila ada lafad umat dalam posisi celaan dan cerai berai maka yang dimaksud ialah selain kelompok yang pertama. Jadi, bagi setiap kondisi ada hukum yang berbeda".[50]
Syubhat Ketujuh: Diantara syubhat mereka yang seringkali menjadi pegangan ialah sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يعبد » [أخرجه أحمد]
"Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah".[51]

Sisi pengambilan dalil dari hadits diatas, yaitu bahwa doanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pasti dikabulkan. Artinya, tidak mungkin ada disana kesyirikan disisi kubur Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam.[52]
Sanggahan atas syubhat diatas: Kita sepakat bahwa doanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pasti dikabulkan. Oleh karena itu kuburan beliau sekarang ditutup dengan tiga tembok kuat sebagai bentuk penjagaan Allah Shubhanahu wa ta’alla atas doa yang dipanjatkan oleh beliau.[53] Sehingga tidak ada seorangpun yang mampu sujud kearah kuburan beliau secara langsung. Sehingga tidak ada sedikitpun sisi pendalilan dari hadits ini yang menunjukan tidak adanya orang yang berbuat syirik kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, semisal menyembah Nabi atau menyematkan hak khusus rububiyah kepada Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, inilah kenyataanya.
Bukti riil merupakan dalil terakurat dalam masalah ini. Betapa banyak orang yang ghuluw kepada beliau, misalkan mengatakan bahwa beliau mempunyai hak rububiyah. Akan datang beberapa contoh sikap ekstrim dari umat ini yang di tujukan kepada beliau pada bab keempat insya Allah.
Syubhat Kedelapan: Syubhat lain yang sering dijadikan sebagai argumen untuk melegalkan pendapatnya ialah sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ أَمَا إِنِّي لَسْتُ أَقُولُ يَعْبُدُونَ شَمْسًا وَلَا قَمَرًا وَلَا وَثَنًا وَلَكِنْ أَعْمَالًا لِغَيْرِ اللَّهِ وَشَهْوَةً خَفِيَّةً » [أخرجه ابن ماجه]
"Sesungguhnya perkara yang paling aku khawatirkan menimpa umatku ialah kesyirikan kepada Allah, aku tidak mengatakan, mereka menyembah matahari, atau bulan atau berhala. Namun, yang aku maksud amalan yang ditujukan kepada selain Allah dan syahwat yang tersamar".[54]

Sisi pengambilan dalil dari hadits ini yaitu, Bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhawatirkan kepada kita syirik akbar, tapi yang beliau khawatirkan syirik kecil.[55]
Sanggahan atas syubhat ini: bisa dengan dua jawaban;
Pertama:  bahwa hadits ini adalah lemah.[56] Sedangkan hadits lemah maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil menurut para ulama yang kompeten dalam masalah ini.
Kedua: anggaplah haditsnya shahih. Bahwa yang dimaksud oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam ialah menjelaskan tersamarnya perkara ini ditengah-tengah umatnya sehingga ada sebagian orang yang mengaku berilmu terjerumus dalam kesyirikan tadi. Semisal, beribadah kepada matahari, atau bulan atau patung, yang jelas sekali kesesatannya bagi siapapun yang melakukan. Karena yang dimaksud dengan kesyirikan yang hati sebagai medianya, misalnya adalah mencintai kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, merendah dan tunduk kepada selain -Nya, atau meyakini perkara-perkara yang menjadi kekhususan –Nya kepada selain Allah ta'ala.
Itu semua termasuk bagian dari amal perbuatan yang ditujukan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, dan inilah hakekat kesyirikan, yang masih samar bagi sebagian orang. Dengan ini menjadi jelas kebatilan hujah mereka. Walhamdulillah.



[1] . HR Bukhari no: 1344, 3596, 4042, 4085, 6426, 5690.
[2] . Lihat nukilan syubhat ini dalam kitab Shawa'iqul ILahiyah hal: 44-45 oleh Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab.
[3] . Fathul Bari 3/211, al-Hafidh Ibnu Hajar.
[4] . Fathul Bari 6/614, al-Hafidh Ibnu Hajar.
[5] . Shira' Bainal Islam wal Watsaniyah 2/118 oleh Abdullah bin Ali al-Qashaimi.
[6] . HR Malik dalam kitabnya al-Muwatha no: 1388. al-Baihaqi dalam sunanul Kubra 9/208. Tapi hadits ini masuk dalam kategori hadits mursalnya az-Zuhri, sebagaimana diketahui bahwa hadits mursalnya beliau adalah lemah.
[7] . Dinukil dari kitab Mafahim Yajibu an Tushahiha oleh Muhammad bin Alawi al-Maliki.
[8] . Disampaikan oleh Ibnu Jarjis dalam kitabnya Shulhul Ikhwan hal: 144. Lihat pula keterangannya dalam kitab Shawa'iqul Ilahiyah hal: 44-47 oleh Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab.
[9] . Beliau adalah Imam Malik bin Anas al-Ashbahi, al-Madani. Penulis kitab al-Muwatha serta tulisan-tulisan bermanfaat lainnya, dan pemilik madzhab empat yang masyhur. Lihat biografinya dalam kitab Siyar a'lamu Nubala 8/48 no: 10 oleh adz-Dzahabi. Thabaqatul Hufaadh hal: 96 oleh Suyuti.
[10] . HR Malik dalam kitabnya al-Muwatha no: 1387. Tapi masuk dalam hadits mursal. Lihat penukilannya oleh al-Baihaqi dalam sunanul Kubra 9/208.
[11] . HR Ahmad 6/275 no: 25148.
[12] . HR Muslim no: 1767.  3/1388
[13] . HR Ahmad 1/32 no: 215, Namun haditsnya mauquf. Abu Dawud no: 3031. Tirmidzi 1606 dan lainnya secara marfu.
[14] . HR Bukhari no: 3053. Muslim no: 1637.
[15] . Penulis mengatakan, 'Saya tidak menjumpai lafad hadits dengan redaksi semacam ini kecuali nukilan yang dibawakan oleh Muhammad al-Alawi dalam bukunya Mafahim Yajibu an Tushahiha".
[16] . HR Muslim no: 2812.
[17] . Saya tidak menemukan ulama yang meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Mas'ud dengan redaksi semacam ini. Tapi, hadits ini disandarkan oleh penulis kitab Shawa'iqul Ilahiyah fii Radd 'ala Wahabiyah hal: 41 diriwayatkan oleh al-Hakim, Abu Ya'la dalam musnadnya dan al-Baihaqi.
[18] . Shawa'iqul Ilahiyah fii Radd 'ala Wahabiyah hal: 45 oleh Sulaiman bin Abdul Wahab. 
[19] . Redaksi ini dinisbatkan kepada al-Bazar semuanya dari al-Haitsami dalam Majma' Zawaid 3/370. Ibnu Hajar dalam al-Mathalib 1/316, 3/186. al-Haitsami mengomentari, "Didalam riwayat ini ada perawi yang bernama Ubaidah ar-Ribdi, dia perawi yang lemah".
[20] . Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Tirmidzi.
[21] . Lihat penjelasan ini dalam kitab Hadzihi Mafahimuna hal: 197-198 oleh Syaikh Sholeh bin  Abdul Aziz Alu Syaikh. Majmu'atur Rasa'il wal Masa'il Najdiyah 4/482-287 oleh Syaikh Abdurahman  Abu Bathin.
[22] . Lihat penjelasan ini dalam kitab Hadzihi Mafahimuna hal: 197-198 oleh Syaikh Sholeh bin  Abdul Aziz Alu Syaikh.
[23] . Majmu'atur Rasa'il wal Masa'il Najdiyah 4/482-287 oleh Syaikh Abdurahman  Abu Bathin.

[24] . Tafsir Ibnu Katsir 2/12.
[25] . Fathul Manan hal: 497-499 oleh al-Alusi.
[26] . HR Bukhari dan Muslim.
[27] . Bisa dilihat dalam riwayat Tirmidzi no: 2159.
[28] . HR Bukhari no: 7460.
[29] . Shawa'iqul Ilahiyah hal: 41 oleh Sulaiman bin Abdul Wahab.
[30] . HR Bukhari no: 71.
[31] . HR Bukhari no: 7312,
[32] . HR Bukhari no: 3641.
[33] . HR Muslim no: 9121.
[34] . Lihat penjelasan masalah ini dalam kitab Raudhun Nadhir 2/192, Ibnu Qudamah.
[35] . Fathul Bari 1/164, Ibnu Hajar.
[36] . HR Muslim.
[37] . HR Abu Dawud no: 2844. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih Abi Dawud 2/481.
[38] . HR Muslim no: 1922.
[39] . HR Muslim no: 1924.
[40] . Shawa'iqul Ilahiyah hal: 50, Sulaiman bin Abdul Wahab.
[41] . Lihat keterangannya dalam Fathul Bari 1/164. 13/76-77, 294. Syarh Kitab Tauhid lil Bukhari 2/235 oleh guru kami Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghaniman.
[42] . Lihat keterangan syubhat ini yang dinukil oleh Syaikh Abdurahman bin Hasan dalam buku beliau Majmu'ah Rasa'il wal Masa'il 2/54.
[43] . Lihat bantahan atas syubhat ini oleh Syaikh Abdurahman bin Hasan dalam buku beliau Majmu'ah Rasa'il wal Masa'il 2/54-55.
[44] . Ibid.
[45] . Ibid.
[46] . Misbhaul Dhulam hal: 30. Abdul Lathif bin Abdurahman.
[47] . Beliau adalah al-Allamah, al Imam, Abdul Lathif bin Abdurahman bin Hasan Alu Syaikh. Termasuk salah seorang cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Lahir pada tahun 1225 H di kota Dir'iyah. Meninggal pada tahun 1293 H. Diantara karya tulisnya, Tuhfatut Thalib, al-Jalis fii Kasyfi Syubahi Dawud bin Jarjis, Syarh Nuniyah Ibnu Qayim, Mishbahul Dhulam, dan yang lainnya. Lihat biografinya dalam Tuhfatut Thalib dan al-Jalis fii Kasyfi Syubahi Dawud bin Jarjis hal: 14-15.
[48] . Mishbahul Dhulam hal: 36, Abdul Lathif bin Abdurahman Alu Syaikh.
[49] . HR Muslim no: 153.
[50] . Mishbahul Dhulam hal: 341, Abdul Lathif bin Abdurahman Alu Syaikh.
[51] . HR Ahmad, telah lewat takhrijnya.
[52] . Mafahim oleh Muhammad al-Alawi al-Maliki.
[53] . Seperti dikatakan oleh Ibnu Qayim, "Maka Allah mengabulkan doanya, dan kuburan beliau dikelilingi oleh tiga tembok".
[54] . HR Ibnu Majah no: 4205.
[55] . Mafahim oleh Muhammad al-Alawi al-Maliki.
[56] . Lihat Dha'if sunan Ibni Majah oleh al-Albani.

Tidak ada komentar