MENGUBAH FATWA KARENA PERUBAHAN WAKTU DAN TEMPAT
MENGUBAH FATWA KARENA PERUBAHAN WAKTU DAN
TEMPAT
PENGAMBILAN tindakan yang mudah juga dianjurkan dalam hal berikut ini. Pentingnya pengetahuan tentang perubahan kondisi manusia, baik yang terjadi karena perjalanan waktu, perkembangan masyarakat, maupun terjadinya hal-hal yang sifatnya darurat, sehingga para ahli fiqh yang biasanya mengeluarkan fatwa harus mengubah fatwa yang telah lalu untuk disesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, tradisi dan kondisi masyarakatnya; berdasarkan petunjuk para sahabat dan apa yang pernah dilakukan oleh para khulafa rasyidin, suri tauladan yang kita disuruh untuk mengambil petunjuk dari 'sunnah' mereka dan berpegang teguh kepadanya. Yaitu sunnah yang sesuai dengan sunnah Nabi saw dan dapat diterima oleh al-Qur'an; sebagaimana yang pernah kami jelaskan dalam risalah kecil kami yang berjudul 'Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah (Faktor-faktor Keluasan dan Keluwesan dalam Syariat Islam).
Itulah yang antara lain yang mengharuskan kita untuk melakukan peninjauan kembali terhadap pandangan dan pendapat para ulama terdahulu. Karena boleh jadi, pandangan tersebut hanya sesuai untuk zaman dan kondisi pada masa itu, dan tidak sesuai lagi untuk zaman kita sekarang ini yang telah mengalami pelbagai pembaruan yang belum pernah terpikirkan oleh generasi terdahulu. Pendapat dan pandangan ulama terdahulu itu bisa jadi membawa kondisi yang tidak baik kepada Islam dan umat Islam, serta menjadi halangan bagi da'wah Islam.
Misalnya, pendapat mengenai pembagian dunia kepada Dar Islam dan Dar Harb. Yaitu suatu konsep yang pada dasarnya menganggap hubungan kaum Muslimin dengan orang bukan Muslim adalah peperangan, dan sesungguhnya perjuangan itu hukumnya fardhu kifayat atas umat... dan lain-lain.
Pada kenyataannya, sebetulnya pendapat-pendapat seperti itu tidak sesuai untuk zaman kita sekarang ini, di samping tidak ada nash hukum Islam yang mendukung terhadap pendapat tersebut; bahkan yang ada adalah nash-nash yang menentangnya.
Islam sangat menganjurkan perkenalan sesama manusia, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, secara menyeluruh:
"... dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal..." (al-Hujurat: 13)
Islam juga menganggap perdamaian dan pencegahan terhadap terjadinya peperangan sebagai suatu kenikmatan. Setelah terjadinya Perang Khandaq, Allah SWT berfirman:
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejenglelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan..." (al-Ahzab: 25)
Al-Qur'an menganggap Perjanjian Hudaibiyah sebagai kemenangan yang nyata yang diberikan kepada Rasulullah saw; dan pada masa yang sama turun surat al-Fath:
"Sesunggguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (al-Fath: 1)
Dalam surat ini juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw dan kaum Muslimin juga diberi anugerah berupa batalnya peperangan antara kedua belah pihak; di mana Allah SWT berfirman:
"Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka..." (al-Fath: 24)
Rasulullah saw sendiri berusaha untuk tidak mengucapkan perkataan "perang," sampai beliau bersabda, "Nama yang paling jujur adalah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk ialah Harb (perang) dan Murrah (pahit)."
Peperangan yang disyariatkan oleh Islam pada zaman-zaman dahulu memiliki suatu tujuan yang jelas. Yaitu, menyingkirkan penghalang yang bersifat material di tengah jalan da'wah. Para penguasa dan raja-raja pada masa itu membuat penghalang yang sulit ditembus oleh da'wah Islam kepada bangsa mereka. Dan oleh karena itu Rasulullah saw mengirimkan surat-suratnya kepada mereka untuk mengajak mereka masuk Islam, dan menimpakan dosa serta tanggung jawab kesesatan umat mereka di pundak mereka, karena mereka sengaja menghalangi bangsa mereka untuk mendengarkan segala suara dari luar, karena raja-raja itu khawatir bahwa suara itu akan membangunkan keterlenaan mereka, membangkitkan hati nurani mereka, sehingga mereka terjaga dari tidur panjang mereka, kemudian memberontak terhadap kezaliman yang dilakukan oleh raja-raja mereka. Oleh karena itu, kita menemukan para raja itu membunuh para juru da'wah, atau segera memerangi kaum Muslimin, menghalangi dan mengacaukan kehidupan mereka yang tenang.
Pada saat ini, tidak ada lagi halangan bagi kita untuk melakukan da'wah, khususnya di negara-negara yang terbuka yang menganut aliran pluralisme. Kaum Muslimin dapat menyampaikan da'wah mereka melalui tulisan, suara, dan juga gambar. Mereka dapat menyampaikan da'wah melalui radio yang gelombangnya dipancarkan ke seluruh dunia. Mereka dapat berbicara kepada semua bangsa dengan bahasa kaum itu agar ajaran yang disampaikan dapat diterima dengan jelas.
Akan tetapi, banyak sekali para juru da'wah yang mengabaikan sama sekali kesempatan dan potensi ini; padahal mereka nanti akan diminta pertanggungan jawabnya di depan Allah SWT karena mengabaikannya, dan dimintai tanggungjawab mengenai ketidaktahuan penghuni bumi ini terhadap Islam.
Post a Comment