Shulh (berdamai)
Shulh
(berdamai)
. Shulh: adalah kesepakatan yang
diperoleh dengannya menghilangkan persengketaan di antara dua orang yang
bermusuhan.
. Hikmah disyari'atkan berdamai:
Allah
SWT mensyari'atkan berdamai untuk menyatukan di antara dua orang yang bermusuhan
dan menghilangkan perpecahan di antara keduanya. Dengan demikian, bersihlah
jiwa dan hilanglah rasa dendam. Mendamaikan di antara manusia termasuk ibadah
yang terbesar dan taat yang paling agung, apabila ia melaksanakannya karena
mengharapkan ridha Allah SWT.
. Keutamaan mendamaikan di antara manusia:
1. Firman Allah SWT:
﴿ ۞لَّا خَيۡرَ فِي كَثِيرٖ مِّن نَّجۡوَىٰهُمۡ
إِلَّا مَنۡ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوۡ مَعۡرُوفٍ أَوۡ إِصۡلَٰحِۢ بَيۡنَ ٱلنَّاسِۚ وَمَن
يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوۡفَ نُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا
١١٤ ﴾ [النساء : ١١٤]
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan
Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. An-Nisaa:
114).
2. Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata,
'Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ سُلاَمَى
مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ, كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ
يَعْدِلُ بَيْنَ النَّاسِ صَدَقَةٌ.
"Setiap sendi
dari manusia atasnya sedekah, setiap hari yang terbit matahari padanya
melakukan keadilan di antara manusia adalah sedekah."
(Muttafaqun 'alaih).[1]
. Berdamai disyari'atkan di antara kaum
muslimin dan orang-orang kafir, di antara orang-orang adil dan zalim, di antara
suami istri saat berselisih pendapat, di antara tetangga, karib kerabat, dan
teman-teman, di antara dua orang yang bermusuhan dalam persoalan selain harta,
dan di antara dua orang yang bermusuhan dalam masalah harta.
. Berdamai dalam masalah harta terbagi dua:
1. Berdamai atas iqrar (pengakuan):
Seperti
seseorang mempunyai tagihan benda atau hutang atas orang lain, keduanya tidak
mengetahui jumlahnya dan ia mengakuinya, lalu ia berdamai kepadanya atas
sesuatu, hukumnya sah. Dan jika ia mempunyai tagihan hutang atasnya yang jatuh tempo dan ia mengakui
atasnya, lalu ia merelakan sebagiannya dan menundanya sisanya, niscaya sah
merelakan dan menunda. Dan jika ia berdamai dari yang ditunda dengan
sebagiannya pada saat itu, hukumnya sah.
Perdamaian ini hanya sah apabila tidak disyaratkan dalam iqrar (pengakuan),
seperti ia berkata, 'Aku mengakui untuknya dengan syarat engkau memberikan saya
ini,' dan tidak menghalanginya haknya tanpa hal itu.
2. Berdamai atas pengingkaran:
Yaitu
bahwa mudda'i (yang mengaku) mempunyai hak yang tidak diketahui oleh mudda'a 'alaih (yang dituduh), lalu ia
mengingkarinya. Apabila keduanya berdamai atas sesuai, perdamaian itu sah. Akan
tetapi jika salah satu dari keduanya berdusta, tidak sah perdamaian itu pada
haknya secara batin, dan apa yang diambilnya adalah haram.
. Kaum muslimin berada di atas syarat
mereka, dan berdamai hukumnya boleh di antara kaum muslimin kecuali perdamaian
yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Dan
berdamai yang boleh adalah yang adil yang diperintahkan Allah SWT dan rasul-Nya
dengannya. Yaitu yang niatkan karena ridha Allah SWT darinya, kemudian ridha
dua orang yang bermusuhan. Dan Allah SWT memujinya dengan firman-Nya:
﴿ ...... وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ ........ ﴾ [النساء : ١٢٨]
"dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)"
(QS. An-Nisaa: 128).
. Perdamaian adil mempunyai beberapa
syarat, yang terpenting: Kelayakan dua orang yang berdamai, yaitu sah dari
keduanya transaksi secara syara', dan perdamaian itu tidak mengandung
pengharaman yang halal, atau penghalalan yang haram, dan salah seorang dari
yang berdamai tidak berbohong dalam dakwaannya, dan yang mendamaikan seorang
yang taqwa lagi alim terhadap realita, mengetahui yang wajib, bertujuan mencari
keadilan.
. Haram atas pemilik menimbulkan sesuatu
yang membahayakan tetangganya dengan apa yang dimilikinya, berupa mesin yang
kuat atau oven (tungku) dan semisal keduanya. Jika tidak membahayakan, maka
tidak mengapa. Dan bagi tetangga atas tetangganya ada hak-hak yang banyak, yang
terpenting: menghubunginya, berbuat baik kepadanya, tidak menggangunya, sabar
atas gangguannya, dan semisal yang demikian itu yang wajib kepada seorang
muslim.
Dari Ibnu Umar r.a, ia berkata, 'Rasulullah
SAW bersabda:
مَازَالَ
جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ. متفق
عليه.
"Jibril a.s
senantiasa berpesan kepadaku dengan (selalu berbuat baik) kepada tetangga,
sehingga aku mengira bahwa ia akan mewarisnya."
(Muttafaqun 'alaih).[2]
Post a Comment