Hukum Mengajak Anak Kecil ke dalam Masjid
Hukum Mengajak Anak Kecil ke
dalam Masjid
Manfaat
mengajak anak sibuk di masjid, dengan kesibukan yang
positif, sangat besar. Tidak bisa dipungkiri, betapa banyak anak yang semasa
kecilnya dijauhkan dari masjid, padahal diajarkan shalat dan membaca Al-Qur`an,
ketika dewasa, mereka tidak punya interest sama sekali terhadap masjid.
Asy-Syaikh Wahîd bin ‘Abdussalâm Bâli, pernah
mengeluhkan kondisi sebagian kaum muslimin yang acapkali menjauhkan masjid dari
anak-anak tanpa sadar. Dalam kitabnya Tis’un Khatha` fi Al-Masajid
(Mesir: Dar Ibnu Rajab, 2002 M) yang merupakan transkrip ceramah, master ruqyah
dari Mesir tersebut menyatakan keprihatinannya, “Sebagian pengurus masjid
ada yang jika melihat anak-anak kecil datang ke masjid, dengan cepat mereka
mengusirnya secara kasar dengan alasan untuk menjaga kebersihan. Perlakuan
seperti itu telah (dapat) menghalangi anak-anak dengan masjid sepanjang hidup
mereka.”
“Yang terbaik
adalah,” lanjut pemilik ijazah sanad Kutubut-Tis’ah tersebut, “Mengarahkan
anak-anak dengan cara yang baik, mengingatkan kesalahan mereka dengan cara yang
lembut. Anak-anak akan menjadi pemuda pada hari esok dan akan menjadi orang
dewasa di kemudian hari. Jika mereka tidak mencintai masjid, tidak mengenalnya,
dan tidak terbiasa dengannya, maka mereka tidak akan selalu ikut berjama’ah
(shalat di masjid). Para orang tua hendaknya mengajak anak-anak mereka ke
masjid agar mereka tumbuh dalam ketaatan kepada Allah.”
Sepertinya,
kita semua juga prihatin dengan kenyataan tersebut, dimana kita bisa menemukan
satu-dua masjid yang dijadikan area bebas anak, dan para penjaga masjid
tersebut mengusir anak-anak karena kemungkinan hanya akan membuat gaduh masjid
oleh tawa atau tangis atau teriakan mereka.
Pengasuh situs
interaktif www.islamqa.info, pernah ditanya mengenai kebisingan dan gelak tawa
anak-anak kecil di Masjidil Haram. Asy-Syaikh Muhammad Shâlih
Al-Munajjid menjawab dalam dokumen fatwanya nomor 132.895, “Hal itu tidak
masalah karena sudah tabiat anak-anak suka berbicara. Pada zaman Nabi a pun
demikian, Nabi mendengar kebisingan mereka, dan ibu-ibu mereka tidak melarang
mereka menghadiri shalat jama’ah bersama Nabi. Itu berarti boleh. Bahkan Nabi r juga mendengar tawa mereka. Ada catatan otentik dari Nabi bahwa
Nabi mendengar tawa anak-anak dan Nabi r tidak melarangnya.”
Lulusan King
Saud University of Petroleum & Minerals tersebut melanjutkan, “Keberadaan
anak-anak bersama ibunya di masjid sesungguhnya tidak masalah, asalkan ibunya
menjaga anak-anaknya dan menempatkannya di posisi yang aman agar tidak
mengotori masjid dan mengganggu orang-orang yang shalat. Nabi saw pernah membawa Umamah bin Zainab binti Rasulullah, cucu beliau,
ketika beliau mengimami shalat orang-orang.”
عن أبي قَتَادَةَ رضي الله عنه: بَيْنَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ
جُلُوسٌ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَحْمِلُ أُمَامَةَ بِنْتَ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ وَأُمُّهَا زَيْنَبُ
بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ صَبِيَّةٌ
يَحْمِلُهَا عَلَى عَاتِقِهِ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهِيَ عَلَى عَاتِقِهِ يَضَعُهَا إِذَا رَكَعَ وَيُعِيدُهَا إِذَا
قَامَ حَتَّى قَضَى صَلَاتَهُ يَفْعَلُ ذَلِكَ بِهَا [ أبو داود 783 و النسائي
704]
Abu
Qatadah ra. mengatakan: Ketika kami sedang duduk-duduk di masjid, Rasulullah muncul ke arah kami sambil menggendong Umamah binti Abil
Ash, -ibunya adalah Zainab binti Rasulullah -,ketika
itu Umamah masih kecil (belum disapih)-, beliau menggendongnya di atas pundak,
kemudian Rasulullah saw mengerjakan shalat, sedang Umamah masih di atas pundak beliau,
apabila ruku’ beliau meletakkan Umamah, dan apabila berdiri beliau
menggendongnya kembali, beliau melakukan yang demikian itu hingga selesai
shalatnya. [Sunan Abu Dawud no. 783; Sunan An-Nasa`I no. 704]
Benar sekali,
Nabi saw juga pernah berkhuthbah di masjid beliau sementara Hasan dan Husain , cucu beliau buah pernikahan ‘Ali dan Fathimah , berlarian di dalam masjid di antara para hadirin. Nabi tidak
melarang mereka sama sekali. Ketika mereka terjatuh, Nabi saw sampai berhenti berkhuthbah dan menggendong mereka.
Anak-anak
sangat besar kemungkinan bisa mengotori masjid bahkan membuat masjid terkena
kotoran-kotoran najis, baik kencingnya sendiri, atau mungkin anak-anak itu
buang hajat, atau terkena najis di luar masjid.
Memang, ada
perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha mengenai hukum masuknya anak-anak ke
dalam masjid, sebagaimana dicatat Dr. Huri Yasin Husain Al-Haiti dalam kitabnya Al-Masjid wa Risalatuhu fi
Al-Islam (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2007) , “Pertama, boleh
tanpa terkecuali, baik anak-anak yang sudah agak besar maupun yang masih sangat
kecil, baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum; pendapat ini diusung
sebagian ulama Hanabilah dan sekelompok ulama kontemporer. Kedua, boleh
sekaligus makruh; pendapat ini diusung sebagian ulama Syafi’iyah. Ketiga, boleh
bagi anak yang sudah mumayyiz tetapi makruh bagi anak yang belum mumayyiz tanpa
ada kepentingan mendesak; pendapat ini diusung sebagian ulama Syafi’i dan
Hanabilah.”
“Pendapat
terkuat adalah yang diusung kelompok pertama bahwa anak-anak boleh masuk ke
masjid,” pungkas Dr. Huri.
Lebih dari itu,
sejarah sudah mencatat dengan tinta emas, peran imperatif masjid bagi kehidupan
kaum muslimin bahkan bagi umat nonmuslim. Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, pakar
sejarah Islam kontemporer, melalui bukunya yang berjudul Ihya` 354 Sunnah
Nabawiyyah yang juga dimuat secara berseri di situs asuhan beliau
www.islamstory.com menyampaikan bahwa sangat penting untuk membawa serta
anak-anak shalat berjama’ah di masjid, dan masjid dalam Islam adalah tempat
bagi pendidikan anak-anak generasi Islam.
Al-Imam
Al-Azhary Al-Maliki dalam Jawahir
Al-Iklil syarh Mukhtasar Khalil 1/80 (cet. Dar Al-Fikr)
berkata, “Diperbolehkan mengajak anak kecil yang tidak suka bermain (saat di
masjid), dan mau berhenti saat dicegah. Apabila tetap bermain dan tidak mau
dicegah, maka tidak diperbolehkan mengajaknya, berdasarkan hadits (dha’if),
“Jauhkan masjid-masjid kalian dari orang gila dan anak kecil.”
Al-Imam An-Nawawi
As-Syafi’i dalam Al-Majmu Syarh Muhazzab 2/176 (cet.
Dar Al-Fikr) berkata, “Al-Imam Al-Mutawalli dan lainnya berkata, bahwa
membawa masuk hewan ternak, orang gila, anak kecil yang
belum mumayyiz ke dalam masjid hukumnya makruh, karena dikhawatirkan
akan mengotorinya. Namun hal itu tidak diharamkan karena sebagaimana disebutkan
dalam Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw menggendong Umamah binti Zainab
i dan berthawaf dengan menaiki unta. Hadis ini pun tidak bisa manghapus
kemakruhannya, karena Rasulullah saw melakukan hal itu dengan tujuan menjelaskan
bahwa hal itu diperbolehkan. Maka dari itu, hal tersebut tetap lebih utama bagi
Rasulullah saw Karena menjelaskan hukum, bagi beliau adalah wajib.”
Kita tidak
semestinya menjauhkan masjid dari anak-anak dan menjauhkan anak-anak dari
masjid. Adapun ulama/fuqaha yang memilih melarang anak-anak masuk masjid adalah
karena alasan lain yaitu alasan bahwasanya anak-anak berpotensi menggangu orang
shalat dan mengotori masjid. Ketika kita bisa memastikan anak-anak aman dari
potensi tersebut, maka kita tidak berdosa bahkan berpahala ketika kita
memasukkan anak-anak ke dalam masjid.
Khairuddîn bin
Muhammad ‘Ali Al-Wanli, penulis produktif yang juga pakar sya’ir dari Damaskus
memberikan sebuah anekdot yang diangkat dari kisah nyata, dalam kitabnya Al-Masjid
fi Al-Islam hal. 369 (Yordania: Al-Maktabah Al-Islamiyyah, 1414 H), “Salah
seorang pemilik sekolah dasar khusus melakukan tour, mereka melewati sebuah
biara. Para pengawas biara tersebut menyambut mereka dengan hangat dan
membagikan permen kepada anak-anak. Pengawas tersebut mengajak anak-anak
mengelilingi biara, menjelaskan sejarah dibangunnya dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak. Ketika keluar dari biara,
mereka melewati sebuah masjid kampung, bapak guru dengan murid-muridnya ingin
melaksanakan shalat. Namun ketika anak-anak masuk ke dalam masjid, pengurus
masjid berteriak dan mengusir mereka, “Ini adalah masjid dan bukan tempat
bermain anak-anak.”.”
Suatu hari Nabi saw mempercepat shalat Shubuhnya, lalu ditanyakan kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, kenapa engkau mempercepat shalat?” Beliau menjawab, “Aku
mendengar tangisan anak kecil, aku mengira bahwa ibunya shalat bersama kita,
maka aku ingin ‘melepaskan’ ibunya.” [Musnad Ahmad]
Setelah
mengutip hadits Abu Qatadah ra. yang sudah disebutkan di awal, Al-Wanli
menyimpulkan, “Begitulah Rasulullah memperlakukan anak-anak di masjid, kita
tidak boleh menyentak mereka, menakut-nakuti dan mengeluarkan mereka dari
masjid. Itu akan menjauhkan mereka dari shalat dan dari Islam, membiarkan
mereka menjadi makanan empuk bagi kerusakan dan bioskop –salah satunya-.”
Tak jauh
berbeda, setelah memaparkan hadits-hadits tentang banyaknya anak kecil yang ada
di dalam masjid Nabawi bersama Rasulullah saw, dalam kitab Ats-Tsamar Al-Mustathab 1/761, Al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin Al-Albani berkomentar, “Boleh
memasukkan anak ke masjid-masjid, walaupun mereka masih kecil dan masih
tertatih saat berjalan, walaupun ada kemungkinan mereka akan menangis keras,
karena Nabi saw menyetujui hal itu, dan tidak mengingkarinya, bahkan beliau
menyariatkan untuk para imam agar meringankan bacaan suratnya bila ada jeritan
bayi, karena dikhawatirkan akan memberatkan ibunya. Mungkin saja hikmah dari
hal ini adalah untuk membiasakan mereka dalam ketaatan dan menghadiri shalat
jamaah, mulai sejak kecil, karena sesungguhnya pemandangan-pemandangan yang
mereka lihat dan dengar saat di masjid -seperti: dzikir, bacaan qur’an, takbir,
tahmid, dan tasbih- itu memiliki pengaruh yang kuat dalam jiwa mereka, tanpa
mereka sadari… Pengaruh tersebut, tidak akan -atau sangat sulit- hilang saat
mereka dewasa dan memasuki perjuangan hidup dan gemerlap dunia. Dan sepertinya
Ilmu psikologi modern, menguatkan kenyataan bahwa anak kecil itu bisa
dipengaruhi oleh apa yang didengar dan dilihatnya… Adapun anak yang sudah
besar, maka terpengaruhnya mereka dengan hal-hal tersebut sangatlah jelas dan
tak terbantahkan. Hanya saja bila ada diantara mereka yang bermain dan
berlari-lari di masjid, maka wajib bagi bapaknya atau walinya untuk mengambil
tindakan (menghukumnya) dan mendidiknya… Atau wajib bagi petugas dan pelayan
masjid untuk mengusir mereka… Seperti inilah praktek kisah yang disebutkan oleh
Al-Hafizh Ibnu Katsir , “Dahulu ‘Umar bin Khaththab y bila melihat
anak-anak bermain di masjid, memukuli mereka dengan pecut, dan setelah Isya’
beliau memeriksa masjid, sehingga tidak menyisakan satu anak pun.”
Bahkan, pernah
terjadi pada masa Rasulullah saw, di mana para wanita dan anak-anak tertidur di masjid Nabawi
menanti pelaksanaan shalat jama’ah.
عن عائِشَةَ رَضيَ الله عَنْهَا قَالَتْ : أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً بِالْعِشَاءِ وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَفْشُوَ
الْإِسْلَامُ فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى قَالَ عُمَرُ نَامَ النِّسَاءُ
وَالصِّبْيَانُ فَخَرَجَ فَقَالَ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ ” مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ
مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرَكُمْ ” [ البخاري 533 ومسلم 1008 ]
‘Aisyah Radhiallohu 'anha mengatakan: Pada suatu malam,
Rasulullah pernah mengakhirkan shalat Isya’, -itu terjadi ketika Islam belum
tersebar luas-. Beliau tidak juga keluar hingga ‘Umar berkata, “Para wanita
dan anak-anak (yang menunggu di masjid) sudah tertidur.” Dan akhirnya
beliau keluar dan mengatakan kepada mereka yang berada di masjid, “Tidak ada
seorang pun dari penduduk bumi yang menunggu shalat ini selain kalian.”.
[Shahih Al-Bukhari no. 533; Shahih Muslim no. 1008]
Jadi jangan
pernah beranggapan wanita dan anak-anak tidak boleh tidur di masjid, walaupun
selama ini yang kita pahami hanya laki-laki yang boleh tidur di masjid. Dan
tidurnya anak-anak di masjid bukanlah sebuah aib bagi masjid. Sekali lagi, masjid
adalah rumah bagi setiap orang yang bertaqwa.
Asy-Syaikh
Fuhaim Mushthafa dalam buku spektakulernya di bidang pendidikan anak bertajuk Minhaj
Ath-Thifl Al-Muslim mendaftar sebelas manfaat mendekatkan Anda ke masjid,
sebagai berikut.
1.
Menjelaskan
kepada anak bahwa dia akan mendapat kesenangan batin ketika melaksanakan
syiar-syiar Islam di dalam masjid.
2.
Melatih
anak untuk selalu mengunjungi masjid secara teratur.
3.
Melatih
anak agar menjaga sopan santun ketika mendatangi masjid dan mengerjakan shalat
di dalamnya. Juga melatihnya agar menghormati orang-orang yang mengerjakan
shalat berjamaah bersamanya.
4.
Memperkuat
hubungan dan ikatannya dengan kaum muslimin yang lain melalui keberadaan dan
kunjungannya yang terus menerus terhadap masjid.
5.
Melatih
anak selalu mempraktekkan tingkah laku yang lurus dan mulia seperti mengucapkan
salam, bertindak hormat, berbicara, dan berdialog dengan sopan terhadap jamaah
yang shalat di dalam masjid.
6.
Mempererat
hubungan anak dengan jamaah kaum muslimin. Inilah salah satu tujuan shalat
berjamaah yaitu mewujudkan ruh bermasyarakat yang tinggi pada setiap
individunya.
7.
Selalu
menanyakan kaum muslimin yang tidak hadir, selalu mengunjungi mereka yang
sakit, dan lain sebagainya dari perbuatan-perbuatan mulia yang disukai.
8.
Menumbuhkan
ruh berjamaah, bekerja sama, saling mengun-jungi, dan saling mencintai di
antara sesama.
9.
Melatih
anak selalu memelihara masjid dan barang-barang yang ada di dalamnya, serta
tidak merusak masjid atau mengganggu orang-orang yang shalat di dalamnya.
1-
Membiasakan
anak selalu berinisiatif dan berjiwa sosial sesuai ajaran Islam. Seperti
membagi-bagi shadaqah, zakat mal, zakat fithrah, dan amal-amal sosial lainnya
yang sangat bermanfaat bagi kehidupan sosial manusia.
1-
Membiasakan
anak selalu melayani orang-orang yang shalat. Juga membiasakannya dengan
perbuatan-perbuatan lain yang menanamkan rasa tawadhu` (rendah diri) dan cinta
beramal secara ikhlas di jalan Allah .
Jika yang kita
tetap tidak ingin anak-anak mengotori masjid, maka bukankah sangat bijak jika
kita menyediakan ruang khusus untuk anak di masjid, baik untuk tempat mereka
shalat, atau menyediakan tempat bermain (play ground) di luar masjid,
menyediakan perpustakaan khusus anak yang berisi buku-buku dan alat permainan
edukatif yang menyenangkan. Ini semua adalah upaya edukatif agar anak-anak
selalu dekat dengan masjid sehingga nantinya ketika mereka dewasa, mereka
termasuk tujuh golongan yang dinaungi Allah SWT, yaitu orang-orang yang hatinya selalu terkait dengan masjid.
Bukankah kita
sangat ingin anak-anak kita menjadi pribadi yang shalih yang sangat mencintai
masjid? Adalah sangat membahagiakan ketika kita melihat anak-anak kita yang
awalnya mungkin selalu berbuat gaduh di masjid kemudian berubah menjadi anak
yang sangat khusyu’. ‘Amr bin Salamah pernah menjadi imam saat ia berumur 7
tahun. Peristiwa yang terjadi pada masa kenabian tersebut dijadikan dasar oleh
para ulama, jika ia sah menjadi imam, maka berdiri di mana pun sah (dalam shaf
shalat jama’ah). Ini pendapat kebanyakan ulama. Sedangkan menurut Al-Imam Ahmad
dan Ibnu Qudamah, anak-anak harus dibariskan di shaf belakang, meskipun jika
mereka berdiri bersama laki-laki dewasa, shalat seluruh jamaah tetap sah.
Jadi, mari kita dekatkan masjid kepada anak-anak
sehingga mereka mencintai masjid, dan mari kita dekatkan anak-anak kepada
masjid sehingga masjid tidak kehilangan calon generasi penerus yang nantinya
akan menjaga masjid dari tindak-tanduk bejat orang-orang jahil, dan
mempertahankan kelestarian masjid dan keagungannya.
Post a Comment