Menghormati dan Menghargai Ulama
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala,
shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ
يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُوْقِرْ كَبِيْرَنَا وَيَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ))
[
أخرجه أحمد والترمذي ]
“Bukan
termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang kecil dari kami dan
tidak menghormati yang tua dari kami, tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak
mencegah dari perbuatan munkar, serta tidak mengenal hak orang yang alim
(ulama) dari kami.’[1]
Sesungguhnya
membesarkan, menghormati dan menghargai ulama termasuk bagian dari
sunnah.Thawus bin Kaisan rahimahullah berkata: ‘Menghormati empat orang
ini termasuk sunnah: ulama, orang tua, penguasa/pemerintah, dan orang tua.’[2]Bahkan
membesarkan ulama karena ilmunya dan karena al-Qur`an yang dihapalnya merupakan
pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam riwayat Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إِنَّ مِنْ إِجْلاَلِ
اللهِ تَعَالَي: إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ
غَيْرَ الْغَالِي فِيْهِ وَلاَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ
الْمُقْسِطِ)) [ أخرجه أبو داود ]
“Termasuk
mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala: menghormati muslim yang sudah tua, menghormati
penghapal al-Qur`an yang tidak berlebihan padanya dan tidak kurang, dan
menghormati pemerintah yang adil.’[3]
Sungguh
para salafus shalih dari umat ini sangat menghormati para ulama mereka dan
beradab yang baik bersama mereka. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu
–padahal kedudukannya sudah tinggi- memegang tali tunggangan Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu seraya berkata: ‘Seperti inilah kami disuruh melakukan terhadap para
ulama dan pembesar kami.’[4]
Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu bercerita: ‘Aku menghadapi masalah dan mencari-cari para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka sungguh aku mendatangi
seorang laki laki karena suatu hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sampai berita kepadaku bahwa ia
pernah mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
ternyata aku menemukannya sedang tidur qailulalh (di pagi, siang hari), maka
aku memakai selendangku di depan pintu rumahnya, angin bertiup di wajahku
sampai ia keluar.
Ketika
keluar, ia berkata: ‘Wahai anak paman (sepupu) Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, ada apa denganmu? Aku berkata: ‘Sampai berita kepadaku
bahwa engkau menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka aku ingin mendengarkan langsung darimu.’ Ia berkata: ‘Kenapa
engkau tidak mengutus seseorang kepadaku hingga aku datang kepadamu.’ Aku
berkata: ‘Saya lebih pantas untuk datang kepadamu.’[5]
Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata kepada Khalaf al-Ahmar: ‘Aku tidak
duduk kecuali di hadapanmu, kami disuruh untuk tawadhu terhadap orang yang kami
belajar darinya.’[6]Ketika
Imam Muslim bin Hajjaj rahimahullah datang kepada imam al-Bukhari rahimahullah
dan mencium di antara kedua matanya, ia berkata: ‘Biarkan saya hingga mencium
kedua kakimu wahai guru para guru dan pemimpin pada ahli hadits serta dokter
dalam bidang hadits tentang ‘ilallnya...’[7]
Sungguhnya
termasuk kesempurnaan penghormatan para salaf termasuk para ulama mereka, bahwa
mereka merasakan wibawa mereka. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: ‘Aku menahan diri dua tahun ingin bertanya kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu tentang suatu hadits, tidak ada yang menghalangiku menanyakannya
kecuali karena wibawanya.’[8]
Sungguhnya
para ulama sudah banyak yang membicarakan
tentang tata cara bergaul (berinteraksi) bersama ulama dalam majelisnya,
metode berbicara bersamanya yang disebutkan secara panjang lebar dalam kitab
‘Adabul ‘Alim wal Muta’allim’, dan termasuk paling mencakup yang diriwayatkan
dalam hal itu adalah yang diucapkan oleh Ali bin Abu Thalib radhiyallahu
‘anhu:
‘Sesungguhnya
di antara hak ulama adalah engkau jangan banyak bertanya kepadanya, janganlah
engkau membantahnya dalam jawaban, janganlah engkau terus menerus bertanya
apabila ia malas, janganlah engkau memegang pakaiannya apabila ia bangkit,
janganlah engkau membuka rahasianya, jangan menggunjing seseorang di sisinya,
jika ia keliru engkau harus menerima/memaafkan kekeliruannya. Engkau harus
menghormati dan mengagungkannya karena Allah Subhanahu wa ta’ala selama
dia menjaga perintah Allah Subhanahu wa ta’ala, dan jika ia membutuhkan
sesuatu hendaklah engkau cepat-cepat mendahului yang lain.’[9]
Dan ia
berkata: ‘Di antara hak ulama terhadapmu adalah: apabila engkau mendatanginya,
hendaklah engkau memberi salam kepadanya secara khusus dan terhadap yang lain
secara umum, duduk di hadapannya, jangan menunjuk di hadapannya, janganlah
menggerakkan kedua matamu, janganlah engkau mengatakan ‘Fulan mengatakan
pendapat yang berbeda dengan pendapatmu’, janganlah engkau memegang bajunya,
janganlah engkau terus menerus bertanya kepadanya, maka sesungguhnya dia
seperti kedudukan pohon kurma yang basah dan senantiasa terus berjatuhan
sesuatu untukmu darinya.’[10]
[1]HR. Ahmad 1/257,
at-Tirmidzi 1986, dan Ibnu Hibban 1913.
[2]Disebutkan oleh al-Baghawi
dalam Syarh Sunnah 13/43.
[3]HR. Abu Daud 4843.
[4]Al-Hakim 3/423, Ibnu Abdil
Barr 1/228, al-Khathib ‘al-Jami’ li Akhlaq ar rawi...1/189.
[5]Ibnu Abdil Barr dalam
Jami’ Bayan ilmi wa fadhlih 1/81.
[6]Lihat Ibnu Jama’ah dalam
Tadzkirah as Sami’ wal Mutakallim’ hal. 88.
[7]Ibnu Katsir dalam
al-Bidayah wan Nihayah 11/340.
[8]Ibnu Abdil Barr dalam
Jami’ Bayan ilmi wa fadhlih 1/112
[9]Ibnu Abdil Barr dalam
Jami’ Bayan ilmi wa fadhlih 1/129
[10]Ibnu Abdil Barr dalam
Jami’ Bayan ilmi wa fadhlih 1/146.
Post a Comment