Siapakah Yang Dimaksud Ulama?
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
Ulama
adalah: orang-orang
yang mengenal syari’at syari’at Allah Shubhanahu wa ta’alla, memahami
dalam agama-Nya, mengamalkan ilmunya di atas petunjuk dan ilmu pengetahuan,
yang Allah Shubhanahu wa ta’alla memberikan hikmah kepada mereka:
﴿ يُؤْتِي
الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا
كَثِيرًا وَمَايَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
﴾ [البقرة: 269]
Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah
diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali
orang-orang yang berakal. (QS. al-Baqarah:269)
Para
ulama adalah: orang-orang yang Allah Shubhanahu wa
ta’alla menjadikan sandaran manusia kepada mereka dalam bidang fiqih dan
ilmu (agama), serta berbagai perkara agama dan dunia.[1]
Para
ulama adalah: para fuqaha Islam, orang-orang yang beredar fatwa terhadap
perkataan ini di tengah manusia (umat islam), orang-orang yang menentukan diri
dengan melakukan istinbath hukum-hukum Islam
dan memberikan perhatian khusus dengan mencatat kaidah-kaidah halal dari
yang haram.[2]
Para
ulama adalah: para pemimpin (imam) agama, mereka mendapatkan kedudukan agung
ini dengan ijtihad (kesungguhan) dan sabar serta kesempurnaan keyakinan:
﴿ وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا
وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
﴾ [السجدة: 24]
Dan Kami
jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka sabar.Dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat
Kami. (QS. as-Sajdah:24)
Para
ulama adalah: golongan yang berangkat (pergi/safar) dari umat ini untuk
mempelajari agama Allah Shubhanahu wa ta’alla, kemudian melaksanakan
kewajiban dakwah dan tugas memberikan peringatan:
﴿ وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ
مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ﴾ [التوبة: 122]
Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah:122)
Para
ulama adalah: orang orang yang memberi petunjuk kepada manusia, yang tidak
kosong/lowong satu masa/zaman dari mereka, sehingga datang perkara Allah Shubhanahu
wa ta’alla, mereka adalah pemimpin tha`ifah manshurah (golongan yang
selamat) hingga hari kiamat. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةٌ
بِأَمْرِ اللهِ لَايَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ أَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ
أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُوْنَ عَلىَ
النَّاسِ » [ أخرجه البخاري ومسلم ]
“Senantiasa satu golongan dari
umatku, melaksanakan perkara Allah Shubhanahu wa ta’alla, tidak membahayakan
mereka orang yang menghina mereka atau menentang (berbeda) sehingga datang perkara Allah Shubhanahu wa
ta’alla, sedang mereka nampak (menang) terhadap manusia.”[3]
Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata: ‘Adapun yang dimaksud dengan golongan ini, maka
imam al-Bukhari rahimahullah berkata: ‘Mereka adalah para ulama’. Imam Ahmad
bin Hanbal rahimahullah berkata: ‘Jika mereka bukan ahli hadits, maka saya
tidak tahu lagi siapakah mereka.’ Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata:
‘Sesungguhnya yang dimaksud imam Ahmad adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan
orang yang meyakini mazhab Ahli Hadits.’ Saya (an-Nawawi) berkata: ‘Bisa jadi
bahwa golongan ini terbagi-bagi di antara berbagai golongan kaum mukminin, di
antara mereka adalah para mujahid fi sabilillah, Ahli hadits, ahli zuhud,
orang-orang yang amar ma’ruf dan nahi munkar, dan di antara mereka berasal dari
berbagai golongan dari orang-orang baik (ta’at kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla), maka tidak mesti mereka berkumpul dalam satu kelompok, bahkan
bisa jadi mereka terpencar di berbagai penjuru dunia.’[4]
Pendapat
manapun yang paling kuat tentang golongan ini, maka sesungguhnya yang disepakati
bahwa para ulama adalah para pemimpin mereka yang diutamakan/dikedepankan
padanya dan manusia mengikuti mereka.Sesungguhnya para ulama, sekalipun jiwa
mereka sudah tidak ada, maka peninggalan mereka tetap ada. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu
‘anhu berkata: ‘Para ulama tetap ada sepanjang masa, jiwa mereka sudah
tidak ada dan peninggalan mereka tetap ada dalam jiwa.’[5]
Para
ulama adalah: Pemimpin jama’ah yang kita diperintahkan untuk mengikuti mereka
dan kita diperingatkan dari memisahkan diri-dari mereka.Dari Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَيَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ
الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَةِ» [ أخرجه البخاري ومسلم]
‘Tidak
halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak
disembah) selain Allah Shubhanahu wa ta’alla dan sesungguhnya aku adalah utusan
Allah Shubhanahu wa ta’alla, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara:
‘Tsayyib (yang pernah menikah) yang berzinah, membunuh orang lain, dan yang
meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah.’[6]
Dari Abu
Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ
خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ» [ أخرجه أحمد وغيره]
‘Siapa yang memisahkan diri dari
jama’ah sekadar satu jengkal maka sungguh ia telah melepaskan ikatan Islam dari
lehernya.’[7]
Dari Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Tetap bersama jama’ah dan
hindarilah bercerai berai, maka sesungguhnya syetan bersama satu orang, dan ia
lebih jauh dari dua orang, dan siapa yang menghendaki aroma surga maka hendaklah
ia selalu bersama jama’ah. Siapa yang kebaikannya menyenangkan hatinya dan
keburukannya menyedihkannya maka itulah seorang mukmin.’[8]
Sebagai kesimpulan dari ucapan
para ulama tentang makna jama’ah ada dua pendapat:
Pendapat
pertama: bahwa jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin apabila mereka berkumpul
terhadap satu imam secara syar’i.
Pendapat kedua:
bahwa jama’ah adalah manhaj dan thariqah (metode dan jalan) maka siapa yang
berada di atas petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabatnya dan salafus shaleh maka dia bersama jama’ah.
Dan di atas dua pendapat
tersebut, maka sesungguhnya pemimpin jama’ah ini adalah para ulama. Merekalah
yang melaksanakan bai’at untuk imam, taat kepadanya mengikuti terhadap ketaatan
mereka. Mereka adalah petunjuk di atas manhaj dan thariqah, karena pengetahuan
mereka dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta salafus shaleh. Karena
itulah, imam al-Ajury memaparkan dalam bab ‘Luzum Jama’ah’ beberapa ayat dan
hadits, kemudian ia berkata:
“Tanda orang yang Allah Shubhanahu
wa ta’alla menghendaki kebaikan dengannya adalah menelusuri jalan ini:
Kitabullah (al-Qur`an al-Karim) dan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sunnah para sahabatnya dan orang yang mengikuti mereka
dengan kebaikan, serta yang ada pada para pemimpin kaum muslimin di setiap
negeri, seperti: Auza’i, Sufyan ats-Tsaury, Malik bin Anas, asy-Syafi’i, Ahmad
bin Hanbal, Qasim bin Sallam rahimahumullah, dan orang yang seperti jalan mereka,
serta menjauhi setiap mazhab yang para ulama tersebut tidak berpendapat
kepadanya.’[9]
Bahkan, tatkala Abdullah bin
Mubarak rahimahullah ditanya: Siapakah jama’ah yang mesti diikuti? Ia menjawab:
‘Abu Bakar, Umar...ia terus menyebutkan hingga sampai kepada Muhammad bin
Tsabit, Husain bin Waqid.’ Ia ditanya lagi: ‘Mereka telah wafat, siapakah yang
masih hidup? Ia menjawab: Abu Hamzah as-Sukkary.’[10]
Maka ia menjadikan ulama adalah
jama’ah yang wajib diikuti.Sesungguhnya tuntutan perkara untuk mengikuti jama’ah
adalah bahwa seorang mukallaf wajib mengikuti sesuatu yang konsensus para
mujtahid, dan mereka itulah yang dimaksudkan al-Bukhari rahimahullah: ‘Dan
mereka adalah ahli ilmu.’[11]
[1]Lihat: ath-Thabari: Jami’ul Bayan 3/327
[2]Ibnul Qayyim: I’lamul Muwaqqi’in 1/7
[3]HR. Al-Bukhari 8/149 dan Muslim 1920
[4]Syarh Muslim 13/67.
[5]Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr: Jami’
Bayan Ilmi wa Fadhlih 1/68
[6]HR. Al-Bukhari 9/7, Muslim 3/1302, Ahmad
1/382, Abu Daud 4352, an-Nasa`i 7/90. Semuanya dari hadits Abdullah bin Mas’ud
radh.
[7]HR. Ahmad dalam Musnad 4/130, 202, 5/344,
Abu Daud 4/241 no. 475
[8]HR. Ahmad 1/18, at-Tirmidzi 3/315 no. 2254
[9]Asy-Syari’ah 14
[10]Mengutip dari asy-Syathiby: I’tisham 1/771
[11]Ibnu Baththal: mengutip dari Ibnu Hajar
rahimahullah: Fathul Bari 13/316
Post a Comment