DARAH KEBIASAAN WANITA
DARAH KEBIASAAN WANITA
Segala Puji bagi Allah.
Hanya kepada-Nya kita memuji, memohon pertolongan, meminta ampunan dan
bertaubat. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal
perbuatan. Barang siapa yang ditunjuki Allah maka
tiada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka
tiada yang dapat menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tiada Sembahan yang
Haq selain Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada
beliau, kepada keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang mengikuti
mereka dengan baik sampai hari kemudian.
Sungguh, masalah darah yang
biasa terjadi pada kaum wanita, yaitu Haid, istihadhah, dan nifas,
merupakan masalah penting yang perlu dijelaskan dan diketahui hukumnya, perlu
dipilah mana yang benar dan yang salah
dari pendapat para ulama dalam masalah ini. Dan hendaknya yang menjadi
sandaran dalam memperkuat dan memperlemah pendapat dalam hal tersebut adalah
dalil dari Kitab dan Sunnah, karena keduanya merupakan sumber utama yang
menjadi landasan dalam beribadah, yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala kepada para hamba-Nya.
Juga, karena bersandar
kepada Kitab dan Sunnah akan membawa kepada ketenangan jiwa, kebahagiaan dan
kepuasan batin serta membebaskan diri dari tanggungan.
Sedangkan, selain Kitab dan
Sunnah tidak dapat dijadikan hujjah, sebab yang sebenarnya hanyalah yang
terdapat dalam firman Allah, sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan perkataan Ahli ilmu dari para shahabat, menurut pendapat yang kuat, dengan
syarat tidak menyalahi apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, serta tidak
bertentangan dengan perkataan shahabat yang
lain.
Andaikata
menyalahi apa yang ada dalam Kitab dan Sunnah, maka wajib diambil apa yang ada
dalam Kitab dan Sunnah. Dan jika bertentangan dengan perkataan shahabat yang
lain, maka perlu dilakukan tarjih di antara kedua pendapat tersebut dan diambil
mana pendapat yang kuat. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala :
“Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. AnNisaa:59).
Dan risalah ringkas ini
merupakan penjelasan tentang masalah yang mendesak tersebut, yakni darah
kebiasaan kaum wanita dan hukum-hukumnya, yang pembahasannya meliputi:
Pasal
I: Makna haid dan hikmahnya.
Pasal
II: Usia dan masa haid.
Pasal
III: Hal hal diluar kebiasaan haid.
Pasal
IV: Hukum-hukum haid.
Pasal
V: Istihadhah dan hukum-hukumnya.
Pasal
VI: Nifas dan hukum-hukumnya.
Pasal VII :penggunaan alat
pencegah atau perangsang haid, pencegah kehamilan dan penggugur kandungan.
PASAL I
MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
1.
MAKNA HAID
Menurut bahasa, haid
berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut syara’ ialah: darah yang terjadi
pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu.
Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit,
luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena haid
adalah darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi
perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2.
HIKMAH
HAID
Adapun hikmahnya, karena
janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang
dimakan anak diluar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan
sesuatu makanan untuknya, maka Allah subhanahu wa ta'ala telah
menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai
zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna,
yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut
merasuk melalui plasenta dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah
sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena
itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid
lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang
haid, terutama pada awal masa menyusui.
PASAL II
USIA DAN MASA HAID
1- USIA HAID
Usia
haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah
mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah
usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang
mempengaruhinya.
Ad Darimi, setelah
menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan: “hal ini semua,
menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah.
Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah
tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”.
Pendapat Ad Darimi inilah
yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang wanita
mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun
atau di atas 50 tahun. Sebab Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya
mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah
ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum.
Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan
hal tersebut.
2-
MASA HAID
Ibnu
Al Mundzir mengatakan: “Ada
kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari
minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti
pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah subhanahu wa
ta'ala:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu
adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah: 222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah
kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas
hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat
(alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak
berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam shahih
Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
Aisyah yang haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah:
((
افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالبَيْت حَتَّى
تَطْهُرِي ))
“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan
melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci” (HR. Muslim: 4/30).
Kata Aisyah: “Setelah masuk
hari raya kurban, barulah aku suci”.
Dalam shahih Al-Bukhari,
diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
Aisyah:
((
انْتَظِرِيْ، فَإِذَا طَهُرْتِ فَاخْرُجِي إِلَى التَنْعِيْم ))
“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini
menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini
tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk
dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib
difahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhanahu
wa ta'ala, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan
Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang
diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan
hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang
shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang
zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan siapa yang berhak
menerimanya, tentang puasa; waktu dan masanya, tentang haji dan masalah-masalah
lainnya, bahkan tentang etika makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami-istri), duduk, masuk
dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari
buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar,
yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan
Allah kepada kaum mu’minin.
Firman Allah ta’ala:
“…Kami
turunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu."
(QS. An Nahl: 89).
“…Al-Qur’an
itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu…". (QS. Yusuf:
111).
Oleh karena itu pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab
Allah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka nyatalah bahwa
hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan
adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut
ada atau tidak adanya haid.
Dalil ini –yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam
Kitab dan Sunnah- berguna bagi anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu
agama lainnya, karena hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan
dalil syar’i dari kitab Allah, atau
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang
diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya
mengatakan: “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum
dalam Kitab dan Sunnah yaitu sebutan haid. Allah
tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci di antara dua
haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka
karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan
lainnya. Maka barang siapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti
ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah. (Risalah fil asmaa allati ‘allaqa Asy
Syaari al ahkaama bihaa, hal: 35).
Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar
dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan illat (alasan) haid sebagai
kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoranpun ada. Tidak ada
perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan
hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari ke enam belas dengan hari ke lima belas, atau hari ke
delapan belas dengan hari ke tujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah
kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat illat yang sama. Jika demikian,
bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya
sama dalam illat? Bukankah menurut Qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut
sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang
pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan menunjukkan bahwa dalam masalah
ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun semua itu merupakan
hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan juga bisa benar, tidak ada satu
pendapat yang lebih patut diikuti dari pada lainnya. Dan yang menjadi acuan
bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang
menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat
dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah
alami, bukan di sebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa
mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali jika keluarnya darah itu terus-menerus
tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam
sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan Insya
Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid.
Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Kata beliau pula: “Maka
darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui darah penyakit atau karena
luka.”
Pendapat ini sebagaimana
merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang
paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan
dari pada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat
inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan akidah agama Islam, yaitu
mudah dan gampang.
Firman Allah subhanahu wa
ta'ala:
“Dan
Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”
(QS. Al Hajj: 78).
Sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
((إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ
يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوا
وَأَبْشِرُوْا))
“Sungguh
agama (Islam) itu mudah, dan tidak seseorangpun yang mempersulit
(berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah
lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira” (HR. Al
Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa jika beliau diminta memilih dua perkara, maka
dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
3. HAID WANITA HAMIL
Pada umumnya, seorang wanita
jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad rahimahullah:
“kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.
Apabila wanita hamil
mengeluarkan darah sesaat sebelum melahirkan (dua atau tiga hari) dengan di
sertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas, tetapi jika terjadi
jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tapi tidak disertai rasa
sakit, maka darah itu bukan darah nifas. Jika bukan darah nifas, apakah itu
termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut
darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum darah haid? ada perbedaan
pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.
Dan pendapat yang benar,
bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut waktu
haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari rahim wanita adalah
darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak
ada keterangan dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan
terjadinya haid pada wanita hamil.
Inilah pendapat Imam Malik
dan As Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan
dalam kitab Al Ikhtiyar (hal: 30): “Dan dinyatakan oeh Al Baihaqi
menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan
bahwa Imam Ahmad telah kembali dari pendapat ini”.
Dengan demikian, terjadilah
sesuatu pada wanita hamil ketika haid, sebagaimana apa yang terjadi pada wanita
yang tidak hamil, kecuali dalam dua masalah:
1. Talak.
Diharamkan mentalak (mencerai) wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi
itu tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab talak (perceraian) dalam
keadaan haid terhadap wanita yang tidak hamil menyalahi firman Allah subhanahu
wa ta'ala:
“… apabila kamu
menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. Ath
Thalaq: 1).
Adapun mencerai wanita hamil
dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala.
Sebab, siapa yang mencerai wanita hamil berarti ia menceraikannya pada saat
dalam menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, karena masa
iddahnya adalah dalam kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mencerai wanita
hamil, sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), dan berbeda
hukumnya dengan wanita tidak hamil.
2. Iddah. Bagi
wanita hamil iddahnya berakhir pada saat melahirkan, meski pernah haid ketika
hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya” (QS. Ath Thalaq: 4).
PASAL III
HAL-HAL DI LUAR KEBIASAAN HAID
1.
Bertambah atau
berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari,
tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya,
biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.
2.
Maju atau
mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang wanita
biasanya haid pada akhir bulan lalu, tiba-tiba haid datang pada awal bulan.
Atau biasanya haid pada awal bulan, lalu tiba-tiba haid datang pada akhir
bulan.
Pendapat tersebut merupakan
madzhab Imam Asy Syafi'i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan
membelanya, ia berkata: “Andikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan,
menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi
penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat
dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan
penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu.
Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau
menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja.
3. Darah berwarna kuning atau keruh
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning
seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.
Jika hal ini terjadi pada
saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid
dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun jika terjadi sesudah masa suci,
maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh ummu
'Athiyah Radhiyalluhu ‘Anha:
(( كُنَّا لاَ نُعِدُّ
الصُّفْرَةَ وَالكُدْرَة بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا ))
“Kami tidak menganggap sesuatu apapun (haid) darah yang berwarna
kuning atau keruh sesudah masa suci”
Hadits ini diriwayatkan Abu
Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Bukhari tanpa kalimat “sesudah
masa suci”, tetapi beliau sebutkan dalam “Bab: Darah Warna Kuning Atau
Keruh Di luar Masa Haid” dan dalam fathul Baari dijelaskan: “itu
merupakan isyarat Al Bukhari umtuk memadukan antara hadits Aisyah yang
menyatakan, “sebelum kamu melihat lendir putih” dan hadits Ummu Athiyah yang
disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita
mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar
masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah”.
Hadits Aisyah yang dimaksud
yakni hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari pada bab sebelumnya, bahwa kaum
wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan
wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat
padanya darah berwarna kuning, maka Aisyah berkata: “janganlah tergesa-gesa
sebelum kamu melihat lendir putih” maksudnya cairan putih yang keluar dari
rahim pada saat habis masa haid.
4. Darah haid keluar secara terputus-putus
Yakni sehari keluar darah
dan sehari tidak keluar. Dalam hal ini terjadi 2 kondisi:
1.
Jika kondisi ini
selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah.
2.
Jika kondisi ini
tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadang kala saja datang dan dia
mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa
suci atau termasuk dalam hukum haid?
Madzhab Imam Asy Syafi'i,
menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk
dalam hukum haid, pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dan pengarang kitab Al Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah.
Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun
dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid yang
sesudahnyapun haid, dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena
jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan Quru’ (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu
pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan
menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal syariat tidaklah itu
menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut
madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti darah haid
dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah
maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah Istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al
Mughni: “jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak
dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan
dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu
diperhatikan. Dan inilah yang shahih, insyaallah. Sebab, dalam keadaan
keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar, sekali tidak) bila
diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu
hal itu menyulitkan, padahal Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
“… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu agama suatu kesempitan …” (QS. Al Hajj: 78).
Atas dasar ini, berhentinya
darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si
wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya
darah tersebut pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih (Al
Mughni, juz I, Hal: 355).
5. Terjadi pengeringan darah.
Yakni, si wanita tidak
mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada
saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi
sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid.
Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah
berwarna kuning atau keruh.
PASAL IV
HUKUM-HUKUM HAID
Terdapat banyak hukum haid, ada
lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami
anggap banyak diperlukan, antara lain:
1.
Shalat.
Diharamkan bagi wanita yang
sedang haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunnat, dan jika ternyata
mengerjakan shalat, maka shalatnya tidak sah. Tidak wajib baginya mengerjakan
shalat kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk
mengerjakan satu rakaat sempurna, baik pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu,
seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan
waktu sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat
maghrib tersebut setelah suci, karena ia telah mendapatkan sebagian dari
waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum datangnya haid.
Adapun contoh pada akhir
waktu: seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat
mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya mengqadha shalat
subuh tersebut setelah bersuci, karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari
waktunya yang cukup untuk satu rakaat.
Namun jika wanita yang haid
mendapatkan sabagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat
sempurna; seperti kedatangan haid -pada contoh pertama– sesaat setelah matahari
terbenam, atau suci dari haid –pada contoh kedua– sesaat sebelum matahari
terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
(( مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ ))
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia
telah mendapatkan shalat itu” (Hadits muttafaq ‘alaih).
Pengertiannya, siapa yang
mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid
mendapatkan satu rakaat
dari waktu ashar, maka wajib baginya mengerjakan shalat dzhuhur bersama
ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari
waktu Isya’ apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya’ ?
Terdapat perbedaan pendapat
di antara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib
baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja yaitu shalat
Ashar dan shalat Isya’, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((مَنْ
أَدْرَكَ رَكْعَةً مِن العَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ
العَصْرَ))
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum
matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar” (Hadits muttafaq
‘alaih).
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak menyatakan “maka ia telah mendapatkan shalat Dzhuhur dan
Ashar” juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Dzhuhur baginya. Dan menurut
kaidah: seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam
Abi Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab "syarh
Al Muhadzdzab juz III, hal. 70".
Adapun membaca dzikir,
takbir, tasbih, tahmid, dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan
lainnya, membaca hadits, fiqh, do’a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur’an,
maka tidak diharamkan bagi wanita haid, hal ini berdasarkan hadits dalam shahih
Al Bukhari dan Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersandar di pangkuan Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang
ketika itu sedang haid, lalu beliau membaca Al Qur’an.
Diriwayatkan pula dalam
shahih Al Bukhari dan Muslim Dari Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha bahwa
ia mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((
يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ وَالحُيَّضَ – يعني إلى صلاة العيد -
وَلْيَشْهَدْنَ الخَيْرَ وَدَعْوَةَ المُسْلِمِيْنَ وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ
المُصَلَّى ))
“ Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid- yakni ke
shalat Idhul Fitri dan Adha- serta
supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman.
Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat”
Sedangkan membaca Al Qur’an
bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dengan hati tanpa diucapkan
dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya, misalnya mushaf atau lembaran Al
Qur’an diletakkan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca.
menurut An Nawawi dalam kitab "Syarh Al Muhadzdzab" Juz II,
hal: 362, hal ini boleh tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu
membaca Al Qur’an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak
membolehkannya. Tetapi Al Bukhari, Ibnu Jarir At Thabari dan Ibnul Mundzir
membolehkannya.
Juga boleh membaca ayat Al
Qur’an bagi wanita haid menurut Imam Malik dan Asy syafi'i dalam pendapatnya
yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari, serta
menurut Ibrahim An Nakha’i sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Al Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: “Pada dasarnya tidak ada hadits
yang melarang wanita haid membaca Al Qur’an. Sedangkan pernyataan “wanita
yang sedang haid dan orang junub tidak boleh membaca Al Qur’an” adalah
hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita yang
sedang haid dilarang membaca Al Qur’an, seperti halnya shalat, padahal pada
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum wanitapun mengalami haid,
tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada umatnya, diketahui oleh istri beliau sebagai ibu kaum mu’minin, serta
disampaikan sahabat kepada orang lain. Namun, tidak ada seorangpun yang
menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya, padahal
banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram
hukumnya.
Setelah mengetahui perbedaan
pendapat diantara para ulama, seyogyanya, kita katakan, lebih utama bagi wanita
yang sedang haid tidak membaca Al Qur’an secara lisan, kecuali jika diperlukan.
Misalnya seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur’an kepada
siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam
membaca Al Qur’an, dan lain sebagainya.
2.
puasa
Diharamkan bagi wanita yang
sedang haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunnat, dan tidak sah puasa yang
dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha’ puasa yang wajib,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
(( كَانَ
يُصِيْبُنَا ذَلِكَ -تعني الحيض- فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ ))
“Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami
mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat (hadits muttafaq
‘alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika berpuasa maka
batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang Maghrib, dan
wajib baginya mengqadha puasa hari itu, jika puasa tersebut puasa wajib. Namun
jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelumnya, tetapi darah baru
keluar setelah Maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu
sempurna dan tidak batal, alasannya, darah yang masih dalam rahim belum ada
hukumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang
wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib
mandi? beliaupun menjawab:
(( نَعَمْ إِذَا هِيَ رَأَت
المَاءَ ))
"Ya, jika wanita itu melihat adanya air”.
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengaitkan hukum dengan air, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian
pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya
darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga pada saat terbitnya
fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari
itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar,
maka sah puasanya, sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya
orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub
dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya.
Dasarnya, hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
((كَانَ
النَّبِيُّ r يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَصُوْمُ
فِي رَمَضَانَ))
“Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berada dalam keadaan junub karena jima’, bukan karena mimpi, lalu
beliau berpuasa". (Hadits
muttafaq ‘alaih).
3.
Thawaf.
Diharamkan bagi
wanita yang sedang haid melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun
sunnah, dan tidak sah thawafnya, berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah:
(( افْعَلِيْ مَا
يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِيْ بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي ))
“Lakukanlah apa saja yang dilakukan jamaah haji, hanya saja
jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”
Adapun kewajiban lainnya seperti sa’i antara Shafa dan
marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan
amalan haji dan umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika
seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar darah haid
langsung setelah thawaf atau di tengah-tengah melakukan sa’i, maka tidak
apa-apa hukumnya.
4. Thawaf wada’
Jika seorang wanita
mengerjakan seluruh manasik haji dan umrah, lalu datang haid sebelum keluar
untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai batas waktu
pulang, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada’. Dasarnya hadits Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma:
((
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ
خُفِّفَ عَنِ الحَائِضِ ))
“Diperintahkan kepada jamaah haji saat-saat terakhir bagi mereka
berada di baitullah (melakukan thawaf wada’), hanya saja hal ini tidak
dibebankan kepada wanita yang sedang haid.” (Hadits muttafaq alaih).
Dan tidak disunnatkan bagi
wanita yang sedang haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram
dan berdo’a. karena hal ini tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, menurut ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah
Shafiyah Radhiyallahu ‘anha ketika dalam keadaan haid setelah thawaf
ifadhah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “kalau
demikian, hendaklah ia berangkat” (hadits muttafaq alaih ) . Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi
pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah
menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita
yang sedang haid, dan dilakukan setelah suci.
5.
Berdiam dalam masjid
Diharamkan bagi wanita yang
sedang haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam
tempat shalat Ied. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah Radhiyallahu ‘anha
bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((
يُخْرِجُ العَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الخُدُوْرِ، وفيه: وَيَعْتَزِلُ الحُيَّضُ
المُصَلَّى ))
“Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid… tetapi wanita
yang sedang haid menjahui tempat shalat” (muttafaq alaih).
6. Jima’ ( senggama)
Diharamkan bagi suami
melakukan jima’ dengan istrinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi
istri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: “haid
itu suatu kotoran: oleh sebab itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari wanita
di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci…" (QS. Al Baqarah: 222).
Yang dimaksud dengan “المحيض " dalam ayat di atas adalah waktu haid
atau tempat keluarnya darah haid, yaitu:
farji (vagina).
Dan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
(( اصْنِعُوْا
كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ ))
“Lakukanlah apa saja kecuali nikah (yakni: bersenggama).” (HR. Muslim).
Umat
Islam juga telah sepakat bahwa jima’ di dalam farji istri pada masa haid adalah
hal yang dilarang.
Oleh sebab itu, tidak halal
bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan ini,
yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul–Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan ijma’ (kesepakatan) umat
Islam. Maka barang siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi
Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman.
An Nawawi dalam kitabnya Al
Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, juz II, hal. 374, mengatakan: “Imam Syafi'i
berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan
menurut para sahabat kami dan yang lainnya, orang yang melakukan senggama
dengan istri yang sedang haid hukumnya kafir.
Untuk menyalurkan
syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima’ (senggama), seperti
berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina). Namun
sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusar dan lutut kecuali jika
sang istri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah
radhiyallahu ‘anha:
((
كَانَ النَّبِيُّ r يَأْمُرُنِيْ فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرَنِي وَأَنَا حَائِضٌ ))
“Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku mengenakan
kain lalu beliau mencumbuiku sedang aku dalam keadaan haid.” (muttafaq alaih).
7.
Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak istrinya yang sedang
haid, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya ( yang
wajar)". (QS. Ath Thalaq: 1).
Maksudnya, istri-istri itu ditalak dalam keadaan dapat
menghadapi iddah yang jelas. Berarti mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan
hamil atau suci sebelum digauli. Sebab jika seorang istri ditalak dalam keadaan
haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada
saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah. Sedangkan jika ditalak dalam
keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidak jelas karena
tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut apakah tidak
hamil, jika ia hamil, maka iddahnya dengan kehamilan, dan jika tidak hamil maka
iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka
diharamkan bagi suami mentalak istrinya sehingga jelas permasalah tersebut.
Jadi mentalak istri yang
sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat diatas dan hadits dari Ibnu Umar
yang diriwayatkan dalam shahih Al Bukhari dan Muslim serta kitab hadits
lainnya, bahwa ia telah menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar
(bapaknya) mengadukan itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Maka Nabipun marah dan bersabda:
(( مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ
تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ
يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ الله أَنْ
تُطَلَّقَ لَهَا
النِّسَاءُ ))
“Suruh ia merujuk istrinya kemudian mempertahankannya sampai ia
suci, lalu haid, lalu suci lagi, setelah itu, jika ia mau, dapat
mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli, karena itulah iddah yang
diperintahkan Allah dalam mentalak istri.”
Dengan demikian, berdosalah seorang suami andaikata mentalak
istrinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah subhanahu wa
ta'ala dan merujuk istrinya untuk kemudian mentalaknya secara syar’i sesuai
dengan perintah Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya. Yakni, setelah
merujuk istrinya hendaklah ia membiarkannya sampai suci dari haid yang
dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki
dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya
mentalak istri yang sedang haid, ada tiga masalah yang dikecualikan:
1. Jika talak terjadi sebelum bersenggama dengan istri
atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya) maka boleh
mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab dalam kasus demikian, istri tidak terkena
iddah. Maka talak tersebut tidak menyalahi firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“…Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar). (QS. Ath Thalaq: 1).
2.
Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana yang
telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
3. Jika talak tersebut atas dasar iwadh
(penggantian) maka boleh bagi suami menceraikan istrinya dalam keadaan haid.
Misalnya terjadi percekcokan
dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami dan istri. Lalu si istri
meminta suami agar mentalaknya dan suami mendapat ganti rugi karenanya, maka
hal itu, sekalipun istri dalam keadaan haid boleh, berdasarkan hadits dari Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhu:
(( أَنَّ
امْرَأَةَ ثَابِتٍ بن قَيْسٍ بن شَمَّاسٍ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ r
فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ الله إِنِّيْ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِيْ خُلُقٍ وَلاَ
دِيْنٍ، وَلَكِنْ أَكْرَهُ الكُفْرَ فِي الإِسْلاَمِ، فَقَـالَ النَّبِيُّ r:
أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُـوْلُ الله r:
اقْبَل الحَدِيْقِةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً )) رواه البخاري.
“Bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “ Ya Rasulullah, sungguh aku tidak
mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam
Islam” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “ Maukah kamu mengembalikan
kebunnya kepadanya? Wanita itu menjawab: “Ya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: (kepada suaminya): “Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia"
( HR.Al Bukhari ).
Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak bertanya apakah si istri sedang haid atau suci. Dan
karena talak ini dibayar oleh pihak istri dengan tebusan atas dirinya maka
hukumnya boleh dalam keadaan apapun, jika memang diperlukan.
Dalam kitab Al mughni
disebutkan tentang alasan dibolehkannya khulu’ (cerai atas permintaan istri
dengan tebusan) dalam keadaan haid: “Dilarangnya
talak dalam keadaan haid karena adanya
madharat (bahaya) bagi istri dengan menunggu lamanya masa iddah. Sedang khulu’
adalah untuk menghilangkan madharat (bahaya) bagi si istri disebabkan adanya
hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang
dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si istri
daripada menunggu lamanya masa iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat
yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya. Karena
itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya kepada wanita yang
meminta khulu’ tentang keadaannya.
Dan bibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid,
karena hal itu pada dasarnya adalah halal. Dan tidak ada dalil yang
melarangnya, namun perlu dipertimbangkan bahwa suami tidak diperkenankan
berkumpul dengan istri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan
akan menggauli istri yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika
dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk
menghindari hal-hal yang dilarang.
8.
'Iddah talak
dihitung dengan haid.
Jika seorang suami menceraikan istri yang telah digauli atau
berkumpul dengannya, maka si istri harus beriddah selama tiga kali haid secara
sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil, hal
ini berdasarkan pada firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’" (QS.Al Baqarah: 228).
Tiga kali quru’ artinya
tiga kali haid. Tetapi jika istri dalam keadaan hamil maka iddahnya ialah
sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan
firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya...” (QS.Ath Thalaq: 4).
Jika si istri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih
kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah
dioperasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat
haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan, sebagaimana firman Allah subhanahu
wa ta'ala:
“Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara
istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka
adalah tiga bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid
…"(QS. Ath Thalaq: 4).
Jika si istri termasuk wanita yang masih mengalami haid,
tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau
menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali
mendapati haid dan beriddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak
ada, seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara
haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari
tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan
kaidah-kaidah syar’iyah. Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada
sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita
yang terhenti haidnya karena sebab yang tak jelas; maka iddahnya yaitu satu
tahun penuh dengan perhitungan, sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk
kemungkinan hamil (karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan
masa iddahnya.
Adapun jika talak terjadi
setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli istrinya,
maka dalam hal ini tidak ada iddahnya sama sekali, baik dalam keadaan haid
maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah yang kamu minta
menyempurnakannya ..” (QS. Al Ahzaab: 49).
9. Keputusan bebasnya rahim.
Yakni bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan,
selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan
beberapa masalah. Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita
(istri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si
wanita setelah itu bersuami lagi. Maka suaminya yang baru itu tidak boleh
menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas
kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak
warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka
kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan, karena
kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya
haid.
10 . Kewajiban mandi
Wanita yang lagi haid, jika
telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya, berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy:
(( إِذَا
أَقْبَلَت الحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ
وَصَلِّيْ ))
“Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila
telah suci mandilah dan kerjakan shalat" (HR. Al Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membasuh seluruh anggota
badan dengan air sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. Yang lebih
utama, adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tatkala ditanya oleh Asma' binti sahl tentang mandi haid, beliau
bersabda:
((
تَأْخُذُ إِحْدِاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَهَا فَتُطَهِّرَ فَتُحْسِنَ الطُّهُوْرَ،
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتُدَلِّكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا، حَتَّى تَبْلُغَ
شُؤُوْنَ رَأْسِِهَا، ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا المَاءَ، ثُمَّ تَأْخُذُ فُرْصَةً مُمسَكَة - أَيْ قِطْعَةَ قُمَّاشٍ
فِيْهَا مِسْكٌ- فَتُطَهِّر بِهَا، فَقَالَتْ أَسْمَاءُ: كَيْفَ تُطَهِّرُ بِهَا؟
فَقَالَ: سُبْحَانَ الله، فَقَالَتْ عَائِشَـةُ لَهَا: تَتْبَعِيْنَ أَثَرَ الدَّمِ ))
“Hendaklah seseorang di antara kamu mengambil air dan daun
bidara lalu berwudhu dengan sempurna, kemudian mengguyurkan air ke bagian atas
kepala dan menggosok-gosokkannya dengan kuat sehingga merata ke seluruh
kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya, setelah itu,
mengambil sehelai kain yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. Asma’
bertanya:” bagaimana bersuci dengannya? Nabi menjawab: “Subhanallah”. Maka
Aisyah menerangkan dengan berkata:” Ikutilah bekas-bekas darah”. (Hadits
riwayat Muslim).
Tidak wajib melepas gelungan
rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikawatirkan air tidak sampai ke dasar
rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam shahih Muslim dari
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
إِنِّيْ امْرَأَةٌ أَشُدُّ
شَعْرَ رَأْسِيْ أَفَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الجَنَابَةِ؟ وَفِي رِوَايَةٍ:
لِلْحَيْضَةِ وَالجَنَابَةِ؟ فَقَالَ: (( لاَ إِنَّمَا يَكْفِيْكِ أَنْ تَحْثِي
عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيْضِيْنَ عَلَيْكِ الماَءَ فَتَطْهُرِيْنَ ))
“Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku
melepasnya untuk mandi junub? menurut riwayat lain: untuk (mandi) haid dan
junub? Nabi bersabda: “Tidak, cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman
(dengan tanganmu) lalu kau guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun
menjadi suci”.
Apabila wanita yang sedang
haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, maka ia harus segera mandi
agar dapat mendapatkan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan
dan tidak ada air, atau ada air tapi takut membahayakan dirinya jika menggunakan
air, atau dalam keadaan sakit dan berbahaya baginya jika menggunakan air, maka
ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya
tidak ada lagi, kemudian mandi.
PASAL
V
ISTIHADHAH DANHUKUM-HUKUMNYA
1.
Makna
Istihadhah.
Istihadhah adalah keluarnya darah terus-menerus pada seorang
wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua
hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni
keluarnya darah terus- menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al
Bukhari dari Aisyah Radhiayallahu ‘anha bahwa Fathimah binti Abu Hubaisy berkata
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
(( يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي
أُسْتَحَاضُ. وفي رواية: أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر ))
“Ya Rasulullah, sungguh aku istihadhah (tak pernah suci) Dalam riwayat lain: Aku mengalami istihadhah, maka
tak pernah suci”.
Dalam kondisi kedua, yakni
darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
((
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً )) رواه أحمد وأبو داود والترمذي
وصحح، ونقل عن الإمام أحمد تصحيحه وعن البخاري تحسينه.
“Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras
sekali” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi dengan menyatakan shahih,
disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al
Bukhari hasan.
2.
Kondisi wanita
mustahadhah.
1. Sebelum mengalami
istihadhah, ia mengalami haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaknya
ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada
masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid.
Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya
hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita
biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami
istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam
hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan
hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Fathimah binti Abi hubaisy
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ الله
إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُر أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ (( قَالَ: لاَ، إِنَّ
ذَلَكَ عِرْقٌ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِيْ كُنْتَ
تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ )) رواه البخاري.
“Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah, maka tidak
pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: “tidak, itu adalah
darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid
sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat” (HR.Al Bukhari).
Diriwayatkan dalam shahih
Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu
Habibah binti jahsy:
((
امْكُثِيْ قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَصَلِّيْ
))
“Diamlah (tinggalkan shalat) selama masa haid yang biasa
menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat”.
Dengan demikian, wanita yang
dalam istihadhah yang haidnya sudah jelas waktunya, maka ia menunggu selama
masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, meskipun darah pada saat itu
masih keluar.
2
. Tidak mempunyai
masa haid yang jelas sebelum mengalami istihadhah, karena darah istihadhah
tersebut terus-menerus keluar pada dirinya, sejak pertama kali ia mendapati
darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan);
seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental, atau berbau maka yang
terjadi adalah darah haid, dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak
demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum
istihadhah.
Misalnya; seorang wanita
pada saat pertama kali mendapati darah, dan darah itu keluar terus-menerus,
akan ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwarna hitam,
kemudian setelah itu berwarna merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam
sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan berbau
darah haid tetapi setelah itu tidak berbau. Maka haidnya yaitu: darah yang
berwarna hitam (pada kasus pertama). Darah kental (pada kasus kedua) dan darah
yang berbau (pada kasus ketiga) dianggap sebagai darah haidh.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti abu Hubaisy:
((
إِذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ
فَأَمْسِكِيْ عَن الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَصَلِّيْ
فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ )) رواه
أبو داود والنسائي وصححه ابن حبان والحاكم.
“Jika suatu darah itu darah haid, maka ia berwarna hitam
diketahui, jika demikian maka tinggalkan shalat. Jika selain itu maka
berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit. (HR. Abu dawud, An
Nasai dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim).
Hadits ini, meskipun perlu ditinjau
lagi dari segi sanad dan matannya, namun telah diamalkan oleh para ulama’. Dan
hal ini lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada
umumnya.
3. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya, dan darah
yang keluar tidak bisa dibedakan secara tepat. Seperti jika istihadhah yang
dialaminya terus- menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah. Sementara
darahnya hanya satu sifat saja, atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap
sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum
wanita pada umumnya. Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap
bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah. Sedang selebihnya
merupakan darah istihadah.
Misalnya, seorang wanita
pada saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus
menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui
warna ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama
enam atau tujuh hari mulai dari tanggal lima
tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits
Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ الله إِنِّي
أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيْرَةً شَدِيْدَةً فَمَا تَرَى فِيْهَا قَدْ مَنَعَتْنِي
الصَّلاَةَ وَالصِّيَامَ، فَقَالَ: (( أَنْعَتُ لَكِ (أَصِفُ لَكِ اسْتِعْمَالَ)
الكُرْسُفَ (وهو القطن) تَضَعِيْنَهُ عَلَى الفَرجِ فَإِنَّهُ يُذْهِبُ الدَّمَ ))
قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ. وَفِيْهِ قَالَ: (( إِنَّمَا هَذَا رَكْضَةٌ
مِنْ رَكَضَاتِ الشَّيْطَان، فَتَحِيْضِيْ سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةَ فِيْ
عِلْمِ الله تَعَالَى، ثُمَّ اغْتَسِلِيْ حَتَّى إِذَا رَأَيْتِ أَنَّكِ قَدْ
طَهُرْتِ وَاسْتَنْقَيْتِ فَصَلِّي أَرْبَعًا وَعِشْرِيْنَ أَوْ ثَلاَثًا
وَعِشْرِيْنَ لَيْلَةً وَأَيَّامَهَا وَصُوْمِيْ )) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصححه، ونقل عن أحمد
أنه صححه وعن البخاري أنه حسنه.
“Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadhah yang
deras sekali, lalu bagaimana pendapatmu tentang itu
karena telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: “Aku
beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatnya pada farji
(kemaluan) karena hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: “Darahnya
lebih banyak dari pada itu”. Nabipun bersabda: “ini hanyalah salah satu usikan
syaitan. Maka hitunglah haidmu 6 atau tujuh hari menurut ilmu Allah subhanahu
wa ta'ala, lalu mandilah sampai kamu merasa lebih bersih dan suci, kemudian
shalatlah selama 24 atau 23 hari, dan puasalah" (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
At Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut Al
Bukhari Adalah hasan.
Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam “ 6 atau 7 hari “ tersebut bukan untuk memberikan pilihan,
tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih
mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih
dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih
mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan yang
lainnya. Jika kondisinya lebih mendekati yang selama enam hari, maka dia hitung
masa haidnya 6 hari, tetapi jika kondisinya lebih mendekati yang 7 hari, maka
dia hitung masa haidnya 7 hari.
3. Hal wanita yang mirip istihadhah.
Kadang kala seorang wanita, karena suatu sebab, mengalami
pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya,
hal ini ada dua macam:
1- Diketahui bahwa si wanita tak mungkin haid lagi setelah
operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan
darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum
mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati cairan kuning,
atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu tidak boleh meninggalkan
shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya
darah, tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan
supaya melekatkan kain atau semisalnya (pembalut wanita) pada farjinya untuk
menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu seperti berwudhu untuk shalat. Tidak
boleh ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya. Jika shalat itu
telah tertentu waktunya seperti shalat lima
waktu; jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak
mengerjakannya, seperti shalat sunnah yang mutlak.
2- Tidak diketahui bahwa si wanita tidak bisa haid lagi
setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi, maka berlaku baginya hukum
mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy:
((
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِالحَيْضَةِ، فَإِذَا أَقْبَلَت الحَيْضَةُ
فَاتْرُك الصَّلاَةَ ))
“Itu
hanyalah darah penyakit, bukan haid, jika datang haid maka tinggalkan shalat”
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “ jika
datang haid ..” menunjukkan bahwa mustahadhah berlaku bagi wanita yang
berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti. Adapun wanita yang tidak
berkemungkinan haid maka darah yang keluar, pada prinsipnya dihukumi sebagai
darah penyakit.
4.
Hukum – hukum Istihadhah.
Dari penjelasan terdahulu, dapat kita
mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah
istihadhah. Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya
hukum-hukum haid, sedang jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlaku
pun hukum-hukum istihadhah.
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan dimuka.
Adapun hukum-hukum istihadhah seperti halnya hukum-hukum tuhr (keadaan
suci). tidak ada perbedaan antara wanita mustahadhah dan wanita suci, kecuali
dalam hal berikut ini:
a-
Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fatimah
binti Abi Hubaisy:
((
ثُمَّ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ )) رواه البخاري في باب غسل الدم.
“Kemudian
berwudhulah setiap kali hendak shalat (HR. Al Bukhari, Bab: membersihkan
darah).
Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak
berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk
waktunya. Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada
saat hendak melakukannya.
b-
Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sia darah dan
melekatkan kapas (pembalut) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamnah:
((
أَنْعَتُ لَكِ الكُرْسُف فَإِنَّه يُذْهِبُ الدَّمَ )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ
مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: (( فَاتَّخِذِيْ ثَوْبًا )) قَالَتْ: هُوَ أَكْثَرُ مِنْ
ذَلِكَ، قَالَ: فَتَلَجَّمِيْ ))
“Aku
beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap
darah”. Hamnah berkata: “darahnya lebih banyak dari pada itu, beliau Bersabda:
“Gunakan kain!” Kata Hamnah: Darahnya masih banyak pula” Nabipun bersabda:
“Maka pakailah penahan!”
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan
tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
((
اجْتَنِبِيْ الصَّلاَةَ أَيَّامَ تَحِيْضُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِيْ وَتَوَضَّئِيْ
لِكُلِّ صَلاَةٍ، ثُمَّ صَلِّيْ، وَإِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى الحَصِيْرِ )) رواه أحمد وابن ماجه.
“Tinggalkan
shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap
kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas” (HR. Ahmad dan
Ibnu Majah).
c-
Jima’ (senggama). Para ulama
berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi di mana bila ditinggalkan
tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak.
Karena ada banyak wanita, mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah
pada zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara Allah dan
Rasul-Nya tidak melarang jima’ dengan mereka. Firman Allah:
“...
Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid …” (QS. Al
Baqarah: 222).
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak
wajib menjauhkan diri dari istri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita
mustahadhah, maka jima’pun lebih boleh. Dan tidak benar jima’ wanita
mustahadhah dikiaskan dengan jima’ wanita haid, karena keduanya tidak sama,
bahkan menurut pendapat para ulama menyatakan haram (mengkiaskannya). Sebab
mengkiaskan sesuatu dengan hal yang berbeda adalah tidak sah.
PASAL VI
NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA
1.
Makna
Nifas
Nifas adalah darah yang
keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu,
sesudahnya atau sebelumnya (2 atau 3 hari) yang disertai rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: “Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah
darah nifas”. Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnya
yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan
nifas.
Atas dasar ini, jika darah
nifasnya melebihi 40 hari, pada hal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah
masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si
wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40
hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan
dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika
berhenti selama masa (40) hari, maka hendaklah hal tersebut dijadikan patokan kebiasaannya
untuk dia pergunakan pada masa mendatang. Namun jika darahnya terus-menerus
keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada
hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam
keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat,
berpuasa, dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah
itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan
dalm kitab Al Mughni.
Nifas tidak dapat
ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk
manusia, seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk
manusia maka darah yang keluar itu bukan darah nifas, tetapi dihukumi sebagai
darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita
mustahadhah.
Minimal masa kehamilan
sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan
pada umumnya 90 hari.
Menurut Al Majd Ibnu
Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab syarhul Iqna’: “Manakala seorang
wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu,
maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak
shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran ternyata tidak
sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi
kalau tidak ternyata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga
tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban”.
2- Hukum –hukum nifas
Hukum-hukum nifas pada
prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut
ini:
a. Iddah. Dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas.
Sebab jika talak jatuh sebelum istri melahirkan, iddahnya akan habis karena
melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan,
maka ia menunggu setelah haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.
b. Masa ila’. Masa haid termasuk masa ila’,
sedangkan masa nifas tidak.
Ila’ yaitu: jika seorang suami bersumpah tidak akan
menggauli istrinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila
ia bersumpah demikian dan si istri menuntut suami menggaulinya, maka suami
diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut suami
diharuskan menggauli istrinya, atau menceraikan atas permintaan istri. Dalam
masa ila’ selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung
terhadap suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas.
Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
c. Baligh. Masa
baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidak
mungkin bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang wanita terjadi dengan
datangnya haid yang mendahului kehamilan.
d. Darah haid jika berhenti lalu kembali keluar tetapi
masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya
seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari
haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan
kedelapan, maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah
darah haid.
Adapun darah nifas, jika
berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh,
maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa
fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya, dan terlarang
baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan
setelah suci, ia harus mengqadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah
yang diragukan, yaitu hal-hal yang wajib diqadha wanita haid. Inilah pendapat
yang masyhur menurut para fuqaha’ dari madzhab Hanbali.
Pendapat yang
benar, jika darah itu kembali keluar pada
masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk darah nifas. Jika
tidak, maka ia darah haid; kecuali jika
darah itu keluar terus-menerus maka merupakan darah istihadhah. Pendapat ini
mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab Al Mughni juz I, hal.
349, bahwa Imam Malik mengatakan: “Apabila seorang wanita mendapati darah
setelah dua atau tiga hari; yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.
Jika tidak, berarti ia darah haid”. Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada
sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal
yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan
pemahamannya. Padahal Al Qur’an dan sunnah berisi
penjelasan atas segala sesuatu. Allah tidak pernah mewajibkan seseorang
berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan
pertama yang tidak dapat diatasi dengan mengqadha’. Adapun jika seseorang dapat
mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya, maka ia telah terbebas dari
tanggungannya, sebagaimana firman Allah:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya” (QS.
Al-Baqarah: 286).
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu..”(QS. At- taghabun: 16).
e. Dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa
kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam
nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh
menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.
Tapi pendapat
yang benar, menurut pendapat kebanyakan
ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar’i yang
menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan oleh Imam
Ahmad dari Utsman bin Abu Al 'Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat
puluh hari, lalu ia berkata: “Jangan kau dekati aku!”.
Ucapan utsman tersebut tidak
berarti suami dilarang menggauli istrinya
karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Utsman, yakni khawatir
kalau istrinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan
disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a’lam.
PASAL VII
PENGGUNAAN ALAT PENCEGAH
ATAU PERANGSANG HAID, PENCEGAH
KEHAMILAN DAN PENGGUGUR KANDUNGAN
1. Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid,
dengan dua syarat:
a. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya, bila
dikhawatirkan membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman
Allah subhanahu wa ta'ala:
“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan.." (QS. Al
Baqarah: 195).
“…Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS.
An Nisaa': 29).
b. Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut
mempunyai kaitan dengannya. Contohnya; si istri dalam keadaan beriddah dari
suami yang masih berkewajiban memberi nafkah kepadanya, menggunakan alat
pencegah haid supaya lebih lama iddahnya dan bertambah nafkah yang
diberikannya. Hukumnya tidak boleh bagi si istri menggunakan alat pencegah haid
saat itu kecuali dengan seizin suami. Demikian juga
jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan, maka harus
dengan seizin suami.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak
menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan
sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan
keselamatan.
2. Perangsang
haid
Diperbolehkan juga menggunakan alat perangsang haid, dengan
dua syarat:
a.
Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan
diri dari suatu kewajiban. Misalnya; seorang wanita menggunakan alat perangsang
haid pada saat manjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak
shalat, dan tujuan negatif lainnya.
b.
Dengan seizin suami, karena terjadinya haid akan mengurangi
kenikmatan hubungan suami-istri. Maka tidak boleh bagi si wanita menggunakan
alat yang dapat menghalangi hak suami kecuali dengan restunya. Dan jika istri
dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurnya hak rujuk
bagi suami jika ia masih boleh rujuk.
3.
pencegah kehamilan
a.
Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk
selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah keturunan. Dan hal ini bertentangan dengan
anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memperbanyak jumlah umat
Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia
sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.
b.
Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara,
seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia
ingin mengatur jarak kehamilannya menjadi dua tahun sekali, maka penggunaan
alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak
membahayakan dirinya. Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan azl
terhadap istri mereka pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
melarangnya. Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama - dengan
menumpahkan sperma di luar farji (vagina) istri.
4.
Penggugur kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan ada dua macam:
a.Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan
janin, jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak diragukan lagi adalah haram, karena termasuk
membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang
dihormati haram hukumnya menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Namun jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan
boleh sebelum berbentuk segumpal darah, artinya sebelum berumur 40 hari. Ada pula yang membolehkan
jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan
tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan. Misalnya,
seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya,
dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menggugurkan kandungannya,
kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka hal ini
tidak diperbolehkan. Wallahu A’lam.
c.Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan
membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada
wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan.
Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu
maupun anaknya yang tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka
dalam masalah ini ada empat hal:
c.i
Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh
dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti sulit bagi si ibu
untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Demikian, karena tubuh adalah amanat
Allah subhanahu wa ta'ala yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak
boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat
yang amat besar. Selain itu, dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi
ini, tetapi ternyata membawa bahaya.
c.ii.
Jika ibu dan bayi yang di kandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh
dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
c.iii.
Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh
dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan dapat
membahayakan si ibu. Sebab menurut pengalaman wallahu a’lam bayi yang
meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan
operasi. Kalaupun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan ibu
pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup
tak bersuami jika ia dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
c.iv. Jika si ibu meninggal dunia, sedangkan bayi yang
dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini, jika bayi yang dikandung diperkirakan
tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun jika ada
harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh
dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut.
Tetapi jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar maka ada yang berpendapat
bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan
bayi yang dikandungnya, karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan.
Pendapat yang benar, boleh
dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika
tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah.
Dikatakan dalam kitab Al Inshaf :" pendapat ini yang lebih utama”.
Apalagi pada zaman sekarang ini, operasi bukanlah merupakan
tindakan penyiksaan. Karena setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan
kehormatan orang yang masih hidup lebih besar dari pada orang yang sudah
meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran
adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara,
maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a’lam.
Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur
kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran) harus ada
izin dari pemilik kandungan yaitu suami.
PENUTUP
Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul yang penting ini. Sengaja kami batasi pembahasan pada
pokok masalah dan kaidah umum. Jika tidak, maka segala cabang dan bagian
masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai samudra
tak bertepi. Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan
bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan
segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Perlu diketahui oleh seorang mufti (pemberi fatwa) bahwa
dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan
ajaran yang dibawa Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjelaskan kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al- Qur’an dan
sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami
dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan sunnah adalah salah, dan wajib ditolak, siapapun orang yang
mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya
mungkin dimaafkan karena berijtihad, tetapi orang lain yang mengetahui
kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.
Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena
Allah subhanahu wa ta'ala, selalu memohon maunah-Nya dalam segala
kondisi yang dihadapi, meminta kehadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada
kebenaran.
Al-Qur’an dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia
mengamati dan meneliti keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk
memahami keduanya.
Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari
pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan
hukumnya, bahkan mungkin tidak ditemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi
setelah kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan
itu dengan mudah dan gamblang. Hal itu sesuai dengan
keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.
Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa
dalam memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak
hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata
salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan fatwa yang terlanjur disampaikan tidak
bisa diluruskan.
Seorang mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti,
ucapannya akan dipercaya dan diperhatikan, tetapi jika dikenal ceroboh yang
sering kali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang.
Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan
orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.
Semoga Allah subhanahu wa ta'ala menunjukkan kita dan
kaum muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga
kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan. Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha
Mulia.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada
Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah,
dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.
Post a Comment