Ujian dari Allah dan Cara Mengatasinya
Ujian dari Allah dan Cara Mengatasinya
﴿ لَتُبْلَوُنَّ فِي
أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ ﴾ [ آل عمران : 186 ]
Artinya: “Kamu sungguh-sungguh akan diuji
terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar
dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu
bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang
patut diutamakan.”[1] (QS Âli ‘Imrân : 186)
Tafsir Ringkas
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Allah ta’âla mengabarkan dan
mengatakan kepada orang-orang mukmin bahwa mereka akan diuji pada harta mereka
dengan mengeluarkan nafkah-nafkah yang wajib dan juga yang sunnah serta dengan
kehilangan harta mereka untuk (beribadah/berjuang) di jalan Allah. (Mereka juga
akan diuji) pada diri-diri mereka dengan berbagai hal yang berat yang
dibebankan oleh banyak manusia.
(Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati) berupa celaan terhadap diri-diri, agama, Kitab dan Rasul kalian…Oleh karena itu, Allah berkata, ‘(Jika kamu bersabar dan bertakwa)‘ maknanya adalah jika kalian bersabar atas apa-apa yang kalian dapatkan pada harta dan diri kalian berupa ujian, cobaan dan gangguan dari orang-orang yang zolim, serta kalian dapat bertakwa kepada Allah di dalam kesabaran itu dengan meniatkannya untuk mengharap wajah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan kalian tidak melampaui batas kesabaran yang ditentukan oleh syariat yang mana pada saat itu tidak dihalalkan menghadapinya hanya dengan kesabaran, tetapi harus dengan membalas perlakuan musuh-musuh Allah. (Maka Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan) artinya itu termasuk urusan yang harus didahulukan dan saling berlomba-lomba untuk meraihnya. Tidaklah ada yang diberi taufik untuk dapat melakukan hal ini kecuali orang-orang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi sebagaimana firman Allah ta’âla, (artinya): ‘Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.’[2].”[3]
(Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati) berupa celaan terhadap diri-diri, agama, Kitab dan Rasul kalian…Oleh karena itu, Allah berkata, ‘(Jika kamu bersabar dan bertakwa)‘ maknanya adalah jika kalian bersabar atas apa-apa yang kalian dapatkan pada harta dan diri kalian berupa ujian, cobaan dan gangguan dari orang-orang yang zolim, serta kalian dapat bertakwa kepada Allah di dalam kesabaran itu dengan meniatkannya untuk mengharap wajah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan kalian tidak melampaui batas kesabaran yang ditentukan oleh syariat yang mana pada saat itu tidak dihalalkan menghadapinya hanya dengan kesabaran, tetapi harus dengan membalas perlakuan musuh-musuh Allah. (Maka Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan) artinya itu termasuk urusan yang harus didahulukan dan saling berlomba-lomba untuk meraihnya. Tidaklah ada yang diberi taufik untuk dapat melakukan hal ini kecuali orang-orang yang memiliki tekad kuat dan semangat tinggi sebagaimana firman Allah ta’âla, (artinya): ‘Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.’[2].”[3]
Sebab Turunnya Ayat (sababun-nuzûl)
Sebagian ayat-ayat Al-Qur’ân memiliki sebab mengapa ayat tersebut
diturunkan. Ayat ini diturunkan berhubungan dengan kisah yang terjadi di
pemukiman Al-Hârits bin Al-Khazraj (Madinah) sebelum terjadinya perang Badar.
Kaum muslimin ketika itu sedang berkumpul dengan kaum musyrikin dan
orang-orang Yahudi. Datanglah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam ke
tempat itu dan memberi salam. Di majlis itu ada ‘Abdullâh bin Ubai bin Salûl,
dia berkata, “Janganlah kalian mengotori kami!” Rasulûlullâhshallallâhu ‘alaihi
wa sallam pun mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam dan membacakan
Al-Qur’an kepada mereka. ‘Abdullâh bin Ubai menyahut, “Wahai lelaki! Apa yang
engkau katakan bukanlah sesuatu yang bagus. Jika itu adalah sesuatu yang
hak, maka Janganlah kamu mengganggu kami dengan perkataan itu! Kembalilah ke
hewan tungganganmu! Barang siapa mendatangimu, maka ceritakanlah perkataan
itu!”
Perkataan itu sangat menyakitkan hati kaum muslimin, sehingga terjadilah
pertengkaran di majlis itu antara orang-orang muslimin dengan orang-orang
kafir. Akhirnya, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun
menenangkan mereka. Setelah mereka tenang Rasûlullullâh shallallâhu
‘alaihi wa sallam pun kembali ke tunggangannya dan pergi. Setelah itu
Allah menurunkan ayat ini yang berisi perintah untuk bersabar atas
gangguan-gangguan orang-orang kafir.[4]
Penjabaran dan tafsir ayat
Ujian adalah sunnah kauniyah (ketetapan Allah yang
pasti akan terjadi) untuk setiap muslim
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ﴾
Artinya: “Kamu sungguh-sungguh akan diuji
terhadap hartamu dan dirimu.”
Ujian adalah sunnah
kauniyah untuk setiap muslim. Seorang muslim tidak mungkin mengelak dari
ujian tersebut. Oleh karena itu, Allah memberi dua penekanan pada ayat ini
dengan firman-Nya ( لَتُبْلَوُنَّ ) “kamu sungguh sungguh dan benar-benar
akan diuji.”[5]
Al-Mufassir Ibnu Katsir berkata, “Firman Allah (Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu) seperti firman-Nya:
(Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn’)[6]. Seorang mukmin
pasti akan diuji pada sesuatu dari harta, jiwa, anak dan keluarganya.“[7]
Allah subhânahu wata’âla juga berfirman:
﴿ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ
بَعْضَكُمْ بِبَعْض ﴾ [ محمد : 4]
Artinya: “Demikianlah,
apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah
hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain.” (QS Muhammad : 4)
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
(( وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى
يَمُرَّ الرَّجُلُ عَلَى الْقَبْرِ فَيَتَمَرَّغُ عَلَيْهِ وَيَقُولُ: يَا
لَيْتَنِي كُنْتُ مَكَانَ صَاحِبِ هَذَا الْقَبْرِ وَلَيْسَ بِهِ الدِّينُ إِلَّا
الْبَلَاءُ ))
Artinya: “Demi yang jiwaku berada di
tangannya! Dunia ini tidak akan fana, kecuali setelah ada seseorang yang
melewati sebuah kuburan dan merenung lama di dekatnya seraya berkata,
‘Seandainya aku dulu seperti penghuni kubur ini, tidak ada yang dirasakan pada
agamanya kecuali hanya ujian saja.’.”[8]
Kuatnya iman dan besarnya ujian selalu berbanding lurus
Semakin kuat keimanan seseorang, maka ujian yang akan diberikan oleh Allah
akan semakin besar. Rasulûllâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya oleh Sa’d bin Abî Waqqâsh radhiallâhu ‘anhu:
(( يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً قَالَ
الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ
دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى
دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ))
Artinya: “Ya Rasûlullâh! Manusia manakah yang
paling berat ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi kemudian orang-orang yang
semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar
keberagamaannya. Jika agamanya kuat maka akan ditambahkan ujian itu. Jika
agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar keberagamaannya.”[9]
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
(( إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ
إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ
فَلَهُ السَّخَطُ ))
Artinya: “Sesungguhnya besarnya pahala
tergantung dengan besarnya ujian. Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu
kaum, maka Dia akan mengujinya. Barang siapa yang rida dengan ujian itu maka ia
akan mendapat keridaan-Nya. Barang siapa yang membencinya maka ia akan
mendapatkan kebencian-Nya.”[10]
Mengapa Allah mengabarkan bahwa ujian ini pasti akan terjadi?
Ada beberapa faidah yang bisa kita “petik” dari pengabaran itu, di
antaranya:
1.
Kita akan mengetahui bahwa ujian tersebut mengandung hikmah Allah
ta’âla. Dengan hikmah itu, Allah membedakan muslim yang benar keimanannya
dengan yang tidak.
2.
Kita akan mengetahui bahwa Allah-lah yang mentakdirkan ini semua.
3. Kita akan bersiap-siap untuk menghadapi ujian itu
dan akan bisa bersabar serta akan merasakan keringanan dalam menghadapinya.[11]
Ujian tidak hanya dengan sesuatu yang buruk
Allah tidak hanya menguji seseorang dengan sesuatu yang buruk. Akan tetapi,
Allah juga menguji seseorang dengan sesuatu yang baik. Allah subhanahu wa
ta’âla berfirman:
﴿ كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ
وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴾ [الأنبياء:
35 ]
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan Hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS Al-Anbiyâ’
: 35)
Terkadang seorang muslim apabila ditimpa dengan musibah dan kesusahan, maka
dia dapat bersabar. Akan tetapi, begitu dia diberikan kenikmatan yang berlebih
maka terkadang dia tidak bisa “lulus” dari ujian tersebut. ‘Abdurrahman bin
‘Auf radhiallâhu ‘anhu pernah berkata:
(( ابْتُلِينَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالضَّرَّاءِ فَصَبَرْنَا ثُمَّ ابْتُلِينَا بِالسَّرَّاءِ بَعْدَهُ
فَلَمْ نَصْبِرْ ))
Artinya: “Kami diuji dengan
kesusahan-kesusahan (ketika) bersama Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa
sallam dan kami dapat bersabar. Kemudian kami diuji dengan
kesenangan-kesenangan setelah beliau wafat dan kami pun tidak dapat bersabar.”[12]
Ujian itu adalah rahmat dari Allah
Ujian yang diberikan oleh Allah adalah rahmat kepada seluruh manusia
terlebih lagi untuk kaum muslimin.
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ
وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
﴾ [ محمد: 31 ]
Artinya: “Dan Sesungguhnya
kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang
berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya)
hal ihwalmu.” (QS Muhammad : 31)
Dengan adanya ujian itu, akan tampak orang yang benar-benar beriman dengan
yang tidak. Ini adalah rahmat dari Allah. Allah subhânahu
wata’âla berfirman:
﴿ أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا
يُفْتَنُونَ ﴾ [ العنكبوت: 2]
Artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami Telah beriman’, sedang mereka tidak diuji
lagi?” (QS Al-‘Ankabût : 2)
Ujian yang lebih berat dari harta dan jiwa
Ternyata ada ujian yang lebih berat dari ujian pada harta dan jiwa. Apakah
ujian tersebut? Allahsubhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا﴾ [ آل
عمران : 186 ]
Artinya: “Dan (juga) kamu
sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu
dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang
menyakitkan hati.”
Dengan penggalan ayat tersebut kita dapat menjawab pertanyaan di atas.
Ujian yang lebih berat dari hal-hal tersebut adalah ujian pada agama kita.
Kalau kita memperhatikan makna ayat yang kita bahas ini, maka kita akan
menemukan bahwa Allah mengurutkan ujian-ujian tersebut dari yang lebih ringan ke
yang lebih berat. Ujian pada harta lebih ringan daripada ujian pada jiwa. Ujian
pada jiwa lebih ringan daripada ujian pada agama. Seseorang bisa saja memiliki
harta yang melimpah dan badan yang sangat sehat, tetapi jika dia keluar dari
agama Islam karena tidak tahan dengan cemohan orang-orang kafir, maka ini
adalah sesuatu kerusakan yang besar baginya, baik di dunia maupun di akhirat.
Orang-orang kafir tidak akan berhenti mengganggu kaum muslimin
Gangguan dari orang-orang kafir, baik berupa ejekan maupun tindakan fisik,
pasti akan terus ada. Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
﴿ وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ
بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ﴾ [ البقرة: 109 ]
Artinya: “Sebahagian besar
ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran
setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri,
setelah nyata bagi mereka kebenaran, maka maafkanlah dan biarkanlah mereka,
sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah : 109)
Dan juga firman-Nya:
﴿ وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى
تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ
اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ
اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ ﴾ [ البقرة: 120 ]
Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak
akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:
‘Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya
jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka
Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah : 120)
Hakikat ahlul-kitâb berbeda berbeda dengan orang-orang musyrik
Dari ayat di atas, Allah subhânahu wa ta’âla membedakan
antara ahlulkitâb (Yahudi dan Nasrani) dengan kaum musyrikin. Ini
menunjukkan bahwa hakikat dari Ahlul-kitâb dan musyrikin itu berbeda.
Meskipun mereka berbeda, mereka tetap memiliki kesamaan yaitu kesamaan dalam
kekafiran. Tempat kembali mereka di akhirat nanti adalah neraka –na’udzu
billah min dzalik-.
Cara yang diajarkan oleh Allah untuk menghadapi segala ujian
Allah tidak akan melalaikan hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Allah juga
mengajarkan kepada kaum muslimin bagaimana cara menghadapi ujian tersebut.
Allah subhânahu wa ta’âlaberfirman:
﴿ وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ ﴾ [ آل عمران : 186 ]
Artinya: “Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”
Menghadapi semua ujian harus dengan kesabaran dan ketakwaan. Hukum bersabar
dan bertakwa dalam menghadapi ujian bukanlah sunnah, tetapi itu adalah sesuatu
yang wajib dikerjakan oleh semua muslim.
Penyebutan kesabaran yang berdampingan dengan ketakwaan di dalam
Al-Qur’an
Setidaknya, di Al-Qur’an ada enam tempat dimana Allah menggabungkan kata
kesabaran dan ketakwaan dalam konteks yang sama, yaitu: di dalam surat Ali
‘Imran ayat 118, 125, dan 186, di dalam surat Yusuf ayat 90, di dalam surat
An-Nahl ayat 125 hingga 128 dan surat Thâha ayat 132.[13] Ini menunjukkan bahwa
kesabaran memiliki hubungan yang sangat erat dengan ketakwaan.
Hasil yang didapatkan dengan bersabar
Orang yang dapat bersabar menghadapi semua ujian akan memperoleh
hal-hal yang terpuji, di antaranya[14]:
2.
Dia akan mendapatkan keberkatan yang sempurna,
rahmat dan petunjuk dari Allah.
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman (artinya): “Mereka Itulah
yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka
Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah : 157)
1.
Dia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Allah subhânahu wa
ta’âla berfirman (artinya): “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS Fushshilat : 35)
2.
Dia akan mendapatkan pahala tanpa batas. Allah subhânahu wa
ta’âla berfirman (artinya): “Sesungguhnya Hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar : 10)
3.
Dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah ta’âla. Rasûlullâh shallallâhu
‘alaihi wa sallambersabda:
)فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي
عَلَى الْأَرْضِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ(
Artinya: “Ujian itu akan selalu menimpa seorang hamba
sampai Allah membiarkannya berjalan di atas bumi dengan tidak memiliki dosa.”[16]
Dakwah pun pasti penuh dengan ujian
Para dai (pendakwah) adalah penerus Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam. Mereka adalah orang yang akan mendapatkan ujian yang paling berat. Oleh
karena itu, mereka dituntut untuk dapat berilmu, beramal dan berdakwah. Mereka
tidak hanya akan diuji dengan kekurangan harta, kelelahan fisik dan lain-lain,
tetapi mereka juga akan diuji dengan ejekan, cemohan dan fitnah, baik dari kaum
muslimin sendiri maupun dari kaum kafirin. Di antara mereka ada yang dapat
bersabar menghadapinya dan terus berdakwah di masyarakat, tetapi ada juga yang
tidak bisa bersabar dan mencari tempat yang sepi untuk menjauhi masyarakat.
Para pendakwah yang dapat bersabar menghadapi gangguan dari masyarakat lebih
baik daripada yang tidak dapat bersabar. Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
(( الْمُسْلِمُ إِذَا كَانَ مُخَالِطًا النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى
أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنْ الْمُسْلِمِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ
عَلَى أَذَاهُمْ ))
Artinya: “Seorang muslim yang berkecimpung dengan
manusia dan dapat bersabar atas gangguan-gangguan mereka lebih baik dari muslim
yang tidak berkecimpung dengan mereka dan tidak sabar dengan gangguan mereka.”
Kesimpulan dan faidah dari ayat
1.
Ujian pada harta, diri dan agama adalah sunnah
kauniyah (ketetapan Allah yang pasti terjadi) pada setiap muslim.
2.
Kaum kafirin akan selalu mengganggu kaum muslimin, baik dengan perkataan
ataupun perbuatan
3.
Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar mereka bisa bersabar dan
bertakwa untuk menghadapi seluruh ujian tersebut.
Tamma bifadhlillâh wa karamihi. Mudah-mudahan
tulisan ini bermanfaat. Jember, Shafar 1431
H
[1] Lihat
terjemahan ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya di dalam artikel ini di
‘Al-Qur’an dan Terjemahannya’ yang diterbitkan oleh Mujamma’ Al-Malik
Fahd: Madinah Munawwarah, KSA.
[2] QS
Fushshilat : 35
[3] Taisîr
Al-Karîm Ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân hal. 160.
[4] Penulis
ringkas dengan bahasa bebas dari Shahîh Al-Bukhâri no. 4577
(Kitab At-Tafsîr, Surat Âli ‘Imrân)
[5] Syaikh
Ibnu ‘Âsyûr berkata, “Allah memberi penekanan pada kata kerja ini dengan lâm
al-qasam dan nûn at-taukîd asy-syadîdah untuk
menunjukkan bahwa ujian itu akan benar-benar terjadi. Karena nûn
at-taukîd asy-syadîdah lebih kuat dari segi pendalilan daripada (nûn)
at-taukîd alkhafîfah.” (At-Tahrîr wa At-Tanwîr Jilid IV hal.
189)
[6] QS
Al-Baqarah : 155-156.
[7] Tafsîr
Al-Qur’an Al-‘Adzîm milik Ibnu Katsîr Jilid II hal. 179
[8] HR
Muslim no. 7302
[9] HR
At-Tirmidzi No. 2398, An-Nasâi di As-Sunan Al-kubrâ no. 7482 dan Ibnu
Mâjah No. 4523 (Hadits ini di-shahih-kan oleh Syaikh
Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 143 dan Al-Misykah no.
1562).
[10] HR
At-Tirmidzi no. 2396 dan Ibnu Mâjah no. 4031 (Hadîts ini di-shahîh-kan
oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 146).
[11] Lihat Taisîr
Al-Karîm Ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân hal. 160.
[12] HR
At-Tirmidzi no. 2464 (Hadîts ini di-hasan-kan sanadnya
oleh Syaikh Al-Albâni di Shahihwa Dha’îf Sunan
At-Tirmidzi jilid V hal. 464.
[13] Untuk
empat dari keenam tempat itu penulis mendapatkan faidah dari Daqâiq
At-Tafsîr Al-Jâmi’ Li Tafsîr Ibni Taimiyah jilid II hal. 299-300,
adapun sisanya penulis memanfaatkan Software Maktabah Syâmilah untuk
mencarinya.
[14] Poin
ke-2 hingga ke-4 Penulis mengambil faidah dari Adhwâ’ Al-Bayân jilid
I hal. 187
[15] Lihat At-Tahrîr
wa At-Tanwîr jilid IV hal. 190
[16] HR
At-Tirmidzi no.2398 , An-Nasâ’i di As-Sunan Al-kubrâ no.
7482 dan Ibnu Mâjah no. 4523 (Hadîts ini di-shahîh-kan
oleh Syaikh Al-Albâni di Ash-Shahîhah no. 143
dan Al-Misykâhno. 1562).
Post a Comment