Al-Qur'an Membela Hamba di Hari Kiamat
Al-Qur'an Membela Hamba di Hari Kiamat
Dari Abdullah bin Umar r.huma. berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
“(pada hari Kiamat kelak) akan diseur kepada ahli al Qur’an, ‘Bacalah dan teruslah naik, bacalah dengan tartil seperti yang engkau telah membaca dengan tartil di dunia, karena sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.”
(Hr. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu Haban)
“(pada hari Kiamat kelak) akan diseur kepada ahli al Qur’an, ‘Bacalah dan teruslah naik, bacalah dengan tartil seperti yang engkau telah membaca dengan tartil di dunia, karena sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.”
(Hr. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu Haban)
Maksud ‘ahli al Qur’an dalam hadits ini adalah hafizh al Qur’an. Mulla Ali Qari rah.a. menjelaskan bahwa keutamaan itu hanya diberikan kepada hafizh al Qur’an, tidak termasuk orang yang membaca al Qur’an dengan melihat nash. Alasannya adalah: pertama, karena lafazh itu memang ditujukan kepada ahli al Qur’an. Kedua, sesuai dengan hadits yang diriwayat oleh imam Ahmad,
“…Sehingga ia membaca sesuatu yang bersamanya.”
“…Sehingga ia membaca sesuatu yang bersamanya.”
Kalimat ini cenderung ditujukan kepada hafizh al Qur’an, meskipun ada kemungkinan orang yang selalu membaca al Qur’an juga dapat termasuk di dalamnya.
Disebutkan didalam kitab Mirqaat bahwa hadits ini tidak berlaku bagi pembaca al Qur’an yang dilaknat oleh al Qur’an. Hal ini berdasarkan hadits yang menyebutkan bahwa banyak orang yang membaca al Qur’an, tetapi al Qur’an melaknatnya. Oleh sebab itu, banyaknya membaca al Qur’an yang dilakukan oleh orang yang aqidahnya menyimpang tidaklah dapat dijadikan dalil (bukti) bahwa ia adalah orang yang diterima disisi Allah. Banyak hadits semacam ini yang membicarakan tentang kaum Khawarij.
Mengenai ‘tartil’, Syaikh Abdul Aziz (nawwarullaahu marqadahu) menulis di dalam tafsirnya bahwa arti asal ‘tartil’ adalah membaca dengan terang dan jelas. Sedangkan artinya menurut syar’I adalah membaca al Qur’an dengan tertib seperti dibawah ini:
1. Setiap huruf harus diucapkan dengan makhraj yang benar, sehingga ط tha’ tidak dibaca تَta’ danضَ dha tidak dibacaظ zha.
2. Berhenti pada tempat yang benar, sehingga ketika memutuskan atau melanjutkan bacaan tidak dilakukan ditempat yang salah.
3. Membaca semua harakat dengan benar, yakni menyebut fathah, kasrah dan dhammah dengan perbedaan yang jelas.
4. Mengeraskan suara sampai terdengar oleh telinga kita, sehingga al Qur’an dapat mempengaruhi hati.
5. Memperindah suara agar timbul rasa takut kepada Allah, sehingga mempercepat pengaruh kedalam hati. Orang yang membaca dengan rasa takut kepada Allah, hatinya akan lebih cepat tepengaruh serta menguatkan nurani dan menimbulkan kesan yang mendalam di hati kita. Menurut para ahli pengobatan, jika ingin obat lebih cepet berpengaruh kehati, sebaiknya obat itu dicampur dengan wewangian. Obat dapat lebih cepat berpengaruh ke lever jika dicampur rasa manis, karena lever mempunyai rasa manis. Oleh sebab itu saya berpendapat, jika seseorang memakai wewangian saat membaca al Qur’an, akan lebih menguatkan kesan dalam hatinya.
6. Membaca dengan sempurna dan jelas setiap tasydid dan madnya. Jika membaca dengan lebih jelas, maka akan menimbulkan keagungan Allah serta mempercepat masuknya kesan dalam hati kita.
7. Memenuhi hak ayat-ayat rahmat dan ayat-ayat adzab, seperti yang telah diterangkan sebelunnya.
Itulah tujuh hal yang dimaksud tartil. Dan tujuan semua itu adalah satu, yaitu agar dapat memahami dan meresapi isi kandungan al Qur’an.
Seseorang bertanya kepada Ummul Mu’minin, Ummu Salamah r.ha., “Bagaimanakah Rasulullah saw. membaca al Qur’an?” Ia menjawab, “Beliau menunaikan setiap harakatnya; fathah, dhammah, dan kasrah dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan sangat jelas. Juga setiap hurufnya dibaca dengan terang dan jelas.”
Membaca dengan tartil itu mustahab, walaupun tidak dipahami artinya. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Membaca surat al Qari’ah dan Idzaa zulzilat dengan tartil lebih baik bagiku daripada membaca al Qur’an al Baqarah atau Ali Imran tanpa tartil.”
Alim ulama menjelaskan maksud hadits di atas, bahwa membaca al Qur’an huruf demi huruf akan menaikan pembacanya setingkat demmi setingkat, sehingga itu pula derajatnya di surge nanti. Dan orang yang terpandai dalam al Qur’an, dialah yang tertinggi derajatnya. Mulla Ali Qari rah.a. menulis bahwa tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada derajat orang yang suka membaca al Qur’an. Pembaca al Qur’an senantiasa meningkat derajatnya sesuai dengan taraf kebagusan bacaannya.
Allamah Dani rah.a. berkata, “Alim ulama telah sepakat bahwa ada enam ribu ayat lebih dalam al Qur’an, namun mereka berbeda pendapat tentang jumlah selebihnya. Ada yang menyebutkan 6.204 ayat, 6.014 ayat, 6.019 ayat, 6.025 ayat, dan 6.036 ayat.
Dalam Syarah Ihya ditulis bahwa jumlah ayat al Qur’an itu sesuai dengan tingkat surga, sehingga dikatakan kepada pembaca al Qur’an, “Naiklah ke surga tingkat demi tingkat sebanyak ayat al Qur’an yang telah kamu baca”. Barangsiapa yang membaca seluruh ayat al Qur’an, maka ia akan mencapai derajat surge yang tertinggi di akhirat. Dan barangsiapa yang membacanya sebagian saja, maka derajat sebatas bacaannya itu saja. Singkatnya, batas ketinggian derajat seseorang bergantung kepada banyaknya bacaan Qur’annya.
Menurut pendapat saya, hadits diatas juga mengandung penafsiran lain.
“Apabila (penafsiran saya) betul, maka ia berasal dari Allah. Dan jika salah, maka ia berasal dari diri saya sendiri dan dari syetan. Sedang Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya.”
Kenaikan derajat yang disebutkan dalam hadits diatas bukan bermaksud bahwa membaca suatu ayat al Qur’an akan dinaikan suatu derajat. Sebab jika demikian, hubungan antara membaca dengan tartil dan tanpa tartil tidak dapat dimengerti, sehingga akan dipahami bahwa setiap membaca satu ayat al Qur’an, baik dengan tartil ataupun tidak, maka derajatnya dinaikan satu tingkat. Sebenarnya hadits ini mengisyaratkan satu peningkatan yang berbeda, yaitu peningkatan menurut cara membacanya, sehingga ada perbedaan antara bacaan dengan tartil dan tanpa tartil. Oleh sebab itu, barangsiapa membaca al Qur’an dengan tartil ketika di dunia ini, dengan tartil itulah ia akan membacanya di akhirat., sehingga ia memperoleh ketinggian derajat yang sesuai. Mulla Ali Qari rah.a.meriwayatkan sebuah hadits,
“Barangsiapa sering membaca al Qur’an di dunia, maka di akhirat nanti ia akan dapat mengingatnya. Dan jika di dunia ia tidak membacanya, maka ia tidak akan dapat mengingatnya di akhirat.” Semoga Allah memberikan kemurahan-Nya kepada kita.
Banyak diantara orang tua yang bersemangat agar anak-anaknya menghafal al Qur’an, namun karena ketidaktawajuhan dan kesibukan dunia, hafalan itu terlupakan dan menjadi sia-sia. Padahal di sisi lain, beberapa hadits menyebutkan bahwa barangsiapa berusaha menghafal al Qur’an dengan sungguh-sungguh dan bersusah payah, lalu ia meninggal dunia, maka Allah akan membangkitkannya dalam golongan para huffazh. Kemurahan Allah sungguh tidak berkurang jika kita berusaha memperolehnya. Seorang penyair berkata,
“Wahai syahid, kemurahan-Nya untuk semua. Engkau tidak akan menolak kemurahan ini, jika engkau benar-benar pantas
Post a Comment