Al-Qur'an Memiliki Zahir dan Batin
Al-Qur'an Memiliki Zahir dan Batin
Dari Abdur Rahman bin Auf r.a. dari Nabi saw..
“Ada tiga hal yang akan berada di bawah naungan Arasy Ilahi pada hari kiamat: (1) al Qur’an yang akan membela hamba Allah dan ia mempunyai zhahir dan batin, (2) Amanat: dan (3) Silaturahmi yang akan berseru, “Ingatlah! Siapa yang menghubungkan aku, maka Allah menghubunginya, dan siapa yang memutuskan aku, maka Allah memutuskannya.”
(Dikutib dari Kitab Syarhus Sunnah).
(Dikutib dari Kitab Syarhus Sunnah).
Maksud ‘tiga hal yang berbeda di bawah Arsy’ adalah sempurnanya kedekatan ketiga hal itu kepada Allah, yakni sangat dekat dengan Arsy Allah.
Maksud ‘membela hamba Allah’ adalah orang yang memuliakan al Qur’an, menunaikan hak-haknya, dan mengamalkan isinya, maka al Qur’an pasti akan membelanya di hadapan Allah dan akan mensyafa’atinya serta meninggikan derajatnya.
Mulla Ali Qari rah.a. meriwayatkan dari Tirmidzi bahwa ahli al Qur’an kelak akan datang pada hari Kiamat. Lalu al Qur’an memohon kepada Allah, “Ya Allah, berilah ia pakaian!” maka di pakaikan mahkota kemuliaan kepada orang itu. Kemudian al Qur’an memohon lagi, “Ya Allah tambahkanlah untuknya!” maka dipakaikan kepadanya pakaian kemuliaan. Al Qur’an pun memperoleh ridha dari orang yang kita cintai di dunia ini, rasanya tidak ada kenikmatan yang lebih besar dari pada itu. Demikian juga di akhirat, kenikmatan manakah yang dapat mengalahkan ridha Allah, kekasih kita?
Sedangkan bagi orang yang tidak memenuhi hak-hak al Qur’an, maka al Qur’an akan menuntutnya, “apakah engkau telah memuliakan aku? Apakah engkau telah menunaikan hak-hakku?” dalam Syarah Ihya di nyatakan bahwa hak al Qur’an adalah di khatamkan dua kali dalam setahun. Maka mereka yang melalaikan al Qur’an hendaknya memikirkan masalah ini, yakni bagaimanakah kita menjawab tuntutan sekeras ini? Padahal maut itu pasti datang, dan tidak ada tempat untuk lari darinya.
Maksud al Qur’an memiliki zhahir dan batin’ ialah: zhahir al Qur’an yaitu makna al Qur’an yang dapat dipahami oleh semua orang. Sedangkan bati al Qur’an maksudnya adalah makna al Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh semua orang. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. Bersabda, “barang siapa mengemukakan pendapatnya sendiri tentang isi al Qur’an, maka ia telah melakukan kesalahan walaupun pendapatnya itu benar.” Ulama berpendapat bahwa maksud ‘zhahir al Qur’an’ adalah lafazh-lafazh al Qur’an yang dapat di baca oleh semua orang. Sedangkan batin al Qur’an adalah makna atau maksud al Qur’an yang dapat dipahami menurut keahlian masing-masing.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “jika kita ingin memperoleh ilmu, maka pikirkan dan renungkanlah makna-makna al Qur’an, karena di dalamnya terkandung ilmu orang-orang dahulu dan sekarang.” Namun untuk memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adab-adabnya terlebih dahulu. Jangan seperti pada zaman sekarang ini. Hanya bermodalkan pengetahuan tentang beberapa lafazh bahasa Arab, bahkan sekedar melihat terjemahan al Qur’an, seseorang berani menafsirkan al Qur’an dengan pendapatnya sendiri.
Alim ulama berkata, “untuk dapat menafsirkan al Qur’an di perlukan keahlian dalam lima belas bidang ilmu.” Saya akan meringkas ke lima belas ilmu itu semata-mata agar diketahuai bahwa tidak mudah bagi setiap orang memahami makna batin al Qur’an ini.
1. Ilmu Lughat (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata al Qur’an. Mujahid rah.a berkata, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang tentang ayat-ayat al Qur’an tanpa mengetahui ilmu lugat. Sedikit pengetahuan tentang lughat tidaklah cukup karena kadang kala satu kata mengandung berbagai arti. Jika hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda.
2. Ilmu Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja I’rab hanya didapat dalam ilmu nahwu.
3. Ilmi Sharaf (perubahan bentuk kata). Mengetahui ilmu sharaf sangat penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah maknanya. Ibnu Faris berkata, “jika seseorang tidak mempunyai ilmu sharaf, berarti ia telah kehilangan banyak hal.” Dalam Ujubatut Tafsir, Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang menerjemahkan ayat al Qur’an yang berbunyi:
“(ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (Qs. Al Isra [17] : 71)
Karena ketidaktahuannya tentang ilmu Sharaf, ia menerjemahkan ayat itu seperti ini: “pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka.” Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin) yang merupakan bentuk mufrad (tunggal) adalah bentuk memahami ilmu sharaf, tidak mungkin akan mengartikan ‘imaam’ sebagai ibu-ibu.
“(ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (Qs. Al Isra [17] : 71)
Karena ketidaktahuannya tentang ilmu Sharaf, ia menerjemahkan ayat itu seperti ini: “pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka.” Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin) yang merupakan bentuk mufrad (tunggal) adalah bentuk memahami ilmu sharaf, tidak mungkin akan mengartikan ‘imaam’ sebagai ibu-ibu.
4. Ilmu Isytiqaq (akar kata). Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah penting. Dengan ilmu ini dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yang berasal dari dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata ‘masih’ berasal dari kata ‘masah’ yang artinya menyentuh atau menggerakan tangan yang basah ke atas suatu benda, atau juga berasal dari kata ‘masahat’ yang berarti ukuran.
5. Ilmu Ma’ani. Ilmu ini sangat penting diketahui, karena dengan ilmu ini susunan kalimat dapat diketahui dengan melihat maknanya.
6. Ilmu Bayaan. Yaitu ilmu yang mempelajari makna kata yang zhahir dan yang tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.
7. Ilmu Badi’, yakni ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu diatas juga disebutsebagai cabang ilmu balaghah yang sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Al Qur’an adalah mukjizat yang agung, maka dengan ilmu-ilmu diatas, kemukjizatan al Qur’an dapat diketahui.
8. Ilmu Qira’at. Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan makna paling tepat diantara makna-makna suatu kata.
9. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang sangat penting dipelajari ini mempelajari dasar-dasar keimanan. Kadangkala ada satu ayat yang arti zhahirnya tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah Swt. Untuk memahaminya diperlukan takwil ayat itu, seperti ayat yang berbunyi:
“tangan Allah diatas tangan mereka.” (Qs. Al Fath 48]:10)
10. Ushu1 Fiqih. Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil dan menggali hokum dari suatu ayat.
“tangan Allah diatas tangan mereka.” (Qs. Al Fath 48]:10)
10. Ushu1 Fiqih. Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil dan menggali hokum dari suatu ayat.
11. Ilmu Asbabun-Nuzul. Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-sebab turunnya, maka maksud suatu ayat mudah dipahami. Karena kadangkala maksud suatu ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya.
12. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih tetap berlaku.
13. Ilmu Fiqih. Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan menguasai hukum-hukum yang rinci akan mudah mengetahui hukum global.
14. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
15. Ilmu Wahbi. Ilmu khusus yang diberikan kepada Allah kepada hamba-Nya yang istimewa, sebagaimana sabda Nabi saw.,
“Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui”. Juga sebagaimana disebutkan dalam riwayat, bahwa Ali r.a. pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah Rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain?” maka ia menjawab, “Demi Allah, demi Yang menciptakan Surga dan Jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman al Qur’an yang Allah berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu Adi Dunya berkata, “Ilmu al Qur’an dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang atk bertepi.”
Ilmu-ilmu yang telah diterangkan diatas adalah alat bagi para mufassir al Qur’an.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut lalu menafsirkan al Qur’an, berarti ia telah menafsirkan menurut pendapatnya sendiri, yang larangannya telah disebutkan dalam banyak hadits. Para sahabat telah memperoleh ilmu bahasa arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka dapatkan melalui cahaya Nubuwwah.
Imam Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa ilmu Wahbi itu berada diluar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian, karena Allah sendiri telah menunjukan caranya, misalnya dengan mengamalkan ilmu yang dimiliki dan tidak mencintai dunia.”
Tertulis dalam Kimia’us Sa’aadah bahwa ada tiga orang yang tidak akan mampu menafsirkan al Qur’an:
(1) Orang yang tidak memahami bahasa Arab;
(2) Orang yang berbuat dosa besar atau ahli bid’ah, karena perbuatanitu akan membuat hatinya menjadi gelap dan menutupi pemahamannya terhadap al Qur’an;
(3) Orang yang dalam Aqidahnya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat al Qur’an yang tidak sesuai dengan pikirannya (logikanya), maka ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami al Qur’an dengan benar.
(1) Orang yang tidak memahami bahasa Arab;
(2) Orang yang berbuat dosa besar atau ahli bid’ah, karena perbuatanitu akan membuat hatinya menjadi gelap dan menutupi pemahamannya terhadap al Qur’an;
(3) Orang yang dalam Aqidahnya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat al Qur’an yang tidak sesuai dengan pikirannya (logikanya), maka ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami al Qur’an dengan benar.
“Ya Allah, lindungilah kami dari mereka
Post a Comment