MENGIMANI SHIRATH, JEMBATAN DI ATAS NERAKA
Di akherat kelak, akan banyak sekali peristiwa yang sangat menakjubkan sekaligus menakutkan. Kita, sebagai seorang Mukmin, wajib mempercayai segala hal yang akan terjadi pada hari Kiamat, baik yang disebutkan dalam al-Qur’aan maupun yang terdapat dalam Hadits yang shahih. Kita tidak boleh membeda-bedakan dalam urusan beriman dengan segala peristiwa tersebut, baik itu sesuai dengan logika ataupun tidak. Segala hal yang akan terjadi di akherat tidak bisa kita qiyaskan dengan peristiwa di dunia ini. Karena semua peristiwa di akherat adalah peristiwa yang penuh dengan keluarbiasaan dan kedahsyatan. Di antara peristiwa yang akan menakjubkan sekaligus menakutkan di alam akhirat kelak, peristiwa melewati shirâth (jembatan) yang terbentang di atas neraka menuju ke surga. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan kemudahan kepada kita untuk melewatinya kelak di akherat.
PENGERTIAN SHIRATH.
Shirâth secara etimologi bermakna jalan lurus yang terang[1] . Adapun menurut istilah, yaitu jembatan terbentang di atas neraka Jahannam yang akan dilewati oleh manusia ketika menuju Surga [2] .
DALIL-DALIL TENTANG KEBERADAAN SHIRAT
Landasan keyakinan tentang adanya shirâth pada hari Kiamat berdasarkan kepada ijma’ para ulama Ahlus Sunnah yang bersumberkan kepada dalil-dalil yang akurat dari al-Qur`ân dan Sunnah. Berikut ini kita sebutkan beberapa dalil yang menerangkan tentang adanya shirâth.
Di antara ulama berhujjah dengan firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan akan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan [Maryam/19:71]
Diriwayatkan dari kalangan para Sahabat, di antaranya; Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu dan Ka’ab bin Ahbâr bahwa yang dimaksud dengan mendatangi neraka dalam ayat tersebut adalah melewati shirâth.[3]
Sementara itu, banyak sekali riwayat dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ini, di antaranya:
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
ثُمَّ يُؤْتَى بِالْجَسْرِ فَيُجْعَلُ بَيْنَ ظَهْرَيْ جَهَنَّمَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْجَسْرُ قَالَ مَدْحَضَةٌ مَزِلَّةٌ عَلَيْهِ خَطَاطِيفُ وَكَلَالِيبُ وَحَسَكَةٌ مُفَلْطَحَةٌ لَهَا شَوْكَةٌ عُقَيْفَاءُ تَكُونُ بِنَجْدٍ يُقَالُ لَهَا السَّعْدَانُ
Kemudian didatangkan jembatan lalu dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam. Kami (para Sahabat) bertanya: “Wahai Rasûlullâh, bagaimana (bentuk) jembatan itu?”. Jawab beliau, “Llicin (lagi) mengelincirkan. Di atasnya terdapat besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Najd, dikenal dengan pohon Sa’dân …” [Muttafaqun ‘alaih]
BENTUK DAN KONDISI SHIRATH.
Dalam hadits yang sudah disebutkan di atas terdapat beberapa ciri atau sifat dan bentuk shirâth, yaitu: “licin (lagi) mengelincirkan, di atasnya ada besi-besi pengait dan kawat berduri yang ujungnya bengkok, ia bagaikan pohon berduri di Nejd, dikenal dengan pohon Sa’dân …”.
Dan disebutkan lagi dalam hadits bahwa shirâth tersebut memiliki cangkok-cangkok besar, yang mencankok siapa yang melewatinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
وَيُضْرَبُ جِسْرُ جَهَنَّمَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُ وَدُعَاءُ الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ وَبِهِ كَلَالِيبُ مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ أَمَا رَأَيْتُمْ شَوْكَ السَّعْدَانِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهَا مِثْلُ شَوْكِ السَّعْدَانِ غَيْرَ أَنَّهَا لَا يَعْلَمُ قَدْرَ عِظَمِهَا إِلَّا اللَّهُ فَتَخْطَفُ النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ رواه البخاري
Dan dibentangkanlah jembatan Jahannam. Akulah orang pertama yang melewatinya. Doa para rasul pada saat itu: “Ya Allâh, selamatkanlah, selamatkanlah”. Pada shirâth itu, terdapat pencangkok-pencangkok seperti duri pohon Sa’dân. Pernahkah kalian melihatnya?” Para Sahabat menjawab, “Pernah, wahai Rasûlullâh. Maka ia seperti duri pohon Sa’dân, tiada yang mengetahui ukuran besarnya kecuali Allâh. Maka ia mencangkok manusia sesuai dengan amalan mereka”. [HR. al-Bukhâri]
Di samping itu, para Ulama menyebutkan pula bahwa shirâth tersebut lebih halus daripada rambut, lebih tajam dari pada pedang, dan lebih panas daripada bara api, licin dan mengelincirkan. Hal ini berdasarkan pada beberapa riwayat, baik yang disandarkan langsung kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun kepada para Sahabat tetapi dihukumi marfû’. Sebab, para Sahabat tidak mungkin mengatakannya dengan dasar ijtihad pribadi mereka tentang suatu perkara yang ghaib, melainkan hal tersebut telah mereka dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Sa’id Radhiyallahu anhu berkata: “Sampai kepadaku kabar bahwa shirâth itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang” [4] .
Setelah kita amati dalil-dalil tersebut di atas dapat kita ikhtisarkan di sini sifat dan bentuk shirâth tersebut sebagaimana berikut:
1. Shirâth tersebut amat licin, sehingga sangat mengkhawatirkan siapa saja yang lewat dimana ia mungkin saja terpeleset dan terperosok jatuh.
2. Shirâth tersebut menggelincirkan. Para Ulama telah menerangkan maksud dari ‘menggelincirkan’ yaitu ia bergerak ke kanan dan ke kiri, sehingga membuat orang yang melewatinya takut akan tergelincir dan tersungkur jatuh.
3. Shirâth tersebut memiliki besi pengait yang besar, penuh dengan duri, ujungnya bengkok. Ini menunjukkan siapa yang terkena besi pengait ini tidak akan lepas dari cengkeramannya.
4. Terpeleset atau tidak, tergelincir atau tidak, dan tersambar oleh pengait besi atau tidak, semua itu ditentukan oleh amal ibadah dan keimanan masing-masing orang.
5. Shirâth tersebut terbentang membujur di atas neraka Jahannam. Barang siapa terpeleset dan tergelincir atau terkena sambaran besi pengait, maka ia akan terjatuh ke dalam neraka Jahannam.
6. Shirâth tersebut sangat halus, sehingga sulit untuk meletakkan kaki di atasnya.
7. Shirâth tersebut juga tajam yang dapat membelah telapak kaki orang yang melewatinya. Karena sesuatu yang begitu halus, namun tidak bisa putus, maka akan menjadi tajam.
8. Sekalipun shirâth tersebut halus dan tajam, manusia tetap dapat melewatinya. Karena Allâh Azza wa Jalla Maha Kuasa untuk menjadikan manusia mampu berjalan di atas apapun.
9. Kesulitan untuk melihat shirâth karena kehalusannya, atau terluka karena ketajamannya, semua itu bergantung kepada kualitas keimanan setiap orang yang melewatinya.
Post a Comment