Meninggalkan Perkara Mubah

WASIYAT KE 2

(وَاتْرُكِ الْمُبَاحَاتِ طَلَبًا لَتَرَقِّى الْمَقَامَاتِ الْعَلِيَّةِ)
“Dan tinggalkanlah olehmu perkara mubah karena untuk meraih derajat yang luhur”
قال سيدى على المرصفى رحمه الله تعالى : "لايصح لمريد قدم فى الإرادة حتى يترك فعل المباحات ويجعل مكان كل مباح تركه مأمورا شرعيا من مندوب أو أولى ويجتنب المباح كأنه منهي عنه كراهة تنزيه"
 
Tuanku ‘Aliy Al-Murshifiy rahimahullahu Ta’ala berkata; “Tidak sah bagi seorang murid (orang yang mengharapkan) derajat luhur hingga ia meninggalkan perkara mubah dan mengganti kedudukan setiap perkara mubah yang ditinggalkannya dengan perkara yang diperintah syara’ berupa kesunnatan atau ‘amal yang lebih utama, serta menjauh dari perkara mubah seolah-olah hal itu merupakan larangan berupa makruh tanzih”.
 
وقد أجمعوا على أن كل من مهد لنفسه ارتكاب الرخص دون العزائم لا يجيء منه شيء فى الطريق.
 
Para ‘ulama’ sepakat bahwa setiap orang yang mempersiapkan dirinya untuk menempuh jalan rukhshah (yang ringan) bukan yang berat, hendaknya tidak ada suatu pun yang datang di tengah-tengah perjalanannya menuju Allah.
 
وقال سيدى على الخواص رحمه الله تعالى : ما جعل الله تعالى المباح إلا تنفيسا لبنى آدم عليه الصلاة والسلام من مشقة التكليف حين ركب الله تعالى فى ذواتهم الملل من التكاليف، ولو أن الله تعالى لم يركب فى ذواتهم الملل لم يشرع لهم المباح كما فعل بالملائكة لأنهم لايعرفون الملل طعما، فلذلك كانوا يسبحون الليل والنهار (لَا يَفْتُرُوْنَ)،
 
Tuanku ‘Aliy Al-Khowwash rahimahullahu Ta’ala berkata; “Allah Ta’ala tidaklah menjadikan perkara mubah kecuali untuk memberi kemurahan bagi anak Adam ‘alaihissalam dari beratnya beban dikala Allah Ta’ala meletakkan rasa bosan pada diri mereka dari beberapa beban. Seandainya Allah Ta’ala tidak meletakkan rasa bosan pada diri mereka, tentu Dia tidak akan memberlakukan hukum mubah kepada mereka sebagaimana apa yang berlaku bagi para malaikat, karena mereka tidak pernah mengenal bosan, dan karena itulah mereka sentiasa bertasbih siang dan malam tanpa henti”.

قال ولما كان القوم من شأنهم الأخذ بالعزائم دون الرخص طلبا للترقى كما هو معلوم من أحوالهم طلبوا من المريدين العمل على تقليل المباحات جهدهم ويجعلون مكان ذلك طاعة يثابون عليها،
 
‘Aliy Al-Khowwash rahimahullahu Ta’ala berkata; Ketika para ‘ulama’ memilih menempuh jalan yang berat, bukan yang ringan demi menggapai derajat luhur sebagaimana hal itu dapat diketahui dari keadaan mereka, mereka pun menuntut murid-muridnya untuk ber’amal mengurangi pekerjaan mubah semampu mereka dan menggantinya dengan keta’atan sehingga mereka mendapatkan pahala atasnya.
 
فإن لم يجدوا طاعة نووا بالمباح من أكل وكلام خيرا كالتقوى على العبادات بأكل تلك الشهوة وزوال العبوسة بمباسطة اخوانهم ببعض كلامهم ونحو ذلك، وأخذوا المريد بالنوم من غير ضرورة، وبالأكل من غير جوع، وبالكلام من غير حاجة، وبمخالطة الناس ألا لضرورة، فأرادوا أن يثاب مريدهم ثواب الواجبات فى سائر أحواله، فيأكل حين يجب عليه الأكل، ويتكلم حين يجب عليه الكلام مثلا، فإن نزل على ذلك فلا ينزل عن الإستحباب، فيأكل حين يستحب الأكل، ويتكلم حين يستحب الكلام،
 
Lalu apabila mereka tidak menemukan keta’atan (sebagai gantinya), mereka berniyat dalam mengerjakan pekerjaan mubah seperti makan dan berbicara dengan niyat yang baik, seperti mencari kekuatan untuk ‘ibadah dengan makan makanan yang di senangi, atau menghilangkan sikap cemberut dengan membahagiakan saudara-saudara mereka dengan sebagian pembicaraan dan lain sebagainya. Dan mereka menekankan kepada murid-muridnya untuk tidak tidur kecuali dalam keadaan darurat, tidak makan kecuali bila telah lapar, tidak berbicara kecuali bila dibutuhkan dan tidak bergaul dengan orang-orang kecuali terpaksa. Karena mereka berharap agar murid-muridnya mendapatkan pahala seperti pahala mengerjakan kewajiban di dalam setiap langkah-langkahnya. Misalnya, para murid baru boleh makan bila tiba saatnya wajib makan dan boleh berbicara bila tiba saatnya wajib bicara. Sebab jika merosot dari perkara wajib, tidak sampai merosot dari perkara sunnat, hingga akhirnya mereka makan bila tiba saat disunnatkannya makan dan berbicara bila tiba saat disunnatkannya berbicara.
 
وكذلك آخذوا المريد بالنسيان وبالاحتلام ويمد الرجل فى ليل او نهار إلا لحاجة، وآخذوه بالخواطر ولو لم تستقر، وآخذوه بأكل الشهوات المباحات لكونها توقف على الترقى.
 
Demikian pula, mereka menekankan kepada murid-muridnya agar lupa makan, tidak mimpi basah dan tidak menjulurkan kakinya diwaktu siang atau malam hari kecuali karena ada hajat. Menekankan kepada mereka agar mengendalikan bisikan hati walaupun belum bisa terarah, dan menekankan kepada mereka agar tidak makan makanan mubah yang disenangi, karena hal itu dapat menghentikan perjalanannya menuju derajat luhur.
 
وفى زبور السيد داود عليه السلام : "يا داود حذر وأنذر قومك عن أكل الشهوات، فإن قلوب أهل الشهوات محجوبة عنى"
 
Didalam kitab Zaburnya Nabi Dawud ‘alaihissalam difirmankan; “Wahai Dawud! Peringatkanlah dan takut-takutilah kaummu dari makan makanan yang disenangi, karena sesungguhnya orang yang ahli menuruti kesenangan hatinya akan terhalang dari-Ku”.
 
وكما أن أكل الشهوات يطرد العبد عن حضرة الله تعالى فكذلك مد الرجل من غير حاجة بجامع سوء الأدب.
 
Sebagaimana halnya makan makanan yang disenangi dapat menjauhkan seorang hamba dari hadirat Allah Ta’ala, demikian pula menjulurkan kaki dengan segala adab yang buruk tanpa ada hajat.
 
وقال أيضا : لايبلغ  المريد مقام الصدق  حتى يزيد فى تعظيم أمر الله تعالى ونهيه فيفعل المندوب كأنه واجب، ويجتنب المكروه كأنه حرام، ويجتنب الحرام كأنه كفر وينوى بجميع المباحات خيرا ليثاب على ذلك، فينوى بالنوم فى القيلولة التقوى على قيام الليل، ويتناول بعض الشهوات لمداواة نفسه إذا نفرت من العبادات بالكلية، فإن لسان حال النفس يقول لصاحبها : كن معى فى بعض اغراضى وإلا صرعتك، وكذلك ينوى بلباس الثياب الفاخرة إظهار نعمة الله تعالى دون الحظوظ النفسانية، وكذلك يأكل الزائد من الطعام البارد الحلو من الشراب لأجل استجابة أعضائه ليشكر الله تعالى بعزم،
 
Dan tuanku ‘Aliy Al-Khowwash juga berkata; Seorang murid (penempuh jalan menuju Allah Ta’ala) tidak akan sampai pada maqam sidiq hingga ia memperbesar rasa mengagungkan perintah dan larangan Allah Ta’ala, lalu menjalankan kesunnatan seolah-olah itu adalah kewajiban, meninggalkan kemakruhan seolah-olah itu adalah keharaman dan menjauhi keharaman seolah-olah itu adalah kekufuran. Dan berniyat dalam segala perbuatan mubah dengan niyat yang baik agar mendapatkan pahala atas hal tersebut, seperti tidur diwaktu qoilulah (di tengah hari) dengan niyat untuk mencari kekuatan ‘ibadah di malam hari, dan memenuhi sebagian keinginan hati karena untuk mengobati nafsunya ketika enggan ber’ibadah secara keseluruhan, karena sesungguhnya lisan nafsu berkata kepada tuannya; “Patuhlah engkau kepadaku didalam memenuhi sebagian keinginanku, sebab bila tidak aku akan membantingmu”. Begitu pula dengan mengenakan pakaian indah, hendaknya berniyat karena menampakkan ni’mat Allah Ta’ala, bukan karena menuruti hawa nafsu, dan juga dengan makan makanan enak, minum minuman manis dan segar hendaknya diniyati karena untuk memenuhi kebutuhan raganya agar dapat bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan kokoh.
 
وقد كان أبو الحسن الشاذلى رحمه الله تعالى يقول لأصحابه :"كلوا من أطيب الطعام واشربوا من ألذ الشراب وناموا على أوطاء الفراش والبسوا ألين الثياب فإن أحدكم إذا فعل ذلك وقال الحمد لله يستجيب كل عضو فيه للشكر، بخلاف ما إذا أكل خبز الشعير بالملح ولبس العباءة ونام على الأرض وشرب الماء المالح السخن وقال الحمد لله فإنه يقول ذلك وعنده اشمئزاز وبعض سخط على مقدور الله تعالى، ولو أنه نظر بعين البصيرة  لوجد الاشمئزاز والسخط الذى عنده يرحج فى الإثم على من تمتع بالدنيا بيقين، فإن المتمتع بالدنيا  فعل ما أباحه الحق تعالى، ومن كان عنده اشمئزاز وسخط فقد فعل ما حرمه الحق عز وجل" وافعل ذلك يا أخى.
 
Abu Al-Hasan As-Syadzili rahimahullahu Ta’ala berkata kepada murid-muridnya; “Makanlah oleh kalian makanan yang paling lezat, minumlah minuman yang paling ni’mat, tidurlah diatas alas tidur yang paling halus dan pakailah pakaian yang paling lembut, karena apabila salah seorang dari kalian melakukan hal itu dan mengucapkan “Alhamdulillah”, maka seluruh tubuh akan menjawab karena bersyukur. Berbeda dengan orang yang makan roti gandum dengan garam, memakai pakaian kasar, tidur beralaskan tanah, minum air tawar yang dimasak dan mengucapkan “Alhamdulillah”, maka sesungguhnya ia mengucapkan Alhamdulillah, namun jiwanya merasa, muak dan marah atas apa yang telah ditaqdirkan Allah Ta’ala. Seandainya ia dapat melihat dengan mata bathinnya, tentu ia akan menemukan sikap jiwanya yang muak dan marah itu, yang mana hal tersebut lebih berdosa daripada orang yang murni bersenang-senang dengan keni’matan dunia, karena orang yang bersenang-senang dengan keni’matan dunia masih tergolong melakukan sesuatu yang dimubahkan Allah Al Haqq Ta’ala, sedangkan orang yang jiwanya merasa muak dan marah, sungguh ia telah melakukan perkara yang diharamkan oleh Allah Al-Haqq ‘Azza wa Jalla”.
Kerjakannlah qaul itu wahai saudaraku!.

Tidak ada komentar