FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
FASAL TENTANG
SYARAT SHALAT
- Bagian 1
- Bagian 2
- Bagian 3
Syarat adalah Suatu hal yang menjadikan sahnya shalat, namun bukan bagian dari shalat1. Syarat-syarat shalat lebih didahulukan daripada rukun-rukunnya sebab syarat lebih utama didahulukan karena syarat adalah hal yang wajib didahulukan atas shalat dan wajib harus selalu ada dalam shalat. Syarat-syarat shalat ada lima. Yang pertam adalah suci dari hadats dan janabah. Bersuci2 secara bahasa adalah bersih dan lepas dari kotoran. Sedang secara syara‘ adalah menghilangkan penghalang yang berupa hadats atau najis.
Syarat Shalat Ke-1 (Untuk yang pertama) yakni bersuci dari hadats adalah dengan cara (berwudhu’). Lafazh wudhu’ dengan membaca dhammah wāw-nya bermakna menggunakan air pada anggota-anggota tertentu yang diawali dengan sebuah niat. Dan dengan terbaca fatḥah wāw-nya bermakna sesuatu yang digunakan untuk berwudhu’. Awal diwajibkannya berwudhu’ adalah bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu pada malam Isrā’-nya Nabi s.a.w.
Syarat Wudhu’ (Syarat-syaratnya wudhu’) seperti halnya syarat-syaratnya mandi berjumlah lima syarat. Syarat yang pertama adalah (menggunakan air mutlak). Maka hadats dan najis tidak akan hilang, begitu pula tidak akan dapat membuahkan kesucian lain walaupun itu sunnah kecuali dengan menggunakan air yang mutlak. Air mutlak adalah sebuah penamaan air tersebut terikat dengan sebab mencocoki terhadap realita yang terjadi seperti air laut walaupun air tersebut menetes dari uap air suci yang mendidih atau larut di dalamnya sesuatu yang mencampuri.3 Hal ini berbeda dengan air yang tidak disebut kecuali selalu terikat dengan nama lain4 seperti air mawar. Air mutlak tersebut haruslah (belum digunakan untuk) kefardhuan bersuci,5 yakni (dari menghilangkan hadats) kecil ataupun besar walaupun bekas bersuci dari madzhab Ḥanafiyyah yang tidak menggunakan niat atau dari seorang anak kecil yang belum tamyiz untuk ibadah thawāf (dan belum digunakan untuk menghilangkan najis) walaupun najis tersebut dima‘fuw (sedang keadaan air yang digunakan tersebut adalah air yang jumlahnya sedikit) maksudnya adalah air yang kurang dari dua qullah. Jika seandainya ada air musta‘mal dikumpulkan hingga mencapai dua qullah, maka air tersebut dihukumi suci dan mensucikan seperti halnya ada air yang terkena najis kemudian dikumpulkan hingga mencapai dua qullah dan sifat air menjadi sedikit dengan memisah-misahkannya. Maka dari itu dapat diketahui, bahwa air musta‘mal tidak akan ada kecuali pada air yang jumlahnya sedikit dan setelah terpisahnya air dari tempat digunakannya air tersebut walaupun secara hukum saja seperti melampauinya air dari pundaknya orang yang berwudhu’ atau kedua lututnya walaupun air tersebut kembali ke tempat semula atau air berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Benar bahwa air yang telah terpisah walaupun secara hukum dikatakan musta‘mal namun tidak masalah terpisahnya air dari telapak tangan menuju lengan bagi seorang yang hadats dan bagi orang mandi junub, dari kepala menuju semisal dada yakni dari setiap anggota yang secara umumnya air tersebut menetes.6
Catatan:2Bersuci memiliki 4 wasilah dan 4 tujuan. 4 wasilah adalah air, debu, batu dan menyamak. 4 tujuan adalah wudhu’, mandi, tayammum dan menghilangkan najis. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 37 Darul-Fikr.
3Sekira tidak merubah kemutlakan nama air. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 37 Darul-Fikr.
4Dengan disandarkan nama lain seperti air mawar. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 37 Darul-Fikr.
5Maksudnya kefardhuan adalah sesuatu yang mesti harus menggunakan bersuci, baik berdoa bila ditinggalkan ataupun tidak, baik berupa ibadah ataupun tidak. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 37 Darul-Fikr.
6Kesimpulannya bahwa syarat dari air musta‘mal ada empat: sedikitnya air, telah digunakan hal yang fardhu, terpisah dari anggota yang dibasuh, tidak adanya niat ightirāf. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 38 Darul-Fikr
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya seorang yang berwudhu’ memasukkan tangannya dengan maksud mandi menghilangkan hadats ataupun orang tersebut tidak berniat seperti itu, namun setelah berniat mandi junub, atau setelah mengulang tiga kali dalam membasuh wajah seorang yang hadats kecil atau setelah basuhan pertama – jika ia meringkas dengan satu basuhan saja – dengan tanpa berniat ightirāf7 dan juga tidak bertujuan mengambil air karena tujuan lain selain bersuci maka air tersebut menjadi musta‘mal untuk selain tangannya dan baginya diperbolehkan untuk membasuh lengannya dengan air yang berada pada tangannya.8
(Dan) tidak (ada perubahan) dengan perubahan (yang banyak) sekira perubahan tersebut dapat mencegah kemutlakan nama air, sebagaimana perubahan yang terjadi pada salah satu sifatnya air yakni dari rasa, warna dan baunya walaupun perubahannya hanya secara perkiraan9 atau adanya perubahan sebab sesuatu yang berada pada anggota orang yang bersuci menurut pendapat ashaḥḥ. Perubahan hanya akan terjadi apabila perubahan disebabkan oleh (sesuatu yang mencampuri air) yakni mukhālith – mukhālith adalah benda yang tidak terlihat berbeda dengan air10 – (yang bersifat suci) dan (air tersebut dapat terhindar dari percampuran tersebut) seperti minyak za‘faran, buah dari pohon yang tumbuh di dekat air dan dedaunan yang dijatuhkan kemudian hancur di dalamnya, bukan debu11 dan garam air walaupun dijatuhkan ke dalam air. Tidak masalah sebuah perubahan yang tidak merubah kemutlakan nama air sebab perubahannya sedikit, walaupun terjadi keraguan sebagaimana seorang yang ragu apakah perubahan tersebut banyak atau sedikit.12 Dikecualikan dari ucapan saya: mukhālith adalah mujāwir. Mujāwir adalah benda yang terlihat berbeda dengan air seperti kayu, minyak walaupun keduanya dibuat wewangian. Sebagian dari benda mujāwir adalah tetesan air yang mendidih walaupun sangat banyak dan baunya tampak jelas, berbeda dengan pendapat sekelompok ulama’. Sebagian lagi adalah air yang mendidih sedang di dalamnya terdapat sejenis gandum dan kurma sekira tidak diketahui terpisahnya sebuah bentuk benda yang mencampuri air dengan tidak terjadinya penamaan yang lain seperti air kuah. Kalau seandainya sebuah benda diragukan apakah mukhālith ataupun mujāwir, maka benda itu dihukumi mujāwir. Dikecualikan pula dengan ucapanku: dapat dihindarkan dari air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan seperti halnya kasus air yang berada pada tempat menetapnya air dan tempat mengalirnya air,13 seperti sejenis lumpur, lumut yang hancur, belerang, dan seperti perubahan sebab diam yang terlalu lama atau dedaunan yang berguguran dengan sendirinya walaupun hancur dan pohonnya jauh dari air tersebut. (Atau perubahan terjadi dengan sebab najis) walaupun perubahannya hanya sedikit (dan walaupun adanya) air (tersebut banyak) yakni dua qullah lebih dalam dua contoh perubahan dengan menggunakan perkara yang suci dan najis.
Ukuran air dua qullah dengan timbangan adalah kurang-lebih 500 liter Baghdad, sedang dua qullah dengan alat ukur dalam wadah kubus adalah 1 ¼ hasta orang normal setiap panjang, lebar dan dalamnya. Sedang dalam wadah silinder atau bulat adalah dengan diameter 1 hasta manusia disetiap sisi dan dalamnya 2 hasta dengan hasta tangan tukang kayu, yakni 1 ¼ hasta tangan biasa. Air yang berjumlah dua qullah tidak dapat dihukumi najis – walaupun masih kemungkinan seperti diragukan apakah ari tersebut sudah mencapai dua qullah ataupun belum dan walaupun sebelumnya telah diyakini sedikitnya jumlah air tersebut – dengan sebab terkena najis selama najis tersebut tidak merubah sifat air walaupun najis tersebut larut di dalamnya. Tidak wajib menjauhi najis di air yang berjumlah banyak14. Kalau seandainya seseorang kencing di laut, kemudian terjadi buih, maka buih tersebut dihukumi najis bila jelas buih itu dari air kencingnya atau dari air yang telah berubah salah satu sifat air dengan sebab air kencing tersebut, dan bila tidak seperti itu maka tidaklah dihukumi najis. Jika sebuah kotoran kering15 dilemparkan ke dalam air, lalu dari pelemparan tersebut menimbulkan percikan air yang mengenai pada suatu benda, maka benda tersebut tidak dihukumi najis.
Air yang jumlahnya sedikit yakni air yang kurang dari dua qullah dapat menjadi najis – bila air itu tidak dialirkan – 16 dengan sebab masuknya najis pada air tersebut dengan najis yang dapat dilihat dengan mata orang yang normal, yang tidak dima‘fuw di dalam air walaupun dima‘fuw di dalam shalat, seperti halnya hukum selain air yakni dari perkara yang basah dan cair walaupun cairan yang berjumlah banyak. Tidak najis dengan sebab masuknya bangkai yang tidak memiliki jenis darah yang mengalir saat anggota tubuhnya dirobek seperti scorpio (kalajengking) dan cecak kecuali bangkai tersebut merubah sifat air walaupun dengan perubahan yang sedikit, maka pada saat seperti itu air menjadi najis. Tidak dengan masuknya bangkai kepiting dan katak, maka air menjadi najis dengan sebab dua bangkai hewan tersebut, sementara segolongan ulama’ berpendapat lain. Dan juga tidak najis dengan sebab bangkai dari hewan yang muncul dari air seperti halnya lintah. Kalau seandainya bangkai-bangkai itu17 dilempar ke dalam air, maka air dihukumi najis walaupun yang melempar adalah selainnya orang yang mukallaf. Tidak masalah melempar hewan pada waktu masih hidup secara mutlak. Mayoritas ulama’ kita lebih memilih pendapat Imām Mālik yang mengatakan bahwa air tidak dihukumi najis secara mutlak kecuali air menjadi berubah. Air yang mengalir seperti halnya air yang diam. Dalam qaul qadīm Imām Syāfi‘ī disebutkan bahwa tidak dihukumi najis sedikitnya air tanpa perubahan dan itu adalah madzhab Imām Mālik. Dan Majmū‘-nya Imām Nawawī mengatakan: Baik adanya najis tersebut cair ataupun padat. Air sedikit yang terkena najis dapat menjadi suci dengan sampainya air tersebut menjadi dua qullah – walaupun dengan menggunakan air yang terkena najis – sekira tidak ditemukan perubahan pada sifat air tersebut. Sedangkan air banyak yang terkena najis dapat suci dengan sebab hilangnya perubahan pada air itu dengan sendirinya atau dengan air yang ditambahkan18 atau dikurangi sedang sisanya masih banyak.
Catatan:8Kesimpulannya, jika semisal seseorang ingin berwudhu’ dari air yang berada dalam bejana yang kurang dari dua qullah maka pada saat wudhu’ dan sampai membasuh tangan, disyaratkan sebelum mengambil air untuk anggota tangan tersebut untuk berniat ightirāf supaya air yang tersisa pada bejana tersebut tidak menjadi musta‘mal bagi anggota setelah tangan. (pen.).
9Maksudnya dengan mengira-ngirakan terjadinya perubahan bau, rasa dan warnanya dengan menggunakan perkara yang berbeda sifat dengan air. Untuk rasa gunakan buah delima, untuk warna gunakan warna perasan anggur, dan untuk bau gunakan kemenyan ‘Arab. Caranya: sediakan dua wadah masing-masing berisi air suci mensucikan dengan kadar yang sama misal satu liter. Tuangkan air musta‘mal ke dalam satu wadah dengan kadar misal 100 mililiter, untuk mengetahui perubahan pada air yang telah dituangi air musta‘mal ini, maka jika ingin mengetahui perubahan warna: sediakan perasan anggur 100 mililiter, lalu tuangkan pada wadah yang satunya. Jika terjadi perubahan warna, maka air yang dituangi dengan air musta‘mal tersebut juga berubah. Lakukan hal yang sama untuk mengetahui rasa dan bau. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr bil-ma‘nā.
10Sebagian pendapat mengatakan bahwa mukhalith adalah percampuran yang tidak mungkin dipisahkan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 40 Darul-Fikr.
11Artinya perubahan air sebab debu tidaklah mempengaruhi kesucian air sebab keduanya sama-sama sucinya dan perubahan warna hanyalah murni keruh saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr.
12Sebab kesucian air tidak dapat hilang hanya dengan sebuah keraguan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 40 Darul-Fikr.
13Maksudnya adalah tempat asli yang berada di tanah, atau buatan yang menyerupai aslinya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 41 Darul-Fikr.
14Maksudnya tidak wajib menjauhi dari najis yang berada di air yang berjumlah banyak saat menciduk air di tempat tersebut bahkan diperbolehkan untuk menciduk di tempat manapun sampai berada di tempat terdekat dengan najis itu. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 42 Darul-Fikr.
15Dan sejenisnya dari setiap najis yang keras. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 42 Darul-Fikr.
16Kesimpulannya: Bila air tersebut dialirkan pada tempat najis dan air belum terpisah dari tempatnya, maka air tersebut hukumnya suci-mensucikan. Bila telah terpisah dan tidak ada perubahan, tidak bertambah kadar timbangannya setelah mengira-ngirakan kadar yang diserap oleh tempat yang terkena najis dan tempatnya telah suci, maka hukumnya suci namun tidak mensucikan. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 43 Darul-Fikr.
17Isim isyārah tersebut kembali pada bangkai jenis hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir dan bangkai hewan yang berasal dari air menurut pendapat sekelompok ulama’ dan Imām Ramlī. Sedangkan menurut Imām Nawawī, Rāfi‘ī dan Ibnu Ḥajar bahwa bangkai hewan yang berasal dari air tidaklah masalah bila dilempar ke dalam air. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 44 Darul-Fikr.
18 Tidak dengan selainnya air seperti dicampur dengan minyak misik, maka hukumnya tidak suci sebab masih diragukan apakah najisnya hilang atau tertutupi saja. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 45 Darul-Fikr.
(Syarat yang kedua dari wudhu’) adalah (mengalirkan air pada anggota yang dibasuh), maka tidak cukup mengusapkan air tanpa mengalirkan19 karena hal tersebut tidak dinamakan membasuh. (Syarat ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak terdapat sesuatu yang dapat merubah air dengan perubahan yang membahayakan20) seperti minyak za‘faran dan kayu cendana, sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain. (Syarat yang keempat dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak ada penghalang) di antara air dan anggota yang dibasuh (seperti kapur), lilin, minyak yang telah mengeras, dzat tinta dan inai. Berbeda dengan minyak yang cair –walaupun air tidak menetap pada anggota wudlu – dan bekas21 tinta dan inai. Begitu pula disyaratkan – menurut mayoritas ulama’ – tidak adanya kotoran kuku yang dapat mencegah masuknya air pada bagian di bawah kuku tersebut. Sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain, sebagian ulama’ tersebut adalah Imām al-Ghazālī, Imām az-Zarkasyī dan selain keduanya. Mereka bersikukuh memperkuat pendapatnya dan menjelaskan bahwa sesuatu yang berada di bawah kuku yakni dari kotoran bukan sejenis adonan roti merupakan dispensasi22 (rukhshah). Imām al-Adzra‘ī dan selainnya memberi isyarat atas lemahnya pendapat mereka. Imām Mutawallī dalam kitab Tatimah dan selainnya menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang tertuang dalam ar-Raudhah dan selainnya bahwa kotoran yang berada di bawah kuku, jika dapat menghalangi masuknya air ke tempatnya tidaklah mendapatkan dispensasi. Imām al-Baghawī berfatwa bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu itu dapat menghalangi sahnya wudhu’, berbeda dengan keringat yang mengeras yang muncul dari tubuhnya sendiri dan Imām Yūsuf telah mengambil keputusan dalam kitab al-Anwār-nya sesuai dengan hal tersebut.
(Syarat wudhu’ yang kelima)23 adalah (masuknya waktu shalat bagi seorang yang selalu hadats) seperti orang yang beser24 dan istiḥādhah, dan disyaratkan pula baginya untuk menduga masuknya waktu shalat, maka baginya tidak diperbolehkan berwudhu’ – seperti halnya orang yang tayammum – untuk shalat fardhu ataupun sunnah sebelum masuknya waktu untuk mengerjakannya, dan untuk shalat janazah sebelum memandikannya, dan untuk shalat tahiyyat-ul-masjid sebelum masuk masjid, dan untuk shalat rawatib yang diakhirkan sebelum melakukan shalat fardhu. Wajib melakukan dua wudhu’ atau dua tayammum bagi seorang khatib yang selalu hadats, satu wudhu’ untuk dua khutbah dan satunya setelah dua khutbah untuk melakukan shalat jum‘at, dan dicukupkan satu wudhu’ untuk kedua hal tersebut baginya untuk berwudhu’ di setiap akan melaksanakan shalat fardhu’ seperti halnya tayammum25 Begitu pula wajib membasuh vagina dan mengganti kapuk yang berada pada bibir vagina dan mengganti pembalut walaupun pembalut tersebut tidak bergeser dari tempatnya.26 Dan bagi sejenis beser kencing diwajibkan untuk bersegera melaksanakan shalat. Kalau seandainya ia mengakhirkan shalat karena untuk kemaslahatan shalat seperti menunggu jama‘ah atau shalat jum‘at – walaupun shalat tersebut diakhirkan dari awal waktu – dan seperti berangkat menuju masjid, maka hukumnya tidaklah masalah baginya.
catatan20Sekira dapat merubah kemutlakan nama air.
21). Maksud dari bekas adalah sekira bila digosok tidak menimbulkan sesuatu. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 46 Darul-Fikr.
22Dasar hukum dari Imām Ghazālī dan rekan-rekannya adalah hadits dari Nabi yang hanya memerintahkan untuk memotong kuku dan membersihkan kotoran yang berada di bawahnya, namun tidak memerintahkan untuk menggulangi shalatnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 46 Darul-Fikr.
23Syarat lain selain kelima syarat ini adalah: Islam, tamyiz, mengetahui tata cara berwudhu’ dengan tidak menyengaja satu fardhu wudhu’ dengan kesunnahan, membasuh anggota yang tidak mungkin sempurna kecuali dengan membasuh anggota tersebut, tidak adanya hal yang menafikan seperti haid dan menyentuh kemaluan saat wudhu’ dan tidak memalingkan niat untuk selain wudhu’ atau melanggengkan niat. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 39 Darul-Fikr.
24Batasan salis (سَلِسٌ) yang dikehendaki oleh para ulama’ adalah orang yang tidak melewati waktu yang cukup untuk bersuci dan shalat kecuali tanpa hadats. Fatāwī Kubrā Libni Ḥajar juz 1 hal. 79 Maktabah Samilah.
25Untuk shalat jama‘ taqdim yang disyaratkan harus muwālah atau sambung menyambung antara dua shalat diperbolehkan untuk memisah dengan tayammum selagi tidak terlalu lama ketika tayammum. Al-Maḥali Syarḥ Minhāj Juz 1 Hal. 360.
26Kesimpulan kewajiban bagi seorang yang selalu berhadats baik istiḥādhah ataupun selalu beser adalah membasuh kelaminnya dari najis, menyumbatnya dengan semacam kapuk kecuali itu menyakitkan atau sedang puasa, membalutnya dengan kain setelah disumbat jika penyumbatan tersebut tidak cukup kuat menahan najis yang keluar, berwudhu’ atau tayammum dan bergegas melakukan shalat. Hal itu dilakukan setiap akan melakukan shalat fardhu walaupun pembalutnya tidak bergeser dari tempatnya. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 47 Darul-Fikr. aknya adalah mengajarkan bahwa Nabi lahir di Makkah sampai akhir. I‘ānah Thālibīn, Juz. 1 Hal. 36 Darul-Fikr.
Post a Comment