FASAL TENTANGSHALAT BERJAMĀ‘AH
FASAL TENTANG
SHALAT BERJAMĀ‘AH
Syarī‘at Shalat Berjamā‘ah
Shalat berjamā‘ah disyarī‘atkan di kota Madīnah. Minimal dari shalat berjamā‘ah adalah adanya imām dan ma’mūm. Shalat berjamā‘ah di dalam shalat Jum‘at, lantas shalat Shubuḥ hari Jum‘at, shalat Shubuḥ selain Jum‘at,1 shalat ‘Isyā’, shalat ‘Ashar2, shalat Zhuhur, dan shalat Maghrib hukumnya lebih utama. Shalat berjamā‘ah di dalam shalat fardhu yang adā’ selain shalat Jum‘at hukumnya adalah sunnah mu’akkad, sebab hadits yang telah disepakati: Shalat berjamā‘ah lebih utama dibanding shalat sendiri dengan selisih 27 derajat.3 Kata lebih utama hanya menyebabkan hukum sunnah saja. Hikmah dari 27 derajat adalah bahwa di dalam shalat berjamā‘ah terdapat fā’idah-fā’idah yang melebihi dari shalat sendiri dengan selisih itu. Dikecualikan dengan adā’ adalah shalat qadhā’. Benar dikecualikan, namun jika shalat qadhā’ imām dan ma’mūm sama, maka disunnahkan untuk berjamā‘ah, jika tidak sama maka hukumnya Khilāf-ul-Aulā. Seperti hukum mengerjakan shalat adā’ di belakang imām qadhā’ dan sebaliknya, shalat fardhu di belakang imām shalat sunnah dan sebaliknya, tarāwīḥ di belakang shalat witir dan sebaliknya. Dikecualikan dengan kata “shalat fardhu” adalah shalat yang dinadzari dan shalat sunnah4, maka tidak disunnahkan. Imām Nawawī mengatakan: Menurut pendapat yang ashaḥḥ hukum shalat berjamā‘ah adalah fardhu kifāyah bagi seorang lelaki yang telah bāligh, merdeka, dan muqīm5 di dalam shalat yang adā’ saja, sekira syi‘ar jamā‘ah.6 Sebagian pendapat menghukumi shalat jamā‘ah fardhu ‘ain – ini selaras dengan pendapat madzhab Aḥmad -. Sebagian pendapat lagi menjadikan shalat jamā‘ah sebagai syarat sah shalat. Shalat jamā‘ah tidak terlalu dianjurkan bagi para wanita seperti sangat dianjurkannya para lelaki, oleh karenanya dimakruhkan bagi lelaki untuk meninggalkannya, tidak bagi wanita.
2Sebab shalat ‘Ashar merupakan shalat Wusthā menurut mayoritas ‘ulamā’. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 6. Dār-ul-Fikr.
3Maksud dari derajat adalah shalat. Maksudnya melebihi dari 27 shalat dengan sendiri. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 6. Dār-ul-Fikr.
4Yang tidak disunnahkan berjamā‘ah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 7. Dār-ul-Fikr.
5Ditambah dua syarat lagi: Memilik penutup aurat, dan tidak ada ‘udzur. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 7. Dār-ul-Fikr.
6Hal itu akan berbeda-beda dengan besar kecilnya daerah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 7. Dār-ul-Fikr.
Melaksanakan berjamā‘ah shalat lima waktu bagi seorang lelaki7 di dalam masjid hukumnya lebih utama. Benar lebih utama, jikalau jamā‘ah hanya ditemukan di rumahnya saja, maka melaksanakan di rumah lebih utama,8 begitu pula jikalau di rumah lebih banyak jamā‘ahnya dibanding di masjid, menurut pendapat yang menjadi pedoman Imām Adzra‘ī dan selainnya. Guru kita berkata: Menurut pendapat yang aujah berbeda dengan pendapat itu. Jikalau terjadi pertentangan di antara mengerjakan shalat di masjid dengan menghadiri jamā‘ah di luar masjid, maka hukum yang jelas adalah menghadiri jamā‘ah di luar masjid, sebab keutamaan yang berhubungan dengan ‘ibādah itu sendiri lebih utama dibanding dengan keutamaan yang berhubungan dengan tempat atau waktunya, dan yang berhubungan dengan waktu lebih utama dibanding dengan tempatnya.
9Maksudnya melaksanakan jamā‘ah di rumah lebih utama dibanding dengan shalat sendiri di masjid. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 8. Dār-ul-Fikr.
Disunnahkan untuk mengulangi shalat fardhu yang adā’ dengan syarat dilaksanakan masih dalam waktunya, dan tidak melebihi dari satu kali. Berbeda dengan gurunya guru kita Abul-Ḥasan al-Bakrī9 – walaupun shalat yang pertama telah dilaksanakan dengan jamā‘ah – besertaan dilaksanakan dengan orang lain walaupun hanya satu orang, baik menjadi imām atau menjadi ma’mūm, di shalat yang awal ataupun shalat yang kedua, dengan berniat fardhu walaupun shalat yang kedua menjadi shalat sunnah mutlak, maka seseorang berniat mengulangi shalat yang difardhukan. Imām Ḥaramain memilih untuk berniat Zhuhur atau ‘Ashar – sebagai contoh, – tanpa menjelaskan lafazh kefardhuan, Imām Nawawī pun mengunggulkan pendapat Imām Ḥaramain dalam kitab Raudhah-nya, namun yang awal merupakan pendapat yang diunggulkan oleh mayoritas ‘ulamā’. Sedangkan berniat fardhu lebih utama. Jikalau shalat pertama jelas tidak sah, maka shalat yang kedua tidaklah cukup sebagai pengganti, sesuai keterangan dari pendapat yang menjadi pedoman oleh Imām Nawawī dan guru kita. Berbeda dengan keterangan dari komentar Syaikh Zakariyyā sebab mengikuti Imām Ghazalī dan Ibnu ‘Imād, maksudnya jika shalat yang kedua diniati shalat fardhu.
Melaksanakan shalat berjamā‘ah dengan ma’mūm yang banyak lebih utama dibanding dengan yang sedikit sebab hadits yang shaḥīḥ: Dan jama‘ah dengan jumlah yang lebih banyak, maka itu lebih dicintai Allah. Hal itu mengecualikan sebab semacam;
1. Bid‘ahnya seorang imām jamā‘ah10 dengan ma’mūm yang banyak seperti imām golongan rāfidhah11 dan orang fāsiq, – walaupun sekedar praduga – , maka jamā‘ah dengan jumlah sedikit bahkan shalat sendiri12 hukumnya lebih utama, seperti yang telah disampaikan oleh guru kita dan Syaikh Zakariyyā. Begitu pula jika sang imām tidak meyakini sebagian kewajiban rukun atau syarat shalat walaupun imām mengerjakannya sebab imām menyengaja dengan rukun13 atau syarat14 tersebut sebagai kesunnahan dan hal itu membatalkan, menurut kita madzhab Syāfi‘iyyah.
2. Adanya jamā‘ah yang sedikit berada di masjid yang diyakini kehalalan tempatnya dan harta pembangunnya.
3. Menjadi kosongnya masjid terdekat atau yang jauh dari jamā‘ah sebab kehadirannya, maka jamā‘ah yang sedikit di masjid tersebut lebih utama dari pada dengan jumlah yang banyak di masjid lainnya. Bahkan sebagian ‘ulamā’ mengatakan bahwa shalat sendirian di masjid yang kosong dari orang yang shalat di dalamnya sebab ditinggal pergi hukumnya lebih utama, sedang pendapat yang aujah berbeda dengan pendapat sebagian ‘ulamā’ tersebut.15
11Sejenisnya adalah Syī‘ah dan Zaidiyyah, ketiga golongan tersebut hampir sama. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 11. Dār-ul-Fikr.
12Berbeda dengan pendapat dari Jamāl ar-Ramlī yang menyatakan shalat di belakang orang fāsiq dan sesamanya lebih utama dibanding dengan shalat sendiri. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 12. Dār-ul-Fikr.
13Seperti madzhab Ḥanafiyyah yang tidak meyakini kewajiban membaca basmalah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 12. Dār-ul-Fikr.
14Seperti menutupi aurat di antara pusar yang bukan menjadi syarat dari madzhab Aḥmad, namun cukup menutupi dua kemaluannya saja. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 12. Dār-ul-Fikr.
15Artinya yang lebih utama tetap berjamā‘ah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 12 Dār-ul-Fikr.
4. Jikalau imām dengan jamā‘ah yang sedikit lebih utama dijadikan imām sebab semacam ‘ilmunya, maka menghadiri jamā‘ah dengannya lebih utama.
5. Jikalau terjadi pertentangan di antara khusyū‘ dan berjamā‘ah,16 maka jamā‘ah lebih utama seperti yang telah disepakati oleh para ‘ulamā’ yang mengungkapkan bahwa fardhu kifāyah lebih utama dibanding kesunnahan. Imām Ghazālī berfatwā dan diikuti oleh Abul-Ḥasan al-Bakrī dalam Syarḥ Kabīr dari Kitāb Minhāj dengan lebih utamanya shalat sendiri bagi seseorang yang tidak dapat khusyū‘ besertaan dengan berjamā‘ah di sebagian besar shalatnya. Guru kita berkata: Hal itu benar, jika kekhusyū‘an hilang di seluruh shalatnya. Sedangkan fatwā dari Ibnu ‘Abd-is-Salām bahwa khusyū‘ lebih utama secara mutlak itu hanya terjadi terhadap pendapat yang menyatakan bahwa jamā‘ah hukumnya adalah sunnah.
6. Jikalau terjadi pertentangan antara mendengar bacaan al-Qur’ān dari imām besertaan sedikitnya jamā‘ah dan dengan tidak mendengar bacaannya, besertaan dengan banyaknya jamā‘ah, maka yang pertama hukumnya lebih utama. Diperbolehkan untuk berniat mengikuti imām di tengah shalatnya walaupun raka‘at keduanya berbeda, namun hukumnya makrūh bagi ma’mūm,17 tidak bagi ma’mūm yang telah keluar dari jamā‘ah sebab imāmnya berhadats, maka hukumnya tidak makrūh baginya untuk masuk ke dalam jamā‘ah lainnya. Jikalau seseorang berniat menjadi ma’mūm di tengah shalatnya, maka wajib baginya untuk mencocoki imām, lantas jika imām lebih dahulu selesai, maka sempurnakanlah shalat seperti ma’mūm masbūq dan jika dirinya yang lebih dahulu, maka menunggu imām hukumnya lebih utama.18
18Walaupun ia tidak mendapat fadhīlah jamā‘ah, namun ia mendapat keutamaan dari sisi adanya persambungan dengan shalatnya imām. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 14. Dār-ul-Fikr.
Diperbolehkan untuk memisahkan diri dari imām19 tanpa ada ‘udzur besertaan dengan hukum makrūh, maka fadhīlah jamā‘ah menjadi hilang. Memisahkan diri dengan imām sebab ‘udzur tidaklah menghilangkan fadhīlah jamā‘ah, contohnya seperti keringanan dalam meninggalkan jamā‘ah, meninggalkannya imām terhadap sunnah maqshūdah20 seperti tasyahhud awal, qunūt dan bacaan surat, memanjangkannya imām terhadap shalat sedangkan ma’mūm seorang yang lemah atau sibuk. Memisahkan diri dari imām terkadang wajib seperti terjadinya perkara yang membatalkan shalatnya imām, sedangkan ma’mūm mengetahui hal tersebut, maka wajib21 untuk berniat memisahkan diri dari imām segera, jika tidak maka ‘ulamā’ sepakat shalatnya batal – walaupun tidak mengikuti imām – seperti dalam kitab Majmū‘.
20Batasan dari sunnah maqshūdah adalah setiap hal yang sunnah bila ditinggalkan untuk diganti dengan sujūd sahwi, adanya perkhilafan hukum wajib yang kuat di antara para ‘ulamā’, dan adanya fadhīlah yang besar dalam kesunnahan itu. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 12. Dār-ul-Fikr.
21Kondisi yang wajib untuk memisahkan diri dari imām adalah ketika imām yang batal atau hadats tetap dalam keadaan shalat, sedangkan bila imām langsung keluar dari shalat, maka tidak wajib untuk berniat memisahkan diri dari imām atau mufāraqah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 14. Dār-ul-Fikr.
(Keutamaan berjamā‘ah) selain hari Jum‘at akan didapatkan bagi seorang yang shalat (selama imām belum melakukan salām).22 Maksudnya selama imām belum mengucapkan lafazh (مِيْم) dari lafazh (عَليْكُمْ) di salām pertama, walaupun tidak sempat duduk bersertaan imām dengan sebab salāmnya imām setelah takbīrat-ul-iḥrām-nya ma’mūm23 sebab telah menemukan bersama imām satu rukun, maka baginya seluruh pahala dan keutamaan jamā‘ah namun sebawah ketutamaan seseorang yang menemukan seluruh jamā‘ah. Barang siapa yang memisahkan diri dari imām dengan sebab adanya ‘udzur atau imām keluar dari shalat sebab hadats baginya telah mendapat fadhīlah jamā‘ah. Sedangkan untuk jamā‘ah shalat jum‘at, maka tidaklah didapatkan kecuali dengan menemukan bersama imām satu raka‘at. – seperti keterangan yang akan datang – . Disunnahkan bagi segerombol orang yang hadir untuk berjamā‘ah sedang imām telah selesai dari raka‘at akhir, untuk bersabar sampai imām salām, lantas mereka melakukan takbīrat-ul-iḥrām selama waktunya belum hampir habis. Begitu pula disunnahkan untuk bersabar bagi seseorang yang menemukan sebagian shalat telah dikerjakan dan ia berharap ada jamā‘ah yang dapat ditemui keseluruhannya bersama mereka, namun guru kita berkata: Kesunnahan hal itu selama penantiannya tidak menyebabkan kehilangan fadhīlah awal waktu atau waktu ikhtiyar, baik penantian itu cuma harapan atau keyakinan. Sebagian ‘ulamā’ berfatwa bahwa jikalau seseorang berniat melakukan jamā‘ah dan ternyata tidak menemukan jamā‘ah, maka telah ditulis baginya pahala berjamā‘ah sebab adanya dasar hadits dalam permasalahan tersebut.
23Jika imām belum salām, maka wajib bagi ma’mūm untuk duduk, jika ia tetap berdiri sampai imām salām, maka shalatnya batal. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 15. Dār-ul-Fikr.
Keutamaan takbīrat-ul-iḥrām bersamaan imām dapat ditemukan dengan menghadirinya seorang ma’mūm terhadap takbīrat-ul-iḥrām-nya imām dan segera menyibukkan diri dengan takbīr tersebut telah takbīr imām. Jikalau seorang ma’mūm tidak menghadiri takbīrat-ul-iḥrām sang imām atau hadir, namun menunda-nunda takbīrnya, maka hilanglah keutamaan takbīrat-ul-iḥrām. Benar keutamaannya hilang, namun diampuni waswas yang ringan.24 Menemukan takbīrat-ul-iḥrām imām merupakan keutamaan tersendiri yang diperintahkan, sebab takbīr tersebut merupakan pilihan dalam shalat, dan bagi orang yang dapat melakukannya terus-menerus selama 40 hari, maka akan ditulis untuknya kebebasan dari api neraka dan bebas dari sifat munāfiq seperti yang dijelaskan dalam hadits.25 Sebagian pendapat mengatakan bahwa keutamaan takbīrat-ul-iḥrām dapat ditemukan dengan menjumpai sebagian berdirinya imām.26
25Hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah hadits munqathi‘ atau terputus sanadnya, namun tak apalah jika digunakan untuk fadhā’il-ul-a‘māl. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 16. Dār-ul-Fikr.
26Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa keutamaannya dapat ditemukan dengan menemui sebagian rukū‘ imām sebab rukū‘ merupakan hukum dari berdiri. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 16. Dār-ul-Fikr.
Disunnahkan untuk tidak terburu-buru walaupun takut kehilangan keutamaan takbīrat-ul-iḥrām, begitu pula takut kehilangan jamā‘ah, menurut pendapat yang ashaḥḥ kecuali di hari Jum‘at, maka wajib untuk bergegas sekuat tenaga jika masih mungkin melakukan takbīrat-ul-iḥrām sebelum salāmnya imām. Disunnahkan bagi seorang imām dan orang shalat sendiri untuk menunggu orang yang masuk ke tempat shalat dengan harapan mau menjadi ma’mūmnya27 di waktu rukū‘ dan tasyahhud akhir28 tanpa memanjangkan rukun-rukunnya, tanpa membeda-bedakan di antara jamā‘ah yang masuk, walaupun sebab semacam ‘ilmunya, begitu pula di waktu sujud kedua supaya ma’mūm muwāfiq yang mengakhirkan diri untuk menyempurnakan bacaan Fātiḥah dapat menyusulnya. Tidak sunnah menunggu orang yang berada di luar tempat shalat, walaupun tempat tersebut masjid yang kecil, dan tidak sunnah pula menunggu seorang yang ada di tempat shalat yang telah terbiasa lambat dan mengakhirkan takbīrat-ul-iḥrām sampai rukū‘ bahkan disunnahkan untuk tidak menunggunya sebagai hukuman baginya. Imām al-Faurānī mengatakan: Diharamkan menunggu sebab didasarkan sifat cinta. Disunnahkan bagi imām untuk meringankan shalat besertaan dengan tetap menjalankan sunnah ab‘ādh dan hai’āt, tidak dengan meringkas terhadap minimal shalat dan tidak pula dengan paling sempurna kecuali ma’mūm maḥshūr29 rela dengan diperpanjangnya shalat. Makrūh bagi imām untuk memanjangkan shalat, walaupun bertujuan agar jamā‘ah lain dapat menyusulnya.
28Disunnahkan pula menunggu di dalam tasyahhud akhir, agar ma’mūm yang tertinggal guna menyelesaikan bacaan fātiḥahnya dapat menyusul. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 18. Dār-ul-Fikr.
29Ma’mūm dari imām dengan jumlah tetap seperti keterangan yang telah lewat. (pen.)
Jikalau seseorang yang shalat melihat semacam orang yang kebakaran, maka hendaknya untuk mempercepat shalatnya. Apakah hukumnya wajib atau tidak? Terdapat dua pendapat: Pendapat yang mutajah hukumnya wajib sebab menyelamatkan hewan yang mulia,30 dan boleh baginya untuk mempercepat shalat sebab menyelamatkan semacam harta seperti kasus di atas. Barang siapa melihat hewan mulia yang akan diambil orang zhālim atau tenggelam, maka wajib untuk menyelamatkannya dan mengakhirkan shalat atau membatalkannya jika ia masih berada dalam shalat atau melihat harta seperti kasus itu, maka boleh untuk menyelamatkannya. Dimakruhkan mengawali shalat sunnah setelah orang yang iqāmah bergegas melaksanakannya, walaupun tanpa idzin dari imām. Jika seseorang tersebut telah berada dalam shalat sunnah, maka sempurnakanlah jika tidak khawatir kehilangan jamā‘ah31 dengan menyempurnakannya. Jika ia khawatir maka sunnah32 untuk memutus shalat sunnah tersebut dan masuk ke dalam jamā‘ah selama ia tidak mengharapkan jamā‘ah yang lain.
31Dengan salāmnya imām. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 16. Dār-ul-Fikr.
32Disunnahkan jamā‘ah shalat Jum‘at, jika dalam jamā‘ah shalat Jum‘at, maka hukumnya wajib untuk memutusnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 20. Dār-ul-Fikr.
Satu raka‘at akan didapatkan oleh ma’mūm masbūq yang menemukan imām dalam keadaan rukū‘ dengan dua hal (1.) Dengan takbīrat-ul-iḥrām, lantas takbīr yang lain untuk menuju rukū‘. Jika ingin meringkas dengan melakukan takbīrat-ul-iḥrām saja, maka disyaratkan untuk melakukan takbir tersebut dengan niat takbīrat-ul-iḥrām saja, dan menyempurnakan sebelum sampai minimal rukū‘. Jika tidak maka shalatnya tidak sah, kecuali bagi orang yang tidak mengerti, maka hukumnya sah menjadi sunnah. Berbeda dengan kasus jikalau seseorang hanya berniat takbīr untuk rukū‘ saja, sebab tidak adanya takbīrat-ul-iḥrām atau besertaan dengan takbīrat-ul-iḥrām sebab menyekutukan niat,33 atau memutlakkan sebab bertentangannya dua pertanda dari takbīr pembuka shalat dan takbīr untuk turun rukū‘. Oleh karenanya, wajib untuk berniat takbīrat-ul-iḥrām supaya dengan niat tersebut dapat dibedakan dengan takbīr yang bertentangan dengannya ya‘ni dari takbir rukū‘ (2.) Dengan menemukan rukū‘ imām yang sudah dianggap cukup34 walaupun ma’mūm tesebut ceroboh dengan tidak mau melakukan takbīrat-ul-iḥrām kecuali imām sudah dalam keadaan rukū‘. Dikecualikan dengan “rukū‘”adalah selainnya seperti i‘tidāl, dan dari “dianggap cukup” adalah selainnya seperti rukū‘nya imām yang hadats, atau imām yang mengerjakan raka‘at tambahan. Terdapat dalam kitab kaidah milik Imām Zarkasyī lantas dikutip oleh al-‘Allāmah al-Imām Abū-l-Mas‘ūd dan Ibnu Zhahīrah dalam Ḥāsyiyah Minhāj bahwa disyaratkan pula adanya imām adalah orang yang ahli terhadap menanggung ma’mūm. Jikalau seorang imām adalah anak kecil, maka seorang ma’mūm tidaklah dapat menemukan satu raka‘at bersamanya, sebab imām bukanlah ahli menanggung raka‘at. Rukū‘ yang dilakukan ma’mūm haruslah sempurna dengan cara tuma’ninah35 sebelum beranjaknya imām dari minimal rukū‘. Minimal rukū‘ adalah sampainya dua telapak tangan pada dua lututnya. Tuma’ninah dari ma’mūm tersebut haruslah dengan yakin. Jikalau ma’mūm tidak tuma’ninah di dalam rukū‘ sebelum beranjaknya imām dari rukū‘ atau ragu di dalam tuma’ninah, maka ma’mūm tidaklah menemukan satu raka‘at. Sunnah melakukan sujud sahwi bagi ma’mūm yang ragu seperti keterangan dalam Majmū‘-nya, sebab keraguannya di dalam hitungan raka‘atnya terjadi setelah salām, maka imām tidaklah dapat menanggung raka‘atnya. Imām Asnawī telah membahas tentang kewajiban rukū‘ tersebut haruslah ditemukan masih di dalam waktu shalat.
34Dengan sekira imāmnya suci, bukan dalam raka‘at tambahan dan bukan rukū‘ kedua dalam shalat khusūf. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 20. Dār-ul-Fikr.
35Al-Maūallī mengutip dari Kifāyah bahwa mayoritas ‘ulamā’ tidak mensyaratkan untuk thuma’ninah terlebih dahulu sebelum bangkitnya imām dari rukū‘. Bughyah Mustarsyidīn hal. 74.
Ma’mūm masbūq disunnahkan melakukan takbīr berpindah rukun besertaan dengan berpindahnya imām. Jika ma’mūm tersebut menemukan imām dalam posisi i‘tidāl, maka bertakbīrlah untuk turun menuju sujūd dan rukun setelahnya, atau dalam posisi sujūd – sebagian contoh – selain sujūd tilāwah, maka tidak sunnah baginya untuk membaca takbīr ketika turun sujūd.36 Disunnahkan untuk mencocoki imām di dalam dzikir yang ia temui bersama imām ya‘ni bacaan taḥmīd, tasbīḥ, tasyahhud, dan doa. Begitu pula shalawat terhadap keluarga Nabi, walaupun dalam tasyahhud awalnya ma’mūm sebagaimana yang telah diungkapkan oleh guru kita.
Disunnahkan bagi ma’mūm masbūq membaca takbīr berdiri setelah dua salāmnya imām jika posisi duduknya bersama imām adalah tempat duduk tasyahhudnya jika diumpamakan ia shalat sendiri.37 Seperti contoh seorang ma’mūm yang menemui imām di raka‘at ketiga dari shalat yang berjumlah empat raka‘at atau raka‘at kedua dari shalat yang berjumlah tiga raka‘at. Jika posisinya bukanlah tempat duduknya, maka tidak disunnahkan untuk membaca takbīr ketika berdiri. Disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan sebab mengikuti imāmnya yang berdiri dari tasyahhud awal, walaupun bukan tempat duduknya, Tidak disunnahkan bagi ma’mūm masbūq untuk duduk tawarruk di selain tasyahhud akhir. Disunnahkan baginya untuk tidak berdiri kecuali setelah dua salāmnya imām dan haram untuk berdiam38 setelah dua salāmnya imām jika posisinya bukan tempat duduk tasyahhudnya, maka shalat dapat batal dengan diam tersebut, jika disengaja dan mengetahui keharamannya. Tidak diperkenankan bagi ma’mūm masbūq untuk berdiri sebelum salāmnya imām, jika hal tersebut dilakukan dengan sengaja tanpa ada niat memisahkan diri dari imām, maka shalatnya batal. Yang dikehendaki dengan berdiri yang dapat membatalkan shalat adalah memisahkan diri dari batas duduk – tidak berdiri tegak -. Jika ma’mūm lupa atau tidak mengerti, maka semua yang telah dikerjakan tidaklah dianggap berarti sampai ia duduk, lantas berdiri kembali setelah salāmnya imām. Sewaktu ia mengetahui posisi imām saat telah berdiri sebelum salāmnya imām dan tidak langsung duduk, maka shalatnya batal. Dengan kewajiban langsung duduk ini, maka terlihatlah perbedaan dengan kasus seseorang yang berdiri meninggalkan imām di dalam tasyahhud awal dengan sengaja, maka bacaannya dianggap berarti sebelum berdirinya imām sebab bagi ma’mūm tersebut tidak wajib untuk kembali duduk bersama imām.
38Menurut Imām Kurdī: Kadar yang diharamkan berdiam adalah kadar melebihi dzikir yang ada dalam dua sujūd tersebut ya‘ni kadar minimal tasyahhud. Sedangkan menurut Imām Jamāl ar-Ramlī adalah kadar tuma’ninah shalat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 23. Dār-ul-Fikr.
Post a Comment