FASAL TENTANG SHALAT JUM‘AT
FASAL TENTANG
SHALAT JUM‘AT
Hukum Shalat Jum‘at.
Mengerjakan shalat Jum‘at hukumnya fardhu ‘ain, jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Perintah melakukannya turun di Makkah. Namun di Makkah sendiri tidak diselenggarakan kala itu, karena belum cukup bilangan kaum mu’min, atau karena syi‘arnya harus ditampakkan, sedangkan Nabi Muḥammad s.a.w. di Makkah masih sembunyi-sembunyi. Orang yang pertama kali mendirikan shalat Jum‘at di Madīnah sebelum Nabi s.a.w. hijrah adalah As‘ad bin Zurārah. Yaitu diselenggarakan di desa yang berdekatan dengan kota Madīnah. Shalat Jum‘at itu shalat yang paling utama. Dinamakan dengan shalat Jum‘at,1 karena berkumpulnya manusia guna mengerjakan shalat Jum‘at, atau karena Nabi Ādam a.s. berkumpul dengan Ḥawwā’ di Muzdalifah pada hari Jum‘at. Dan karena itu, Muzdalifah dinamakan Jumu‘an.
Shalat Jum‘at itu wajib atas setiap orang mukallaf, yaitu bāligh, berakal sehat, laki-laki dan merdeka. Karena itu, shalat Jum‘at tidak wajib atas wanita, khutsā’ dan budak, sekalipun budak mukātab. Sebab mereka semua dianggap punya kekurangan. Yang bertempat tinggal di tempat diselenggarakannya shalat Jum‘at.2 Artinya, mereka tidak pergi dari tempat itu di musim kemarau maupun hujan, kecuali ada keperluan semacam berdagang atau ziarah. Mereka tidak sedang ‘udzur, misalnya sakit atau ‘udzur-‘udzur lain, seperti yang ada dalam masalah shalat jamā‘ah.3 Maka, shalat Jum‘at tidak wajib bagi orang sakit yang tidak bisa hadir di tempat diselenggarakan Jum‘atan setelah matahari tergelincir ke arah barat. Shalat Jum‘at tetap sah, jika dikerjkan oleh orang yang punya ‘udzur.
3Yang mungkin ada dalam Jum‘at sebab ‘udzur, berupa angin di malam hari, tidak mungkin ada paa shalat Jum‘at. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 64. Dār-ul-Fikr.
Shalat Jum‘at wajib bagi seseorang yang ber-muqīm di daerah diselenggarakannya shalat Jum‘at tanpa ada niat menetap selamanya, seperti seseorang yang ber-muqīm di daerah diselenggarakannya shalat Jum‘at selama 4 hari atau lebih, sedangkan ia bermaksud untuk kembali ke tanah kelahirannya, sekalipun maksud tersebut setelah masa yang lama. Juga wajib dikerjakan oleh orang muqīm mutawaththin4 di tempat yang panggilan shalat Jum‘at masih terdengar, di mana penduduk tempat terselenggarakan Jum‘atan kurang dari 40 orang,5 maka wajib mengerjakan shalat Jum‘at. Namun shalat Jum‘at tidak sah dengan golongan orang muqīm yang tidak menetap selamanya dan tidak sah pula dengan muqīm mutawaththin yang berada di luar daerah diselenggarakan shalat Jum‘at, sekalipun shalat Jum‘at wajib baginya bila mendengar panggilan shalat dari tempat diselenggarakannya itu. Shalat Jum‘at juga tidak sah dengan dipenuhi oleh budak atau anak-anak, tetapi shalat mereka sah. Hanya saja mereka sebaiknya menunda takbīrat-ul-iḥrām sampai sesudah takbīr 40 orang yang sah Jum‘atnya atas pendapat yang mensyaratkan hal tersebut ya‘ni dari segolongan ‘ulamā’ muḥaqqiqīn, sekalipun banyak ‘ulamā’ yang menentangnya.6
5Jika telah mencapai 40 orang, maka tidak wajib baginya untuk mendatangi tempat panggilan Jum‘at bahkan haram baginya untuk menuju tempat tersebut, bahkan mereka wajib untuk mendirikan Jum‘mat di tempatnya sendiri. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 63. Dār-ul-Fikr.
6Pendapat yang unggul adalah pendapat yang tidak mensyaratkan hal tersebut seperti pendapat dari Ibnu Ḥajar, Khathīb dan Imām Ramlī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 63. Dār-ul-Fikr.
Syarat Sah Jum‘at
Di samping syarat-syarat shalat yang lain,7 shalat Jum‘at juga disyaratkan atas enam perkara: (1. Harus dilaksanakan secara berjamā‘ah pada raka‘at pertama, imām berniat menjadi imām dan ma’mūm berniat berma’mūm yang bersamaan dengan takbīrat-ul-iḥrām. Karena itu, shalat Jum‘at yang telah terpenuhi bilangan jamā‘ahnya (40 orang) tidak sah, jika dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Pada raka‘at keduanya tidak disyaratkan harus berjamā‘ah. Jika imām pada raka‘at pertama berjamā‘ah dengan ma’mūm 40 orang, lalu imām berhadats, lantas mereka meneruskan shalat sendiri-sendiri, atau imām tidak berhadats, tetapi mereka memisah dari imām (mufāraqah) pada raka‘at kedua dan meneruskan sendiri-sendiri, maka sah Jum‘atannya. Benar sah, namun orang 40 itu disyaratkan harus tetap ada8 sampai mereka semua salām, sehingga apabila salah satu dari keempat puluh orang tersebut berhadats sebelum salāmnya, sekalipun ma’mūm yang lainnya sudah salām, maka batallah shalat Jum‘at mereka.
8Maksud dari tetap ada adalah mereka tetap dalam keadaan memenuhi persyaratan sah shalat Jum‘at sekira shalat satu orang dari mereka tidak batal dengan sebab hadats atau selainnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 63. Dār-ul-Fikr.
Apabila ma’mūm masbūq mendapatkan rukū‘ imām pada raka‘at kedua, lalu ia mengikuti terus sampai salām, maka ia harus menambah satu raka‘at dengan bacaan keras dan shalat Jum‘at sudah dianggap sempurna, jika Jum‘atan imām tadi sah9. Demikian juga sempurna shalat Jum‘at ma’mūm masbūq lainnya, yang berma’mūm kepada masbūq di atas dan ia masih mendapatkan satu raka‘at bersamanya, demikianlah menurut fatwa guru kami. Orang yang baru mengikuti imām setelah rukū‘nya imām raka‘at kedua, menurut pendapat yang ashaḥḥ wajib niat shalat Jum‘at, sekalipun yang harus dikerjakan adalah shalat Zhuhur. Pendapat lain mengatakan bahwa orang tersebut boleh berniat shalat Zhuhur. Seperti ini pula Imām al-Bulqīnī memfatwakan dan menguraikan secara panjang lebar.10
10Perbedaan ‘ulamā’ terjadi ketika ma’mūm benar-benar tahu keadaa imām, jika ma’mūm tidak tahu keadaan imām seperti imām sedang berdiri, namun apakah sedang i‘tidal atau yang lainnya, maka wajib untuk berniat Jum‘at tanpa perselisihan ‘ulamā’.” I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 67. Dār-ul-Fikr.
2. Shalat Jum‘at harus dikerjakan oleh 4011 orang, termasuk imāmnya dari orang-orang yang dapat mengesahkan Jum‘at, sekalipun sedang menderita sakit. Andaikata orang-orang yang sedang mendirikan shalat Jum‘at itu 40 orang saja dan di antara mereka terdapat seorang atau lebih yang ummī yang ceroboh tidak mau belajar, maka shalat Jum‘at mereka tidak sah, sebab shalat ummī batal, yang berarti bilangan 40 orang menjadi berkurang. Namun jika ummī tidak ceroboh dalam meninggalkan belajar, maka sah shalat Jum‘at mereka, sebagaimana pendapat yang dipegang teguh oleh guru kami dalam kitab Syarḥ-ul-‘Ubāb dan al-Irsyād, dengan mengikuti pendapat yang telah diputuskan oleh gurunya dalam kitab Syarḥ-ur-Raudh. Kemudian dalam Syarḥ-ul-Minhāj guru kita berkata: Tiada perbedaan antara ummī yang ceroboh dalam belajar, ataupun tidak dalam masalah ini. Perbedaan keduanya tidaklah kuat. – Selesai -. Jika bilangan 40 itu berkurang di waktu shalat maka shalat Jum‘at menjadi batal atau di waktu khuthbah, maka rukun khuthbah yang dilakukan waktu bilangan berkurang tidaklah dianggap, karena rukun tersebut tidak didengarkan oleh mereka semua. Jika ia kembali dalam waktu dekat secara umum,12 maka boleh meneruskan rukun khuthbah yang telah dikerjakan. Kalau tidak dalam waktu dekat, maka khuthbah harus diulangi dari permulaan. Sebagaimana jika bilangan berkurang antara khuthbah dan shalat, lantaran hilangnya sambung-menyambung antara khuthbah dengan shalat.
12Imām Rāfi‘ī membatasi dengan batasan waktu di antara dua shalat jama‘ ya‘ni dua raka‘at yang cepat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 69. Dār-ul-Fikr.
(Cabangan Masalah). Seseorang yang mempunyai dua tempat tinggal pada dua daerah, maka yang dipandang sebagai tempatnya adalah yang banyak didiami, kalau keduanya sama, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya adalah tempat yang didiami oleh keluarga dan harta bendanya. Jika di satu tempat tempat keluarganya, dan di tempat yang satu lagi terdapat harta bendanya, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya, adalah tempat yang didiami keluarganya. Apabila masing-masing terdapat keluarga dan hartanya, maka yang dianggap sebagai tempat tinggalnya adalah tempat yang didiami di waktu terselenggara shalat Jum‘at. Shalat Jum‘at tidak sah dengan dikerjakan orang yang jumlahnya kurang dari 40. Lain halnya dengan pendapat Imām Abū Ḥanīfah r.a. Menurut beliau shalat Jum‘at tetap sah dengan jumlah empat orang, sekalipun mereka semua adalah hamba sahaya atau orang-orang musāfir. Menurut pendapat kita (Syāfi‘iyyah), penyelenggaraan shalat Jum‘at itu tidak disyaratkan harus mendapat idzin dari penguasa13 dan tempatnya tidak harus di mishr (kota). Lain halnya dengan pendapat Imām Abū Ḥanīfah yang mensyaratkan kedua hal di atas. Imam al-Bulqīnī ditanya mengenai penduduk suatu daerah yang jumlahnya kurang dari 40 orang, mereka ini wajib mengerjakan shalat Jum‘at atau Zhuhur? Beliau menjawab: Mereka harus mengerjakan shalat Zhuhur menurut madzhab Syāfi‘ī. Segolongan ‘ulamā’ memperbolehkan mereka melakukan shalat Jum‘at, dan justru pendapat ini yang kuat. Karena itu, jika mereka semuanya mengikuti imam yang berpendapat tersebut,14 maka boleh melakukan shalat Jum‘at. Kalau ingin hati-hati, hendaknya mereka melakukan shalat Jum‘at, lalu mengerjakan shalat Zhuhur, maka hal itu baik.
14Boleh juga mengikuti qaul qadīm Imām Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa jumlah jamā‘ah Jum‘at cukup 4 orang. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 70. Dār-ul-Fikr.
3. Diselenggarakannya shalat Jum‘at pada tempat yang termasuk balad15 sekalipun tempat lapang yang masuk wilayahnya, sekira berada pada jarak yang tidak diperkenankan mengqashar shalat, sekalipun tidak bersambung dengan bangunan. Lain halnya dengan yang sudah tidak termasuk wilayahnya, yaitu tempat jauh yang kalau seseorang pergi ke sana sudah diperbolehkan mengqashar shalat.
(Cabang Masalah). Apabila sebuah desa berpenduduk 40 orang, maka bagi mereka wajib menyelenggarakan shalat Jum‘at. Bahkan menurut pendapat yang mu‘tamad, mereka haram meniadakannya di desa tersebut dan pergi melakukannya ke lain daerah16, yang sekalipun ia masih mendengar panggilan shalat Jum‘at dari daerah lain tersebut. Imām Ibn-ur-Rif‘ah dan lainnya berkata: Jika mereka dapat mendengar panggilan shalat Jum‘at dari Mishr17 maka boleh memilih antara pergi ke balad18 untuk menunaikan shalat Jum‘at atau menyelenggarakannya di desanya sendiri. Apabila mereka pergi ke desa (dalam masalah di atas), maka mereka tidak bisa menyempurnakan bilangan keabsahan Jum‘at, sebab berkedudukan sebagai musāfir. Jika di desanya sendiri tidak ada golongan yang mendukung keabsahan shalat Jum‘at – sekalipun dengan memperhitungkan di antara mereka ada yang tidak mau pergi shalat Jum‘at – , maka mereka wajib menunaikan shalat Jum‘at di desa sebelahnya – , yang mereka masih mendengar panggilan shalat Jum‘at dari tempat itu. Imām Ibnu ‘Ujail berkata: Apabila ada beberapa tempat (desa) yang berdekataan, serta masing-masing mempunyai nama tersendiri, maka dihukumi sebagai tempat tersendiri. Guru kami berkata: Dihukumi seperti itu, jika masing-masing tempat tersebut berkedudukan sebagai desa tersendiri pula, menurut anggapan umum.
17Adalah daerah yang telah memiliki hakim, polisi dan pasar. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 70. Dār-ul-Fikr.
18Memberi kefahaman bahwa mishr yang telah disebutkan bukanlah batasan kecuali yang dimaksud balad adalah khusus untuk mishr. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 71. Dār-ul-Fikr.
(Cabang Masalah). Apabila penguasa memaksa penduduk suatu desa agar berpindah dari desanya dan membangun tempat di daerah yang baru, yang kemudian tinggal di situ, tetapi mereka bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal yang pertama, bila Allah s.w.t. telah menghilangkan kesusahannya, maka mereka tidak wajib menunaikan shalat Jum‘at di tempat tersebut (tempat baru). Bahkan belum cukup syarat sah shalat Jum‘at bagi mereka, sebab mereka tidak mutawaththin (penduduk daerah itu).19
4. Shalat Jum‘at diselenggarakan pada waktu Zhuhur.20 Jika waktu sudah tidak mencukupi menunaikan shalat Jum‘at dan kedua khuthbahnya, atau hal tersebut masih diragukannya, maka mereka harus mengerjakan shalat Zhuhur. Jika dengan yakin atau hanya mengira waktu shalat sudah habis, sedang mereka ada di tengah-tengah mengerjakan shalat Jum‘at – sekalipun hampir saja salām, jika hal itu atas berita orang yang adil,21 menurut pendapat yang aujah, maka mereka wajib meneruskan shalatnya sebagai shalat Zhuhur, dengan meneruskan apa yang sudah berlangsung, dan shalat Jum‘at sudah tertinggal. Lain halnya jika hanya mengira bahwa waktu Zhuhur sudah habis sebab pada dasarnya waktu masih ada. Termasuk syarat sah shalat Jum‘at adalah tidak didahului shalat Jum‘at dengan takbīrat-ul-iḥrām dan tidak dibarenginya shalat Jum‘at di tempat didirikannya shalat Jum‘at, kecuali jika penduduk tempat tersebut banyak dan sukar dikumpulkan jadi satu tempat22 – sekalipun tidak di masjid – dengan tanpa terjadi sesuatu yang menyakitkan di tempat itu, misalnya panas atau dingin sekali. Maka dalam keadaan seperti ini, boleh menyelenggarakan shalat Jum‘at di beberapa tempat itu, dengan memandang kebutuhannya.
21Begitu pula orang fāsiq jika meyakininya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 72. Dār-ul-Fikr.
22Yang diperhitungkan dalam masalah sulit mengumpulkan adalah orang yang biasanya melakukan shalat Jum‘at baik orng tersebut berkewajiban Jum‘at ataupun tidak. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 74. Dār-ul-Fikr.
(Cabang Masalah). Orang yang tidak ber‘udzur tidaklah sah mengerjakan shalat Zhuhur sebelum imam shalat Jum‘at salām. Jika hal ini dilakukan karena tidak mengerti, maka shalat yang dilakukan menjadi shalat sunnah.23 Jika semua penduduk suatu daerah hanya mengerjakan shalat Zhuhur, tanpa shalat Jum‘at, maka shalat mereka tidak sah, selagi masih ada untuk mengerjakan dua khuthbah dan shalatnya, sekalipun telah diketahui bahwa mereka pada kebiasaannya tidak mendirikan shalat Jum‘at.
5. Shalat Jum‘at diselenggarakan setelah dua khuthbah yang dikerjakan sesudah tergelincir matahari, berdasarkan hadits Imām Bukhārī-Muslim bahwa Rasūlullāh s.a.w. shalat Jum‘at selalu setelah dua khuthbah. Maksudnya, shalat Jum‘at tersebut diselenggarakan setelah dua khuthbah beserta rukun-rukunnya yang akan dituturkan di bawah ini.
Rukun khuthbah shalat Jum‘at ada lima perkara:
(1. Memuji kepada Allah s.w.t.
(2. Membaca shalawat kepada baginda Nabi s.a.w., dengan menggunakan kedua lafazhnya.24 Maksudnya dengan lafazh pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi. Untuk pujian kepada Allah seperti: (الْحَمْدُ للهِ) atau (أَحْمَدُ اللهَ) tidak cukup lafazh (الشُّكْرُ للهِ) atau (الثَّنَاءُ للهِ) dan tidak cukup pula lafazh (الْحَمْدُ لِلرَّحْمنِ) atau (الْحَمْدُ لِلرَّحِيْمِ). Sedang lafazh shalawat seperti: (اللَّهُمَّ صَلِّ (عَلَى مُحَمَّدٍ)), (صَلَّى الله (عَلَى مُحَمَّدٍ)), (أُصَلِّيْ عَلَى مُحَمَّدٍ) atau ((عَلَى) أَحْمَدٍ), ((عَلَى) الرَّسُوْلِ), ((عَلَى) النَّبِيِّ), ((عَلَى) الْحَاشِرِ) dan nama Nabi s.a.w. yang lain. Tidak cukup lafazh: (اَللَّهُمَّ سَلَّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ ارْحَمْ مُحَمَّدًا) dan juga tidak cukup lafazh: (وَ لَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ) dengan menggunakan dhamīr (kata gantinama) sekalipun tempat kembali dhamīr sebelumnya sudah disebutkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh segolongan ‘ulamā’ muḥaqqiqūn. Imām al-Kamāl ad-Damīrī berkata: Banyak sekali para khathīb yang melupakan hal itu (yaitu membaca shalawat hanya menggunakan Isim Dhamīr). – Selesai – . Karena itu anda janganlah tertipu dengan penggunaan isim dhamīr dalam pembacaan shalawat di sebagian khuthbah-khuthbah yang diterbitkan yang berbeda dengan pendapat ‘ulamā’ muḥaqqiqūn kurun akhir.
(3. Wasiat taqwā kepada Allah. Kata-kata dan panjangnya tidak ditentukan, namun cukuplah dengan mengucapkan semisal kalimat yang mengandung anjuran untuk taat kepada Allah atau larangan mendurhakai-Nya. Karena wasiat itulah maksud diadakan khuthbah. Maka tidaklah cukup hanya menakut-nakuti dari bujukan dunia, mengingat kematian, ketidak-enakan dan kesakitan sesudah mati. Imām Ibnu Rif‘ah berkata: Wasiat cukup dengan kalimat yang mengandung perintah agar bersiap-siap menyambut kematian. Ketiga rukun di atas disyaratkan harus dibaca pada masing-masing dua khuthbah Jum‘at. Sunnah bagi seorang khathīb agar menertibkan25 dalam mengerjakan ketiga rukun tersebut dan rukun-rukun setelahnya dengan membaca ḥamdalah, shalawat, wasiat, membaca al-Qur’ān, lalu membaca doa.
(4. Membaca ayat yang memberi kepahaman, pada salah satu dari dua khuthbah. Yang lebih utama adalah dibaca pada khuthbah pertama.
Sunnah setiap hari Jum‘at membaca surat Qāf, atau sebagian dari surat itu setelah shalat Jum‘at sebab mengikuti kepada Rasūl.
(5. Doa masalah akhirat26 untuk orang-orang mu’min. Doa telah sah, sekalipun tidak menyebutkan mu’mināt (wanita-wanita mu’min),27 lain halnya dengan pendapat Imām al-Adzra‘ī. Sah juga, sekalipun hanya dengan mengucapkan: (رَحِمَكُمُ الله) – Semoga Allah merahmati kalian semua – , demikian pula dengan ucapan: (اَللَّهُمَّ أَجِرْنَا مِنَ النَّارِ) – Ya Allah, selamatkan kami dari panas api neraka -, jika memang yang dimaksudkan dengan “kita” adalah hadirin sekalian. Doa tersebut harus dibaca pada khuthbah kedua, sebagai tindak mengikuti ‘ulamā’ salaf dan khalaf.28 Doa khusus untuk penguasa, ‘ulamā’ sepakat tidak disunnahkan. Kecuali jika khawatir akan terjadi fitnah, maka doa untuk penguasa wajib dikerjakannya. Kalau tidak khawatir akan terjadi fitnah, maka mengerjakannya tidaklah mengapa, selama tidak berlebih-lebihan dalam menyebut sifat penguasa. Tidak boleh menyebutkan sifat penguasa yang tidak semestinya, kecuali jika terpaksa harus begitu. Sunnah berdoa untuk para penguasa dari golongan sahabat Nabi s.a.w. secara pasti, begitu juga doa untuk penguasa Muslim dan tentaranya, dengan dipanjatkan kemaslahatan, pertolongan, dan berlaku adil. Menyebutkan cerita kebaikan-kebaikan penguasa tidaklah memutus sambung-menyambung khuthbah,29 selama penyebutan itu tidak dianggap berpaling dari khuthbah.30 Dalam kitab at-Tawāsuth disebutkan: Disyaratkan agar tidak memperpanjang khuthbah yang sampai dapat memutus sambung-menyambungnya sebagaimana yang banyak dilakukan oleh khathib-khathib yang bodoh. Guru kami berkata: Apabila telah selesai khuthbah merasa ragu tentang meninggalkan rukunnya, maka tidak berpengaruh atas keabsahan khuthbah, sebagaimana tidak adanya pengaruh jika setelah shalat atau wudhū’ meragukan meninggalkan fardhunya.
27Sebab kata mu’minīn merupakan jenis yang mencakup mu’mināt. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 79. Dār-ul-Fikr.
28Maksud dari ‘ulamā’ salaf adalah sahabat, sedangkan khalaf adalah orang setelahnya dari tābi‘īn dan tābi‘it tābi‘īn. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 72. Dār-ul-Fikr.
29Di antara rukun-rukunnya, di antara shalat yang mencukupi keabsahannya seperti keterangan nanti. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 80. Dār-ul-Fikr.
30Dengan kadar minimal dua raka‘at shalat yang mencukupi keabsahannya seperti keterangan nanti. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 80. Dār-ul-Fikr.
Syarat Sah Khuthbah Jum‘at
Disyaratkan dalam dua khuthbah:
(1. Terdengar oleh 40 orang.31 Maksudnya oleh 39 orang selain seorang khathīb, yang kesemuanya adalah orang-orang yang mengesahkan shalat Jum‘at. Yang harus terdengar tersebut adalah rukun-rukun khuthbah, bukan seluruh isi khuthbah. Guru kami berkata: Tidak wajib menunaikan shalat Jum‘at bagi 40 orang yang sebagiannya ada yang buta. Shalat Jum‘at tidak sah jika terjadi suara bising yang dapat membuat rukun khuthbah tidak terdengar, menurut pendapat yang mu‘tamad. Sekalipun pendapat tersebut ditentang oleh segolongan ‘ulamā’ yang hanya mensyaratkan menghadiri khuthbah saja.32 sebagaimana yang ditunjukkan oleh ucapan dua guru kami (Imām Rāfi‘ī dan Nawawī) pada beberapa tempat, maka tidak disyaratkan 40 orang itu harus berada di tempat shalat dan tidak harus memahami apa yang mereka dengar33
(2. Dua khuthbah disyaratkan harus dengan berbahasa ‘Arab untuk mengikuti ‘ulamā’ salaf dan khalaf. Fā’idah khuthbah harus berbahasa ‘Arab – padahal hadirin tidak faham -, adalah agar mereka mengerti secara garis besar bahwa apa yang dikhuthbahkan adalah nasihat, demikianlah menurut yang dikatakan oleh Imām al-Qādhī Ḥusain. Jika tidak memungkinkan mempelajari khuthbah dengan bahasa ‘Arab, – padahal waktu sudah mendesak – , maka salah seorang dari mereka harus berkhuthbah dalam bahasa daerah yang bersangkutan. Jika mereka mungkin untuk mempelajari khuthbah berbahasa ‘Arab, maka bagi mereka hukumnya fardhu kifāyah untuk mempelajarinya.
(3. Khathīb yang mampu berdiri harus berdiri.
(4. Suci dari hadats besar dan kecil serta suci dari najis yang tidak di-ma‘fu (tidak dimaafkan) pada pakaian, badan dan tempat shalat.
(5. Menutup aurat.34
(6. Duduk di antara dua khuthbah dengan thuma’ninah.35 Sunnah duduk ini dilakukan seukuran membaca surat al-Ikhlāsh, dan sunnah membacanya. Bagi khathīb yang berkhuthbah dengan duduk karena ‘udzur, maka dia wajib memisah dua khuthbah dengan diam sebentar. Tersebut dalam kitab al-Jawāhir. Apabila antara dua khuthbah khathib tidak duduk, maka dua khuthbahnya dihitung satu khuthbah. Karena itu, ia harus duduk lagi dan meneruskan khuthbah yang ketiga.
(7. Sambung-menyambung antara dua khuthbah, antara rukun-rukunnya, dan antara dua khuthbah dengan shalat dengan tidak terpisah terlalu panjang36 menurut ukuran umum. Dalam keterangan yang akan datang, bahwa hilangnya muwālah (sambung-menyambung) antara dua raka‘at yang dijama‘ adalah dengan melakukan dua raka‘at, bahkan dengan dua raka‘at yang sudah mencukupi keabsahan shalat. Batasaan tersebut tidaklah jauh untuk diterapkan pada masalah muwālah dua khuthbah di sini, maka hal itu menjadi keterangan mengenai “ukuran umum”.
32Tidak disyaratkan harus mendengar secara nyata seperti tertidur dan suara bising, namun cukup hadir saja. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 81. Dār-ul-Fikr.
33Begitu pula tidak disyaratkan suci dan menutupi aurat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 82. Dār-ul-Fikr.
34Jikalau pada waktu selain rukun, aurat khathīb terbuka, maka tidak masalah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 82 Dār-ul-Fikr.
35Tidak ada madzhab selain Syafi‘iyyah tidak menganggap bahwa duduk merupakan rukun khuthbah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 83 Dār-ul-Fikr.
36Namun disyaratkan adanya pemisah yang panjang tersebut tidak berhubungan dengan khuthbah, jika ada hubungannya maka tidak masalah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 83 Dār-ul-Fikr.
Post a Comment