Kesunnahan dalam Adzān dan Iqāmah
Kesunnahan dalam
Adzān dan Iqāmah
(Disunnahkan di dalam adzān dan iqāmah) untuk:
1. Berdiri dan melakukan adzān di tempat yang tinggi. Jikalau masjid tidak memiliki menara, maka disunnahkan adzān di atas lotengnya, lantas di pintu masuknya.
2. Menghadap qiblat15 dan makruh meninggalkannya.
3. Menolehkan wajahnya bukan dadanya16 (ke arah kanan) sekali (di saat membaca lafazh: (حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ) dua kali, lantas mengembalikan wajahnya ke arah qiblat (dan ke arah kiri) sekali (saat membaca lafazh: (حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ) dua kali, lantas mengembalikan wajahnya ke arah qiblat, walaupun untuk adzān khuthbah, atau bagi seorang yang adzān untuk dirinya sendiri.17 Tidak sunnah menoleh di waktu membaca tatswīb besertaan perbedaan pendapat di dalam masalah ini.
16Agar tidak bergeser dari arah qiblat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 275. Dār-ul-Fikr.
17Sebab terkadang orang yang mendengar yang tidak diketahui dan ingin berjamā‘ah padanya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 275. Dār-ul-Fikr.
(Peringatan). Disunnahkan mengeraskan suara dengan adzān bagi seorang yang shalat sendiri melebihi terdengar diri sendiri,18 dan bagi adzān untuk jamā‘ah melebihi mendengarnya satu orang dari jamā‘ah tersebut. Disunnahkan bagi setiap orang yang adzān untuk sangat mengeraskan adzān sebab perintah dari Nabi s.a.w., melirihkan suara adzān19 di tempat shalat yang telah dilaksanakan jamā‘ah dan telah bubar, adzān dengan tartīl, mempercepat iqāmah, membaca sukūn rā’ takbīr yang pertama – jika tidak dilakukan maka pendapat yang ashaḥḥ membaca dhammah– . Sunnah membaca idghām (دَالِ) dari lafazh (مُحَمَّدٍ) dalam rā’ lafazh (رَسُوْلِ اللهِ) sebab meninggalkannya merupakan lahn (kekeliruan) yang samar dalam membaca. Sebaiknya mengucapkan (هَاءِ) lafazh (الصَّلَاةِ). Makruh hukumnya adzān dan iqāmah bagi seorang yang hadats, anak kecil, dan orang fāsiq. Dan tidak sah mengangkat mereka menjadi petugas adzān. Adzān dan iqāmah sekaligus lebih utama dibanding dengan menjadi imam sebab firman Allah yang artinya: Tiada seorang yang lebih bagus dibanding dengan orang yang mengajak kepada Allah. Dewi (Sayyidatinā) ‘Ā’isyah berkata: Mereka adalah orang-orang yang adzān (mu’adzdzin). Sebagian pendapat mengatakan: Menjadi imam lebih baik. Sedangkan menjadi imam lebih daripada salah satu adzān dan iqāmah tanpa perselisihan ‘ulamā’.20
19Agar tidak diduga masuknya waktu shalat yang lain. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 276. Dār-ul-Fikr.
20Padahal Imām Jamāl ar-Ramlī berbeda pendapat. Semestinya yang baik adalah menyebutkan khilāf tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 277. Dār-ul-Fikr.
Kesunnahan Bagi yang Mendengarkan Adzān dan Iqāmah.
(Disunnahkan bagi orang yang mendengar adzān dan iqāmah) dengan pendengaran yang dapat membedakan huruf-hurufnya21 jika tidak semacam itu, maka apa yang didengar tidaklah dianggap22 seperti yang diungkapkan guru kita di akhir bab,23 (untuk mengucapkan) – walaupun tidak memiliki wudhū’ atau junub, ḥaidh berbeda dengan pendapat Imām Subkī dalam kasus keduanya atau orang yang sedang istinjā’ menurut pendapat yang telah jelas – , (seperti ucapan adzān dan iqāmah jika orang yang adzān dan iqāmah tidak keliru mengucapkan dengan kekeliruan yang dapat merubah ma‘na).24 Maka orang yang mendengar adzān disunnahkan untuk mengucapkan setiap kalimat setelah selesainya kalimah tersebut sampai disunnahkan pula mengucapkan pada tarjī‘ walaupun tidak mendengarnya. Jikalau seseorang hanya mendengar sebagian dari adzān, maka disunnahkan menjawab terhadap lafazh yang didengar dan lafazh yang tidak didengar. Jikalau terjadi adzān beruntut, maka jawablah semuanya walaupun setelah shalat. Dimakruhkan meninggalkan menjawab adzān yang pertama. Seorang yang mendengar adzān disunnahkan untuk menghentikan bacaan al-Qur’ān, dzikir dan doa guna menjawabnya. Dimakruhkan menjawab adzān bagi seorang yang sedang bersetubuh dan orang yang sedang membuang hajat, akan tetapi keduanya menjawab setelah selesai melakukannya seperti seseorang yang shalat jika waktu pemisahnya masih sebentar. Tidak makruh menjawab bagi seorang yang berada di kamar mandi dan orang yang tubuhnya – selain mulut – terkena najis walaupun menemukan alat yang dapat mensucikannya. (Kecuali pada lafazh (حَيْعَلَاتٍ) maka orang yang menjawab adzān membaca lafazh (لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ) Artinya: Tidak ada daya untuk meninggalkan maksiat kepada Allah dan tiada kekuatan melakukan ketaatan kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya. (Dan membaca: (صَدَقْتَ وَ بَرَرْتَ) dua kali) Artinya: Jadilah engkau seorang yang memiliki banyak kebagusan (jika seorang yang adzān membaca tatswīb) dalam shalat Shubuḥ. Diucapkan dalam kalimatnya iqāmah: (أَقَامَهَا اللهُ) – sampai selesai – Artinya: Semoga Allah mendirikan shalat, melestarikannya dan menjadikan diriku sebagian orang-orang shāliḥ ahli shalat.
22Maka tidak disunnahkan untuk menjawabnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 277. Dār-ul-Fikr.
23Dalam kitāb Tuḥfahnya. Sedangkan pendapat di selain kitāb Tuḥfah beliau hukumnya disunnahkan, walaupun tidak dapat membedakan huruf yang didengar. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 277. Dār-ul-Fikr.
24Berbeda dengan pendapat Ibnu Qāsim yang dinukil dari al-‘Ubāb yang menghukumi sunnah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 276. Dār-ul-Fikr.
Disunnahkan bagi setiap dari orang yang adzān, iqāmah dan yang mendengarkan keduanya (untuk membaca shalawat) dan salām (kepada Nabi) s.a.w.25 (setelah selesai keduanya) maksudnya satu dari keduanya jika waktu pemisah di antara keduanya lama, dan bila tidak lama, maka cukup bagi keduanya membaca satu doa (lantas) setiap satu dari mereka dengan mengangkat kedua tangannya membaca doa (اللهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ) Artinya: Ya Allah, Tuhan dari penyeru ini maksudnya adalah adzān dan iqāmah (sampai selesai doa). Kesempurnaannya adalah: Dan shalat yang akan didirikan, semoga Engkau memberikan kepada Nabi Muḥammad wasīlah dan keutamaan. Tempatkanlah Nabi Muḥammad ke tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan. Wasīlah adalah tempat tertinggi di surga, sedangkan tempat yang terpuji adalah tempat syafā‘at dalam memutuskan hukum di hari kiamat.
Disunnahkan untuk mengucapkan setelah adzān Maghrib doa: Ya Allah, kini malam-Mu telah tiba, siang-Mu telah berlalu dan suara-suara penyeru-Mu telah diperdengarkan, maka ampunilah dosaku. Disunnahkan membaca shalawat sebelum iqāmah atas pendapat yang telah diungkapkan oleh Imām Nawawī dalam Syaraḥ Wasīth, dan guru kita Ibnu Ziyād memakai pendapat tersebut sebagai pedoman. Imām Ibnu Ziyād berkata: Sedangkan membaca shalawat sebelum adzān, maka aku tidaklah tahu satu pendapat pun. Syaikh al-Kabīr al-Bakrī mengatakan: Disunnahkan membaca shalawat sebelum adzān dan iqāmah dan tidak disunnahkan lafazh: (اللهُمَّ هذَا إِقْبَالُ لَيْلِكَ) setelah keduanya. Imām Rauyānī dalam kitāb al-Baḥr mengatakan: Disunnahkan untuk membaca Yāsīn di antara adzān dan iqāmah sebab hadits Nabi yang berbunyi: “Sesungguhnya orang yang membaca surat Yāsīn di antara adzān dan iqāmah, maka tidak akan ditulis baginya dosa yang terjadi di antara dua shalat.”
(Cabang Masalah). Imām al-Bulqīnī berfatwā di dalam masalah seseorang yang selesai wudhū’nya bertepatan dengan selesainya adzān bahwa orang tersebut membaca dzikir wudhū’ sebab dzikir wudhū’ adalah untuk ‘ibādah yang telah ia selesaikan lantas membaca dzikir adzān. Beliau berkata lagi: Bagus jika ia membaca dua syahadat wudhū’ lantas doa adzān sebab berhubungan dengan Nabi, kemudian berdoa untuk dirinya sendiri.26
Post a Comment