SYARAT SHALAT KE-5
SYARAT SHALAT KE-5
(Syarat shalat yang kelima adalah menghadap tepat ke qiblat).1 Maksudnya qiblat adalah menghadap Ka‘bah dengan menggunakan dada.2 Maka tidaklah cukup menghadap ke arah qiblat, lain halnya dengan Abū Ḥanīfah3 – semoga Allah mengasihnya – (kecuali bagi) orang yang tidak mampu,4 dan di dalam shalat dalam keadaan (syiddat-ul-khauf atau sangat takut) – walaupun shalatnya fardhu – maka diperbolehkan shalat dengan cara semampunya dengan berjalan dan berkendaraan, menghadap qiblat atau membelakanginya seperti kasus lari menyelamatkan diri dari kebakaran, banjir, hewan buas, ular dan dari orang yang menghutangi saat miskin dan takut dipenjara. (Tidak) wajib menghadap qiblat (dalam shalat sunnah saat bepergian yang diperbolehkan), bagi seseorang yang memiliki tujuan tempat tertentu, maka diperbolehkan melakukan shalat sunnah dengan cara berkendaraan dan berjalan walaupun perjalanannya dekat. Benar, diperbolehkan walaupun perjalanan dekat namun disyaratkan tempat tujuannya berada pada jarak yang tidak terdengar panggilan adzan dari desanya dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam bab jum‘at. Dikecualikan dari perjalanan yang diperbolehkan adalah perjalanan maksiat, maka tidak diperbolehkan meninggalkan menghadap qiblat dalam shalat sunnah bagi seorang budak yang kabur, musafir yang memiliki hutang yang harus segera dibayar yang mampu untuk melunasinya tanpa seidzin dari orang yang menghutangi.
2Secara hakikat pada waktu berdiri dan duduk dan secara hukum di waktu ruku‘ dan sujud. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 145 Darul Fikr.
3 Yang mengatakan cukup menghadap arah qiblat meskipun tidak tepat ke qiblat. (pen.)
4Maka diperbolehkan shalat menghadap manapun dan wajib mengulangi. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 145 Darul Fikr.
(Wajib bagi orang yang shalat dengan berjalan kaki untuk menyempurnakan ruku‘ dan sujud)5 sebab mudahnya hal itu baginya dan bagi orang yang shalat berkendaraan untuk memberi isyarat dari dua hal tersebut. (Wajib menghadap qiblat di saat ruku‘ dan sujud), takbirat-ul-iḥrām dan duduk di antara sujud, maka tidak diperbolehkan berjalan kaki kecuali dalam keadaan berdiri, i‘tidāl, tasyahhud dan salām. Haram berpaling dari menghadap arah tujuannya dengan sengaja, tahu keharamannya serta dengan kehendaknya kecuali berpaling menghadap qiblat. Disyaratkan meninggalkan gerakan yang banyak6 seperti berlari dan menggerakkan kaki tanpa hajat, dan meninggalkan kesengajaan menginjak najis – walaupun najis yang telah kering dan walaupun najis itu telah merata dijalan – . Tidaklah masalah menginjak najis kering secara tidak sengaja dan tidak dibebankan bagi orang yang shalat berjalan untuk menghadap qiblat di dalam shalat sunnah bagi orang yang mengendarai perahu selain nahkodanya.
6Seperti tiga gerakan berturut-turut atau lebih. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 147 Darul Fikr.
Ketahuilah juga, bahwa disyaratkan dalam keabsahan shalat untuk mengetahui kefardhuannya shalat, maka jikalau tidak mengetahui kefardhuan asli shalat,7 atau kefardhuan shalat yang sedang dilaksanakan8 maka shalat tidaklah sah seperti keterangan dalam Majmū‘-nya, dan harus dapat membedakan kefardhuan dari kesunnahan shalat. Benar harus dapat membedakan, namun jika seorang yang awam9 ataupun orang yang alim – menurut pendapat yang unggul – meyakini seluruh hal yang ada dalam shalat adalah fardhu, maka shalatnya sah atau seluruhnya sunnah, maka tidaklah sah, dan harus mengetahui tata cara shalat yang akan dijelaskan sebentar lagi – in syā’ Allāh ta‘ālā.
8Tidak mengerti kekhususan kefardhuan shalat yang sedang dijalani seperti shalat Zhuhur, bukan mutlak shalat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 148 Darul Fikr.
9Maksudnya orang awam adalah orang yang tidak memiliki ilmu fiqih sedikitpun yang dapat menunjukkan permasalahan fiqh yang lain. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 148 Darul Fikr.
Post a Comment