TENTANG CARASHALAT (RUKUN SHALAT)
TENTANG CARA
SHALAT (RUKUN SHALAT)
(Rukun-rukun shalat) yakni kefardhuannya ada 14 dengan menjadikan tuma’nīnah sebagai satu rukun di dalamanya1.
Yang pertama adalah (niat). Niat adalah menyengaja dalam hati.2 Dasar dari niat ini adalah hadits Nabi: Sahnya dari amal perbuatan hanyalah dari niatnya. (Wajib di dalam niat untuk menyengaja melaksanakan shalat)3 supaya shalat menjadi berbeda dengan pekerjaan yang lain (dan wajib untuk menentukannya) dari shalat Zhuhur, atau selainnya agar shalat Zhuhur berbeda dari shalat lainnya, maka tidaklah cukup berniat fardhu dengan waktu yang mutlak (walaupun) shalat yang dikerjakan (adalah shalat sunnah) selain shalat mutlak seperti shalat rawātib, shalat sunnah yang memiliki waktu atau sebab,4 maka wajib untuk menentukan shalat itu dengan menyandarkan, pada hal yang dapat menentukan seperti sunnah Zhuhur qabliyyah atau ba‘diyyah – walaupun sunnah qabliyyah diakhirkan dari fardhunya dan seperti halnya Zhuhur adalah setiap shalat yang memiliki kesunnahan sebelum dan setelahnya – , Dan seperti shalat ‘Īd-ul-Adhḥā (akbar), atau ‘Īd-ul-Fithri (ashghar), – maka tidaklah cukup berniat shalat ‘Īd – , seperti shalat witir – baik satu raka‘at ataupun lebih, cukup niat witir tanpa menyebutkan jumlah raka‘atnya dan diarahkan kepada raka‘at yang dikehendaki menurut pendapat yang unggul, tidak cukup dalam shalat witir ini dengan hanya berniat shalat sunnah ‘Isyā’ atau rawātib-nya – , seperti shalat tarāwiḥ, dhuḥā, istisqā’, gerhana matahari dan rembulan. Sedangkan bila shalat sunnah tersebut adalah shalat sunnah mutlak, maka cukup di dalamnya berniat melakukan shalat saja seperti halnya niat di dalam shalat dua raka‘at tahiyyat-ul-masjid, dua rakaat wudhū’ dan istikhārah, begitu pula shalat awwābīn seperti yang telah dipaparkan oleh guru kita Ibnu Ziyād dan al-‘Allāmah as-Suyūthī – semoga Allah mengasihinya – . Sedang pendapat yang diputuskan oleh guru kita Ibnu Ḥajar dalam Fatāwī-nya adalah wajibnya menentukan shalat awwābīn seperti shalat dhuḥā. (Wajib untuk berniat fardhu5 di dalam shalat yang fardhu) – walaupun fardhu kifāyah atau nadzar dan walaupun orang yang berniat adalah anak kecil – agar niat fardhu itu membedakan dengan kesunnahan. (Contoh niatnya: Saya shalat kefardhuan Zhuhur)6 atau kefardhuan jum‘at walaupun hanya menemukan imām dalam tasyahhudnya.
2Ini adalah ma‘na niat secara bahasa. Sedangkan ma‘na secara syara‘ adalah: Menyengaja sesuatu yang bersamaan dengan pekerjaannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 148 Darul Fikr.
3Secara global shalat dibagi menjadi tiga: Shalat fardhu, shalat sunnah yang memiliki waktu atau sebab dan shalat sunnah mutlak. Shalat fardhu disyaratkan di dalamnya tiga hal; niat mengerjakan, menentukan shalatnya, dan niat fardhu. Untuk shalat sunnah yang memiliki waktu atau sebab disyaratkan dua hal; niat mengerjakan dan menentukan. Sedang yang terakhir ya‘ni shalat sunnah mutlak hanya disyaratkan satu hal saja yaitu niat mengerjakan shalat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 148 Darul Fikr.
4 Dikecualikan dari shalat yang memiliki sebab adalah shalat tahiyyat-ul-masjid, dua rakaat wudhu’, sunnah ihram, istikhārah, thawāf, shalat hajat, sunnah zawāl, shalat awwābīn sebab shalat-shalat tersebut dapat dihasilkan dengan shalat apapun. Artinya, dalam niat tidak perlu menentukannya, bila hanya sekedar untuk menggugurkan kesunnahannya saja, namun jika ingin mendapatkan pahalanya, maka mesti harus berniat dengan niat shalat-shalat tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 151 Darul Fikr.
5Dalam masalah penyebutan fardhu dalam sebuah ibadah terbagi menjadi empat kelompok: Wajib menyebutkan niat fardhu tanpa khilaf ya‘ni kaffarat, tidak wajib menyebutkan niat fardhu tanpa khilaf ya‘ni haji, ‘umrah, dan jamā‘ah, disyaratkan menurut pendapat ashaḥḥ ya‘ni mandi, shalat, zakat dengan lafazh shadaqah, tidak disyaratkan menurut pendapat yang ashaḥḥ ya‘ni wudhu’, puasa, dan zakat dengan lafazh zakat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 151 Darul Fikr.
6Contoh di atas telah mencakup tiga komponen yang wajib dalam shalat fardhu ya‘ni berniat mengerjakan, menentukan dan niat fardhu. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 148 Darul Fikr.
(Disunnahkan) di dalam niat (untuk menyandarkan lafazh Allah ta‘ālā),7 karena keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya dan sekaligus sebagai ungkapan bentuk nyata makna keikhlasan. (Menyebutkan lafazh ‘adā’ ataupun qadhā’), hukumnya tidak wajib walaupun baginya memiliki shalat yang telah terlewat waktunya yang menyamai dengan shalat yang dikerjakan, berbeda dengan pendapat yang menjadi pedoman Imām Adzra‘ī. Menurut pendapat yang ashaḥ shalat yang sedang dikerjakan sah diniati dengan qadha’, begitu pula sebaliknya, jika ada ‘udzur semacam mendung, dan bila tidak ada ‘udzur, maka shalat batal secara mutlak sebab mempermainkan shalat. Sunnah pula menyebutkan (menghadap qiblat dan jumlah raka‘at), untuk keluar dari perbedaan ‘ulamā’ yang mewajibkan penyebutan dua hal tersebut (mengucapkan hal yang diniatkan) sebelum takbīr supaya lidah membantu terhadap hati, dan untuk keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya. Jika seorang yang shalat ragu, apakah telah berniat shalat Zhuhur atau ‘Ashar?, maka jika ia ingat setelah waktu yang lama atau setelah mengerjakan satu rukun – walaupun rukun qauli seperti membaca surat al-Fātiḥah – maka shalatnya batal. Atau ingat sebelum kedua hal tersebut, maka tidaklah batal.
(Rukun shalat yang kedua adalah takbīrat-ul-iḥrām)8 sebab hadits yang telah disepakati: Jikalau engkau mengerjakan shalat, maka bertakbirlah. Takbīr ini dinamakan demikian sebab dengan takbīrat-ul-iḥrām orang yang shalat diharamkan melakukan seseuatu yang sebelumnya halal yakni dari melakukan hal-hal yang dapat merusak keabsahan shalat. Takbīrat-ul-iḥrām dijadikan sebagai pembuka shalat, supaya orang yang shalat dapat menghadirkan makna yang terkandung di dalamnya, yakni makna keagungan dzāt yang ia persiapkan untuk melayaninya hingga sempurnalah makna merasa takut dan khusū‘. Oleh sebab itu, takbīrat-ul-iḥrām ditambah dengan mengulanginya supaya dua hal tersebut selalu ada di dalam seluruh shalatnya. (Takbir tersebut wajib dilaksanakan bersamaan dengan sebuah niat) sebab takbir adalah awal dari rukun-rukun shalat, maka wajib untuk membarengkan niat dengannya, bahkan wajib untuk menghadirkan setiap komponen penting dalam niat yakni dari keterangan yang telah lewat9 dan selainnya10 seperti menghadirkan qashar bagi orang yang meringkas shalat, menjadi imām atau ma’mūm di dalam shalat jum‘at dan niat mengikuti imām bagi ma’mūm di selain shalat jum‘at yang disertakan di permulaan takbīrat-ul-iḥrām kemudian seluruh niat yang dihadirkan ikut berlangsung terus sampai lafazh rā’ dari takbīrat-ul-iḥrām. Dalam satu pendapat yang dibenarkan oleh Imām Rāfi‘ī disebutkan: Cukup untuk membarengkan niat di awal takbīr. Imām Nawawī dalam Majmū‘ dan Taḥqīq-nya menyatakan: Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang telah dipilih oleh Imām al-Ḥaramain11 dan Imām al-Ghazalī bahwa cukup membarengkan niat secara umumnya bagi orang awam. (Dan cukup pula menghadirkan niat secara umumnya)12 sekira seorang yang shalat dianggap telah menghadirkan shalat. Imām Ibnu Rif‘ah mengatakan bahwa pendapat itu adalah pendapat yang benar yang tidak boleh selain itu, hal itu juga dibenarkan oleh Imām Subkī dan beliau berkata: Siapapun yang tidak berpendapat demikian, maka ia akan terjerumus dalam waswas yang dihina. Sedang menurut tiga imām selain Syāfi‘iyyah diperbolehkan mendahulukan niat atas takbīrat-ul-iḥrām dengan jarak yang sedikit. (Diharuskan dalam takbīrat-ul-iḥrām) – bagi orang yang mampu13- , untuk menggunakan lafazh (Allāhu Akbar) karena mengikuti Nabi s.a.w. atau Allāh-ul-Akbar, tidak cukup lafazh Akbarullāh atau U‘azhimu dan juga tidak lafazh ar-Raḥmānu Akbar. Merusak14 satu huruf dari lafazh Allāhu Akbar dapat menjadi masalah, begitu pula menambah huruf yang dapat merubah makna seperti memanjangkan hamzah dari lafazh Allah dan seperti alif setelah bā’ dan menambahi wāwu sebelum lafazh jalālah, menyela-nyelai wāwu yang mati dan berharakat di antara dua kalimat, begitu pula menambah panjang alif yang berada di antara lām dan hā’ sampai dengan panjang yang tidak dibenarkan oleh ‘ulamā’ pun dari ahli membaca al-Qur’ān.15 Tidak masalah berhenti sejenak di antara dua kalimat takbīr ya‘ni sebatas diam untuk mengambil nafas dan juga tidak masalah membaca dhammah rā’ dari lafazh akbar.
9Dari menyengaja melakukan shalat, menertentukan niat dan berniat fardhu. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 154 Darul Fikr.
10Seperti shalat Jum‘at yang diulangi dan shalat yang dinadzari secara jama‘ah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 154 Darul Fikr.
11Beliau berkata bahwa membarengkan dan menghadirkan niat secara hakikat tidaklah mungkin dilakukan oleh manusia kecuali orang tertentu seperti Imām Syāfi‘ī. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 153 Darul Fikr.
12Lafazh dalam kurung tersebut merupakan keterangan dalam I‘ānah Thālibīn-nya sebab jikalau tidak ditampilkan, maka pembaca akan mengira bahwa lafazh setelah dalam kurung merupakan penjelasan muqāranah ‘urfiyyah, padahal yang dimaksud adalah keterangan dari istaḥdhirah atau menghadirkan niat secara umumnya. (pen.)
13Jika tidak mampu, maka wajib menerjemahkannya dengan bahasa apapun. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 155 Darul Fikr.
14Maksud merusak dalam hal ini adalah mengerjakan takbīr tidak semestinya dengan tidak mengerjakan sama sekali atau mengerjakan, namun tidak sesuai makhrajnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 156 Darul Fikr.
15Batas panjang yang dikutib dari ‘ulamā’ ahli bacaan al-Qur’ān adalah sepanjang tujuh alif, setiap satu alif dikira-kirakan dua ḥarakat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 156 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang yang shalat melakukan takbīrat-ul-iḥrām berulang-ulang dengan niat memulai shalat di setiap takbīrnya, maka orang itu akan masuk shalat dengan takbīr yang ganjil dan akan keluar dari shalat dengan takbīr yang genap,16 sebab jika seorang tersebut masuk dengan takbīr yang pertama, maka ia akan keluar dengan takbīr yang kedua karena niat memulai shalat dengan takbīr yang kedua menyimpan pemutusan terhadap yang awal dan begitu seterusnya. Jika orang tersebut tidak berniat seperti itu, dan tidak ada penyela-nyelaan perkara yang membatalkan sama sekali seperti mengulang lafazh niat, maka takbīr setelah yang pertama adalah dzikir yang tidak membawa pengaruh apa-apa.17
17Dalam Nihāyah disebutkan: Jikalau seseorang ragu apakah takbīrat-ul-iḥrām sudah pas atau belum lantas ia melakukan takbīrat-ul-iḥrām sebelum berniat keluar dari shalat, maka shalatnya tidak sah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 157 Darul Fikr.
(Wajib untuk memperdengarkan) takbīr (terhadap dirinya sendiri), jika pendengarannya normal dan tidak ada hal yang menghalangi seperti suara gaduh.18 (Kewajiban itu seperti halnya rukun-rukun lain yang diucapkan atau rukūn qaulī) yakni fātiḥah, tasyahhud dan salām. Mendengarkan bacaan yang sunnah dipertimbangkan untuk mendapatkan kesunnahan. (Disunnahkan untuk membaca sukūn dari rā’)19 lafazh takbir agar keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya. Sunnah mengeraskan takbir bagi imām seperti takbīr-takbīr untuk berpindah rukun. (Sunnah mengangkat kedua telapak tangan) atau salah satunya jika yang lain sulit diangkat (dengan membuka keduannya). Dimakruhkan dengan selain cara itu, dan besertaan dengan merenggangkan jari-jari keduanya dengan renggang yang sedang, serta (sejajar) dengan (dua pundak) sekira ujung jari-jarinya sejajar di atas kedua telinganya dan kedua ibu jari sajajar pada putik telinga, sedang kedua telapak tangan sejajar pada dua pundaknya sebab mengikuti Nabi s.a.w. Tata cara ini disunnahkan (besertaan) dengan seluruh takbīrat-ul-(iḥrām) dengan cara membarengkan permulaan mengangkat kedua tangan dengan permulaan takbīr dan mengakhir keduanya bersamaan. (Dan besertaan pula dengan rukū‘) sebab mengikuti Nabi s.a.w. dari hadits yang diriwayatkan oleh berbagai rawi yang sangat banyak, (beranjak dari) rukū‘, (bangun dari tasyahhud awal) sebab mengikuti Nabi s.a.w. dalam dua permasalahan tersebut. (Disunnahkan meletakkan keuda telapak tangan di bawah dada) dan di atas pusar20 sebab mengikuti Nabi s.a.w. (dengan posisi tangan kanan) meraih (pergelangan tangan kirinya). Mengembalikan kedua telapak tangan di bawah dada saat beranjak bangun, itu lebih utama dibanding dengan melepaskannya secara keseluruhan,21 kemudian mengulangi mengangkat kedua telapak tangan itu di bawah dada. Imām Mutawallī mengatakan – dan pendapat beliau dipakai pedoman oleh ‘ulamā’ lain – bahwa sebaiknya sebelum mengangkat kedua tangannya dan takbīr untuk melihat arah sujūdnya22 dan menundukkan sedikit kepalanya lalu baru mengangkat keduanya.
19Hukumnya tidak wajib, sedang ‘ulamā’ yang mewajibkannya adalah keliru besar. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 157 Darul Fikr.
20Dan agak condong ke arah kiri sebab hati bertempat di situ. Hikmahnya agar imām dapat terjaga. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 158 Darul Fikr.
21Bahkan Imām Baghawī menghukumi makruh untuk melepaskannya bagi seorang yang tidak aman dari memainkan tangannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 159 Darul Fikr.
22Sebab hal tersebut lebih mengantarkan kesifat khusyū‘. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 159 Darul Fikr.
(Rukun shalat) yang ketiga adalah (berdiri bagi yang mampu) dengan diri sendiri atau bantuan orang lain23 (di dalam shalat yang fardhu) walaupun shalat yang dinadzari atau yang diulangi. Rukun berdiri ini dapat hasil terwujud dengan menegakkan tulang punggungnya walaupun bersandar pada sesuatu yang bila tidak ada, maka akan terjatuh, dan hukum bersandar adalah makruh. Tidak sah berdiri dengan cara membungkuk jika posisinya mendekati pada minimal rukū‘ bila ia masih mampu untuk dapat berdiri tegak dengan sempurna. (Sedangkan bagi orang lemah yang berat untuk berdiri) dengan kesulitan yang begitu berat sekira tidak dapat ditanggung secara adatnya . Imām al-Ḥaramain membatasi kesulitan tersebut dengan batasan sekira hal itu dapat menghilangkan kekhusyū‘an,24 (maka shalatnya dengan cara duduk) seperti penumpang kapal laut yang takut semacam pusing kepala jika berdiri, dan orang yang beser kencing yang tidak dapat menahan hadatsnya kecuali dengan duduk. Bagi orang yang shalat duduk, maka rukū‘-nya dengan membungkuk sekira keningnya sejajar dengan tempat yang berada di depan kedua lututnya.
24Maksudnya adalah kesulitan yang berat hingga menghilangkan kekhusyū‘an. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 159 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Guru kita berkata: Diperbolehkan bagi orang sakit yang mungkin untuk berdiri dengan tanpa kesulitan bila ia shalat sendiri – bukan bila jamā‘ah – kecuali dengan posisi duduk di sebagian shalatnya untuk melakukan shalat berjamā‘ah besertaan duduk di sebagian shalatnya – walaupun yang lebih utama baginya untuk shalat sendiri – . Begitu pula25 bagi seseorang ketika hanya dapat membaca surat al-Fātiḥah saja dengan tidak duduk atau membaca surat al-Qur’ān dengan duduk, maka diperbolehkan baginya untuk membaca surat al-Qur’ān dengan duduk walaupun yang lebih utama baginya adalah menginggalkannya – selesai.
Yang lebih utama bagi seorang yang shalat dengan posisi duduk adalah duduk iftirāsy, lalu tarabbu‘26, kemudian tawarruk. Jika ia tidak mampu shalat dengan duduk, maka shalat dengan cara tidur miring dengan sisi tubuh sebelah kanan serta menghadapkan wajah dan bagian depan tubuhnya ke qiblat. Makruh hukumnya tidur miring dengan menggunakan sisi tubuh sebelah kiri tanpa ada alasan. Kemudian jika tidak mampu dengan tidur miring, maka dengan posisi terlentang dan kedua telapak kakinya dihadapkan ke qiblat. Wajib untuk meletakkan semacam bantal di bawah kepalanya supaya wajahnya dapat menghadap qiblat dan wajib untuk memberi isyarat ke arah qiblat pada saat rukū‘, jika tidak mampu untuk melakukan rukū‘ dan sujūd. Bila tidak mampu memberi isyarat dengan kepalanya, maka dengan pelupuk mata.27 dan bila tidak mampu juga maka semua pekerjaan-pekerjaan shalat dilakukan dengan hatinya. Tidaklah gugur kewajiban melakukan shalat selama akalnya masih ada. Para ‘ulamā’ mengakhirkan rukun berdiri dari dua rukun yang mendahuluinya28 padahal rukun berdiri lebih dahulu dikerjakan dari keduanya sebab kedua rukun tersebut adalah dua rukun sampai pada shalat yang sunnah. Sedangkan berdiri merupakan rukun dalam shalat wajib saja.
27Namun tidak wajib untuk melebih-rendahkan dalam memberi isyarat saat melakukan sujud. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 160 Darul Fikr.
28Ya‘ni: Niat dan takbīrat-ul-iḥrām. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 160 Darul Fikr.
Seperti halnya orang yang melaksanakan shalat sunnah, maka diperbolehkan baginya untuk melaksanakan shalat sunnah dengan posisi duduk dan tidur miring besertaan mampu untuk berdiri atau duduk. Wajib bagi orang yang shalat dengan tidur miring untuk duduk ketika rukū‘ dan sujūd.29 Sedangkan tidur terlentang hukumnya tidaklah sah selama masih mungkin untuk tidur miring.30 Dalam majmū‘ disebutkan: Memanjangkan berdiri lebih utama di banding dengan memanjangkan rukū‘.
30Walaupun rukū‘ dan sujūdnya disempurnakan sebab hal tersebut tidak diajarkan oleh Nabi s.a.w. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 160 Darul Fikr.
(Rukun shalat yang keempat adalah membaca surat al-Fātiḥah di setiap rakaat)31 pada waktu berdiri sebab hadits yang diriwayatkan oleh Bukhārī-Muslim: Tidaklah sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fātiḥah. Maksudnya di setiap raka‘at. (Kecuali rakaatnya ma’mūm tertinggal)32 maka tidaklah wajib baginya untuk membaca surat al-Fātiḥah sekira ma’mūm itu tidak menemukan waktu yang cukup untuk membaca surat al-Fātiḥah saat berdirinya imām, sekalipun hal tersebut terjadi di setiap rakaat awal dan tertinggalnya ma’mūm karena keadaan berdesakan, lupa, lambat gerakannya lalu ia tidak dapat berdiri dari sujūd berada pada posisi rukū‘, maka imam yang suci33 dan tidak berada pada rakaat tambahan akan menanggung al-Fātiḥah atau sisa al-Fātiḥah darinya. Jikalau ma’mūm masbūq yang tidak tersibukkan dengan kesunnahan mengkhirkan diri dari imām untuk menyelesaikan al-Fātiḥah-nya lalu tidak menemui imām kecuali imām sudah dalam posisi i‘tidāl, maka raka‘atnya tidak dihitung.34
32Ma’mūm masbūq (pen.)
33Jikalau imām diketahui kebatalannya sebab hadats sebelum ia menjadi ma’mūm, maka wajib untuk menambah satu raka‘at. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 162 Darul Fikr.
34Sebab kewajiban ma’mūm masbūq yang tidak tersibukkan dengan kesunnahan adalah langsung mengikuti imām (pen.) dan syarat dihitung raka‘atnya adalah menemui rukū‘ sang imām. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 163 Darul Fikr.
(Al-Fātiḥah tersebut haruslah besertaan dengan bacaan basmalah) sebab basmalah adalah sebagian ayat dari al-Fātiḥah35 dan Nabi s.a.w. sendiri juga membaca basmalah lalu membaca al-Fātiḥah dan Nabi menganggap basmalah sebagai ayat darinya. Begitu pula setiap ayat selain surat Barā’ah.36 (bersertaan dengan tasydīd-tasydīdnya). Jumlahnya ada 14, sebab huruf yang ditasydīd itu dihitung dua huruf. Maka jika huruf itu diringankan hilanglah satu huruf dari al-Fātiḥah, (besertaan menjaga huruf-hurufnya). Jumlahnya dengan membaca lafazh (مَلِكِ) tanpa alif adalah 141 huruf dan bila ditambah tasydīd-nya, maka jumlah totalnya adalah 155 huruf, (dan menjaga tempat keluarnya huruf) seperti makhraj (ضَاد) dan selainnya. Jikalau seseorang yang mampu atau mungkin untuk belajar mengganti satu huruf dengan huruf yang lain walaupun37 (ضَاد) dengan (ظَاء) atau keliru dalam membaca dengan kekeliruan yang dapat merubah makna seperti membaca kasrah tā’ dari lafazh (أَنْعَمْتَ) atau membaca dhammah dan meng-kasrah lafazh (إِيَّاكَ), bukan mendhammahnya, maka jika ia menyengaja hal itu dan tahu keharamannya batallah shalatnya. Jika tidak sengaja atau tidak tahu keharamannya, maka yang batal hanyalah bacaannya. Benar batal bacaannya, jika seseorang tersebut mengulangi dengan benar sebelum pemisah yang lama, maka diperbolehkan untuk menyempurnakan bacaannya.38 Sedangkan orang yang tidak mampu untuk belajar maka tidaklah batal bacaannya secara mutlak, begitu pula keliru bacaan yang tidak merubah makna seperti membaca fatḥah lafazh (دَال) dari (نَعْبُدُ) namun jika disengaja hukumnya haram dan bila tidak hukumnya makruh.
36Artinya: Basmalah setiap surat selain surat Barā’ah termasuk ayat tersebut, tidak hanya dalam surat al-Fātiḥah saja sebab hadits dari sahabat Anas dan kesepakatan para sahabat yang menulis basmalah di surah dalam mushḥaf. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 163 Darul Fikr.
37Sebagai sangkalan dari pendapat yang mengatakan sahnya mengucapkan (ضاد) dengan (ظَاء) atau sebaliknya sebab sulitnya membedakan dua makhraj tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 164 Darul Fikr.
38Setiap permasalahan yang dikatakan batal bacaannya saja, bukan shalatnya, wajib untuk mengulang bacaannya dan bila tidak mengulang kemudian langsung rukū‘, maka jelas shalatnya batal. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 164 Darul Fikr.
Terjadi perbedaan pendapat di antara ‘ulamā’ kurun awal dan kurun akhir di dalam (الْهَمْدُ للهِ) dengan menggunakan (ه) dan di dalam mengucapkan (القَاف) dengan makhraj di antara (ق) dan (ك). Guru kita telah memutuskan dalam kitab syarḥ minhāj-nya dengan hukum batal di dalam dua kasus di atas, kecuali bagi orang yang sulit untuk belajar sebelum keluarnya waktu shalat. Namun gurunya guru kita; Imām Zakariyyā memutuskan hukum sah pada kasus kedua,39 al-Qādhī dan Ibnu Rif‘ah menghukumi sah pada kasus awal. Jikalau seorang yang mampu atau tidak mampu, namun ceroboh meringankan huruf yang bertasydīd seperti membaca (اَلْ رَحْمنِ) dengan tanpa meng-idghām-kan, maka batallah shalatnya jika ia menyengaja dan mengetahui keharamannya, dan jika tidak sengaja dan mengetahui, maka yang batal hanyalah bacaan dari kalimat itu. Jikalau seseorang meringankan bacaan (إِيَّاكَ) dengan sengaja dan mengetahui artinya, maka orang tersebut menjadi kafir sebab makna dari lafazh tersebut menjadi sinar matahari, dan jika tidak maka dianjurkan melakukan sujud sahwi. Jikalau lafazh yang ringan ditasydīd, maka sah shalatnya namun hukumnya haram bila disengaja seperti keharaman diam sebentar40 di antara huruf (السِّيْن) dan (التَّاء) dari lafazh (نَسْتَعِيْنَ).
40Keharaman hal ini sebab huruf akan terputus satu dengan yang lainnya diam tersebut dan kalimat dengan kalimat, sedang satu kalimat tidak diampuni di dalamnya terpisah dan waqaf di tengahnya. Dalam sebuah bacaan yang diperbolehkan hanyalah mengucapkan huruf dari makhrajnya lantas berpindah ke huruf setelahnya secara bersambung tanpa ada pemisah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 165 Darul Fikr.
(Dan besertaan menjaga kesinambungan dalam al-Fātiḥah) dengan cara membaca kalimat al-Fātiḥah secara sambung menyambung dengan tidak memisah di antara sesuatu dari al-Fātiḥah dengan lafazh setelahnya dengan jarak waktu lebih dari berhenti mengambil nafas atau berhenti sebab tersengal-sengal.41 (Maka bacaan al-Fātiḥah harus diulang dengan sebab disela-selai dengan dzikir lain) yang tidak berhubungan dengan al-Fātiḥah walaupun sedikit seperti setengah ayat dari selain al-Fātiḥah dan seperti ucapan al-Ḥamdulillāh orang yang bersin – walaupun bacaan tersebut sunnah diucapkan dalam shalat seperti di luar shalat – sebab hal itu menunjukkan berpaling dari bacaan al-Fātiḥah. (Tidak mengulang bacaan) al-Fātiḥah (dengan) sebab disela-selai dengan sesuatu yang berhubungan dengan shalat seperti (mengucapkan amin, sujūd) tilāwah besertaan imām, (doa) meminta rahmat dan menjauhkan dari ‘adzab dan ucapan: (بَلَى وَ أَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ) – Benar, aku atas hal itu menjadi saksi – (sebab bacaan al-Fātiḥah), ayat sajadah dari imām atau ayat yang disunnahkan di dalamnya untuk meminta hal yang telah disebutkan bagi setiap orang yang membaca dan yang mendengar, baik ma’mūm atau imām, di dalam shalat atau di luarnya. Jikalau seseorang yang shalat membaca ayat atau mendengar ayat yang di dalam ayat itu terdapat nama Nabi Muḥammad s.a.w., maka tidak disunnahkan untuk membaca shalawat kepadanya, seperti yang telah difatwatkan oleh Imām Nawawī.42 (Dan juga tidak mengulangi bacaan al-Fātiḥah dengan sebab menuntun bacaan imām) ketika imam terhenti bacaannya dengan niat membaca al-Qur’ān walaupun besertaan dengan niat menuntun imām. Hal itu dilakukan – seperti yang telah disampaikan oleh guru kita – jika imām diam jika imām tidak terdiam maka terputuslah kesinambungan bacaan al-Fātiḥah-nya. Mendahulukan semacam bacaan (سُبْحَانَ اللهِ) sebelum menurun dapat memutus kesinambungan al-Fātiḥah menurut pendapat yang aujah, sebab bacaan (سُبْحَانَ اللهِ), dengan demikian bermakna mengingatkan. (Wajib mengulang) bacaan al-Fātiḥah dengan sebab disela-selai (dengan diam yang lama)43 dalam al-Fātiḥah sekira melebihi dari diam untuk istirahat (dengan tanpa sebuah alasan pada dua kasus itu) yakni alasan tidak tahu atau lupa. Jikalau penyela-nyelaan dzikir yang lain atau diam yang lama itu dilakukan karena lupa atau tidak tahu atau karena diam untuk mengingat ayat, maka hal tersebut tidaklah masalah seperti kasus mengulang-ulang ayat dari al-Fātiḥah ditempatnya walaupun tidak ada alasan atau walaupun mengulangi terhadap lafazh yang dibaca sebelum selesainya al-Fātiḥah dan dilanjutkan menurut pendapat yang aujah.
42Sebagian pendapat menghukumi sunnah dan tidak memutus al-Fatihah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 166 Darul Fikr.
43Atau sebenar dengan nait memutus bacaan sebab disertainya pekerjaan shalat dengan niat pemutusan shalat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 167 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang ragu di tengah bacaan al-Fātiḥah, apakah telah membaca basmalah, lantas ia menyempurnakan bacaan al-Fātiḥah-nya kemudian ia ingat bahwa dirinya telah membaca basmalah, maka wajib baginya untuk mengulangi seluruh al-Fātiḥah-nya menurut pendapat yang lebih unggul.44 (Tidaklah berpengaruh keraguan di dalam meninggalkan satu huruf atau lebih dari al-Fātiḥah satu ayat atau lebih darinya (setelah sempurna membaca al-Fātiḥah) sebab dengan demikian secara zhahir, al-Fātiḥah telah dibaca dengan sempurna. (Wajib untuk mengulangi bacaan al-Fātiḥah) bila keraguan terjadi sebelum sempurnanya) bacaan itu, seperti halnya hukum bila terjadi keraguan apakah telah membaca al-Fātiḥah atau belum? Sebab hukum asalnya adalah belum membacanya. Seperti hukumnya al-Fātiḥah tersebut adalah setiap rukun-rukun shalat, contohnya; jika terjadi keraguan telah sujud atau belum, maka wajib untuk mengerjakan sujud, atau keraguan terjadi setelah sujud dalam meletakkan semacam tangan, maka tidak wajib baginya untuk mengerjakan sesuatu apapun. Jika seseorang membaca al-Fātiḥah dalam keadaan lupa, lantas sadar pada saat membaca (صِرَاطَ الَّذِيْنَ) dan ia tidak yakin telah membaca surat sebelumnya, maka wajib baginya untuk mengulanginya. Wajib untuk mentartibkan bacaan al-Fātiḥah dengan cara membaca al-Fātiḥah sesuai dengan urutan yang telah diketahui, bukan tartib dalam tasyahhud selama tidak merubah maknanya, namun diisyaratkan di dalam tasyahhud untuk tetap memperhatikan tasydīd dan kesinambungannya45 seperti halnya al-Fātiḥah. Barang siapa yang tidak mengerti seluruh bacaan al-Fātiḥah46 dan tidak mungkin untuk mempelajarinya sebelum habisnya waktu shalat dan juga tidak mungkin untuk membacanya pada semacam mushḥaf, maka wajib untuk membaca tujuh ayat – walaupun terpisah-pisah – yang tidak kurang dari huruf-huruf al-Fātiḥah47. Al-Fātiḥah dengan basmalah dan semua tasydīd-nya berjumlah 156 huruf dengan menetapkan alif dari lafazh (مَالِكِ). Jikalau seseorang hanya mampu membaca sebagian dari surat al-Fātiḥah, maka wajib baginya untuk mengulang-ulangnya sampai kadar huruf al-Fātiḥah. Jika ia tidak mampu untuk membaca tujuh ayat sebagai pengganti al-Fātiḥah, maka wajib baginya tujuh macam dzikir dengan jumlah huruf yang sama pula dengan al-Fātiḥah.48 Jika masih tidak mampu maka baginya hanya berkewajiban berdiri dengan kadar waktu cukup untuk membaca al-Fātiḥah.49
45Ini adalah menurut Imām Ramlī sedang menurut Imām Ibnu Ḥajar bahwa tasyahhud tidaklah disyaratkan muwālah atau terus-menerus seperti al-Fātiḥah. Itsmid ‘Ainaini Hal. 17.
46Berbeda dengan bacaan tasyahhud dan shalawat Nabi bagi yang tidak mampu, maka kewajibannya bukanlah mengganti dengan dzikir, namun dengan mentarjamahkannya. Sedang menurut pendapat Imām Ramlī: jika waktu untuk mempelajari keduanya telah sempit dan ia mampu membaca dzikir yang lain, maka wajib membaca dzikir tersebut dan jika tidak maka terjemahkan keduanya. Minhāj-ut-Thullāb juz 1 hal. 102.
47Dicukupkan dengan praduga saja. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 169 Darul Fikr.
48Contoh tujuh dzikir;
سبحان الله، وً الحمد لله، و لا إِله إِلا اللهِ، و الله أكبر، و لا حول و لا قوة إلا بِالله العلي العظيم وَ مَا شَاء اللهُ كَانَ نوع، و مَا لَمْ يَشَأْ لمْ يَكُنْ نوع.
49Dengan bacaan orang standar di dalam paraduganya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 169 Darul Fikr.
(Disunnahkan) – sebagian pendapat menghukumi wajib – (setelah takbīrat-ul-iḥrām) shalat yang wajib ataupun sunnah selain shalat janazah50 (untuk membaca doa iftitāḥ) dengan pelan. Doa itu dibaca jika orang yang shalat tidak takut habisnya waktu shalat, ada dugaan kuat dari ma’mūm menemukan rukū‘nya imām, (dan selama ia belum membaca) ta‘awwudz atau membaca surat – walaupun ia lupa – , (atau selama ma’mūm belum duduk) bersama imām – walaupun ma’mūm telah membaca amin bersama aminnya imām – (dan walaupun ma’mūm takut kehilangan waktu membaca surat-suratan)51 jika bacaan surat tersebut disunnahkan baginya seperti yang telah disampaikan oleh guru kita dalam syarḥ ‘ubāb. Guru kita berkata: Sebab menemukan doa iftitāḥ ini dapat dipastikan, sedangkan hilangnya waktu membaca surat masih praduga dan terkadang tidak terjadi. Doa iftitāḥ yang telah diajarkan oleh Nabi s.a.w. banyak sekali, yang paling utama adalah doa yang telah diriwayatkan oleh Imām Muslim yakni doa: (وَجَّهْتُ وَجْهِيَ) sampai selesai. Maksudnya adalah: “Saya hadapkan diriku kepada Dzāt pencipta langit dan bumi dengan condong menjauhi semua agama menuju kepada agama yang benar dengan pasrah. Dan aku bukanlah sebagian dari orang-orang yang menduakan Allah, sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya dan dengan itu aku diperintahkan dan Aku adalah sebagian dari orang-orang yang muslim.” Disunnahkan bagi seorang ma’mūm yang mendengar bacaan imāmnya untuk mempercepat bacaan doa iftitāḥnya. Disunnahkan pula untuk menambahkan doa iftitāḥ bagi seorang yang shalat sendiri dan imām yang teringkas jamā‘ahnya52 – selain pada budak dan wanita yang telah menikah – dengan catatan ma’mūm telah menyatakan dengan ucapan53 kerelaannya dengan panjangnya bacaan doa tersebut, jamā‘ah tidak diisi dengan selain jamā‘ahnya – walaupun jumlahnya sedikit dan selama masjid tempat jamā‘ah tidak berada di tepi jalan tempat lalu-lalang, dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi s.a.w. Sebagian doa itu adalah doa yang diriwayatkan oleh Bukhārī-Muslim: (اللَّهُمَّ بَاعِدْ) sampai akhir. Artinya: Ya Allah jauhkanlah di antara diriku dan kesalahan-kesalahanku seperti halnya engkau telah menjauhkan di antara arah timur dan barat, Ya Allah, bersihkanlah diriku dari kesalahan-kesalahanku seperti dibersihkannya baju putih dari kotoran. Ya Allah, basuhlah semua kesalahanku seperti halnya baju yang dibasuh dengan air, salju dan embun. (Kemudian) setelah membaca doa iftitāḥ dan takbīr dari shalat hari-raya – jika dua hal tersebut dikerjakan – disunnahkan (untuk membaca ta‘awwudz) – walaupun di dalam shalat jenazah – secara pelan walaupun dalam shalat yang sunnah untuk mengeraskan bacaan dan walaupun setelah duduk bersamaan dengan imam, (di setiap rakaat) selama belum membaca surat al-Fātiḥah54 – walaupun lupa – Membawa ta‘awwudz di raka‘at pertama hukumnya lebih dianjurkan dan makruh untuk meninggalkannya.
51Kesimpulannya bahwa doa iftitāḥ disunnahkan dibaca dengan lima syarat: Selain di shalat janazah, tidak takut habisnya waktu shalat, tidak takut kehilangan waktu membaca al-Fātiḥah bagi ma’mūm, tidak menemukan imam di selain berdiri, dan belum membaca ta‘awwudz atau surat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 170 Darul Fikr.
52Imām yang teringkas jamā‘ahnya atau imām maḥshūrīn adalah imām yang ma’mūmnya selalu sama jumlah dan orangnya di setiap waktu walaupun banyak. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 171 Darul Fikr.
53Ini menurut Imām Ibnu Ḥajar, sedang menurut Imām Ramlī boleh juga dengan diam bila telah diketahui kerelaannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 171 Darul Fikr.
54Dan selama waktunya tidak hampir habis sekira sebagian shalat dapat berada di luar waktunya jikalau membaca ta‘awwudz dan selama tidak ada dugaan kuat tidak menemukan al-Fātiḥah sebelum rukū‘nya imām. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 172 Darul Fikr.
(Dan) disunnahkan (untuk berhenti di setiap akhir ayat) sampai di akhir bismillāh, berbeda dengan pendapat sekelompok ‘ulamā’, (dari surat al-Fātiḥah) – walaupun ayat itu masih berhubungan dengan ayat setelahnya – sebab mengikuti Nabi s.a.w. Yang lebih utama adalah tidak berhenti pada ayat (أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ) sebab ayat tersebut bukanlah tempatnya berhenti dan bukan akhir ayat menurut kita madzhab Syāfi‘iyyah. Maka jika berhenti pada ayat tersebut tidaklah disunnahkan untuk mengulangi dari awal ayat. (Dan) disunnahkan (membaca amin). Lafazh amin dibaca ringan dan panjang, dan bagus bila ditambah lafazh (رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) (setelah bacaan al-Fātiḥah) – walaupun di luar shalat – setelah berhenti sebentar selama belum mengucapkan sesuatu apapun selain lafazh (رَبِّ اغْفِرْ لِيْ) – Ya Tuhan ampunilah diriku. Disunnahkan mengeraskan bacaan amin dalam shalat yang disunnahkan untuk membaca keras, – sampai pada ma’mūm -, karena bacaan al-Fātiḥahnya imam sebab mengikuti sang imām. (Disunnahkan) bagi ma’mūm – di dalam shalat yang sunnah untuk mengeraskan suara – untuk membaca amin (besertaan) aminnya (imām jika ma’mūm mendengar) bacaan al-Fātiḥah55 sebab hadits yang diriwayatkan Bukhārī-Muslim: Jika imām membaca amin – maksudnya imām mengharapkan membaca amin – maka aminlah kalian semua. Sebab siapapun yang mencocoki56 aminnya dengan amin malaikat, maka dosanya yang telah lewat akan diampuni.57 Tidaklah bagi kita ada sesuatu hal yang disunnahkan untuk menunggu untuk membarengi imām, kecuali bacaan amin ini. Jika bacaan aminnya imām tidak cocok dengan bacaan amin ma’mūm, maka ma’mūm membaca setelah aminnya imām. Jikalau imām mengakhirkan dari waktu disunnahkannya membaca amin, maka mu’mūm membaca amin dengan keras sebelumnya imām. Lafazh amin adalah nama fi‘il dengan makna (اسْتَجِبْ) – kabulkanlah doa kami -, yang dimabnikan fatḥah dan dibaca sukūn ketika berhenti.
56Imām Jamāl ar-Ramlī mengatakan: Maksud cocok adalah cocok dalam waktunya. Sedangkan yang dimaksud dengan malaikat adalah malaikat penjaga manusia atau hafazhah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 173 Darul Fikr.
57Ya‘ni dari dosa-dosa kecil walaupun Imām Subkī dalam Asybāh wan-Nazhā’ir mengatakan bahwa hal itu mencakup dosa besar. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 173 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan bagi seorang imām untuk diam58 dalam shalat yang sunnah membaca keras dengan kadar bacaan al-Fātiḥah seorang ma’mūm. Hal itu dilakukan jika imām tahu bahwa ma’mūm membaca al-Fātiḥah di waktu diamnya imām seperti hukum yang telah jelas. Dan disunnahkan bagi imām untuk menyibukkan di saat diam tersebut dengan doa atau membaca surat-suratan, sedang membaca surat lebih utama. Guru kita berkata: Dengan demikian maka jelaslah bahwa imām harus menjaga tartib dan kesinambungan di antara ayat yang dibaca dan ayat setelahnya.
(Fā’idah). Disunnahkan untuk diam sejenak dengan kadar bacaan (سُبْحَانَ اللّهِ) di antara bacaan amin dan surat-suratan, antara akhirnya amin dan takbīr untuk rukū‘, di antara takbīrat-ul-iḥrām dan doa iftitāḥ, di antara doa iftitāḥ dan ta‘awwudz, dan di antara bacaan ta‘awwudz dan bacaan bismillāh.59
(Dan) disunnahkan membaca satu ayat atau lebih, dan yang lebih utama adalah tiga ayat (setelah al-Fātiḥah). Disunnahkan bagi seorang yang membaca basmalah seperti yang telah dijelaskan oleh Imām Syāfi‘ī. Kesunnahan membaca surat akan di dapat dengan mengulang satu surat di dua rakaat, dengan mengulang sebagian al-Fātiḥah bagi orang yang tidak hafal60 selain itu, dan dengan membaca basmalah namun tidak bertujuan menugucapkan basmalah dari awal surat al-Fātiḥah. Membaca surat yang sempurna – sekira tidak ada ajaran dari Nabi untuk membaca sebagian surat seperti shalat tarāwīḥ61 – lebih utama dibanding dengan sebagian surat yang panjang walaupun panjang. Dimakruhkan untuk meninggalkan bacaan surat62 untuk menjaga perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya. Dikecualikan dari setelah al-Fātiḥah adalah bacaan surat sebelum membaca al-Fātiḥah, maka bacaan tersebut tidaklah dianggap, bahkan hal itu hukumnya dimakruhkan. Sebaiknya tidak membaca selain al-Fātiḥah bagi seorang yang keliru dalam bacaan dengan kekeliruan yang dapat merubah makna – walaupun orang itu tidak mampu untuk belajar – sebab orang tersebut akhirnya berkata dengan sesuatu yang bukan al-Qur’ān tanpa ada darurat, sedangkan meninggalkan membaca surat-suratan, hukumnya diperbolehkan. Dan keterangan Imām Ḥaramain mengindikasikan hukum haram.
61Sebab dalam shalat tarawih disunnahkan untuk membaca seluruh al-Qur’an. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 175 Darul Fikr.
62Selain shalat janazah dan shalat orang yang tidak menemukan dua alat bersuci ketika ia junub sebab hal itu hukumnya haram. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 173 Darul Fikr.
(Disunnahkan) membaca ayat al-Qur’ān (di dalam) dua raka‘at (awal) dari shalat yang ber-raka‘at empat atau tiga, tidak disunnahkan di dua raka‘at yang akhir,63 kecuali bagi seorang ma’mūm masbūq yang tidak menemukan dua raka‘at awal bersamaan dengan imāmnya, maka diperbolehkan bagi ma’mūm itu untuk membaca ayat di sisa raka‘atnya, jika ia melanjutkan shalatnya sedang dirinya belum membaca surat tersebut di raka‘at yang ia dapatkan bersamaan imām dan selama ayat tersebut tidak gugur kesunnahannya sebab dirinya adalah ma’mūm masbūq dalam raka‘at yang ia dapatkan dari imām. Hal itu disebabkan ketika seorang imām mampu menanggung al-Fātiḥah dari seorang ma’mūm, maka bacaan surat-suratan lebih utama untuk ditanggung. Disunnahkan untuk memanjangkan bacaan surat raka‘at awal mengalahkan panjang raka‘at kedua selama tidak ada keterangan dari Nabi s.a.w. untuk memanjangkan raka‘at yang kedua.64 Disunnahkan pula untuk membaca surat dengan tartib sesuai urutan mushḥaf dan secara beruntun, selama ayat yang setelah tidak lebih panjang. Jika mentartibkan surat berlawanan dengan memanjangkan surat di raka‘at awal seperti membaca surat al-Ikhlāsh pada raka‘at awal maka apakah pada raka‘at kedua membaca surat al-Falaq karena melihat tartib mushḥaf? atau membaca surat al-Kautsar agar bacaan raka‘at awal lebih panjang? Semuanya masih mungkin benar, sedang yang lebih dekat kebenarannya adalah yang awal yakni membaca al-Falaq seperti yang telah disampaikan oleh guru kita dalam Syaraḥ Minhāj.65 Disunnahkannya membaca ayat hanyalah bagi seorang imām dan seorang yang shalat sendiri (dan selain ma’mūm yang mendengar bacaan) dari sang imām di dalam shalat yang disunnahkan membaca keras, maka dimakruhkan bagi ma’mūm untuk membaca surat. Sebagian pendapat menghukumi haram.66 Sedangkan bagi ma’mūm yang tidak mendengar bacaan ayat dari imām atau mendengar suatu yang tidak dapat dibedakan huruf-hurufnya, maka diperbolehkan baginya untuk membaca surat dengan pelan, namun disunnahkan baginya – seperti di dua raka‘at awal shalat yang sunnah untuk membaca pelan – untuk mengakhirkan bacaan al-Fātiḥahnya dari al-Fātiḥah imāmnya jika ia menduga dapat menemukan rukū‘ besertaan imām. Di waktu menanti bacaan imām selesai, ma’mūm menyibukkan diri dengan berdoa bukan membaca surat. Imām al-Mutawallī berkata: – pendapat ini telah diakui oleh Imām Ibnu Rif‘ah – : Dimakruhkan untuk membaca al-Fātiḥah sebelum imāmnya walaupun di dalam shalat yang sunnah untuk melirihkan bacaan sebab keluar dari perselisihan ‘ulamā’ tentang dianggap sahnya bacaan al-Fātiḥah dengan kondisi demikian tersebut, dan sebab adanya shalat jika ma’mūm lebih dahulu selesai membaca al-Fātiḥah sebelum imāmnya.
64Seperti jamā‘ah dalam kondisi berdesakan, maka disunnahkan bagi imām untuk memanjangkan surat raka‘at kedua agar ma’mūm yang tertinggal dapat menyusul imām. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 175 Darul Fikr.
65 Imām Bujairami mengatakam: Yang mu‘tamad adalah membaca di raka‘at yang kedua sebagian dari surat al-Falaq dengan jumlah lebih sedikit dari surat al-Iklāsh. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 176 Darul Fikr.
66Ibnu Ḥajar dalam Tuḥfah mengataka: Pendapat ini dipilih jika sampai mengganggu jamā‘ah lain. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 176 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan bagi seorang ma’mūm yang telah selesai membaca al-Fātiḥah di raka‘at yang ketiga atau keempat atau telah selesai membaca tasyahhud di raka‘at awal sebelum imāmnya, untuk menyibukkan diri membaca doa setelahnya atau membaca surat setelah raka‘at ketiga dan keempat dan itu lebih baik.
(Disunnahkan) bagi seorang yang bukan musāfir (di dalam) shalat (Jum‘at dan shalat ‘Isyā’-nya) untuk membaca surat (al-Jum‘ah dan al-Munāfiqūn atau surat al-A‘lā dan al-Ghāsyiyyah.) Disunnahkan di dalam (shalat Shubuḥ hari Jum‘at) ketika waktunya masih longgar (untuk membaca surat Alif Lām Mīm) as-Sajdah (dan Hal Atā).67 Sedangkan di salam shalat Maghribnya disunnahkan (membaca surat al-Kāfirūn dan al-Ikhlāsh). Disunnahkan membaca dua surat tersebut68 di shalat Shubuḥ hari Jum‘at dan selainnya bagi seorang musāfir dan di dua raka‘at shalat Shubuḥ, Maghrib, Thawāf, tahiyyat, istikhārah, dan shalat akan iḥrām. Semua itu sebab mengikuti Nabi s.a.w.
68Sebagian riwayat hadits menganjurkan pula untuk membaca surat mu‘awwidzatain di shalat-shalat tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 178 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Jika seorang yang shalat meninggalkan salah satu surat yang telah ditentukan di raka‘at awal, maka dua surat tersebut dibaca di raka‘at yang kedua atau surat yang semestinya dibaca di raka‘at yang kedua dibaca di raka‘at awal, maka di raka‘at kedua membaca surat yang seharusnya dibaca di raka‘at awal. Jika seseorang membaca surat selain yang telah ditentukan – walaupun lupa – maka baginya sunnah memotong surat tersebut dan membaca surat yang telah ditentukan. Membaca dua surat yang pendek di saat waktu shalat telah hampir habis, lebih utama dibanding dengan membaca sebagian surat yang panjang yang telah ditentukan. Berbeda dengan pendapat Imām al-Fāraqī. Jika seseorang tidak hafal kecuali salah satu surat yang telah ditentukan, maka baginya sunnah membaca salah satu surat tersebut dan mengganti surat yang lain dengan surat yang ia hafal walaupun tidak runtut dengan mushḥaf. Jika seseorang menjadi ma’mūm di raka‘at kedua dari shalat shubuh hari Jum‘at – sebagai contoh – dan ia mendengar bacaan Imām surat Hal Atā, maka sunnah baginya di raka‘at yang kedua – ketika ia telah berdiri setelah salam imam – untuk membaca surat Alif Lām Mīm Tanzīl seperti yang telah difatwakan oleh Imām al-Kamāl ar-Radād69 dan pendapat ini diikuti oleh guru kita dalam kitab Fatāwā-nya, namun pendapat guru kita dalam Syaraḥ Minhāj lebih condong untuk membaca di raka‘at keduanya – setelah beranjak berdiri – surat Hal Atā.70 Ketika seorang imam membaca selain dua surat yang telah ditentukkan, maka ma’mum membaca dua surat itu di raka‘at keduanya. Jika ma’mum menemukan imam di rukū‘ raka‘at kedua, maka imam dianggap tidak membaca sesuatu apapun hingga disunnahkan baginya untuk membaca surat as-Sajadah dan Hal Atā di raka‘at keduanya seperti yang telah difatwakan oleh guru kita.
70Agar seluruh shalatnya tidak sepi dari dua surat tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 178 Darul Fikr.
(Disunnahkan untuk mengeraskan bacaan bagi selain ma’mūm di dalam shalat Shubuḥ, dua raka‘at awal shalat ‘Isyā’, shalat Jum‘at, shalat yang diqadhā’ di antara waktu tenggelam dan terbitnya matahari,71 shalat dua hari-raya. – Guru kita berkata: Walaupun shalat Hari-raya tersebut adalah shalat qadhā’ – , shalat tarāwīḥ, witir malam bulan Ramadhān dan shalat Gerhana rembulan. Dimakruhkan bagi ma’mūm untuk mengeraskan bacaan sebab adanya larangan tentang hal itu. Orang yang shalat dan selainnya dilarang untuk mengeraskan bacaan72 jika hal tersebut dapat mengganggu terhadap semacam orang yang tidur atau orang yang shalat, maka hukumnya makruh seperti keterangan dalam kitab Majmū‘. Sebagian ‘ulamā’ melarang mengeraskan bacaan al-Qur’ān atau selainnya disamping orang yang shalat secara mutlak,73 sebab masjid adalah tanah waqaf untuk orang yang shalat secara hukum asalnya, bukan untuk penceramah, dan pembaca al-Qur’ān. Disunnahkan dalam shalat sunnah mutlak di malam hari untuk membaca di antara keras dan pelan.74
72Kecuali pada shalat-shalat fardhu yang disunnahkan untuk mengeraskan suara, maka hukumnya tetap sunnah mengeraskan suara. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 180 Darul Fikr.
73Baik mengganggu orang lain ataupun tidak. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 180 Darul Fikr.
74Yang paling baik dalam mengartikan suara di antara pelan dan keras adalah satu tempo membaca keras dan satu tempo yang lain membaca pelan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 180 Darul Fikr.
(Dan) disunnahkan bagi orang yang shalat sendiri, imām dan ma’mūm (untuk membaca takbīr di setiap turun dan bangun) sebab mengikuti Nabi s.a.w., (bukan) bangun (dari rukū‘) akan tetapi bangunlah dari rukū‘ dengan mengucapkan (سَمِعَ اللّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) – semoga Allah menerima pujian dari hamba yang memujinya – . (Disunnahkan untuk memanjangkan bacaan takbīr)75 sampai ke tempat yang dituju, walaupun dipisah dengan duduk istirahat.76 (Disunnahkan) untuk membaca keras dengan bacaan takbīr) untuk berpindah rukun seperti halnya takbīrat-ul-iḥrām (bagi seorang imām) begitu pula bagi seorang penyampai suara yang dibutuhkan, namun jika berniat dzikir atau niat dzikir dan memberi pendengaran orang lain. Jika tidak berniat sedemikian itu, maka shalat penyampai suara tersebut batal seperti yang telah disampaikan oleh guru kita dalam Syaraḥ Minhaj. Sebagian ‘ulamā’ mengatakan: Bahwa menyampaikan suara imām adalah bid‘ah yang diingkari77 menurut kesepakatan ‘ulamā’ madzhab empat sekira suara imām masih dapat sampai pada para ma’mūm. Dimakruhkan mengeraskan takbīr (bagi selain imām) ya‘ni bagi orang yang shalat sendiri dan berma’mūm (sebagai sebagai ma’mūm).
76Namun sekira tidak melebihi dari tujuh alif. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 181 Darul Fikr.
77Maksudnya adalah hukum makruh saja. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 181 Darul Fikr.
Post a Comment