TENTANG NAJĀSAH
TENTANG NAJĀSAH
(Tidak wajib menghindari najis) di selain shalat,1 selagi orang tersebut tidak sengaja melumuri tubuh atau bajunya dengan najis, maka hukumnya haram. Najis secara syara‘ adalah sesuatu yang menjijikkan yang dapat mencegah keabsahan shalat sekira tidak mendapat keabsahan shalat sekira tidak mendapat dispensasi.2 (Najis itu seperti kotoran hewan dan air kencing) walaupun keduanya dari burung, ikan, belalang dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, (atau dari hewan yang halal dimakan dagingnya) menurut pendapat yang Ashaḥ. Imām Isthahrī dan Rauyānī dari ulama’ kita Shāfi‘iyyah3 seperti halnya madzhab Mālik dan Aḥmad mengatakan bahwa kotoran dan kencing hewan dari hewan yang halal dimakan dagingnya keduanya suci. Kalau seandainya ada hewan yang mengeluarkan kotoran dan memuntahkan sebuah biji dan biji tersebut masih keras sekira bila ditanam masih dapat tumbuh, maka hukumnya mutanajjis yang dapat menjadi suci dengan dibasuh dan dapat dimakan, jika tidak seperti itu maka hukumnya najis. Para ulama’ tidak menjelaskan hukum selain biji-bijian,4 guru kita berkata: Kejelasannya, jika selain biji tersebut berubah dari bentuk awalnya sebelum ditelan, walaupun dengan sedikit perubahan, maka hukumnya najis dan jika tidak berubah, maka hukumnya mutanajjis. Dalam Majmū‘-nya disebutkan permasalahan yang dikutib dari Syaikh Nashir: Bahwa biji-bijian yang terkena air kencing sapi yang digunakan untuk menggiling, hukumnya diampuni, dikutip pula dari Imām Juwainī bahwa beliau sangat mengingkari atas pembahasan dan sucinya biji tersebut. Imām al-Fazārī juga membahas tentang diampuninya kotoran tikus ketika kotoran itu jatuh ke dalam benda cair dan hal itu umum terjadi. Sedangkan benda yang ditemukan di sebagian daun pepohonan seperti halnya buih, hukumnya adalah najis sebab buih tersebut keluar dari batin sebagian ulat seperti realita yang telah disaksikan. ‘Anbar bukanlah kotoran, sedang sebagian ulama’ mengira hal itu, bahkan ‘Anbar adalah rumput laut.
2Seperti bekas istinja’ dengan batu. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 99 Darul Fikr.
3Pendapat ini adalah muqābil ashaḥ. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 99 Darul Fikr.
4Imām Ramlī dalam Nihāyah-nya mengatakan bahwa hukum telur yang ditelan kemudian keluar masih dalam keadaan utuh hukumnya mutanajjis bila kemungkinan besar masih dapat menetas. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 99 Darul Fikr.
(Najis itu seperti halnya madzi) sebab perintah untuk membasuh dzakar dari madzi tersebut. Madzi adalah air berwarna putih atau kuning yang bersifat cari. Secara umum keluar ketika syahwat naik, namun tidak terlalu kuat. Begitu pula wadi, yakni air berwarna putih, keruh dan kental, secara umum keluar setelah selesai kencing atau saat membawa barang yang berat. (Dan seperti darah) sampai darah yang tersisa pada semacam tulang, namun hukumnya di-a‘fuw. Para ulama’ mengecualikan dari darah adalah hati, limpa, misik – walaupun misik tersebut dari kijang yang mati bila misik tersebut mengental, darah dan daging kempal, air susu5 yang keluar dengan warna darah, dan darah telur yang belum rusak.6 (Dan seperti nanah), sebab nanah adalah darah yang telah berubah bentuk dan shadīd yakni cairan yang bercampur darah. Begitu pula cairan dari luka, cairan dari cacar, cairan dari tubuh yang melepuh jika semua cairan tersebut telah berubah. (Dan seperti muntahan dari lambung),7 walaupun tidak berubah, yakni sesuatu yang kembali setelah sampai pada lambung walaupun berupa air. Sedangkan sesuatu yang kembali sebelum sampai pada lambung secara yakin atau kemungkinan hukumnya tidaklah najis dan juga tidak mutanajjis, berbeda dengan pendapat Imām al-Qaffāl. Guru kita telah berfatwa bahwa ketika seorang anak kecli diuji dengan selalu muntah, maka puting susu ibunya yang masuk ke dalam mulut anak tersebut di-ma‘fuw, tidak dari orang yang menciumnya atau menyentuhnya. Dan seperti empedu, susu hewan yang tidak halal dimakan dagingnya kecuali dari manusia, dan makanan mamahan yang kedua kali dari semacam unta. Sedangkan mani hukumnya adalah suci,8 berbeda dengan pendapat Imām Mālik.9 Begitu pula suci air lendir yang keluar selain dari lambung yakni dari kepala atau dada dan air liur dari orang yang tidur walaupun sangat busuk atau berwarna kuning selama tidak jelas bahwa air liur tersebut tidak berasal dari lambung, kecuali bagi orang yang diuji10 dengan hal tersebut maka hukumnya di-ma‘fuw walaupun sangat banyak.
6Sekira tidak mungkin bisa menetas lagi. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 99 Darul Fikr.
7Kecuali madu, sebab madu keluar dari mulut lebah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 101 Darul Fikr.
8Selama ujung dzakar dan vagina yang mengeluarkan mani suci. Jika najis maka hukumnya menjadi mutanajjis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 102 Darul Fikr.
9Imām Bujairamī mengatakan bahwa Imām Mālik dan Abū Ḥanīfah menghukumi najis mani dari manusia. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 102 Darul Fikr.
10Maksud dari orang yang diuji adalah sekira hal tersebut sering terjadi dan jarang ketiadaannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 103 Darul Fikr.
Dihukumi suci air yang membasahi vagina – keputihan – menurut pendapat yang ashaḥ, yakni air yang berwarna putih yang bersifat di antara madzi dan keringat, keluar dari dalam vagina yang tidak wajib untuk dibasuh.11 Berbeda bila keluar dari anggota yang wajib dibasuh, maka hukumnya pasti suci. Cairan yang keluar dari bagian paling dalam vagina hukumnya pasti najis seperti setiap hal yang keluar dari bagian dalam. Dan seperti air yang keluar besertaan anak yang dilahirkan atau sebelumnya. Tidak ada perbedaan di antara terpisahnya cairan tersebut dan tidaknya menurut pendapat yang mu‘tamad. Sebagian ulama’ mengatakan bahwa perbedaan antara cairan yang suci dan yang najis adalah bertemu dan terpisahnya cairan itu, maka jika cairan tersebut terpisah maka dalam kitab Kifāyah dari Imām Ḥaramain hukumnya adalah najis. Tidak wajib untuk membasuh dzakar12 seorang yang menyetubuhinya, membasuh telur dan anak.
12Dari cairan vagina tersebut baik suci ataupun najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 104 Darul Fikr.
Guru kita berfatwa bahwa cairan dari penyakit bawasir hukumnya diampuni bagi seorang yang diuji dengan hal itu, begitu pula telur hewan yang tidak halal dimakan dagingnya,13 dan halal untuk memakannya menurut pendapat yang Ashaḥ.14 Dan suci pula rambut dari hewan yang halal dimakan dagingnya begitu pula bulu-bulunya yang dicabut di waktu hidupnya. Jikalau terjadi keraguan di dalam rambut atau sejenisnya, apakah dari hewan yang halal dimakan dagingnya atau tidak atau apakah terpisah dari hewan yang masih hidup atau telah mati maka hukumnya suci. Begitu pula disamakan dengan kasus tersebut adalah tulangnya, seperti yang telah dijelaskan Imām Qamullī dalam kitab Jawāhir-nya. Telur dari bangkai bila masih dalam keadaan keras, maka hukumnya suci dan bila tidak, maka najis. Air minum sisa dari hewan yang suci hukumnya adalah suci. Jika mulut hewan tersebut najis, lalu hewan tersebut menjilati air yang jumlahnya sedikit, maka bila kasus tersebut terjadi setelah perginya hewan itu dalam jangka waktu yang mungkin untuk sucinya mulutnya dengan menjilat air yang banyak atau yang mengalir, maka hukumnya tidak najis walaupun hewan tersebut itu kucing dan bila tidak demikian itu maka hukumnya najis.
14Selama tidak membahayakan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 104 Darul Fikr.
Guru kita seperti halnya Imām Suyūthī sebab mengikuti sebagian ulama’ kurun akhir mengatakan: Hukumnya di-ma‘fuw-kan dari sedikitnya najis secara umumnya, yakni dari sedikitnya rambut najis selain dari najis mughallazhah, dari asap yang najis,15 dari najis yang melekat di kaki lalat walaupun dapat terlihat dengan mata, najis yang berada pada lubang keluarnya kotoran selain manusia yakni dari sesuatu yang keluar dari lubang tersebut, kotoran burung dan yang berada pada mulutnya, kotoran dari hewan yang muncul dari air atau kotoran yang muncul di antara dedaunan pohon kelapa yang digunakan sebagai atap rumah pelindung hujan sekira sulit untuk menghindari air dari kotoran hewan itu. Sekelompok ulama’ mengatakan: Begitu pula kotoran dari hewan tikus yang berada pada tempat air di WC, jika telah umum terjadi. Hal itu dikuatkan dengan pembahasan Imām al-Fazārī. Syarat di-ma‘fuw-nya keseluruhan permasalahan di atas, bila najis tersebut mengenai air16 adalah tidak merubah sifat air.17 Keringat atau susu musang kasturi hukumnya suci dan sedikit rambutnya seperti tiga helai di-ma‘fuw. Begitulah para ulama’ memutlakkan permasalahan di atas tanpa menjelaskan yang dikehendaki dari sedikitnya itu apakah rambut yang berada pada keringat/susu yang akan digunakan atau rambut yang berada pada wadah tempat diambilnya susu tersebut. Guru kita mengatakan bahwa yang lebih unggul adalah permasalahan yang awal jika susu/keringat tersebut telah padat, sebab yang dipertimbangkan adalah tempat yang terkena najis saja. Jika terdapat najis dengan jumlah yang banyak pada satu tempat, maka hukumnya tidak diampuni dan bila tidak satu tempat hukumnya diampuni, berbeda dengan benda cair, sebab seluruh benda tersebut seperti satu kesatuan. Jika rambut di dalam benda cair itu sedikit, maka diampuni, bila tidak demikian, maka tidak diampuni, dan tentunya saat benda tersebut cari, maka yang dipertimbangkan tidak hanya terhadap susu/keringat yang diambil saja.18 Imām al-Muḥibb at-Thabarī mengutip dari Imam Ibnu Shabāgh dan ia jadikan sebuah pedoman bahwa diampuni dari mamahan kedua kali dari unta dan sejenisnya, maka air yang diminumnya tidaklah najis. Disamakan dengan permasalahan mulut dari hewan memamah baik adalah permasalahan anak dari hewan sapi dan biri-biri ketika menyesap puting induknya. Imām Ibnu Shalāh mengatakan: Sesuatu yang tersentuh dengan mulut anak kecil serta diyakini kenajisannya hukumnya diampuni. Disamakan dengan anak kecil adalah mulutnya orang gila dan Imām Zarkasyī memutuskan dengan hukum tersebut.
16Untuk selain air disyaratkan tempat yang terkena najis tidak basah dan tidak dengan kesengajaan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.
17Dan bukan najis mughallazhah, dan juga tidak dengan kesengajaannya. Untuk selain air disyaratkan tempat yang terkena najis tidak basah dan tidak dengan kesengajaan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.
18Namun pertimbangan menuju pada seluruh barang yang berada pada wadah.
(Dan seperti halnya bangkai) walaupun dari sejenis lalat yakni dari hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir – berbeda dengan pendapat Imām Qaffāl dan ulama’-ulama’ yang mengikutinya dalam pendapatnya yang mengatakan suci sebab tidak adanya darah yang menyebabkan hewan itu busuk seperti madzhab Mālikī dan Abū Ḥanīfah – , maka bangkai hukumnya najis walaupun darahnya tidak mengalir, begitu pula bulu, tulang dan tanduknya berbeda dengan Imām Abū Ḥanīfah ketika bangkai tersebut tidak memiliki lemak. Imām al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī berfatwa dengan sahnya shalat ketika seorang yang shalat membawa bangkai lalat ketika hal tersebut terjadi di tempat yang sulit menghindari lalat itu. 19 (Selain bangkai manusia, ikan20 dan belalang) sebab dua yang akhir halal untuk dikonsumsi. Sedangkan manusia itu sebab firman Allah: Dan sungguh telah aku muliakan keturunan dari Adam. Dari kemuliaan yang diberikan manusia sudah tentunya tidak dihukumi najis ketika matinya. Dan selain hewan buruan ketika tidak ditemukan sembelihannya21 dan selain janin hewan yang disembelih yang mati sebab penyembelihan induknya. Halal memakan ulat dari makanan bersamanya dan tidak wajib untuk membasuh mulutnya dari memakan ulat itu. Imām Qamullī mengutip dalam kitab Jawāhir-nya sebuah pendapat dari ashhab bahwa tidak diperbolehkan memakan ikan asin yang kotoran di dalamnya tidak dihilangkan. Secara lahir tidak ada perbedaan antara ikan yang besar dan kecil, namun Imām Rāfi‘ī dan Nawawī memperbolehkan memakan ikan asin yang kecil besertaan kotoran yang ada di dalamnya, sebab sulitnya untuk membersihkan.
20Maksudnya adalah setiap hewan yang tidak bisa hidup di darat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 108 Darul Fikr.
21Dengan kematian sebab luka atau dengan desakan hewan buruan. Dikecualikan dengan itu adalah hewan yang ditemukan masih dalam keadaan hidup lantas tidak disembelih, maka hukumnya najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.
(Dan seperti sesuatu yang memabukkan) maksudnya adalah pantas untuk membuat mabuk, maka masuklah satu tetes dari minuman itu.22 (yang berbentuk cair) seperti arak yakni minuman yang terbuat dari anggur dan tuak yakni minuman yang terbuat dari selain anggur. Dikecualikan dari benda cair adalah sejenis daun kecubung dan rumput yang memabukkan.23 Arak tersebut dapat menjadi suci ketika menjadi cuka dengan sendirinya tanpa disertai dengan benda lain walaupun benda tersebut tidak memberi dampak di dalam proses menjadi cuka seperti kerikil. Wadah dari arak tersebut juga ikut dalam hukum kesuciannya24 walaupun arak tersebut meresap ke dalam wadah itu atau sekalipun arah tersebut mendidih hingga arak tersebut naik dan surut kembali. Sedangkan bila arak tersebut naik tanpa sebab mendidih, bahkan disebabkan karena ada yang melakukannya maka arak tersebut tidak suci walaupun arah yang naik tersebut dituangi sebelum kering atau setelahnya dengan arak yang lain menurut pendapat yang lebih unggul seperti pendapat yang telah diputuskan oleh guru kita. Sedangkan pendapat yang dipakai pedoman oleh guru kita al-Muḥaqqiq ‘Abd-ur-Raḥmān az-Ziyādī adalah hukum suci jika arak yang naik tersebut dituangi sebelum keringnya, tidak bila setelah kering. Kemudian beliau berkata lagi: Kalau seandainya arak dituangkan pada sebuah wadah dan wadah itu dituangi arang yang lain setelah keringnya dan sebelum mencucinya, maka arak tersebut tidak bisa suci,25 walaupun arak yang dipindah dari wadah itu menuju ke wadah lain telah menjadi cuka –selesai – . Tanda dari arak yang telah menjadi cuka adalah rasanya masam walaupun tidak begitu masam dan masih berbuih. Kulit hewan yang najis sebab mati dapat menjadi suci dengan cara disamak sampai bersih sekira bau busuk dan hancur tidak kembali lagi jika direndam di dalam air.26
23Penilaian benda tersebut keras atau cair adalah saat membabukkan, maka benda padat saat memabukkan hukumnya suci dan benda cair saat memabukkan hukumnya najis walaupun asalnya adalah benda padat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 110 Darul Fikr.
24Sebab jika tidak dihukumi suci, maka arak yang telah menjadi cuka akan najis lagi hingga tidak akan pernah ditemui arak yang menjadi cuka yang dihukumi suci. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 110 Darul Fikr.
25Sebab wadah tersebut telah najis dengan arak yang pertama. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 112 Darul Fikr.
26Sedangkan alat yang digunakan menyamak adalah setiap hal yang memiliki rasa menyengat di lidah, walaupun dari perkara najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 112 Darul Fikr.
(Dan seperti halnya anjing dan babi), anak-anak keturunan dari setiap keduanya dengan hewan yang lain dari keduanya atau besertaan dengan hewan dari selain keduanya. Ulat dari kedua hewan itu hukumnya suci27 begitu pula sarang laba-laba menurut disampaikan oleh Imām Subkī dan al-Adzra‘ī. Imām ath-Thabarī pemilik kitab al-‘Iddah dan Imām Mawardzī pemilik kitab Ḥāwī memutuskan kenajisan sarang laba-laba tersebut. Sesuatu yang keluar dari sejenis ular di waktu hidupnya seperti halnya keringat hukumnya suci atas keterangan yang telah difatwakan sebagian ulama’, namun guru kita mengatakan: Dalam masalah ini perlu dikaji ulang bahkan pendapat yang lebih tepat adalah najis sebab sesuatu itu adalah bagian yang telah menjadi jasad yang terlepas di waktu hidupnya, maka hukumnya seperti halnya matinya. Guru kita berkata lagi: Jika seekor anjing atau babi mengawini manusia kemudian lahir darinya seorang manusia pula maka anaknya dihukumi najis,28 dan besertaan dengan hukum itu, ia adalah termasuk orang yang tertuntut melakukan shalat dan lainnya. Sudah jelas pula bahwa setiap hal yang terpaksa tersentuh olehnya diampuni dan baginya diperbolehkan untuk menjadi imam, sebab shalat yang ia lakukan tidak wajib diulang. Boleh pula baginya untuk masuk masjid guna melakukan jama‘ah dan selainnya sekira tubuhnya tidak basah.
28Sedang fatwa Imam Ramli menghukumi suci bila berwujud manusia. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 107 Darul Fikr.
Benda yang terkena Najis ‘Ainiyyah29 dapat suci dengan basuhan yang dapat menghilangkan sifat-sifatnya yakni rasa, warna dan baunya. Tidak masalah masih utuhnya warna atau bau yang sulit untuk dihilangkan30 walaupun dari najis mughallazhah. Jika keduanya masih tersisa bersamaan31 maka benda itu tidaklah suci. Sedang benda yang terkena najis ḥukmiyyah seperti air kencing yang telah kering dan tidak ditemukan sifat najis, maka cukup dengan mengalirkan air satu kali padanya. Walaupun benda tersebut berupa biji-bijian atau daging yang dimasuk dengan najis atau baju yang diwarnai dengan najis, maka batinnya akan suci dengan menuangkan air di luarnya. Seperti hal kasus pedang yang disiram, sedang pedang tersebut telah dibakar dengan najis. Diisyaratkan di dalam sucinya tempat yang terkena najis32 mendatangkannya air yang jumlahnya sedikit kepada benda yang terkena najis, jika malah benda yang terkena najis tersebut yang didatangkan ke dalam air yang jumlahnya sedikit, – bukan pada air yang banyak – maka air tersebut menjadi najis – walaupun air tersebut tidak berubah – dan air itu tidak dapat mensucikan yang lainnya. Air yang datang pada sebuah benda berbeda dengan yang lainnya dengan kuatnya air tersebut, sebab air itu dapat menolak najis. Jikalau mulut seseorang terkena najis, maka cukup mengambil air dengan menggunakan tangan untuk mulutnya walaupun tangannya tidak diletakkan di atas mulut seperti yang telah disampaikan guru kami. Wajib membasuh setiap anggota yang masih berada di batasan luar dari mulut33 tersebut, walaupun dengan memutarkan air tersebut, walaupun dengan memutarkan air tersebut seperti kasus menuangkan air di wadah yang terkena najis dan memutar-mutarnya ke arah kanan dan kirinya. Tidak diperbolehkan baginya untuk menelan sesuatu apapun sebelum mulutnya suci meskipun sekedar membolak-balikkan air ke tenggorokan.
30Batasannya sekira tidak hilang dengan digosok dengan air tiga kali. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 113 Darul Fikr.
31Kecuali memang benar-benar sulit dihilangkan sekira tidak dapat hilang kecuali dipotong. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 113 Darul Fikr.
32Dengan syarat baju atau benda lain tidak terdapat bentuk najisnya, maka bila masih ada bentuk najisnya air akan menjadi najis dengan hanya diguyurkan pada benda tersebut.
33Yakni makhraj khā’. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 115 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Jikalau tanah terkena semacam air kencing dan mengering lalu tempat itu disiram dengan air sampai merata, maka tanah tersebut hukumnya suci walaupun air tidak sampai meresap baik tanahnya keras ataupun gembur. Ketika ada sebuah tanah yang tidak dapat meresap najis yang mengenainya, maka wajib untuk menghilangkan bentuk najisnya sebelum menyiramkan air yang jumlahnya sedikit, seperti kasus bentuk najis yang berada pada sebuah wadah.34 Jikalau najis tersebut keras kemudian najis hancur dan bercampur dengan debu, maka tempat itu tidak dapat suci – seperti debu yang tercampur dengan nanah berdarah – dengan cara menyiramkan air pada tempat itu bahkan wajib untuk menghilangkan seluruh debu yang telah tercampur dengan najis. Sebagian ulama’ berfatwa tentang kewajiban membasuh mushḥaf35 yang terkena najis yang tidak diampuni walaupun menyebabkan rusaknya mushḥaf itu dan walalupun milik anak yatim. Guru kita berkata: Menghilangkan najis tersebut menjadi fardhu ‘ain bila najis tersebut menjadi fardhu ‘ain bila najis tersebut mengenai sesuatu dari al-Qur’ān berbeda jika mengenai semacam kulit atau pinggirnya.
35Begitu pula kitab-kitab yang berisi ilmu syari‘at. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Bekas sisa air yang digunakan untuk menghilangkan najis – walaupun di-ma‘fuw seperti darah yang sedikit – jika telah terpisah,36 bentuk najis serta sifat-sifatnya telah hilang,37 tidak berubah, tidak bertambah kadarnya setelah mengkalkulasi air yang meresap ke dalam baju gan mengkalkulasi air dari kotoran dan tempatnya telah suci,38 maka hukumnya suci. Guru kita berkata: Dan jelas dicukupkan di dalam pengkalkulasinya tersebut dengan sebuah praduga.
37Syarat berikut dengan syarat terakhir yakni sucinya tempat adalah sama. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 116 Darul Fikr.
38Sekira tidak ada tersisa sifat-sifat najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Ketika seekor tikus jatuh ke dalam makanan padat seperti minyak samin, kemudian tikus itu mati maka tikus tersebut dibuang,39 begitu pula sekelilingnya yang terkena tikus itu saja dan sisanya hukumnya suci. Benda padat adalah benda yang bila diciduk, maka ia tidak akan kembali dengan waktu dekat.40
40Sekira memenuhi tempat yang diambil tersebut sedangkan benda cair adalah kebalikannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Ketika ada air sumur yang jumlahnya sedikit menjadi najis sebab najis yang mengenainya, maka air sumur tersebut tidak akan suci dengan mengurasnya41 bahkan sebaiknya jangan dikuras supaya air menjadi banyak dengan sebab sumber atau dengan menuangkan air ke dalamnya. Atau jumlah air di dalam sumur itu jumlahnya banyak dan berubah sebab najis, maka air tidak akan suci kecuali dengan hilangnya najis itu. Jika masih tersisa di dalam sumur tersebut sebuah najis seperti bulu-bulu tikus dan air tidak berubah, maka hukumnya suci mensucikan yang sulit digunakan sebab timba air tidak mungkin terlepas dari bulu-bulu itu. Maka kuraslah seluruh air.42 Jika seseorang menciduk air sumur itu sebelum mengurasnya dan ia tidak yakin dari cidukannya ada bulu-bulu tikusnya, maka tidaklah masalah walaupun ia menduganya sebab mengamalkan kaidah mendahulukan hukum asal dari hukum zhāhir.
42Supaya bulu-bulunya dapat hilang seluruhnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 117 Darul Fikr.
Benda yang terkena najis semacam anjing tidak akan suci kecuali dengan tujuh basuhan setelah hilangnya bentuk najis itu walaupun berkali-kali, maka basuhan yang digunakan untuk menghilangkan bentuk najisnya dihitung satu kali. Salah satu dari tujuh basuhan tersebut dicampur dengan menggunakan debu yang sah untuk tayammum43 sekira air menjadi keruh sampai terlihat bekas debu di dalamnya dan sehingga debu sampai pada seluruh bagian tempat yang najis dengan perantara air itu. Cukup di dalam air yang diam menggerakkan tempat yang terkena najis sebanyak tujuh kali.44 Guru kita berkata: Jelas bahwa gerakan ke depan dihitung satu kali dan kembalinya dihitung sekali lagi. Cukup pada air yang mengalir lewatnya tujuh aliran air itu. Tidaklah butuh pencampuran debu terhadap tanah yang telah berdebu.45
44Besertaan mengeruhkan air disalah satu basuhannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 118 Darul Fikr.
45Saat terkena najis mughallazhah, sebab tidak ada gunanya memberi debu tanah yang berdebu. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 119 Darul Fikr.
Cabangan Masalah). Jikalau seorang menyentuh anjing yang berada di dalam air dengan jumlah banyak, maka tangannya tidak dihukumi najis.46 Jika seekor anjing mengangkat kepalanya dari wadah air dan mulutnya basah, namun tidak diketahui menyentuhnya mulut anjing tersebut terhadap air, maka air itu tidak dihukumi najis. Imām Mālik dan Imām Dāūd mengatakan bahwa anjing hukumnya suci dan air tidak dihukumi najis dengan sebab dijilat anjing itu, sedangkan kewajiban membasuh wadah yang terjilat olehnya adalah murni ibadah kepada Allah.
(Dan diampuni dari darah semacam nyamuk) yakni dari hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti nyamuk dan kutu, tidak dari kulitnya.47 (Diampuni pula dari darah semacam bisul) seperti jerawat, darah luka, nanah dan darah bernanah dari bisul, (walaupun jumlah darah dari keduanya banyak) dan menyebar sebab keringat atau sangat banyak sekali dalam contoh yang awal yakni darah nyamuk sekira merata pada baju menurut pendapat yang dikutip dan mu‘tamad. (Hal itu dilakukan tanpa ada kesengajaan).48 Jika darah tersebut banyak dengan unsur kesengajaan seperti seseorang yang sengaja membunuh nyamuk yang berada pada bajunya, memeras semacam bisul atau membawa baju yang ada darah nyamuknya – sebagai contoh – dan ia shalat dengan memakai baju itu atau baju itu digelar untuk shalat atau ia merangkap bajunya tidak dengan tujuan seperti memperindah diri, maka darah itu tidak diampuni kecuali dengan kadar yang sedikit menurut pendapat yang Ashaḥ seperti keterangan dalam kitab Taḥqīq dan Majmū‘. Walaupun ucapan Imām Nawawī dalam Raudhah menuntut diampuninya darah semacam bisul walaupun diperas49 dan pendapat dalam Raudhah itu dipakai pedoman oleh Imām Ibnu Naqīb dan Adzra‘ī. Status ampunan dalam masalah ini dan masalah yang akan disebutkan nanti adalah dalam permasalahan shalat bukan semacam air yang jumlahnya sedikit, maka air hukumnya menjadi najis dengan sebab darah itu walaupun darahnya sedikit. Tidak mempengaruhi terhadap badan basah yang terkena darah itu,50 dan tidak dituntut baginya untuk mengusap tubuhnya sebab hal itu sulit dilakukan. (Dan) diampuni dari (sedikitnya) semacam darah (orang lain) selain najis mughallazhah, beda bila dalam jumlah yang banyak. Sebagian contoh dari darah orang lain adalah – seperti yang telah disampaikan Imām Adzra‘ī – darah yang telah terpisah dari badan seseorang, lalu kembali mengenai dirinya lagi.
48Dan tidak melewati tempat yang semestinya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 120 Darul Fikr.
49Namun pendapat ini tidak dianggap. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 119 Darul Fikr.
50Dan hal itu diperbolehkan menurut Imām Mutawallī dan tidak boleh menurut Imām Abū ‘Alī sebab tidak ada darurat untuk menajiskan badannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 121 Darul Fikr.
Diampuni dari sedikitnya semacam darah haid dan darah dari hidung seperti keterangan dalam kitab Majmū‘. Disamakan dengan dua darah tersebut darah dari semua lubang tubuh kecuali darah yang keluar dari tempat keluarnya najis seperti tempat keluarnya berak. Dasar penilaian sedikit dan banyaknya najis adalah umumnya,51 sedangkan darah yang masih disangsikan banyaknya, maka darah tersebut dihukumi sedikit. Jikalau ada najis yang itu dihukumi sedikit menurut Imām Ḥaramain dan dihukumi banyak menurut Imām al-Mutawallī, Imām Ghazālī dan selain keduanya dan sebagian ulama’ mengunggulkan pendapat ini. Diampuni dari darah semacam tusuk jarum dan bekam yang masih berada di tempatnya,52 walaupun jumlahnya banyak. Sah shalatnya seseorang yang gusinya berdarah sebelum mencuci mulutnya ketika ia tidak menelan ludahnya di dalam shalat, sebab darah gusi hukumnya diampuni bila dinisbatkan dengan air ludah. Jika hidungnya mengeluarkan darah sebelum shalat dan berlanjut terus, maka bila ia memiliki harapan berhentinya darah sebelum shalat dan berlanjut terus, maka bila ia memiliki harapan berhentinya darah itu sedang waktu shalat masih lama habisnya, hendaknya ia menanti darahnya berhenti. Dan bila tidak ada harapan, maka sumbatlah aliran darah itu seperti halnya orang yang beser kencing. Lain halnya dengan pendapat ulama’ yang menduga harus menanti berhentinya pendarahan walaupun sampai waktu shalat habis, seperti diakhirkannya shalat untuk mencuci baju yang terkena najis walaupun sampai waktu shalat habis. Masalah hidung berdarah dan pencucian pakaian haruslah dibedakan sebab dalam masalah pencucian pakaian terdapat kemampuan untuk menghilangkan najis dari asalnya, maka wajib untuk menghilangkan najis itu, lain halnya dengan permasalahan orang yang mengeluarkan darah dari hidung dalam permasalahan kita. Diampuni sedikitnya53 lumpur tempat orang berlalu yang telah diyakini najisnya sekalipun dari najis mughallazhah sebab beratnya untuk menghindari selagi bentuk najisnya tidak tampak jelas. Ampunan najis tersebut akan berbeda sesuai dengan waktu dan tempat, yakni dari baju dan badan.54 Ketika bentuk najis nyata terlihat di jalan walaupun berupa jejak kaki anjing, maka najis itu tidak diampuni, walaupun jalan itu rata dengan najis menurut pendapat yang unggul. Guru kita berfatwa tentang permasalahan jalan yang tidak berlumpur tetapi di jalan itu terdapat kotoran manusia, anjing, dan hewan ternak sedang jalan tersebut terkena guyuran hujan dengan hukum ma‘fuw ketika memang sulit untuk dihindari.
52Yakni tempat yang umumnya mengalir dan yang sejajar dengannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 122 Darul Fikr.
53Batasan sedikit adalah sekira pelakunya tidak dianggap seperti orang yang jatuh pada sesuatu atau tersungkur atau ceroboh secara umumnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 123 Darul Fikr.
54Maka diampuni lumpur yang mengenai kaki dan ujung kainnya bukan pada lengan tangan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 124 Darul Fikr.
(Kaidah Penting). Yaitu benda yang asalnya suci dan terjadi praduga najisnya benda itu dengan alasan benda semacam itu umumnya najis, dalam masalah ini ada dua pendapat yang terkenal dengan hukum Asal dan Zhāhir atau Ghālib. Yang lebih unggul dari dua kaidah itu adalah benda tersebut dihukumi suci, dengan mengamalkan hukum asal yang diyakini sebab hukum asal lebih terjaga kondisinya dibanding dengan hukum ghālib yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Hal itu dapat dicontohkan seperti pakaian pembuat khamer, orang haid, anak-anak, bejana milik pemeluk agama kafir yang menggunakan najis, dedaunan yang umumnya jatuh pada tempat yang najis, air liur anak kecil, gula batu yang terkenal terbuat dari lemak babi,55 keju Syam yang terkenal terbuat dari isi perut babi. Rasūlullāh s.a.w. pernah disuguhi keju dari penduduk Syam, lalu Rasūl memakan sebagiannya tanpa bertanya tentang hal itu. Guru kita menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab Syarḥ Minhāj.
Diampuni dari tempat bekas bersuci dari batu dan dari kotoran lalat, air kencing dan kotoran kelelawar yang mengenai tempat shalat, begitu pula baju dan badan walaupun sangat banyak56 sebab sulitnya menghindari hal itu. Diampuni dari kotoran semua burung yang telah kering yang berada di tempat shalat, jika kotoran itu telah rata adanya.57 Malah dalam Majmū‘-nya menghukumi ma‘fuw pula bila mengenai baju dan badan. Kotoran tikus walaupun telah kering tidaklah diampuni menurut pendapat yang lebih unggul namun guru kita Ibnu Zaid mengeluarkan fatwa seperti ulama’ kurun akhir lain dengan menghukumi ma‘fuw, jika memang telah rata di tempat itu seperti telah meratanya kotoran burung. Tidak sah shalatnya seseorang yang menggendong orang yang istinja’ dengan menggunakan batu, membawa binatang yang jalan keluar kotorannya terdapat najis, membawa binatang sembelihan yang telah dicuci tempat penyembelihannya tanpa mencuci perutnya, atau bangkai suci seperti manusia,58 ikan yang tidak dibersihkan bagian dalamnya atau telur rusak yang di dalamnya terdapat darah. Tidak sah pula shalatnya seseorang yang menggenggam pucuk suatu benda yang bertemu dengan najis walaupun benda itu tidak ikut bergerak dengan gerakannya.
57Dan tidak ada kesengajaan untuk menginjaknya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 126 Darul Fikr.
58Shalat seseorang tidak sah dengan menggendong bangkai yang suci, sebab telah menggendong sesuatu yang di dalamnya terdapat najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 127 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang melihat orang yang ingin mengerjakan shalat sedang dibajunya terdapat najis yang tidak diampuni, maka wajib baginya untuk memberitahunya59 begitu pula wajib untuk mengajarkan60 orang yang ia lihat melanggar kewajiban ibadah menurut imam yang diikuti.
60Bila ilmu yang diajarkan umumnya harus diberi upah, maka tidak diajarkan kecuali dengan upah menurut pendapat yang mu‘tamad. I‘ānah Thālibīn Juz 1, hal. 127 Darul Fikr.
Post a Comment