ULAMA SÛ’ (ORANG BERILMU YANG BURUK)
ULAMA SÛ’ (ORANG BERILMU YANG BURUK)
Dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kisah seorang yang berilmu namun digelari buruk. Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam surat al A’raf ayat ke-175 sampai dengan ayat ke-177.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ ﴿١٧٥﴾ وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴿١٧٦﴾ سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zhalim.
Ilmu syar’i bisa membimbing orang yang memilikinya untuk menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak terpuji, juga bisa mengangkatnya ke derajat dan kedudukan tertinggi. Ini jika ilmu dia mengamalkan ilmu yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepadanya dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla . Namun, sebaliknya, jika dia meninggalkan ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits tersebut dan mencampakkan akhlak yang diperintahkan oleh keduanya, melepasnya sebagaimana dia melepaskan bajunya, maka dia akan tawanan syaitan, dia terlempar dari bentenng yang kokoh dan berada dalam kondisi terburuk. Maksiat demi maksiat akan dia lakukan.
Berikut adalah ciri-ciri orang yang berilmu tapi buruk tersebut:
Sifat Pertama; Dia menyuruh orang lain untuk melakukan kebaikan, tapi dia melupakan dirinya.
Ini membuktikan kalau ia orang yang tidak sehat akalnya, bagaimana dia menyuruh orang lain meraih kebaikan tapi dia tidak meraih kebaikan itu untuk dirinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? [Al-Baqarah/2:44]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ
Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia namun ia melupakan dirinya sendiri, laksana sebuah lilin yang menerangi orang sambil membakar dirinya[2]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رِجَالًا تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ: الخُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ
Pada malam aku di isra’kan oleh Allâh, aku melihat orang-orang yang mulutnya digunting dengan gunting-gunting dari neraka, maka aku berkata, ‘Siapa mereka wahai jibril?’ Maka ia menjawab, ‘Mereka adalah para penceramah dari ummatmu yang menyuruh orang melakukan kebaikan namun mereka melupakan dirinya sendiri, mereka membaca al-Kitab, tidakkah mereka berakal?
Sifat Kedua; Perbuatannya menyelisihi perkataannya!
Ini salah satu ciri mereka dan itu akan mengundang murka Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an Surat as-Shaf, ayat 2 dan 3.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَافُلَانُ مَالَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ فَيَقُوْلُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَلاَ آتِيْهِ وَأَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيْهِ
Seorang laki-laki didatangkan pada hari kiamat lalu dilemparkan ke dalam neraka, sehingga isi perutnya terurai, lalu ia berputar-putar seperti keledai berputar-putar mengitari alat giling (tepung). Para penghuni neraka mengerumuninya seraya bertanya, ‘Wahai Fulan! Ada apa denganmu? Bukankah engkau dahulu menyuruh orang melakukan perbuatan ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Ia menjawab, ‘Benar. Aku dahulu biasa menyuruh orang melakukan perbuatan ma’ruf tapi aku tidak melakukannya. Aku mencegah kemunkaran, tetapi justru aku melakukannya[3]
Ibnul qayyim rahimahullah mengatakan, “Orang-orang berilmu namun buruk itu duduk di pintu surga, dengan ucapan-ucapan, mereka mengajak manusia untuk masuk kedalamnya, namun mereka mengajak manusia untuk masuk ke neraka dengan perbuatannya. Saat lisan mereka berkata, ‘Ayolah kemari!’ perbuatan-perbuatan mereka berkata, ‘Janganlah kalian dengar ajakan itu!’
Andai apa yang mereka serukan itu benar, tentu merekalah yang pertama kali memenuhi seruan itu. Mereka terlihat bagai penunjuk jalan namun sejatinya mereka perampok.”[4]
Ilmu mereka tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan kebaikan untuk dirinya. Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allâh dari ilmu yang tidak bermanfaat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wahai Allâh! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”
Sifat Ketiga; Mereka hanya ingin meraih kesenangan dunia yang fana serta ridha manusia.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah [Al-A’raf/7:176]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas bersabda:
مَنِ الْتَمَسَ رِضَا اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ الِلَّهِ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ النَّاسَ عَلَيْهِ
Barangsiapa mencari ridha Allâh dengan sesuatu yang (terkadang) menyebabkan orang lain tidak menyukainya, maka Allâh akan meridhainya dan Allâh akan membuat orang lain menjadi ridha kepadanya. Dan barangsiapa mencari ridha manusia dengan sesuatu yang mengundang murka Allâh, maka Allâh akan murka kepadanya dan membuat manusia ikut murka kepadanya.[5]
Jadi orang yang berakal sehat sangat berantusias untuk meraih ridha Allâh Azza wa Jalla meskipun dengan sesuatu yang terkadang membuat manusia menjadi murka, sebaliknya orang yang berilmu namun buruk dia terus berupaya menggapai ridha manusia meskipun dimurkai oleh Allâh Azza wa Jalla .
Diriwayatkan dari al-Walîd bin al-Walîd Abu Utsman al-Maidani, bahwa Uqbah bin Muslim pernah mengabarkan kepadanya bahwa Syufay al-Ashbahi mengabarkan bahwa ia pernah masuk ke kota Madinah dan mendapati seseorang yang dikerubungi banyak orang. Ia berkata, ‘Siapa ini?’ orang-orang itu menjawab, “Abu Hurairah.” (Mendengar jawaban itu), aku mendekat dan duduk di depannya. Ketika itu beliau Radhiyallahu anhu sedang menyampaikan hadits-hadits kepada orang banyak. Setelah beliau selesai, aku berkata, ‘Saya mohon dengan sungguh-sungguh, sudilah kiranya anda mengajari saya sebuah hadits yang anda dengar, hafal dan pahami langsung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjawab, “Baiklah, saya akan mengajari anda sebuah hadits yang saya dengar, hafal dan pahami langsung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (namun sebelum menyampaikan hadits ini, beliau Radhiyallahu anhu sempat tak sadarkan diri dan akhirnya beliau Radhiyallahu anhu menyampaikan hadits ini-red) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ يَنْزِلُ إِلَى الْعِبَادِ لِيَقْضِيَ بَيْنَهُمْ وَكُلُّ أُمَّةٍ جَاثِيَةٌ فَأَوَّلُ مَنْ يُدْعَى بِهِ رَجُلٌ جَمَعَ الْقُرْآنَ وَرَجُلٌ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَرَجُلٌ كَثِيْرُ المَالِ فَيَقُوْلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْقَارِىءِ أَلَمْ أُعَلِّمْكَ مَا أَنْزَلْتُ عَلَى رَسُولِي قَالَ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَمَاذَا عَمِلْتَ فِيمَا عَلِمْتَ قَالَ كُنْتُ أَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ كَذَبْتَ وَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ كَذَبْتَ وَيَقُولُ اللَّهُ بَلْ أَرَدْتَ أَنْ يُقَالَ فُلَانٌ قَارِىءٌ وَقَدْ قِيْلَ ذَلِكَ
وَيُؤْتَى بِصَاحِبِ الْمَالِ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ أَلَمْ أُوَسِّعْ عَلَيْكَ حَتَّى لَمْ أَدَعْكَ تَحْتَاجُ إِلَى أَحَدٍ قَالَ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَمَاذَا عَمِلْتَ فِيمَا آتَيْتُكَ قَالَ كُنْتُ أَصِلُ الرَّحِمَ وَأَتَصَدَّقُ قَالَ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ كَذَبْتَ وَتَقُولُ لَهُ الْمَلائِكَةُ كَذَبْتَ وَيَقُولُ اللَّهُ بَلْ أردْت أَنْ يُقَالَ فُلَانٌ جَوَّادٌ فَقَدْ قِيْلَ ذَلِكَ
وَيُؤْتى بِالَّذِي قُتِلَ فِي سَبِيل اللهِ فَقَالَ لَهُ فِيْمَاذَا قُتِلْتَ فَيَقُولُ أُمِرْتُ بِالْجِهَادِ فِي سَبِيلِكَ فَقَاتَلْتُ حَتَّى قُتِلْتُ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ كَذَبْتَ وَتَقُولُ لَهُ الْمَلائِكَةُ كَذَبْتَ وَيَقُولُ اللَّهُ بَلْ أَرَدْتَ أَن يُقَال فُلَانٌ جَرِيءٌ وَقَدْ قِيْلَ ذَلِكَ
ثُمَّ ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُكْبَتِي ثُمَّ قَالَ: “يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أُولَئِكَ الثَّلاثَةُ أَوَّلُ خَلْقِ اللَّهِ تُسَعَّرُ بِهِمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya pada hari kiamat kelak Allâh akan turun untuk mengadili para hamba-Nya, seluruh umat manusia datang berlutut. Yang pertama kali diadili adalah seorang ahli al-Qur’an, orang yang gugur di medan jihad, dan orang memiliki harta yang banyak. Allâh Azza wa Jalla bertanya kepada yang ahli al-Qur’an, ‘Bukankah Aku telah mengajarimu kitab suci yang aku turunkan kepada Rasul-Ku?’ Orang itu menjawab, ‘Benar, wahai Rabb-ku!’ Allâh Azza wa Jalla bertanya lagi, ‘Lalu apa yang engkau lakukan dengan ilmumu itu?’ Dia menjawab, ‘Aku amalkan ilmuku siang dan malam.’ (namun) Allâh Azza wa Jalla menyangkal jawaban tersebut, ‘Engkau dusta.” Para Malaikat berkata juga, ‘Engkau dusta.’ Allâh Azza wa Jalla mengatakan lagi, “Namun yang kau inginkan adalah agar kamu disebut sebagai orang yang (gemar) membaca al-Qur’an, dan pujian itu telah diucapkan (oleh manusia).’
Berikutnya, orang yang kaya itu dipanggil. Allâh Azza wa Jalla bertanya, ‘Bukankah Aku telah melapangkan rezekimu sehingga engkau tidak lagi membutuhkan orang lain?’ Orang itu menjawab, ‘Benar, wahai Rabb-ku!’ Allâh Azza wa Jalla bertanya lagi, ‘Lalu engkau gunakan untuk apa harta yang Aku berikan itu?’ Dia menjawab, ‘Untuk menyambung silaturahmi dan bersedekah.’ Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyangkalnya, ‘Engkau dusta.’ Para Malaikat pun berkata, ‘Engkau dusta.’ Allâh Azza wa Jalla berkata lagi, ‘Niatmu tidak lain agar disebut sebagai orang dermawan, dan pujian itu telah diucapkan (oleh banyak orang).’
Giliran selanjutnya, orang yang gugur di medan jihad dipanggil. Allâh Azza wa Jalla bertanya, ‘Untuk urusan apa engkau terbunuh?’ Dia menjawab, “Wahai Rabb-ku! Aku disuruh untuk berjihad di jalan-Mu maka aku berperang hingga aku gugur.’ Lalu Allâh Azza wa Jalla menyanggah, ‘Engkau dusta.’ Para Malaikat pun berkata, ‘Engkau dusta.’ Allâh Azza wa Jalla berkata lagi, ‘Akan tetapi, engkau ingin agar disebut sebagai seorang pemberani dan pujian itu telah diucapkan (oleh banyak orang atau dengan kata lain, ‘pujian itu telah engkau dapatkan’-red)’ Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk lututku sembari bersabda, “Wahai Abu Hurairah! Tiga golongan itu adalah makhluk Allâh yang pertama kali dijadikan bahan bakar api neraka.”
Al-Walid Abu Utsman al-Madani mengatakan, “Uqbah mengabarkan kepadaku bahwa Syufay lah orangnya yang masuk ke Mu’awiyah lalu memberitahukan hadits ini.”
Abu Utsman mengatakan, “Aku diberitahu oleh al-‘Ala’ bin Abi hakim algojo Mu’awiyah. Dia mengatakan, ‘Ada seseorang masuk menghadap Mu’awiyah lalu dia memberitahukan hadits dari Abu Hurairah ini. Setelah mendengar hadits ini, Mu’awiyah Radhiyallahu anhu berkata, “Tiga golongan tersebut mendapat siksa sedemikian rupa, apakah lagi golongan-golongan lainnya?” Seketika itu Mu’awiyah Radhiyallahu anhu menangis sejadi-jadinya sampai kami mengira beliau akan meninggal. Kami mengatakan, “Lelaki (yang menyampaikan hadits) ini, telah membawa keburukan untuk kita.” Lalu Mu’awiyah Radhiyallahu anhu tersadar dan mengusap wajahnya sambil mengatakan, ‘Maha benar Allâh dan Rasul-Nya:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan. [Hûd/11:15-16][6]
Sifat Keempat; Mereka itu yang mengajak ke pintu-pintu neraka
Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu anhu berkata:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keburukan karena khawatir keburukan itu akan menimpaku. Aku bertanya, “Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Dahulu kita berada dalam kondisi jahiliyah dan keburukan, lalu Allâh Azza wa Jalla mendatangkan kebaikan (Islam) ini, apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan (lagi)?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan (lagi)?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhan (kabut atau asap),” Aku bertanya lagi, ‘Apakah gerangan dakhan itu?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Suatu kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku, engkau mengenal beberapa diantaranya dan engkau akan mengingkarinya,” Aku bertanya lagi, ‘Apakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan (lagi)?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, ada para da’i yang mengajak ke pintu neraka Jahanam. Barangsiapa yang mengikutinya, maka ia akan dicampakkan ke dalam neraka.” Aku berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Jelaskan ciri-ciri mereka kepada kami!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Mereka memiliki warna kulit seperti kita dan berbicara denga bahasa kita.’ Aku bertanya lagi, ‘Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berpegang teguhlah pada jama’ah kaum Muslimin dan pemimpinnya.” Aku bertanya, ‘Bagaimana jika kaum Muslimin tidak memiliki jama’ah maupun imam?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tinggalkanlah semua firqah (kelompok) itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan dirimu dalam keadaan seperti itu.”[7]
Sifat Kelima; Ulama’ yang menanggalkan keilmuannya itu menjadi pengekor hawa nafsu
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
Dan jika Kami menghendaki, niscaya akan Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya [Al-A’raf/7:176]
Hawa nafsu menjadi panutan yang selalu ia turuti.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً
Maka tidakkah engkau memperhatikan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allâh membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya, dan Allâh telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta menutup penglihatannya? (QS. Al-Jâtsiyah/45:23).
Allâh Azza wa Jalla berfirman pula:
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا ﴿٤٣﴾ أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya [Al-Furqan/25:43-44]
Ketahuilah bahwa jika manusia mengikuti hawa nafsunya ia akan binasa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ …. فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ: فَشُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
Tiga yang membinasakan, …. Tiga yang bisa membinasakan yaitu sifat kikir yang dipatuhi, hawa nafsu yang dituruti, dan berbangga dengan diri sendiri.[8]
Hawa nafsu menghalangi seorang hamba untuk tunduk dan patuh kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah mereka hanyalah mengikuti hawa nafsunya, dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapakan petunjuk dari Allâh sedikitpun? Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim [Al-Qashash/28:50].
Hawa nafsu juga menjauhkan seorang hamba dari jalan Allâh, sebagaimana firman-Nya:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allâh, sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allâh akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitugan. [Shad/38:26]
Inilah beberapa ciri ulama’ su’ (berilmu tapi buruk). Semoga Allâh Azza wa Jalla memelihara kita dari berbagai sifat tercela di atas dan menjauhkan kita dari pengaruh buruk para ulama’ su’ (berilmu tapi buruk) tersebut.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Diangkat dari kitab al-Furqân min qashashil Qur’ân, hlm. 436
[2] HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr, 2/166; Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahâd wal Matsâni, no. 2314. lihat Shahîh al-Jâmi’, no. 5831
[3] HR. Al-Bukhâri, no. 3267dan Muslim, no. 2989
[4] Fawâ’idul Fawâid, hlm. 249
[5] Shahih lighairi. Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban. Lihat Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, no. 2250
[6] HR. Ibnu Khuzaimah, no. 2482; at-Tirmidzi, no. 2382; al-Hakim, 1/579. Lihat Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, no. 22
[7] HR. Al-Bukhâri, no. 3606
[8] Hadits Hasan dikeluarkan ath-Thabrani dalam al-Ausath 5754. Lihat Shahîh al-Jâmi, no. 3045.
Post a Comment