Telah diketahui bahwa rahasia cahaya dan ruhnya ialah ketampakkannnya bagi suatu daya serap. Akan tetapi penyerapan tergantung, selain pada adanya cahaya, juga adanya mata yang memiliki daya lihat. Meskipun cahaya disebut sebagai sesuatu yang tampak dan menampakkan, tidak ada suatu cahaya yang tampak dan menampakkan bagi orang buta. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa “jiwa (ruh) yang melihat” adalah sama dengan cahaya yang tampak, dalam kedudukannya sebagai unsur yang tidak boleh tidak, atau harus ada, bagi penyerapan.
Bahkan, berdasarkan hal ini, “jiwa (ruh) yang melihat” lebih tinggi kedudukannya sebab ia memiliki daya serap dan dengannya pula suatu penyerapan dapat terwujud. Adapun cahaya itu sendiri tidak memiliki daya serap dan tidak pula mewujudkan penyerapan, tapi ia hanya “menyimpan penyerapan”. Itulah sebabnya kata “cahaya” lebih tepat digunakan untuk “cahaya yang melihat”, bukannya untuk sembarang cahaya.
Maka, orang pun menggunakan kata “cahaya” untuk “cahaya mata yang melihat”, seperti dalam ungkapan tentang kelelawar : “Cahaya matanya lemah”, tentang orang bermata rabun : “:Cahaya penglihatannya lemah” dan tentng orang buta : “Dia kehilangan cahaya matanya”. Mengapa warna hitam dalam biji mata dikatakan bahwa dia “memusatkan dan menguatkan cahaya mata.”. demikian pula tentang bulu mata yang mengelilingi mata, dan oleh hikmah Ilahiah dijadikan berwarna hitam, agar “memusatkan cahaya mata”. Adapun tentang warna putih : “membiaskan cahaya mata” dan karena itu “melemahkan cahayanya”, sehingga seseorang yang terus menerus memandang ke arah sesuatu yang berwarna putih kemilau, terutama sekali cahaya matahari, maka cahaya matanya akan melemah dan melenyap sebagaimana melenyapnya sesuatu yang lemah bila berada di samping yang kuat.
Dengan uraian di atas, Anda mengetahui bahwa “ruh yang melihat” disebut “cahaya” dan bahkan ia lebih patut menyandang nama itu. Inilah makna kedua, yakni yang berlaku di kalangan orang-orang khusus.
Post a Comment