Marilah kita kini kembali kepada pengambilan contoh, yaitu tentang ilmu ta’bir (penafsiran mimpi) agar Anda dapat mengetahui betapa pentingnya menentukan misal atau membuat perumpamaan. Sebab “mimpi adalah sebagian dari kenabian.”
Tidakkah Anda lihat betapa matahari, dalam mimpi, ditafsirkan sebagai raja. Hal ini disebabkan adanya persekutuan dan kemiripan dalam suatu makna spiritual, yakni kekuasaan (atau kedudukan tinggi) atas orang banyak yang diiringi dengan melimpahnya pengaruh dan cahaya-cahaya atas mereka semua. Adapun bulan, dalam mimpi, ditafsirkan sebagai wazir (meneteri), karena matahari pada saat-saat ketidakhadirannya melimpahkan cahayanya atas dunia dengan perantaraan bulan seperti halnya raja melimpahkan pengaruh kekuasaannya dengan perantaraan sang wazir kepada siapa-siapa yang jauh dari raja.
Demikian pula orang yang melihat dalam mimpinya seakan ia mengenekan cincin di jarinya untuk “menyegel” mulut para pria dan kemaluan para wanita, hal itu ditafsirkan bahwa ia mengumandangkan azan di bulan Ramadhan sebelum masuknya waktu subuh. Adapun orang yang melihat dalam mimpinya seakan ia menuangkan minyak ke dalam minyak zaitun, maka hal itu ditafsirkan bahwa ia memiliki seorang hamba sahaya perempuan yang sebenarnya adalah ibunya sendiri padahal ia tidak menyadari.
Demikianlah, tidak mungkin aku dapat membicarakan semua bab dalam ilmu ta’bir untuk menyebutkan misal-misal sejenis ini. Tidak mungkin aku akan menyibukkan diriku terus-menerus dengan menghitung-hitungnya.
Oleh sebab itu, aku kini hendak menjelaskan bahwa sebagaimana di antara maujudat ruhaniyyah yang tinggi terdapat apa yang dapat dimisalkan dengan amtahari, bulan, dan bintang, demikian itu pula ada yang memiliki misal-misal lainnya bila dihubungkan juga dengan sifat-sifatnya yang lain selain kecahayannya.
Nah, bila di antara maujudat itu ada yang bersifat tetap tak bergerak, dan besar tak mungkin diremehkan, dan daripadanya memancar air ma’rifat serta mustika mukasyafat yang mengalir ke lembah-lembah kalbu manusia, maka misalnya (perumpamannya) di alam idnriawi ialah Thur (gunung di Lembah Sinai). Selanjutnya, bila para penerima air dan mustika-mustika itu sebagiannya lebih utama dari sebagiannya yang lainnya, maka misalnya adalah “lembah”. Bila air dan mustika-mustika itu setelah bertautan dengan kalbu manusia berpindah-pindah, dari kalbu yang satu ke kalbu lainyya, maka kalbu-kalbu ini dapat pula disebut sebagai “lembah-lembah”. Adapun lembah terdepan (atau paling utama) adalah kalbu para nabi, wali dan ulama, kemudian orang-orang di bawah mereka. Apabila lembah-lembah ini mengambil airnya dari lembah utama, maka sepatutnya lembah paling utama ini ialah Lembah Aiman (al-Wadi –al-Aiman).
Kemudian, apabila kita katakan bahwa ruh Nabi Saw, adalah “Pelita penerang” yang menerima cahayanya dengan perantaraan wahyu, seperti dalam firman Allah Swt.,
“..... Kami wahyukan kepadamu ‘ruh’ dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa sesungguhnya Al-Quran dan tidak pula mengetahui apa iman itu. Tetapi Kami jadikan Al-Quran ‘cahaya’ yang dengannya Kami tunjuki siapa-siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Sesungguhnya kamu (wahai Muhammad) adalah penunjuk kepada jalan yang lurus .....”; maka misal untuk sumber pengambilan cahaya Nabi Swt, itu adalah “api”.
Jika di antara orang-orang yang menerima pancaran cahaya dari para nabi itu sebagaiannya hanya dengan cara taqlid (menirukan) apa yang didengarnya saja,s edangkan sebagiannya yang lain memiliki bashirah (kesadaran batin) yang cukup besar, maka misal bagi yang hanya ber-taqlid itu adalah bara atau percikan api. Adapun mereka yang memiliki dzauq (cita rasa batiniah) dapat disebut sebagai “memiliki pernyataan dan kesamaan dengan Nabi” dalam beberapa hal tertentu. Pernyataan dan kesamaan seperti itu dapat dimisalkan dengan “penghangatan diri”. Tentunya tak dapat menghangatkan diri, kecuali orang yang memiliki atau dekat dengan api dan bukannya yang hanya mendengar tentangnya.
Kemudian, apabila terminal utama para nabi ialah pendakian ke ‘alam quddus dengan melepaskan diri dari kekeruhan indra dan imajinasi, maka terminal itu dapar dimisalkan dengan lembah quddus (al-wadi al-muqaddas) yang tidak menginjakkan kaki di sana, kecuali dengan “menanggalkan” kedua bagian alam semesta, yakni dunia dan akhirat, lalu memusatkan diri menuju arah yang Mahatunggal lagi Mahabesar.
(Untuk jelasnya hendaknya diketahui bahwa dunia dan akhirat adalah dua bagian alam yang saling berhadapan dan saling menyerupai. Kedua-duanya merupakan aksiden dari esensi nurani manusia yang dapat ditinggalkan pada suatu saat, kemudian dikenakan lagi pada saat lainnya). Misal penanggalan keduanya saat ber-ihram dan bergerak menuju “ka’bah lembah qudus”., adalah dengan “menanggalkan kedua sanda”.
Post a Comment