Jadi di ‘alam malakut terdapat berbagai jauhar nurani (jawahir nuraniyyah = substansi cahayawi) yang mulia lagi tinggi, yang biasa disebut “malaikat”, yang melimpahkan cahaya kepada ruh manusia dan yang karena itu adakalanya dinamakan arhab, maka Allah Swt, ada Rabbul-Arhab. Disebabkan semua jauhar nurani ini memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam kenuraniannya (atau kecahayaannya), maka yang patut menjadi misal (perumpamaan) baginya di alam indrawi ini ialah “mata hari”, “bulan”, dan “bintang-bintang”.
Berdasarkan itu seseorang yang sedang ber-suluk (melintasi jalan menuju hakikat) akan mendaki dan menanjak, pertama-tama ke sesuatu yang derajatnya sama dengan derajat bintang. Di sana ia akan menyaksikan pancaran cahaya bintang itu dan tersingkaplah baginya bahwa alam bawah seluruhnya berada di bawah wewenangnya dan pancaran-pancaran cahayanya. Terungkap pula baginya keindahan dan tinggi derajatnya sehingga menyebabkan ia sendiri akan terpesona dan berseru : “Inilah Tuhanku!”.
Kemudian apabila tersingkap baginya sesuatu di atasnya yang tingkatannya adalah tingkatan bulan, ia akan menyaksikan, dalam suasana romantisnya, kehidupan cahaya bintang itu bilan dibandingkan dengan bulan yang berada di atasnya. Di saat itu ia akan berseru “Aku tak menyukai segala yang dapat menghilang cahayanya!”. Demikianlah ia meningkat dan meninggi, sehingga mencapai sesuatu yang tingkatannya adalah tingkatan matahari dan melihatnya lebih besar dan lebih tinggi, meski masih dapat diberikan permisalannya dengan sesuatu yang sesuai atau sebanding dengannya. Hal ini mengingat bahwa suatu perbandingan atau penyamaan dengan sesuatu yang bercacat merupakan cacat tersendiri.
Nah, di saat-saat seperti itu, ada yang berkata:
“Kuhadapkan wajahku kepada “yang” menciptakan langit dan bumi sebagai orang yang cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah orang yang mempersekutukan Tuhannya ....”
Adapun arti “yang” seperti dalam ayat di atas ialah menunjukkan kepada sesuatu yang tak dapat diketahui dengan jelas. Tak ada hubungan bandingan atau persamaan dengan sesuatu lainnya. Sebab sekiranya ada orang bertanya: “Apa misal perumpamaan arti yang dapat dipahami dari kata yang? Niscaya pertanyaan itu tak dapat dibayangkan dapat terjawab. Dengan demikian, yang tersucikan dari segala hubungan persamaan atau bandingan adalah Allah Yang Mahabenar!.
Itulah sebabnya ketika beberapa orang Badui bertanya kepada Rasulullah Saw: “Dengan apa Allah dapat dimisalkan?” .... turunlah sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut:
“Katakanlah Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah yang kekal tempat meminta, tiada Dia beranak dan tiada Dia diperanakkan, tiada seorang pun yang sama dengan-Nya.
(QS. Al-Ikhlas 112 : 1 – 4).
Artinya bahwa Allah Swt, tersucikan dari segala hubungan permisalan ata perumpamaan. Karena itulah pula Fir’aun berkata kepada Musa a.s.:
“Apa itu Rabbal ‘Alamin?” Seakan dia ingin tahu tentang kualitas atau hakikat Allah Swt., maka Musa hanya menyebutkan tentang ciptaan dan karya-karya-Nya, sebab hal ini lebih jelas dalam pemikiran si penanya. Maka berkatalah Musa : “Dia adalah Rabb (pemilik, pemelihara) seluruh alam semesta.” Fir’aun segera berkata kepada orang-orang sekitarnya : “Tidaklah kalian dengar?” Seakan dia memprotes pengelakan Musa untuk memberikan jawaban tentang hakikat Allah dengan hanya mengatakan : “Dialah Rabb kalian dan Rabb nenek moyang kalian terdahulu.” Segera Fir’aun mengecap Musa sebagai seorang gila, karena pertanyaannya tentang misal dan hakikat, sedangkan Musa memberinya jawaban tentang karya dan ciptaan-Nya. Maka berkatalah Fir’aun “Sesungguhnya Rasul yang diutus kepada kalian adalah seorang gila.”
(Dialog ini tercantum dalam Al-Quran Surah Al-Syu’ara 26 : 23 – 27).
Post a Comment