Efek Negatif Dari Sikap Ekstrim
Efek Negatif Dari Sikap Ekstrim
Segala puji hanya bagi Allah, kami
memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya, kami berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami.
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya,
dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah
yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, yang tidak ada sekutu
bagiNya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad adalah hamba dan
RasulNya. Amma Ba'du:
Hakekat kesyirikan ialah menyerupakan
pencipta dengan ciptaanya, dan menyerupakan makhluk dengan penciptanya. Dan
kita menemukan dua faktor yang mendorong pelakuanya melakukan hal ini, yaitu:
1. Ghuluw (ekstrim) dalam
menyikapi makhluk.[1]
2. Sangkaan buruk
terhadap Rabb semesta alam[2]. Akibat dari kurang
mengetahui kedudukan Allah azza wa jalla. Sehingga dia tidak mampu mengagungkan
Allah dengan sebenar-benarnya, itulah yang mendorong dirinya punya berprasangka
buruk terhadap Allah azza wa jalla.
§
Adapun faktor pertama yaitu ghuluw.
Ini berawal tatkala mengangkat seorang
makhluk diatas kedudukan yang dimilikinya, dengan menyematkan pada makhluk
tersebut sebagian hak Allah ta'ala. Dan
perkara ini begitu jelas bisa dijumpai pada setiap umat yang menyekutukan Allah
azza wa jalla. Sesungguhnya
-sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam- penggagas kesyirikan yang ada
dimuka bumi ini berawal dari dua kelompok, yaitu kaumnya nabi Nuh dan kaumnya
nabi Ibrahim 'alaihima sallam.
Adapun pokok kesyirikan yang dikerjakan
oleh kaumnya nabi Nuh 'alaihi sallam yaitu berawal dari mengagungkan kuburan
orang sholeh, dengan membuat replika dalam bentuk gambar, yang akhirnya
berakhir pada penyembahan. Sedangkan kaumnya nabi Ibrahim 'alaihi sallam, maka
pokok kesyirikan mereka berada pada
penyembahan mataharim, bulan dan bintang.[3]
Dan bila diperhatikan fenomena kesyirikan
yang dikerjakan oleh kaum musyrikin maka berkisar pada dua perkara diatas,
tapi, faktor ghuluw terhadap makhluk mempunyai peran inti didalam melahirkan
setiap anak kesyirikan.
Ambil contoh misalkan, kaumnya nabi Nuh
pada awalnya membikin gambar supaya mereka bisa meniru dan mengingatkan jasa
baik para wali tersebut, selanjutnya, tatkala ilmu telah diangkat dan kebodohan
semakin menyebar, maka generasi berikutnya menyangka bahwa para wali tersebut
adalah orang-orang sholeh yang layak untuk dikunjungi kuburannya setiap saat
agar mereka bisa merengkuh keridhoan Allah subhanahu wa ta'ala, karena anggapan
keliru itulah akhirnya mereka beritikaf disamping kuburannya, setelah itu datang
iblis yang mendorong generasi berikutnya dengan mengatakan bahwa nenek
moyangnya telah menyembah mereka, dan meminta wasilah kepadanya agar diturunkan
hujan, akhirnya kuburan para wali tersebut pun disembah.[4]
Bila diperhatikan, kesyirikan ini tidak
akan muncul kepada orang sholeh yang telah meninggal melainkan berawal dari
sikap ghuluw terhadap makhluk.
Begitu pula kesyirikan yang muncul pada
kaumnya nabi Ibrahim 'alaihi sallam juga berawal dari sikap ekstrim terhadap
beberapa makhluk Allah ta'ala. Dimana generasi awal umat manusia ada yang
mempunyai ideologi kalau bintang-bintang dilangit mampu berbuat, yang bisa
menimpakan madharat atau mendatangkan manfaat, sama seperti yang dilakukan oleh
seorang Tuhan, sesuai dengan keyakinan yang dimiliki oleh sebagian ahli nujum.
Lalu mereka menjadikan sesembahan yang
disembah sebagai aturan sebuah agama, ditambah lagi ketika pembesar atau raja
mereka ingin menguatkan sesuatu, dan menambah kekuasaanya. Maka dijelaskan,
bahwa seorang raja butuh terhadap agama, sama seperti kebutuhannya terhadap
harta dan pasukan. Sebab seorang raja diangkat dengan adanya bai'at (janji
setia) dari rakyatnya, sedang bai'at ini tidak akan terjadi melainkan dengan
adanya sumpah, dan sumpah tidak mungkin ucapkan oleh seseorang kecuali yang
telah beragama, sebab tidak absah seseorang bersumpah melainkan dengan menyebut
agama atau sesembahannya, karena orang yang tidak mempunyai agama sumpahnya
tidak patut dipercaya.
Dan lain sebagainya, dari
perkara-perkara yang berkaitan dengan kepentingan raja dengan sebuah agama,
makanya mereka membikin berhala bagi rakyatnya dalam bentuk simbol bintang yang
kemudian mereka menyembahnya.[5]
Orang-orang tersebut telah berlaku ghuluw
terhadap benda-benda langit, mereka mengira kalau benda-benda tersebut mampu
menurunkan mara bahaya atau memberi manfaat, dan menyangka jika permintaan
syafaat kepada benda tadi akan menjadikan lebih diterima oleh Allah azza wa
jalla.
Oleh karena itu mereka menyatakan,
"Tidak ada sarana lain yang akan mengantarkan kita kepada keagungan Allah
melainkan melalui wasilah-wasilah, dan sebelum itu wajib bagi kita untuk
mendekatkan diri kepada Allah melalui wasilah-wasilah tadi, dimana mereka
adalah ruh suci yang dekat denganNya, bersih dari unsur tubuh, dan kuat
jasadnya'.
Bahkan ada yang menyatakan, 'Mereka suci
dari segala kotoran'. Makanya kami mendekatkan diri kepada mereka supaya kami
didekatkan kepada Allah, merekalah tuhan-tuhan dan penuntun kami yang akan
memberikan syafaatnya kelak disisi Allah
Rabb sebagai Tuhan segala tuhan yang ada, kami tidak menyembahnya melainkan
agar supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.[6]
Setelah menyebut kisahnya kaum nabi Nuh
'alaihi sallam, Syaikh Sulaiman bin Abdullah alu Syaikh dalam bukunya Taisiril
Azizil Hamid mengatakan, "Dari sini menjadi jelas, kalau faktor
terjadinya kesyirikan dengan mengagungkan orang-orang sholeh, disebabkan oleh
sikap ghuluw terhadap orang sholeh tersebut, begitu pula faktor kesyirikan
dengan menjadikan benda langit sebagai medianya juga berawal dari sikap
berlebihan terhadap benda-benda tersebut, dengan menyakini sebagai simbol
keberuntungan dan kerugian serta keyakinan batil lainnya.
Ideologi inilah yang paling banyak
dipegang oleh ahli filsafat beserta konco-konconya, sebagaimana sikap yang
ditempuh oleh para pengagung kubur serta yang sepemahaman dengan mereka. Inilah
hakekat peribadatan berhala, dimana mereka dahulu begitu mengagungkan mayit
hingga keluar dari batas wajar, dengan membikin replika fotonya, lantas
bertabaruk dengannya, hingga akhirnya gambar tersebut disembah. Itu semuanya berawal dari sebuah gambar.
Itulah kesyirikan pertama yang terjadi
dimuka bumi, dan ini pula yang diwahyukan oleh setan kepada para pengagung
kubur pada zaman ini, dimana setan menimpakan dalam hati mereka bahwa membangun
kubur dan berdiam diri disampingnya merupakan bentuk kecintaan dan penghormatan
kepada para wali, dan orang yang berdoa disamping kuburnya lebih memungkinkan
untuk dikabulkan daripada orang yang berdoa di dalam Masjidil Haram dan seluruh
masjid. Mereka melampaui batas dalam hal itu. Jika keyakinan tersebut telah
menancap kuat dalam hatinya maka mereka memiliki keyakinan lebih ekstrim yaitu
dengan berdo'a langsung memohon kepadanya dan bersumpah atas nama Allah dengan
namanya".[7]
Bila
diklasifikasikan sikap ektsrim ini maka bisa dibagi menjadi beberapa bentuk,
diantaranya:
1. Keinginan untuk bisa ngalap
berkah dengan semua benda atau tempat yang suci, seperti yang dilakukan oleh
para pengagung batu di Makah. Dimana mereka ketika terusir dari Makah, mereka
membawa serta batunya dalam rangka ingin ngalap berkah dengannya dan sebagai
pelipur lara akan kerinduan terhadap Makah. Tapi, dengan berlalunya waktu,
meraka lupa tujuan pertama tadi lalu beralih menjadi penyembah batu.[8]
2. Tipu daya setan yang
ditimpakan pada setiap kaum sesuai dengan tingkat intelektualitasnya. Ada yang
diajak untuk menyembah mayit yang telah mati dengan membikin patung sesuai
dengan bentuknya, sebagai bentuk penghargaan atas jasa yang telah disumbangkan.
Seperti patung-patung yang dimiliki oleh kaumnya nabi Nuh 'alaihi sallam.[9] Sebagaimana telah
kita jelaskan secara rinci dalam pasal sebelumnya.
3. Melihat pada sebagian
sifat yang dimiliki oleh sesembahannya, yang diklaim mempunyai efek bisa
memberi hoki dan rugi. Seperti yang dilakukan oleh kaum musyirikin yang
menyembah bintang dan benda-benda langit (dalam bentuk ramalan bintang
horoskop). Mereka berkeyakinan kalau benda-benda tersebut lebih berhak untuk
diagungkan dan disucikan, lalu mereka pun mulai menyembahnya.[10]
4. Setan merasuk pada
patung, berhala atau arca, lalu mengajak bicara pada para penyembahnya. Dengan
mengabarkan beberapa perkara ghaib, dan menunjukan sebagian perkara samar pada
mereka, sebab mereka tidak melihat setan yang berada disana, sehingga orang yang
bodoh lagi pandir mengira kalau patungnya yang berbicara dan mengajak ngomong.[11]
Intinya, bahwa ghuluw merupakan faktor
utama kesyirikan yang terjadi pada zaman dahulu, bahkan bisa dikatakan kalau
ektsrim terhadap makhluk sebagai faktor inti terjadinya sebuah kesyirikan.
Dimana pelakunya ketika bersikap berlebihan terhadap makhluk, mengangkat
kedudukannya diluar batas kemanusian, sehingga akhirnya memberikan sebagian hak
peribadatan, dan rububiyah. Yaitu dengan menyerupakan bersama Allah dan
menyerupakan Allah yang Maha sempurna dengan makhlukNya yang serba kekurangan.[12]
§
Sedangkan faktor kedua yaitu buruk sangka kepada Allah
subhanahu wa ta'ala.
Pada hakekatnya ini merupakan buah dari
faktor yang pertama tadi. Karena setelah bersikap berlebihan terhadap makhluk,
plus ditambah kebodohan dalam perkara agama akhirnya orang tersebut menjadikan
sebagai wasilah yang akan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla,
menyandarkan padanya berbagai urusan untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga
dengan ini dia telah berprasangka buruk kepada kemurahan Allah, nikmat serta
kemaha murahanNya. Dan fenomena ini kerap terjadi, walaupun pelakunya masih
mengakui kalau Allah maha mendengar, melihat serta mengusai segala sesuatu.
Bisa juga faktor yang menyebabkan
prasangka buruk kepada Allah ini bukan dari sikap ghuluw terhadap makhluk, tapi
dari menyamakan Allah, seperti orang yang mensifati Allah dengan
kesempurnaanNya dari segala sisi dengan sifat-sifat makhluk yang serba
kurang.
Seperti dijelaskan oleh Imam Ibnu Qoyim dalam sebuah pernyataannya, "Barangsiapa yang punya prasangka kepada Allah dalam hal sifat, berbeda dengan sifat yang telah disematkan oleh Allah kepada diriNya atau RasulNya, atau meniadakan hakekat kandungan sifat yang telah Allah dan RasulNya disematkan, maka dirinya telah berprasangka buruk kepada Allah azza wa jalla".[13]
Barangkali yang mendorong mereka punya
prasangka buruk kepada Allah ialah karena kurangnya mereka didalam memberikan
hak Allah dengan sebenar-benarnya.
Dalam hal ini, Imam Ibnu Qoyim pernah
menjelaskan, "Disini ada pokok terbesar yang telah menyingkap rahasia
masalah ini yaitu bahwa dosa terbesar disisi Allah ialah prasangka buruk yang
ditujukan kepadaNya. Karena orang yang punya prasangka semacam ini biasanya
akan menyangka jauh berbeda dengan kesempurnaan dan kesucian yang Allah miliki.
Mengira dengan sesuatu yang bisa menanggalkan kandungan nama-nama dan
sifat-sifatNya, oleh karena itu Allah telah mengancam orang yang berprasangka
buruk kepadaNya dengan ancaman yang tidak pernah diberikan kepada pelaku dosa
besar lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya:
﴿ وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ
ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ
ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرٗا
٦﴾ [ الفتح: 6 ]
"Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang
mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran
(kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta
menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam) itulah
sejahat-jahat tempat kembali". (QS
al-Fath: 6).
Ayat ini
secara implisit mengisyaratkan pada rahasia yang menjadikan perilaku ini masuk
dalam kategori kesyirikan dan dosa besar yang sangat besar di sisi Allah azza
wa jalla. Yang pelakunya tidak mungkin diampuni kecuali bila bertaubat.
Menjadikan dirinya kekal didalam neraka, dimana keharaman dan kekejiannya bukan
hanya sekedar larangan biasa, karena konsekuensinya dia akan membolehkan bagi
Allah untuk memberikan kewenangan bagi hambaNya untuk menyembah tuhan
selainNya. Sebagaimana dirinya akan mengurangi sifat-sifat mulia yang dimiliki
oleh Allah ta'ala. Bagaimana mungkin
punya prasangka jelek kepada Dzat yang esa dalam rububiyah, uluhiyah,
ketinggian dan keagungan, apakah Allah mengizinkan adanya sekutu bagiNya atau
Dirinya ridho dengannya? Maha tinggi lagi agung Allah dari itu semua!".[14]
Adapun
prasangka buruk kepada Allah subhanahu wa ta'ala yang dihasilkan oleh sikap
ekstrim terhadap makhluk yang mengantarkan manusia untuk berbuat syirik dalam
ibadah maka itu sangat jelas.
Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Imam Ibnu Qoyim, beliau mengatakan,
"Siapa yang mengira kalau Allah punya anak, atau sekutu, dan adanya orang
yang mampu memberi syafaat disisiNya tanpa melalui rekomendasiNya terlebih
dahulu, mengira jika Allah mempunyai perantara yang akan menyampaikan kebutuhan
para makhlukNya, atau Allah memberi kedudukan bagi para hambaNya dari kalangan
para wali yang dijadikan sebagai wasilah untuk mendekatkan diri kepadaNya,
bertawasul kepadanya, menjadikan para wali tersebut sebagai perantara antara
diriNya dan para hamba, takut dan berharap kepadanya, maka sungguh dirinya
telah mengira dengan persangkaan yang sangat jelek kepada Allah azza wa
jalla".[15]
Dalam
kesempatan lain beliau menjelaskan, "Allah ta'ala telah berfirman kepada
kekasihNya, nabi Ibrahim yang mengatakan pada kaumnya:
﴿ إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦ مَاذَا تَعۡبُدُونَ ٨٥ أَئِفۡكًا ءَالِهَةٗ
دُونَ ٱللَّهِ تُرِيدُونَ ٨٦ فَمَا ظَنُّكُم بِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٨٧ ﴾ [ الصفات:
85-87 ]
"(Ingatlah) ketika ia
berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu ? Apakah
kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka
apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?". (QS ash-Shaffat: 85-87).
Maksudnya, apakah kalian mengira bila
bertemu dengan Rabbmu kalian tidak akan dibalas tatkala menyembah selain Allah?
Apa sejatinya yang ada dalam benak kalian sehingga menyembah selain Allah? Apa
prasangka kalian terhadap nama-nama dan sifat-sifatNya serta rububiyahNya
sehingga kalian merasa perlu untuk menyembah selain Allah?
Kalau seandainya kalian menyangka sesuai
dengan hakNya, bahwasannya Allah maha mengetahui segala sesuatu, maha mampu
atas segalanya, maha kaya, sedang seluruh makhluk fakir membutuhkanNya, berdiri
sendiri dengan keadilanNya, esa didalam mengurusi seluruh makhluk, tidak ada
sekutu bagiNya, maha mengetahui secara rinci segala perkara, tidak ada yang
tersamar bagiNya, ke esaanNya cukup baginya, yang tidak memerlukan pembantu,
Dzat maha penyayang, tidak membutuhkan rasa iba. Niscaya kalian tidak akan
berprasangka buruk kepadaNya.
Berbeda sekali dengan para raja dan
pembesar yang ada didunia, sesungguhnya mereka membutuhkan adanya laporan dari
para pembantunya tentang kondisi dan kebutuhan rakyatnya, lalu butuh bantuan
untuk menyalurkan apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya, butuh adanya yang
menunjukan orang-orang yang patut dikasihani dan diberi syafaat. Kebutuhan
kepada pembantu bagi seorang raja ada kebutuhan primer, karena keperluan,
kelemahan serta cekaknya ilmu pengetahuan mereka.
Adapun Allah, Dialah maha mampu atas
segalanya. maha mengetahui segala sesuatu, maha pengasih lagi penyayang yang
kasih sayangNya meliputi segala sesuatu. Maka menaruh penghubung antara makhluk
dan diriNya termasuk bentuk mengurangi hak rububiyah, uluhiyah, dan
peribadatan. Disamping itu dirinya telah
berprasangka buruk kepadaNya, yang sangat mustahil Allah mensyariatkan pada
hambaNya, sebab tidak bisa diteriman baik secara fitrah maupun akal sehat…Lalu
beliau menjelaskan, "Orang yang beribadah kepada selain Allah tidak akan
mungkin sanggup mengagungkan/mengenal Allah dengan sebenar-benarnya,
sebagaimana disinggung Allah ta'ala didalam firmanNya:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٞ فَٱسۡتَمِعُواْ لَهُۥٓۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ
تَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَن يَخۡلُقُواْ ذُبَابٗا وَلَوِ ٱجۡتَمَعُواْ لَهُۥۖ وَإِن يَسۡلُبۡهُمُ ٱلذُّبَابُ شَيۡٔٗا لَّا يَسۡتَنقِذُوهُ مِنۡهُۚ ضَعُفَ ٱلطَّالِبُ وَٱلۡمَطۡلُوبُ ٧٣ مَا
قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ ٧٤﴾ [ الحج:
73-74 ]
"Hai manusia, telah
dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.
amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka
tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha kuat lagi Maha Perkasa". (QS al-Hajj: 73-74).
Orang yang menyembah selain Allah bisa
kita vonis sebagai orang tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, bagimana
menyembah sesuatu yang lemah, yang tidak sanggup untuk menciptakan hewan
terlemah sekalipun semisal lalat. Dan jika seandainya lalat tersebut
mengambil sesuatu dari mereka, niscaya mereka tidak dapat merebutnya kembali
dari binatang tersebut. Dalam ayat yang lain Allah menegaskan kembali
firmanNya:
﴿ وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ
حَقَّ قَدۡرِهِۦ وَٱلۡأَرۡضُ جَمِيعٗا قَبۡضَتُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَٱلسَّمَٰوَٰتُ
مَطۡوِيَّٰتُۢ بِيَمِينِهِۦۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٦٧ ﴾ [ الزمر: 67 ]
"Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan". (QS
az-Zumar: 67).
Orang yang menyekutukan Allah dalam
peribadatan bukanlah kriteria orang yang sanggup mengagungkan Allah dengan
pengagungan yang semestinya dengan keagungan dan ketinggianNya. Apa yang
dipersekutukan tidak akan sanggup mengungguliNya, justru dirinya sangat lemah
bila dibandingkan denganNya, karena tidak akan sanggup seorang makhluk pun yang
mampu mengungguli Dzat yang maha kuat lagi mulia dengan sebenar-benarnya,
walaupun dijadikan sekutu, karena dirinya makhluk yang lemah lagi rendah".[16]
Dalam kesempatan lain beliau juga
menjelaskan, "Barangsiapa yang punya prasangka kepada Allah, jika ada
seorang hamba membikin marah dan murka atau menerjang laranganNya. Lalu dirinya berpaling dengan mengambil wasilah
untuk mendekatkan diri padaNya, baik dari kalangan malaikat maupun manusia
–hidup ataupun mati- dengan harapan mampu memberi pertolongan disisi Allah atas
perbuatan dosanya, dan diselamatkan dari siksaNya, maka sungguh dirinya telah
berprasangka buruk kepada Allah, yang akan mengantarkan dirinya semakin jauh
dariNya dan memperoleh siksaNya yang pedih".[17]
Beliau juga mengatakan, tatkala
menjelaskan bentuk prasangka jelek kepada Allah yang timbul akibat kurangnya
mengagungkan Allah dengan sebenar-sebenarnya, beliau menyatakan, "Apakah
mungkin orang yang menyekutukan Allah bersama musuhNya, dalam perkara yang
murni menjadi hakNya, semisal, memberi label halal, diagungkan dan ditaati,
sebagai tempat untuk berharap, tunduk, merendahkan diri dan ditakuti, akan
mampu mengagungkan Allah sebenar-benarnya?
Kalau seandainya dia menjadikan makhluk
terdekatNya sebagai sekutu dalam perkara itu semua, maka sungguh dirinya telah
lancang dan berbuat lalim, dengan berani menanggalkan kemurnian haknya Allah,
menganggapNya rendah, dan menjadikan sekutu bagiNya, yang tidak layak serta
pantas untuk disandingkan sejajar bersamaNya.
Bagaimana tidak, karena pada hakekatnya
dia telah menyekutukan Allah dengan makhluk yang paling dibenci, paling hina
dan rendah disisiNya, dialah musuh Allah sejati!? Yaitu setan.
Sebab, tidaklah ada sesuatu yang disembah selain Allah melainkan jelmaan dari setan, sebagaimana yang Allah ta'ala tegaskan didalam firmanNya:
﴿ أَلَمۡ أَعۡهَدۡ إِلَيۡكُمۡ يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ أَن لَّا تَعۡبُدُواْ ٱلشَّيۡطَٰنَۖ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٦٠ وَأَنِ ٱعۡبُدُونِيۚ هَٰذَا صِرَٰطٞ مُّسۡتَقِيمٞ ٦١ ﴾ [ يس: 60-61 ]
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu", Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus". (QS Yaasin: 60-61).
Manakala kaum musyrikin menyembah para malaikat, mereka mengira sedang menyembahnya, namun pada hakekatnya mereka sedang menyembah setan. sebagaimana yang Allah jelaskan didalam firmanNya:
﴿ وَيَوۡمَ يَحۡشُرُهُمۡ جَمِيعٗا ثُمَّ يَقُولُ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ أَهَٰٓؤُلَآءِ إِيَّاكُمۡ كَانُواْ يَعۡبُدُونَ ٤٠ قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِمۖ بَلۡ كَانُواْ يَعۡبُدُونَ ٱلۡجِنَّۖ أَكۡثَرُهُم بِهِم مُّؤۡمِنُونَ ٤١ ﴾ [ سبأ: 40-41 ]
"Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada Malaikat: "Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?". Malaikat-malaikat itu menjawab: "Maha suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka, bahkan mereka telah menyembah jin, kebanyakan mereka beriman kepada jin itu". (QS Saba': 40-41).
Setan mengajak orang yang menyekutukan
Allah untuk beribadah kepadanya, dengan menipu kalau dirinya seorang malaikat.
Begitu juga para penyembah bintang,
matahari, dan bulan, mereka mengira sedang menyembah roh bintang-bintang langit
tersebut, yang mengajak bicara, serta memenuhi kebutuhannya, namun hakekatnya
mereka sedang menyembah setan.
Oleh karena itu apabila matahari terbit
setan segera muncul mengiringinya supaya disembah oleh pemujanya, sehingga
sujud mereka tertuju kepada setan, bukan pada matahari, begitu pula ketika
matahari tenggelam juga sama setan mengiringinya agar disembah oleh para pemuja
matahari.
Hal yang sama juga dilakukan oleh para pemuja al-Masih dan ibunya, yang sejatinya dia tidak sedang menyembah keduanya namun sedang menyembah setan, dia menyangka ibadah yang dikerjakan atas perintah nabi Isa 'alaihi sallam, yang disetujui oleh Allah dan menyuruhnya, tapi hakekatnya ibadah tersebut ditujukan kepada setan, bukan Allah dan rasulNya. Perilaku batil ini telah Allah jelaskan secara gamblang didalam firmanNya:
﴿ أَلَمۡ أَعۡهَدۡ إِلَيۡكُمۡ يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ أَن لَّا تَعۡبُدُواْ ٱلشَّيۡطَٰنَۖ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ٦٠ وَأَنِ ٱعۡبُدُونِيۚ هَٰذَا صِرَٰطٞ مُّسۡتَقِيمٞ ٦١ ﴾ [ يس: 60-61 ]
"Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu", Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus". (QS Yaasin: 60-61).
Tidak ada seorang pun yang menyembah
selain Allah dari kalangan anak cucu Adam, siapapun orangnya, melainkan pada
hakekatnya sedang menujukan peribadatan kepada setan.
Orang yang memuja merasa senang dengan pujaannya ketika tercapai keinginannya, begitupun sebaliknya yang dipuja juga merasa senang ketika diagungkan dan disejajarkan bersama Allah, dan perbuatan semacam ini begitu disenangi oleh setan".[18]
Ini semua timbul dari prasangka buruk
kepada Allah, ketika mereka berani menjadikan sekutu dalam peribadatan kepada
Allah azza wa jalla.
Apun prasangka buruk lainya kepada Allah yang mengantarkan manusia berani untuk menyekutukanNya dalam urusan rububiyah ialah disebabkan oleh sikap yang tidak bisa mengenal Allah sebenar-benarnya, seperti yang dijelaskan oleh Allah ta'ala didalam kitabNya yang mulai. Allah ta'ala berfirman:
﴿ وَذَٰلِكُمۡ ظَنُّكُمُ ٱلَّذِي ظَنَنتُم بِرَبِّكُمۡ أَرۡدَىٰكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم مِّنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٢٣﴾ [ فصلت: 23 ]
"Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi". (QS Fushshilat: 23). bagi siapapun yang mengingkari salah satu dari sifat-sifatNya.[19]
Dalam ayat lain, Allah ta'ala
menjelaskan kepada kita:
﴿ وَطَآئِفَةٞ قَدۡ أَهَمَّتۡهُمۡ
أَنفُسُهُمۡ يَظُنُّونَ بِٱللَّهِ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ ظَنَّ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِۖ ١٥٤﴾ [ آل
عمران: 154 ]
"Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah". (QS al-Imran: 154).
Para ulama tafsir, banyak menafsirkan maksud ayat diatas dengan ucapannya, "Sesungguhnya persangkaan batil yang dimaksud dalam ayat ini ialah mendustakan takdir Allah azza wa jalla".[20]
Begitu pula Allah ta'ala telah menerangkan hal ini dalam firmanNya:
﴿وَمَا قَدَرُواْ ٱللَّهَ حَقَّ قَدۡرِهِۦٓ إِذۡ قَالُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَىٰ بَشَرٖ مِّن شَيۡءٖۗ ٩١﴾ [الأنعام: 91]
"Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". (QS al-An'aam: 91).
Bagi orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah tidak mengutus pada makhluk seorang rasulpun, tidak pula menurunkan kitab suci, dan ucapan yang menyandarkan sesuatu yang tidak layak bagi Allah, serta tidak pantas kepadaNya, dengan membiarkan makhlukNya dalam kebingungan, membiarkan mereka dalam kebimbangan, menciptakan mereka tanpa arti dan tujuan, maka tidaklah itu muncul melainkan karena dorongan prasangka jelek yang dimilikinya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, begitu pula karena faktor tidak sempurna dalam mengagungkan Allah sebenar-benarnya.[21]
Ayat-ayat senada yang menerangkan masalah ini sangatlah banyak, diantaranya Allah ta'ala berfirman:
﴿ وَمَا خَلَقۡنَا ٱلسَّمَآءَ وَٱلۡأَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا بَٰطِلٗاۚ ذَٰلِكَ ظَنُّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ فَوَيۡلٞ لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنَ ٱلنَّارِ ٢٧ أَمۡ نَجۡعَلُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَٱلۡمُفۡسِدِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِ أَمۡ نَجۡعَلُ ٱلۡمُتَّقِينَ كَٱلۡفُجَّارِ ٢٨﴾ [ ص: 27-28 ]
"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?". (QS Shaad: 27-28).
Dalam ayat lain Allah ta'ala menerangkan:
﴿ أَمۡ حَسِبَ ٱلَّذِينَ ٱجۡتَرَحُواْ ٱلسَّئَِّاتِ أَن نَّجۡعَلَهُمۡ كَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَوَآءٗ مَّحۡيَاهُمۡ وَمَمَاتُهُمۡۚ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ٢١ وَخَلَقَ ٱللَّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّ وَلِتُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ ٢٢ ﴾ [الجاثية: 21-22]
"Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan". (QS al-Jatsiyah: 21-22).
Allah ta'ala juga menjelaskan dalam ayat yang lain:
﴿ وَأَنَّهُمۡ ظَنُّواْ كَمَا ظَنَنتُمۡ أَن لَّن يَبۡعَثَ ٱللَّهُ أَحَدٗا ٧ ﴾ [ الجن: 7 ]
"Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul)pun". (QS al-Jin: 7).
Allah ta'ala juga mengatakan dalam firmanNya:
﴿وَٱسۡتَكۡبَرَ هُوَ وَجُنُودُهُۥ فِي ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَظَنُّوٓاْ أَنَّهُمۡ إِلَيۡنَا لَا يُرۡجَعُونَ ٣٩﴾ [ القصص: 39 ]
"Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami". (QS al-Qashash: 39).
Begitu pula dalam firmanNya:
﴿ أَفَنَجۡعَلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ كَٱلۡمُجۡرِمِينَ ٣٥ مَا لَكُمۡ كَيۡفَ تَحۡكُمُونَ ٣٦ ﴾ [ القلم: 35-36 ]
"Maka apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Atau adakah kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?". (QS al-Qalam: 35-36).
Dan juga yang tertera didalam firmanNya:
﴿ أَفَحَسِبۡتُمۡ أَنَّمَا خَلَقۡنَٰكُمۡ عَبَثٗا وَأَنَّكُمۡ إِلَيۡنَا لَا تُرۡجَعُونَ ١١٥ ﴾ [المؤمنون: 115]
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?". (QS al-Mukminun: 115).
Seluruh ayat-ayat diatas konteksnya
berisikan tentang bantahan orang yang punya prasangka jelek kepada Allah
subhanahu wa ta'ala, baik dalam perkara Allah tidak mampu menghidupkan orang
yang telah meninggal serta membangkitkan dari dalam kuburnya. Atau, Allah tidak
akan mengumpulkan seluruh makhluk pada hari ketika orang-orang baik dibalas
atas kebaikannya dan para pendosa diganjar atas perbuatan maksiatnya. Atau,
Allah tidak akan menyerahkan hak orang yang didzalimi. Atau, Allah tidak
memuliakan orang yang telah bersusah-susah demi mengerjakan titahNya, dan
menggapai keridhoanNya dimuka bumi ini. Atau, Allah tidak akan menjelaskan
perselisihan yang terjadi dikalangan para makhlukNya. Atau, Allah tidak
mengetahui orang-orang kafir yang hakekatnya adalah para pendusta.
Maka barangsiapa yang mempunyai prasangka
jelek semacam ini kepada Allah, sungguh dirinya bukan termasuk golongan orang
yang telah mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya, dan telah berlaku
lancang dengan prasangka jeleknya.
Dan Allah azza wa jalla menjanjikan bagi orang-ornag yang semacam itu dengan adzab yang pedih seperti dijelaskan dalam firmanNya:
﴿ وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرٗا ٦﴾ [ الفتح: 6 ]
"Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali". (QS al-Fath: 6).
Dan persangkaan buruk dari kaum musyrikin dan orang-orang munafik ini –yang tidak layak ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta'ala- telah dijelaskan, bahwasannya mereka mengira kalau Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak akan menang dalam peperangannya, perkaranya akan lenyap, dan kalah dalam peperangan[22]. Seperti dijelaskan dalam ayat berikutnya, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
﴿ بَلۡ ظَنَنتُمۡ أَن لَّن يَنقَلِبَ ٱلرَّسُولُ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِلَىٰٓ أَهۡلِيهِمۡ أَبَدٗا وَزُيِّنَ ذَٰلِكَ فِي قُلُوبِكُمۡ وَظَنَنتُمۡ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِ وَكُنتُمۡ قَوۡمَۢا بُورٗا ١٢ ﴾ [ الفتح: 12 ]
"Tetapi kalian menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa". (QS al-Fath: 12).
Ketika
menafsirkan ayat yang pertama Imam Ibnu Qoyim menjelaskan, "Itulah hakekat
persangkaan yang jelek. Persangkaanya orang Jahiliah yang mendapat stempel
sebagai orang bodoh. Persangkaan yang tidak pantas, karena tidak layak
ditujukan kepada nama-nama Allah yang indah, dan sifat-sifatNya yang mulia,
Dzatnya yang maha suci, terlepas dari segala macam bentuk cacat dan aib. Sangat
jauh dari keesaanNya dalam perkara rububiyah dan uluhiyahnya, hikmah dan perbuatanNya.
Tidak pantas dengan janjiNya yang pasti ditepati, dengan firmanNya yang telah
menyatakan akan menolong utusanNya, dan tidak membiarkanya".
Hingga
ucapan beliau,"Dan kebanyakan orang telah berprasangka kepada Allah dengan
sangkaan buruk yang tidak pantas dalam perkara yang murni menjadi hakNya, dan
perbuatanNya.
Dan
seseorang tidak akan selamat dari dosa semacam ini melainkan orang yang
mengenali Allah azza wa jalla, mengetahui nama-nama dan sifat-sifatNya, dan
menyadari kewajibannya untuk memuji dan menyelami hikmahNya".[23]
Dengan ini
menjadi jelas, bahwa prasangka buruk kepada Allah sebagai biang yang
menjerumuskan manusia kedalam kesyirikan, baik dalam perkara ibadah maupun
dalam urusan rububiyah.
[1] . Seperti dinyatakan oleh Imam Ibnu Qayim dalam
kitabnya Ighatsatul Lahfan 2/640.
[2] . Seperti disebutkan oleh Imam Ibnu Qayim dalam
kitabnya Jawabul Kaafi hal: 330-335. Zadul Ma'ad 3/228-237. Tajridu Tauhidil
Mufid hal: 31-33 oleh al-Muqrizi.
[3] . Lihat penjelasan beliau dalam kitabnya Qaidah
Jalilahn fii Tawasul wal Wasilah hal: 22. dan kitabnya Radd a'laa Manthiqiyin
hal: 285-286.
[4] . Lihat kisahnya dalam Tafsir Thabari 29/99.
[5] . al-Awail 1/98-99 oleh Abu Hilal al-Askari.
[6] . Ighatsatul Lahfan 2/663 oleh Ibnu Qayim.
[7] . Syaikh Sulaiman bin Abdullah alu Syaikh dalam bukunya
Taisiril Azizil Hamid hal:
269-270.
[8] . Bulughul Arib 2/200 oleh Alusi.
[9] . Ibid.
[10] . Ighatsatul Lahfan 2/638 oleh Ibnu Qayim. Bulughul
Arib 2/214 oleh Alusi.
[11] . Ighatsatul Lahfan 2/638 oleh Ibnu Qayim.
[12] . Ibid.
[13] . Zaadul Ma'ad 3/233.
[14] . Jawabul Kaafi hal: 330-342.
[15] . Zaadul Ma'ad 3/233.
[16] . Jawabul Kaafi hal: 330-334. Madarijus Salikin
3/348-349 keduanya oleh Ibnu Qayim.
[17] . Ibid.
[18] . Jawabul Kaafi hal: 340-342 oleh Ibnu Qayim.
[19] . Ibid.
[20] . Zaadul Ma'ad 3/236 oleh Ibnu Qayim.
[21] . Jawabul Kaafi hal: 334 oleh Ibnu Qayim.
[22] . Lihat keterangannya dalam tafsir Thabari 13/26/73.
[23] . Zaadul Ma'ad 3/231 oleh Ibnu Qayim.
Post a Comment