Kesyirikan Pertama Di Dunia
Kesyirikan Pertama Di Dunia
Segala puji
hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla,
kami memuji -Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada -Nya, kami berlindung
kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla
dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa
yang -Dia beri petunjuk, maka tidak ada
yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang -Dia sesatkan, maka tidak ada
yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi
bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, yang tidak
ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah
hamba dan Rasul -Nya. Amma Ba'du. Sesungguhnya
diantara perkara yang menjadi kesepakatan bersama bahwa awal mula kesyirikan
yang terjadi dikalangan makhluk adalah kesyirikan yang dilakukan setan.
Sebagaimana dinukil oleh para ulama, Berkata al-Hafidh Ibnu Jarir ath-Thabari
dalam tafsirnya ketika menjelaskan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿ وَمَن يَقُلۡ مِنۡهُمۡ إِنِّيٓ
إِلَٰه مِّن دُونِهِۦ فَذَٰلِكَ نَجۡزِيهِ جَهَنَّمَۚ ٢٩ ﴾ [الأنبياء: 29]
"Dan barangsiapa di antara mereka,
mengatakan: "Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain daripada Allah",
Maka orang itu Kami beri Balasan dengan Jahannam". (QS al-Anbiyaa': 29).
Imam Ibnu
Juraij menjelaskan, "Barangsiapa yang mengatakan dari kalangan para
malaikat, sesungguhnya aku adalah ilah selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka tidak ada yang mengucapkan perkataan
semacam itu kecuali Iblis, mengajak pengikutnya untuk menyembah dirinya, maka
turunlah ayat ini yang menjelaskan
tentang kelancangan Iblis".
Imam Qatadah mengatakan, "Ayat ini berbicara khusus tentang musuh
Allah Shubhanahu wa ta’alla yang
bernama Iblis, tatkala mengucapkan apa yang dia katakan tadi sehingga Allah Shubhanahu wa ta’alla melaknatnya, dan
menjadikan dirinya terkutuk".[1]
Sedang Imam Dhahak menjelaskan firman Allah ta'ala diatas tadi, "Dan
barangsiapa di antara mereka, mengatakan". Yakni dari kalangan para malaikat sesungguhnya aku adalah ilah
selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, beliau mengatakan, "Tidak ada seorangpun malaikat yang mengatakan
seperti itu kecuali Iblis, yang mengajak makhluk untuk menyembah dirinya dan
memprakasai kekafiran".[2] Inilah awal mula
kesyirikan yang terjadi dikalangan makhluk, jika demikian lalu kapan awal mula
kesyirikan terjadi ditengah-tengah bani Adam? Para ulama berselisih pendapat
tentang masalah ini menjadi beberapa pendapat, diantaranya:
Pendapat pertama:
Sesungguhnya kesyirikan perdana yang terjadi dikalangan bani Adam bermula dari
Qabil, seperti dijelaskan dalam sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Thabari
dalam kitab Tarikhnya yang mengatakan hal tersebut. Yaitu, dikisahkan
bahwa tatkala Qabil telah membunuh saudaranya Habil, dirinya langsung melarikan
diri dari ayahnya Adam menuju negeri Yaman. Sesampainya disana dirinya
disambangi Iblis sambil mengatakan padanya, 'Sesungguhnya persembahan Habil di
terima oleh Allah dan dimakan oleh api disebabkan dirinya dulu mengabdi kepada
api dan menyembahnya, maka lakukankah hal yang sama seperti dirinya, buat
tungku api untukmu dan anak keturunanmu". Lalu Qabil membikin tempat
khsusus untuk api, dan dialah pionir yang membikin tungku api lalu
menyembahnya".[3]
Pendapat ini, sebagaimana kita lihat di nukil oleh
Imam Thabari tanpa menyebut mata rantai sanad, dimana beliau langsung
mengatakan, 'Dikisahkan', dengan ungkapan yang digantung tanpa memastikan
kebenarannya. Yang menunjukan kalau riwayat ini lemah menurut pendapat beliau,
dan memang benar riwayat ini adalah lemah, sebagaimana akan datang penjelasnnya
yang menyelisihi hal ini menurut pendapat yang benar.
Pendapat kedua:
Sesungguhnya awal mula kesyirikan dimulai dari zamannya Yarid bin Mahla'il,
bapaknya nabi Idris a'laihi sallam, seperti dikisahkan oleh Ibnu Jarir lagi
dalam kitab Tarikhnya. Beliau mengatakan, "Telah menceritakan padaku
al-Harits, dia berkata telah menceritakan kepada kami Sa'ad, dirinya berkata
telah mengabarkan padaku Hisyam, dirinya berkata telah mengabarkan padaku bapak
ku dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas, beliau berkata, "Pada zamannya Yarid
patung dan berhala di produksi, maka ada yang kembali dari agama yang lurus
(murtad)".[4]
Namun, didalam sanad ini ada perawi yang bernama
Hisyam bin Muhammad bin Sa'ib al-Kalbi dari bapaknya, dan keduanya adalah
perawi yang lemah bahkan dikatakan dirinya perawi yang tertuduh sehingga tidak
bisa di terima riwayatnya.[5] Terlebih, riwayat ini menyelisihi riwayat yang
shahih –sebagaimana akan datang- lalu al-Kalbi di sini meriwayatkan tafsir dari
Abu Sholeh[6] dari Ibnu Abbas, sedangkan Abu sholeh ini tidak
pernah meriwayatkan sedikitpun dari sahabat Ibnu Abbas, dia tidak pernah
mendengar satupun hadits darinya, begitu juga al-Kalbi tidak pernah mendengar
dari Abu Sholeh melainkan beberapa huruf saja darinya, dan apa yang di
riwayatkan oleh al-Kalbi tidak layak untuk di nukil dalam sebuah kitab, lantas
bagaimana mungkin bisa di jadikan sebagai hujah. Artinya, riwayat ini tidak
bisa dijadikan sebagai argumen.[7]
Pendapat ketiga:
Sesungguhnya awal mula kesyirikan yang terjadi ditengah-tengah anak cucu Adam
bermula dari anak keturunannya Qabil.
Dan yang menunjukan akan hal tersebut adalah sebuah
riwayat dari Ibnu al-Kalbi dalam bukunya al-Ashnam. Beliau menceritakan, telah
mengabarkan padaku bapak ku, dia berkata, "Pertama kali berhala di sembah
tatkala nabi Adam meninggal dunia, yang dibuat oleh anaknya bani Syitsa bin
Adam di sebuah gua yang berada diatas gunung yang dijadikan sebagai
persinggahan Adam ketika turun dari langit di negeri India".
Kemudian, di riwayatkan dari bapaknya dari Abu Sholeh
dari Ibnu Abbas, beliau berkata, "Lalu Bani Syitsa mendatangkan jasad nabi
Adam dalam gua kemudian mereka mengagungkan dan memuliakannya. Lalu ada
seseorang dari bani Qabil bin Adam yang mengusulkan, 'Wahai bani Qabil!
Sesungguhnya bani Syitsa telah mengagungkan dan berkeliling di sekitarnya,
lantas kenapa kalian diam saja tidak berbuat apa-apa? Maka dirinya membuat
patung kakeknya nabi Adam untuk mereka, dan dia lah pionir yang melakukan
kesyirikan".[8]
Dan riwayat ini juga bersumber dari Hisyam bin
Muhammad bin Sa'ib al-Kalbi dari bapaknya, dan bapaknya
meriwayatkan dari Abu Sholeh dari Ibnu Abbas. Sebagaimana riwayat diawal tadi
disebutkan beberapa kritikan maka riwayat ini juga hampir sama yang saya pikir
tidak perlu mengulangnya kembali. Namun, kita nukilkan di sini untuk
menjelaskan bahwa riwayat ini sangat lemah.
Pendapat keempat:
Sesungguhnya awal mula kesyirikan yang terjadi di tengah-tengah anak cucu Adam
bermula pada kaumnya nabi Nuh. Pendapat ini berdalil dengan beberapa dalil
diantaranya;
1.
Firman
Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿
وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّا وَلَا
سُوَاعا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرا ٢٣﴾ [ نوح: 23 ]
"Dan mereka berkata: "Jangan
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa',
yaghuts, ya'uq dan nasr". (QS Nuh: 23).
Yang menunjukan bahwa
nama-nama tersebut yang tercantum dalam ayat adalah kaumnya nabi Nuh ialah
hadits-hadits yang menjelaskan hal tersebut dalam tafsir ayat ini. Diantara
yang paling masyhur adalah riwayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari didalam
kitab Shahihnya dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Disebutkan,
'Nama-nama ini adalah orang-orang sholeh dari kalangan kaumnya nabi Nuh,
tatkala mereka meninggalkan maka setan mewahyukan kepada kaumnya untuk membikin
prasasti tepat diatas majelis yang biasa mereka jadikan sebagai tempat untuk
mengajar lalu memberi nama sesuai dengan tempat duduknya masing-masing, lalu
mereka pun menuruti perintahnya, dan kondisinya belum sampai di sembah. Hingga
tatkala generasi tadi meninggal dunia dan hilangnya ilmu di situlah pertama
kali patung tadi di sembah'.[9]
Dan sebagaimana di keluarkan
oleh Ibnu Jarir ath-Thabari didalam tafsirnya beliau mengatakan, "Mereka
adalah orang-orang yang sholeh yakni –Yaghuts, Ya'uq,….- yang hidup pada
generasi setelah nabi Adam dan nabi Nuh. Dan mereka mempunyai murid-murid yang
senantiasa mengikutinya, tatkala orang-orang sholeh tadi meninggal dunia,
berkata salah seorang muridnya yang biasa mengikuti pengajiannya kepada mereka,
'Bagaimana kalau sekiranya kita bikin gambar mereka agar membuat kita lebih
termotivasi untuk beribadah manakala melihatnya'.
Lantas mereka pun membikin
gambar orang-orang sholeh tadi, tatkala generasi tersebut meninggal lalu datang
generasi berikutnya, datanglah Iblis mendorong mereka sambil berkata,
'Sesungguhnya generasi sebelum kalian menyembahnya, dan mereka biasa meminta hujan
padanya'. Setelah itu mereka menyembahnya".[10]
Imam Ibnu Qoyim menjelaskan,
"Telah berkata, bukan hanya seorang dari ulama salaf, tatkala orang-orang
sholeh tadi meninggal maka kaumnya berdiam diri disebelah kuburanya, kemudian
mereka membikin reliefnya, hingga beberapa abad lamanya, lalu pada akhirnya
mereka disembah".[11]
2.
Dalil
kedua yang dijadikan sebagai landasan pendapat ini ialah firman Allah tabaraka
wa ta'ala:
﴿كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّة وَٰحِدَة
فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ٢١٣﴾ [البقرة:213]
"Manusia
itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus
para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan". (QS
al-Baqarah: 213).
Akan
menjadi jelas sisi pengambilan dalil ayat ini bila anda mau merujuk kepada
buku-buku tafsir yang menjelaskan tentang ayat ini. dan sebelumnya telah kami
singgung sedikit diantaranya.
3.
Dalil
berikutnya yang menguatkan pendapat ini ialah atsar yang dibawakan oleh Ibnu
Jarir dengan sanadnya hingga sampai pada sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma berkata, "Jarak antara nabi Adam dengan nabi Nuh sepuluh masa,
seluruh umatnya berada pada syariat yang benar, selanjutnya terjadi
perselisihan, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla mengutus para Nabi sebagai pembawa kabar gembira
dan pemberi peringatan".
4.
Ucapan
Imam Qatadah yang mengatakan, "Dikisahkan kepada kami bahwa jarak antara
nabi Adam dan nabi Nuh 'alihima sallam sepuluh masa, semuanya berada diatas
petunjuk dan syariat yang benar. Selanjutnya terjadi perselisihan, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla mengutus nabi Nuh,
dan beliau adalah rasul pertama yang di utus untuk penduduk bumi".
5.
Juga
diriwayatkan dari Ikrimah berkata, "Jarak antara nabi Adam dan nabi Nuh
sepuluh masa, seluruhnya berada di atas agama Islam".[12]
Inilah Pernyatan-pernyataan yang valid dari para ulama
salaf yang menjelaskan kapan awal mula terjadinya kesyirikan di umat bani Adam.
Dan ini merupakan pendapat yang terpilih dan yang paling kuat, bahwa awal mula
kesyirikan terjadi pada umatnya nabi Nuh, dan sebelumnya umat manusia berada
diatas agama yang lurus. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal dalam masalah
ini dimana ada ulama yang berpendapat bahwa awal mula kesyirikan terjadi pada
zamannya nabi Adam 'alaihi sallam, berdalil dengan firman Allah ta'ala:
﴿هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡس وَٰحِدَة وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا
لِيَسۡكُنَ إِلَيۡهَاۖ فَلَمَّا تَغَشَّىٰهَا حَمَلَتۡ حَمۡلًا خَفِيفا فَمَرَّتۡ بِهِۦۖ
فَلَمَّآ أَثۡقَلَت دَّعَوَا ٱللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنۡ ءَاتَيۡتَنَا صَٰلِحا لَّنَكُونَنَّ
مِنَ ٱلشَّٰكِرِينَ ١٨٩ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُمَا صَٰلِحا جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ
ءَاتَىٰهُمَاۚ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠﴾ [ الأعراف: 189-190 ]
"Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya -Dia menciptakan
isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya,
isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan
(beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri)
bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau
memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang
bersyukur". Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang
sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah
dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang
mereka persekutukan". (QS
al-A'raaf: 189-190).
Sesungguhnya disebutkan dalam penjelasan tafsir ayat diatas beberapa
atsar dari sebagian ulama salaf yang meragukan adanya kesyirikan pada zamannya
nabi Adam 'alaihi sallam, seperti mereka menyebutkan;
·
Sebuah
riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya dari al-Hasan[13] dari Samurah[14] dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لما ولدت
حواء طاف بها إبليس - وكان لا يعيش لها ولد- فقال: سميه عبد الحارث فإنه يعيش فسمته
عبد الحارث فعاش وكان ذلك من وحي الشيطان وأمره » [أخرجه أحمد والترمذي وغيرهما]
"Manakala Hawa
melahirkan serta merta Iblis mengelilinganya –Dan sebelumnya anak yang dia
lahirkan selalu meninggal- lantas Iblis berpesan, "Berilah nama pada anak
ini Abdul Harits, niscaya dirinya tidak mati". Selanjutanya Hawa pun
memberi nama anaknya yang baru lahir tadi Abdul Harits, dan betul anak itu
hidup. Dan kejadian itu berawal dari wahyu setan dan atas perintahnya".[15]
Inilah satu-satunya hadits
yang disandarkan kepada Rasulallah Shalallahu
'alaihi wa sallam dalam masalah ini.
Al-Hafidh Ibnu Katsir mengomentari hadits ini
dengan mengatakan, "Demikian pula hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir
melalui jalur Muhammad bin Bitsar Bandar dari Abdu Shamad bin Abdul Harits.
Begitu juga dibawakan oleh Tirmidzi[16] dalam tafsir ayat ini, dari jalur Muhammad bnin al-Mutsana dari Abdu
Shamad. Dan beliau menyatakan, 'Hadits ini hasan gharib, dan kami tidak
mengetahui melainkan dari haditsnya Umar bin Ibrahim". Hadits ini juga
diriwayatkan oleh sebagian ulama dari jalur Abdu Shamad secara terputus.
Dan
diriwayatkan oleh al-Hakim[17] didalam kitab Mustadraknya dari Abdu shamad
secara marfu', kemudian diakhir hadits beliau mengatakan, "Hadits ini
sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim". Dan
diriwayatkan oleh Imam Abu Muhammad Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya dari Abu
Zura'ah ar-Razi dari Hilal bin Fiyadh daru Umar bin Ibrahim secara
marfu'.Begitu juga dibawakan oleh al-Hafidh Abu Bakar bin Mardawaih[18] didalam tafsirnya dari haditsnya Syaadz bin Fiyadh dari Umar bin
Ibrahim secara marfu'.
Saya
berkata –Imam Ibnu Katsir-" Syaadz ini adalah Hilal sedangkan nama Syaadz
merupakan julukannya".[19]
·
Atsar dari
sebagian sahabat, Diantaranya:
a.
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas beberapa redaksi semisal riwayat dimuka tadi, melalui beberapa
jalur, seperti:
i.
Melalui
jalur Muhammad bin Ishaq bin Yasar dari Dawud bin al-Hushain dari Ikrimah dari
beliau[20]. Namun, sanad ini tidak mulus sehingga tidak diterima oleh pakar
hadits, sebab penyakitnya, setiap riwayat yang dibawa oleh Dawud bin al-Hushain
dari Ikrimah maka riwayatnya adalah munkar, bahkan sebagian ulama hadits
menyatakan lemah.[21]
ii.
Jalur kedua
melalui Abdullah bin Mubarak dari Syuraik dari Khashif dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas[22]. Tapi, didalam sanad ini ada rawi yang bernama Khasif dan dia adalah
perawi yang lemah[23]. Dan Syuraik juga perawi yang bercampur hafalannya[24]. Sehingga riwayat dengan sanad ini tidak shahih.
iii.
Redaksi
yang dibawakan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, beliau berkata, 'Telah menceritakan
kepada saya Muhammad bin Sa'ad, dia berkata telah menceritakan padaku bapak ku,
dia berkata telah menceritakan padaku pamanku, dirinya berkata telah
menceritakan padaku ayahku dari ayahnya dari Ibnu Abbas[25]. Lalu menyebutkan riwayat diatas. Inilah mata rantai sanad yang sudah
tercium sekali kelemahannya, sehingga riwayat ini dikenal karena kelemahannya
dari tafsir yang disandarkan kepada Ibnu Abbas.[26]
iv.
Redaksi
yang dibawakan oleh ath-Thabari melalui jalur al-Qosim berkata, telah
menceritakan kepada kami al-Husain dia berkata telah menceritakan kepada kami
Hajaj dari Ibnu Juraij dia berkata, Ibnu Abbas mengatakan, lalu disebutkan sama
dengan riwayat diatas. Tapi, atsar ini terputus dan lemah. Karena rawi yang
bernama Hajaj bin Arthaah perawi yang lemah, dan Ibnu Juraij tidak pernah
bertemu dengan Ibnu Abbas.
b.
Didalam
masalah ini ada riwayat yang dibawakan melalui jalur Ubai bin Ka'ab semisal
dengan redaksi di atas. Dan di riwayatkan dari Ibnu Abbas dari beliau. Imam
Ibnu Katsir mengomentari, "Secara keseluruhan atsar ini diterima dari Ibnu
Abbas oleh para sahabat-sahabatnya. Semisal Mujahid, Sa'id bin Jubair dan
Ikrimah. Diantara yang setuju dari kalangan Thabaqah tsaniyah adalah
Qatadah dan as-Sudi, dan masih banyak lagi dari kalangan ulama salaf dan
sekumpulan para ulama khalaf. Dan dari para ulama tafsir yang datang belakangan
yang tidak bisa dihitung banyaknya.
Sepertinya wallahu a'lam
pokok isi redaksi hadits ini diambil dari ahli kitab, sebab Ibnu Abbas juga
meriwayatkan dari Ubai bin ka'ab sebagaimana di dalam redaksinya Ibnu Abi
Hatim.."[27].
Kesimpulannya
atsar ini sebagaimana nampak -wallahu 'alam- adalah atsar yang berasal
dari ahli kitab. Dan telah shahih dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam perintah untuk tidak membenarkan kabar
yang dibawa oleh ahli kitab sebagaimana juga tidak boleh mendustakannya.
Kemudian berita yang mereka sampaikan kepada kita ada tiga macam. Ada yang kita
ketahui akan kebenaran kisah tersebut melalui dalil dari al-Qur'an maupun Sunah
Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam
yang menjelaskan hal tersebut. Yang kedua, kita tidak mengetahui kedustaanya yang
menyelisihi al-Qur'an dan Sunah, dan yang ketiga, yang didiamkan kisahnya, dan
kategori ini di bolehkan dalam penukilan.[28]
Dan atsar ini - yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas- mari kita coba padukan dengan
tiga klasifikasi diatas, apakah ada dalil yang mendukungnya dari al-Qur'an dan
sunah Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa
sallam atau tidak? Pada kenyataannya, bahwa hal ini merupakan bagian dari
sahnya hadits yang di riwayatkan oleh Samurah bin Jundub radhiyallahu 'anhu
dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa
sallam, atau justru menegaskan akan kelemahannya. Yakni haditsnya Samurah,
"Manakala Hawa melahirkan serta merta Iblis mengelilinganya….".
Para ulama pakar
hadits dalam menjelaskan hadits ini menjadi dua kubu yang saling kontradiksi:
Kubu pertama menyatakan bahwa hadits ini
shahih. Selanjutnya mereka berusaha untuk mentakwil makna hadits agar tidak
sampai menisbatkan awal mula kejadian syirik pada Adam 'alaihi sallam.
Kubu kedua, mereka melemahkan hadits
tersebut. Kemudian mereka menafsirkan ayat sesuai dengan pemahaman bahasa Arab
yang masih lurus, dan didukung dengan atsar yang disebutkan berkaitan dengan
masalah ini.
Adapun kubu
pertama yang menganggap bahwa haditsnya adalah shahih, maka mereka berusaha
menjawab argumen yang dibawakan oleh kubu kedua, dengan beberapa argumen,
yaitu:
1.
Bahwa diri
yang satu dan istrinya yang dimaksud ialah Adam dan Hawa. Adapun kesyirikan
yang terjadi dari keduanya maka bukan kesyirikan dalam ibadah, tapi, kesyirikan
dari segi memberi nama, yaitu, manakala keduanya memberi nama anaknya Abdul
Harits, sedangkan al-Harits adalah nama bagi Iblis. Sedangkan Adam dan istrinya
Hawa sama sekali tidak meyakini tatkala memberi nama anaknya Abdul Harits kalau
al-Harits adalah rabb keduanya[29].
Keterangan semacam ini juga di
nyatakan oleh sebagian ulama tafsir, semisal Ibnu Jarir yang membenarkan
pendapat ini, sebagaimana di kuatkan pula oleh ulama lainnya. Lantas mereka
membawakan beberapa atsar dari salaf yang mendukung pendapatnya tersebut.
Seperti di riwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, "Dirinya (nabi
Adam) berbuat kesyirikan dengan mentaati usulan Iblis, bukan kesyirikan dari
sisi peribadatan kepadanya. Beliau tidak berbuat syirik kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, namun, dirinya
mentaati Iblis dalam hal tersebut".[30] Di nukil dari Qatadah, beliau menjelaskan, "Sehingga hal tersebut
terhitung sebagai kesyirikan dari segi ketaatan padanya, bukan yang dimaksud
kesyirikan dari sisi peribadatan kepada Iblis".
Juga dibawakan sebuah atsar
dari Sa'id bin Jubair, dijelaskan, "Beliau pernah ditanya, 'Apakah Adam
berbuat kesyirikan? Beliau menjawab, "Aku berlindung dari Allah Shubhanahu wa ta’alla kalau sampai
menuduh nabi Adam berbuat kesyirikan. Akan tetapi, istrinya Hawa tatkala
melahirkan di datangi oleh Iblis, lalu mengatakan padanya, 'Dari mana keluar
bayi ini, dari hidungmu atau mata atau mulutmu? Lalu Iblis membikin Hawa
berputus asa. Selanjutnya dia mengatakan padanya, 'Bagaimana menurutmu kalau
keluar secara bersamaan apakah kamu mau mentaatiku? Hawa menjawab, 'Ia'. Iblis
melanjutkan, 'Berilah nama pada anakmu ini dengan Abdul Harits. Hawa pun
mematuhinya…jadi kesyirikan yang terjadi hanya dari segi memberi nama semata
bukan dalam peribadatan kepadanya".[31]
Di nukil dari as-Sudi[32], berkata; "..Hal tersebut tatkala Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan dalam firman -Nya:
﴿جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ ١٩٠﴾[ الأعراف: 190 ]
"Maka keduanya menjadikan sekutu bagi
Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". (QS al-A'raaf: 190).
Beliau menjelaskan, yakni menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dari sisi memberi
nama".[33]
Dan yang mendukung hal ini ialah salah satu Qiro'ah
dalam ayat ini yang dibaca:
﴿ جَعَلَا لَهُۥ شِرْكًا فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190
]
Yang mengandung makna persekutuan, yaitu dari segi
penamaan.[34]
Sampai kiranya pemilik
pendapat ini merasa perlu membentengi diri demi membantah pendapat pertama yang
menentang keabsahan hadits dengan mengatakan, bahwa firman Allah tabaraka wa
ta'ala:
﴿ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا
يُشۡرِكُونَ ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka
Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". (QS al-A'raaf: 190).
Ayat ini memberi faidah bahwa orang-orang yang
melakukan kesyirikan cukup banyak, karena dalam ayat digunakan kata ganti mereka
(yusyrikuun), yang menunjukan lebih dari dua orang. Karena, jika
seandainya yang melakukan kesyirikan hanya Adam dan Hawa niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla mengatakan, 'Maha
Tinggi Allah dari apa yang kedunya persekutukan".
Mereka juga beranggapan bahwa
didalam dua ayat diatas sejatinya sedang mengkisahkan dua kejadian yang berbeda
yaitu kisahnya Adam dan istrinya Hawa, dan berita tersebut selesai pada
potongan ayat:
﴿ جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ
١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka keduanya menjadikan sekutu bagi
Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". (QS al-A'raaf: 190).
Dan dilanjutkan dengan kisah kaum musyrikin Arab, dan
kisah tersebut ada pada potongan ayat berikutnya yakni:
﴿ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠
﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka
persekutukan". (QS
al-A'raaf: 190).
Makna ayat ini, Maha Tinggi Allah Shubhanahu wa ta’alla dari apa yang mereka, orang-orang Arab
persekutukan dari peribadatan kepada patung dan berhala.
Mereka memenggal dengan
menjadikan dua kejadian yang berbeda berdasarkan beberapa atsar, diantaranya
yang diriwayatkan oleh as-Sudi didalam tafsir firman Allah ta'ala:
﴿ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠
﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang
mereka persekutukan". (QS
al-A'raaf: 190).
Beliau menjelaskan, "Ini adalah pembatas dari
ayat yang berkaitan dengan Adam secara khusus dalam perkara sesembahan yang
dimiliki oleh kaum musyrikin".
Di nukil pula dari beliau,
dimana beliau mengatakan, "Ini merupakan batasan terakhir sebagai pemisah.
Firman Allah ta'ala yang artinya, "Maka keduanya menjadikan sekutu bagi
Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". Ayat
ini berkaitan dengan nabi Adam dan istrinya Hawa, kemudian firman Allah Shubhanahu wa ta’alla selanjutnya, yang
artinya: "Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan".
Beliau menegaskan, "Dari kesyirikan yang dilakukan oleh kaum
musryikini, bukan yang dimaksud dalam ayat nabi Adam dan Hawa".[35] Atsar ini juga dijumpai dalam
tafsirnya Ibnu Abi Hatim[36].
Sanggahan pendapat ini: Nabi Adam dan istrinya Hawa, keduanya hanya memberi
nama anaknya Abdul Harits, sedangkan al-Harits terhitung satu. Dan firmannya
Allah tabaraka wa ta'ala, (شركاء) Dengan bentuk kata ganti
mereka yang menunjukan banyak. Lantas bagaimana Allah ta'ala mensifati keduanya
bahwa keduanya yang menjadikan sekutu yang banyak bagi -Nya. Dan keduanya hanya
mempersekutukan sekali?
Para ulama menjawab pertanyaan
ini dengan mengatakan, "Sesungguhnya orang Arab menyebut satu berita
dengan menjadikan beritanya berkelompok jika mereka tidak mempunyai maksud
tertentu pada orangnya dan ketika mereka tidak ingin menyebutkan siapa namanya.
Seperti halnya dijumpai dalam firman Allah ta'ala yang lainnya:
﴿ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ
قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ ١٧٣﴾ [ ال عمران: 173 ]
"(Yaitu) orang-orang (yang mentaati
Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu,
karena itu takutlah kepada mereka". (QS al-Imran: 173).
Didalam ayat diatas yang
mengatakan ucapan tersebut hanya satu orang. Akan tetapi, disebutkan dalam
kisah tersebut dengan bentuk kata ganti yang menunjukan banyak, tatkala tidak
ditunjuk secara langsung siapa yang dimaksudkan. Dan hal ini banyak di jumpai
dalam ucapan dan perkataanya orang Arab ataupun dalam syair-syair mereka".[37]
Diantara ulama yang menguatkan
pendapat ini serta membelanya, dan menganggap haditsnya shahih ialah al-Alusi[38], beliau menyatakan, "Pada hakekatnya ini bukan termasuk
kesyirikan. Karena nama-nama orang tidak menunjukan pada pemahamannya secara
bahasa, akan tetapi, di katakan sebagai kesyirikan secara garis besar sebagai
bentuk celaan yang sangat".[39]
Sebagaimana yang kami pahami
dari ucapannya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, dimana beliau
menguatkan pendapat ini, ketika beliau menjelaskan tafsir firman Allah tabaraka
wa ta'ala:
﴿ فَلَمَّآ
ءَاتَىٰهُمَا صَٰلِحا جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ
عَمَّا يُشۡرِكُونَ ١٩٠
﴾ [ الأعراف: 190]
"Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang
anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak
yang telah dianugerahkan -Nya kepada
keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan". (QS al-A'raaf: 190).
Beliau menjadikan ayat ini sebagai dalil haramnya
beribadah kepada selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla [40].
Sebagaimana Syaikh Sulaiman
bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab juga menguatkan tafsiran ini dalam
kitabnya Taisir Azizil Hamid, yang mana beliau mengatakan, "Apabila
kita perhatikan secara seksama ucapan penulis dari awal hingga akhir dibarengi
dengan tafsiran yang dinukil dari para ulama salaf, niscaya akan menjadi jelas
dan terang bahwa hal tersebut terjadi pada nabi Adam dan istrinya Hawa
'alaihima sallam. Dan didalam kisah tersebut sangat banyak dijumpai dalil yang
menguatkan pendapat ini.
Yang menakjubkan adanya orang
yang mengingkari kisah ini. adapun makna firman Allah ta'ala, yang artinya, "Dari apa yang mereka persekutukan".
Ini, wallahu a'lam, kembali pada kaum musyrikin dari kalangan para
pengingkar takdir, dimana Allah ta'ala berpindah dari menyebutkan nama
seseorang kemudian melanjutkan dengan menyebut jenis orang tertentu, dan hal
ini sangat banyak dijumpai dalam al-Qur'an".[41]
Dikesempatan lain beliau juga
menegaskan, "Ucapan ulama, 'Menyekutukan dari sisi mentaati Iblis bukan
dari sisi beribadah kepadanya', maksudnya manakala keduanya mentaati Iblis
ketika memberi nama anaknya Abdul Harits, bukan karena keduanya beribadah
kepada Iblis, sehingga ini sebagai dalil perbedaan antara syirik dalam ketaatan
dan syirik peribadatan".[42]
Berkata Syaikh Abdurahman bin
Hasan[43], "Dan ucapannya Imam Ibnu Katsir, "Dan asal kisah ini –wallahu
a'lam- diambil dari ahli kitab". Saya katakan, "Ini sangat jauh
sekali kebenarannya".[44] Dan Syaikh Muhammad Khalil Haras mengatakan tatkala
menukil ucapannya Imam Ibnu Katsir, "Begitulah yang dikatakan oleh Ibnu
Katsir…berusaha untuk keluar dari tekstual ayat dan mengingkari hadits serta
atsar yang mendukungnya lalu menyandarkan kisah tersebut kepada ahli
kitab…kemudian beliau melanjutkan – Berusaha untuk membela Adam dan Hawa, bahwa
kesyirikan yang mereka lakukan hanya dari segi memberi nama semata bukan dari
segi peribadatan. Dan keduanya melakukan hal tersebut karena kealpaanya bukan
secara sengaja, sehingga keduanya pun diperingatkan oleh Allah ta'ala dalam hal
tersebut".[45]
2.
Sebagian
ulama ada yang mencoba memberi jawaban bahwa dalam kisah tersebut tidak bisa
dijadikan sebagai dalil atas bolehnya syirik dalam uluhiyah. Akan tetapi, nabi
Adam melakukannya karena mengedepankan hawa nafsu lebih condong mentaati
perintah Iblis dan menerima bisikannya sambil dibarengi sikap ruju'
(kembali) kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla. dan itu semua tidak masuk dalam kategori pilihan, atau kemungkinan
kisah itu terjadi sebelum di angkat menjadi nabi.[46]
Tapi, pernyataan diatas yang
mengatakan barangkali kejadiannya sebelum diangkat sebagai nabi, perlu
dikoreksi, sebab kekafiran tidak mungkin terjadi sampai pun hal tersebut
sebelum diangkat menjadi nabi.[47] Lalu pendapat tadi disanggah bahwa kesyirikan yang dilakukan oleh Adam
dan Hawa kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla, dari segi ketaatan mereka berdua kepada Iblis manakala memberi
nama anaknya dengan Abdul Harits, sebagaimana jelas dalam kisah tersebut, tentu
saja itu belum sampai pada kekafiran. Namun, sebuah dosa yang mungkin saja
dilakukan sebelum diangkat menjadi nabi.[48] Dan akan datang sanggahan atas pernyataan ini, tatkala kita sampai pada
pembahasan kapan ketaatan kepada selain –Nya dianggap syirik, dan kapan di
anggap sebagai dosa besar?
3.
Ada juga
ulama yang menjawab dengan mengatakan, 'Bahwa nabi Adam dan istrinya Hawa tidak
pernah beranggapan bahwa al-Harits adalah rabbnya dengan sebab memberi nama
pada anaknya Abdul Harits, akan tetapi, keduanya beranggapan dengan memberi
nama al-Harits menjadi faktor anaknya selamat, oleh karena itu keduanya memberi
nama tersebut, sebagaimana orang mengatakan pada dirinya sendiri hamba tamu
untuk menjelaskan kalau dirinya sangat menghormati tamunya. Bukan karena punya
keyakinan kalau tamunya adalah rabbnya, sebagaimana dikatakan oleh Hatim[49] dalam bait syairnya:
Aku adalah hamba tamuku selama memuliakanya
Tidaklah aku dikatakan hamba
melainkan dari segi penamaan[50]
Akan tetapi, di sini ada dua
pertanyaan mendasar dalam masalah ini:
Pertama: Apakah pengabdian diri kepada selain Allah –walaupun
dalam bentuk nama- termasuk perbuatan dosa atau masuk dalam jenis syirik kecil?
Pertanyaan kedua; Taruhlah itu termasuk kesyirikan, apakah hal itu
mungkin terjadi dari para nabi?
Jawaban; Adapun pengabdian kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka dikatakan
oleh Ibnu Hazm[51] dalam pernyataanya, "Para ulama bersepakat atas
haramnya memberi nama yang terkandung pengabdian diri kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla. Seperti nama Abdu
Amr atau Abdu Ka'bah dan yang semisalnya, kecuali Abdul Muthalib".[52] Hukum ini –sebagaimana nampak jelas- di tinjau dari sisi hukum taklifiyah
(hukum halal dan haram), adapun bila ditinjau dari segi dosa apakah perbuatan
tersebut termasuk syirik ataukah tergolong dosa besar?
Terjadi silang pendapat dikalangan ulama. Sebagian
ulama mengatakan, 'Sesungguhnya alasan larangan dari pengabdian diri kepada
selain Allah ialah karena termasuk perbuatan syirik didalam rububiyah dan
uluhiyah. Sebab, seluruh makhluk adalah miliknya Allah dan hambaNya. Lalu Allah
menuntut pada mereka untuk beribadah kepadaNya semata, dan mengesakan dalam
rububiyah dan peribadatan padaNya, maka pengabdian diri kepada selain Allah
tergolong kesyirikan.[53]
Kalau seandainya sampai beribadah kepadanya secara
hakekat, dengan mengantungkan rasa takut, harap dan cinta, sebagaimana itu
semua wajib diarahkan kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla, atau jika dirinya menyekutukan -Nya dalam masalah-masalah tadi,
maka dirinya telah terjatuh dalam lembah syirik besar. Dan apabila hanya
mencukupkan diri dalam bentuk pengabdian, hanya sekedar menyandarkan nikmat
kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla
maka ini termasuk syirik kecil.
Oleh karena itu, para ulama berpendapat pada perkara
semacam ini tatkala mereka sedang berbicara tentang macam-macam syirik kecil,
maka mereka membawakan contoh syirik kecil yang terjadi dari anggota badan
lisan ialah dengan pengabdian diri kepda selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti memberi nama Abdu Nabi dan Abdu
Rasul. Dan menjelaskan tentang perkara-perkara yang masuk dalam jenis syirik
kecil semisal bersumpah dengan nama selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau ucapan, 'Menurut kehendak -Nya dan kehendakmu'.
Atau ucapan, 'Hakim agung atau raja diraja'. Maka hukum itu semua pada
hakekatnya sama saja.[54]
Imam Ibnu Qoyim menerangkan, "Tidak boleh memberi
nama dengan Abdu Ali atau Abdu Husain, atau Abdu Ka'bah, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah[55] dari Hani bin Syuraih[56] berkata, "Suatu ketika Pernah datang delegasi suatu kaum kepada
Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa
sallam lalu nabi mendengar diantara mereka ada yang bernama Abdu Hajar,
maka Nabi bertanya padanya, "Siapa nama anda? Abdu Hajar, jawab orang
tersebut. Kemudian Rasulallah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda padanya, "Sesungguhnya engkau adalah
Abdullah (hamba Allah)".[57]
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah
menjelaskan tentang hukum mengabdikan diri kepada selain -Nya, bahwa kaum
musyrikin mereka mengabdikan dirinya serta anak-anaknya kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, sehingga sebagian
mereka memberi nama dengan Abdu Ka'bah, seperti nama asli sahabat Abdurahman
bin Auf, ada lagi yang memberi nama dengan Abdu Syams seperti namanya Abu
Hurairah, dan juga nama Abdu Syams bin Abdu Manaf, sebagian mereka ada yang
memberi nama Abdul Latta, ada juga yang memberi nama Abdul Uzza atau Abdu
Manaat, dan lain sebagainya dari nama-nama yang mengandung penghambaan diri
kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Ada yang menyandarkan kepada Matahari, patung, manusia, dan lain sebagainya
yang jelas mengandung kesyirikan kepada –Nya, dan mirip dalam hal ini ialah
yang dilakukan oleh orang Nashrani yang memberi nama dengan Abdul Masih.
Maka ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam menjumpai hal tersebut, beliau merubah
nama-nama itu lalu menjadikan penghambaan hanya kepada -Nya semata. Yang mana
beliau memberi nama sebagian para sahabatnya dengan Abdullah dan Abdurahman.
Sebagaimana beliau memberi nama pada Abdurahman bin Auf dan yang semisal
dengannya, dan Abu Mu'awiyah yang nama aslinya adalah Abdul Uzza lantas beliau
merubahnya menjadi Abdurahman. Beliau memiliki mantan budak yang bernama Qayum
lantas beliau menggantinya menjadi Abdul Qayum, dan yang semisal dengan ini.
Ada juga yang mirip yaitu perilaku sebagian sekte
Syiah yang ekstrim serta orang-orang yang mirip dengan mereka dari segi ke
ekstrimannya terhadap guru-gurunya, seperti di katakan, ini adalah pembantu
Syaikh Yunus, atau pembantu yang dimiliki oleh Syaikh Yunus, atau ucapan
Pembantunya Ibnu Rifa'i atau Hariri. Dan yang sejenis dengan tindakan semacam
ini yang terkandung penyembahan kepada makhluk. Sebagaimana dilakukan oleh
orang-orang Nashrani dalam jiwa mereka terhadap al-Masih. Dan kaum musyrikin
terhadap sesembahan mereka, dengan mengharap dan merasa takut padanya, atau
terkadang mereka sampai bertaubat kepadanya, sebagaimana kaum musyrikin
bertaubat kepada sesembahannya, begitu juga Nashrani kepada al-Masih atau
orang-orang yang mengkultuskan guru-gurunya.
Adapun syariat Islam yang merupakan agama yang murni
hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata
maka penghambaan harus di tujukan kepada -Nya semata sebagaimana dijelaskan
oleh sunah Rasulallah Shalallahu 'alaihi
wa sallam, dengan merubah nama-nama yang terkandung kesyirikan dengan
nama-nama Islami, dan merubah nama-nama kufur menjadi nama-nama yang mengandung
keimanan…".[58]
Imam Ibnu Qoyim menjelaskan, "Jika seandainya ada
yang bertanya, bagaimana cara memadukan antara larangan memberi nama yang
mengandung penghambaan kepada selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla dengan sebuah hadits shahih yang menyebutkan, 'Akan datang
hamba dinar'[59], sebagaimana dalam shahih Bukhari. Begitu juga hadits
nabi yang mengatakan, 'Saya adalah seorang Nabi yang tidak berdusta, saya
adalah cucu Abdul Muthalib?[60]
Jawabannya ialah, untuk hadits yang mengatakan 'Akan
datang hamba dinar', di sini tidak ada nama yang dicantumkan, namun, hanya
sekedar sifat. Dan celaan bagi orang yang hatinya menghamba kepada dinar
ataupun dirham yang di samakan kedudukannya seperti orang yang beribadah kepada
kedua materi tersebut dengan beribadah kepada Allah azza wa jalla".
Adapun hadits kedua yang mengatakan, 'Saya adalah
cucu Abdul Muthalib'. Maka didalam hadits ini tidak mengandung bentuk
memberi nama baru, tapi, hanya sekedar mengabarkan tentang sebuah nama yang
orang tersebut dikenal dengan nama tersebut, dan mengabarkan semisal itu yaitu
dengan menjelaskan nama seseorang maka tidak dilarang. Tidak ada bentuk
pengkhususan yang mengaitkan antara Abu Muhammad dengan Abdul Muthalib secara
khusus. Sebagaimana para sahabat menamai kakek beliau dengan Abdu Syams, dan
menamai mereka dengan Bani Abdil Daar, sedangkan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengingkari hal tersebut. Kesimpulannya, bab ikhbar (mengabarkan) lebih
luas cakupannya dari pada insyaa (permulaan), maka dibolehkan ketika
kita mengabarkan sesuatu yang mengandung kesyirikan apa yang tidak boleh
dilakukan pada permulaan".[61]
Beralasan dengan ini maka dilarang memberi nama dengan
Abdul Muthalib atau yang semisal, yang
terkandung didalamnya penghambaan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla. bagaimana mungkin dibolehkan, sedangkan para
ulama telah bersepakat akan haramnya memberi nama dengan nama Abdu Nabi, atau
Abdu Rasul, atau Abdu Masih, atau Abdu Husain, atau Abdu Ka'bah. Karena kalau
hal itu dibolehkan yakni memberi nama dengan Abdu Muthalib maka nama-nama tadi
lebih berhak untuk di izinkan dari pada nama Abdu Muthalib. Sebagaimana pula
Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa
sallam telah menjelaskan bahwa menamai Abdu Harits bagian dari wahyu setan,
kalau kita anggap haditsnya shahih.
Adapun ucapan sebagian orang yang mengatakan bahwa
yang dimaksud, kesyirikan yang di lakukan oleh Adam dan Hawa dari sisi mentaati
bukan dari sisi beribadah kepada setan. Maksudnya bahwa nabi Adam dan istrinya
Hawa mau mentaati setan dengan memberi nama anaknya Abdul Harits, bukan berarti
keduanya beribadah kepada setan. Sehingga diambil dari sini sebuah dalil
perbedaan antara syirik dalam ketaatan dan syirik dalam ibadah.
Tapi, ada sedikit kejanggalan manakala menafsirkan
makna ibadah dengan ketaatan, maka hal ini mengharuskan ucapan Qatadah tadi
menjadikan kesyirikan dalam ibadah sama dengan kesyirikan dalam ketaatan.
Sanggahan akan hal itu, bahwa penafsiran ibadah dengan ketaatan merupakan
tafsir lazim. Karena kelaziman ibadah mengharuskan seorang penyembah mau
mentaati dzat yang sedang di sembahnya, oleh karena itu di sini ibadah di
definisikan dengan ketaatan, atau bisa juga di katakan merupakan tafsir malzum
dan konsekuensi lazim. Maknanya manakala ketaatan melazimkan adanya ibadah maka
ibadah sebuah konsekuensi dari ketaatan, yang tidak mungkin tercapai sebuah
ibadah tanpa adanya ketaatan, dengan itu maka menjadi jelas akan bolehnya
menafsirkan dengan tafsiran semacam itu.[62]
Atau bisa dikatakan, tidak semua ketaatan di namakan
kesyirikan. Karena yang dimaksud dengan ketaatan yang masuk dalam kategori
peribadatan adalah ketaatan yang mempunyai makna khsusus, semisal didalam
menghalalkan yang haram atau sebaliknya. Adapun dalam beberapa kasus dosa maka
hukumnya seperti hukum kebanyakan para pelaku dosa. Inilah barometer ketaatan
yang masuk atau tidaknya dalam kesyirikan, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, "Orang-orang yang menjadikan rahib dan orang sholeh sebagai
tandingan, dimana mereka mentaatinya ketika mereka menghalalkan sesuatu yang
telah Allah Shubhanahu wa ta’alla
haramkan dan mengharamkan apa yang telah –Dia halalkan, maka bila dilihat
orang-orang tadi terbagi menjadi dua golongan:
Pertama: Mereka mengetahui kalau rahib
dan orang alimnya telah merubah agama Allah Shubhanahu
wa ta’alla kemudian mereka mengikutinya, dengan menerima penghalalan yang
telah Allah Shubhanahu wa ta’alla
haramkan atau pengharaman yang telah Allah Shubhanahu
wa ta’alla halalkan. Dalam rangka mengikuti pembesar-pembesar mereka, dan
dengan kesadaran penuh jika perilakunya tadi menyelisihi agama para Rasul. Maka
hukum pelakunya adalah kafir. Dimana dirinya telah membuat tandingan kepada
–Nya dan rasul -Nya. Walaupun
mereka tidak sampai sholat dan sujud terhadap para pembesarnya tadi.
Sedangkan orang yang mengikuti orang lain yang jelas
menyelisihi agama dengan kesadaranya kalau perkara tersebut menyelisihi agama,
dan meyakini apa yang di ucapkan orang tadi lalu mengabaikan ucapan Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya,
maka dia dihukumi musyrik semisal orang-orang di awal tadi.
Kedua: Apabila mereka tetap meyakini
dan mengimani dengan perkara yang haram dan yang halal, namun, mereka taat
didalam melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti halnya seorang muslim yang mengerjakan perbuatan maksiat tapi masih
tetap meyakini jika perbuatanya adalah maksiat, maka orang-orang semacam tadi
dan yang semisal denganya di hukumi
sebagai pelaku dosa…".[63]
Barangkali yang dimaksud dengan ucapan ulama yang
mengatakan, 'Sekutu dalam bentuk ketaatan bukan dalam peribadatan kepadanya',
yang dimaksud mereka adalah makna kedua yang disebut oleh Syaikhul Islam tadi,
sehingga tidak di hukumi sebagai kesyirikan. Wallahu a'lam.
Inilah hukum terhadap pendapat yang mengatakan bahwa
pengabdian diri kepada selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla merupakan syirik akbar, apabila menginginkan pada makna secara
hakekatnya. Adapun jika yang diinginkan dari kelakuannya tadi hanya sekedar
berpaling dan menganggap hal itu merupakan sebab, lalu menjadikan sebagai
faktor untuk bisa memperoleh nikmat maka hal ini tidak sampai pada syirik
akbar, namun berubah menjadi syirik kecil. Inilah pendapat yang kuat dan yang
saya pilih dalam masalah ini.
Ada sebagian ulama yang mengategorikan hal tersebut
masuk dalam kategori syirik nama[64], dimana mereka memberi contoh semisal orang yang menasabkan
anak-anaknya kepada para wali dengan keyakinan bahwa para wali tadi yang
memberi dan mengasih selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla, seperti nama Abdu Nabi, Hibatu Ali, atau Hibatu Hasan, atau
Hibatul Mursyid, atau Hibatul Madaar, atau Hibatu Solar, dan biasanya mereka
punya tujuan dengan memberi nama-nama tadi untuk bisa mengusir bala dan
musibah…maka itu semua berada dalam ruang lingkup kesyirikan dan pelakunya
dianggap musyrik[65].
Ada juga diantara ulama yang mengatakan, 'Diantara
fenomena yang terjadi sekarang ini ialah banyaknya orang yang meminta
pertolongan kepada guru-gurunya dan para nabi…dimana mereka menisbatkan
anak-anaknya kepada para masyayikh nya dalam rangka mengharap bisa
dijauhkan dari bencana, sehingga ada diantara mereka yang memberi nama anaknya
dengan Abdu Nabi, ada pula yang memberi nama Ali Bakhsy, atau Husain Bakhsy,
atau Bair Bakhsy, atau Madar Bakhsy, atau Salar Bakhsy….jelas tanpa disangkal,
itu adalah kesyirikan yang nyata…dan itu semua perbuatan tadi bisa dipastikan
sebagai kesyirikan.
Dan dinamakan dengan kesyirikan dalam ibadah, artinya
mereka telah mengagungkan selain Allah Shubhanahu
wa ta’alla dalam tindakan dan perbuatan yang biasanya tidak dilakukan dan
tidak layak dikerjakan kecuali ketika sedang mengagungkan Allah Shubhanahu wa ta'ala".[66]
Dan di sana ada sebagian kelompok yang beranggapan
bawah memberi nama dengan bentuk pengabdian diri kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla bukan termasuk
dari kesyirikan. Lalu sebagain orang yang terkontaminasi dengan pemikiran
diawal mencoba membelanya dengan mengatakan, 'Sesungguhnya menyandarkan kata
'Abdu' kepada selain Allah Shubhanahu wa
ta’alla, tidak terlepas menjadi beberapa kondisi, adakalanya yang
disandarkan tadi adalah sesembahan selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, adakalanya bukan sesembahan, kalau
kondisinya yang kedua yakni bukan sesembahan bisa jadi itu dilakukan karena
salah persepsi atau memang benar, jika pertama yang dilakukan yakni sesembahan
selain -Nya maka hukumnya haram adapun jika itu yang kedua yakni salah persepsi
maka hukumnya makruh, kalau bukan karena ini maka tidak mengapa, seperti nama
Abdu Uzza maka ini haram, adapun nama Abdu Nabi maka hukumnya makruh sedang
nama Abdul Muthalib maka hukumnya boleh".[67]
Tidak diragukan lagi akan kebatilan ucapan seperti
ini, ucapan yang merusak dan tidak laku dijual, tidak ada kebaikan sedikitpun
bagi penggagasnya, di mana mereka tidak memiliki satu dalilpun atas pembagian
yang mereka ada-adakan tadi, yang semakin membukitkan bahwa pembagian tadi
datangnya dari hawa nafsunya belaka. Dan mereka lupa dengan firman Allah
ta'ala:
﴿
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤۡتِيَهُ ٱللَّهُ
ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُواْ عِبَادا لِّي
مِن دُونِ ٱللَّهِ ٧٩
﴾ [ال عمران: 79]
"Tidak
wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan
kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". (QS al-Imran: 79).
Setelah penjelasan ini semua kita menjadi tahu bahwa menurut pendapat
yang mengatakan bahwa kisahnya nabi Adam tadi benar, yang menjadikan dalil
kesyirikan kecil yang dinisbatkan kepada beliau, atau paling tidak menisbatkan
tindakan dosa yang beliau lakukan, lantas muncul pertanyaan berikut, apakah
para Nabi mungkin untuk mengerjakan dosa? Sehingga pertanyaan ini mengusung
kita kepada permasalan berikutnya yaitu, apakah para nabi terjaga dari
mengerjakan dosa?
Masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan perselisihan ini
muncul dari beberapa sisi, yang barangkali bisa disimpulkan bahwa muara
perselisihan ini kembali pada empat pokok, yaitu:
1)
Dosa yang
terjadi dalam perkara i'tiqod (keyakinan).
2)
Dosa yang
terjadi dalam perkara tabligh (penyampaian risalah).
3)
Dosa yang
terjadi dalam masalah hukum dan memberi fatwa.
4)
Dosa yang
terjadi dalam perbuatan dan keseharian mereka.
Kemudian para ulama berbeda pendapat lagi tentang kapan dimulainya waktu
'ishmah (terjaga dari dosa), menjadi tiga kubu:
Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu terjaganya mereka dimulai
semenjak kelahirannya. Ini merupakan pendapatnya orang-orang Rafidhoh.
Pendapat kedua ialah pendapat yang mengatakan bahwa
waktu terjaganya para nabi dari melakukan dosa dimulai dari usia baligh, dan
orang yang berpendapat semacam ini tidak membolehkan para nabi untuk melakukan
dosa besar dan kekufuran sebelum diangkatnya menjadi nabi, ini adalah pendapat
kebanyakan sekte Mu'tazilah.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa dosa besar dan
kekafiran tidak mungkin dikerjakan oleh mereka setelah diangkat menjadi nabi,
adapun sebelum diangkat menjadi nabi maka mungkin saja mereka melakukanya.[68]
Sedangkan pembicaraan yang menjelaskan masalah ini
sangat rumit untuk dipahami, akan tetapi, saya akan mencoba untuk merangkumnya
dan menjelaskan sesuai dengan yang telah disepakati oleh mereka yang berkaitan
dengan masalah ini. Yaitu apakah mungkin perbuatan dan maksiat dikerjakan oleh
para nabi? Dan disini saya tidak akan menyebutkan tentang pembagian hukum yang
keluar dari materi karena sudah jauh dari pembahasan risalahku ini.
PERKARA YANG TELAH DISEPAKATI:
Kaum muslimin
telah bersepakat bahwa para rasul terjaga ketika mengemban tugas untuk
menyampaikan risalah[69]. Mereka para nabi tidak lupa sedikitpun dari
perkara-perkara yang telah diwahyukan kepadanya kecuali segelintir saja dari
permasalahan yang telah dihapus hukumnya sebelumnya, sehingga garis besarnya,
mereka terjaga dari mengerjakan dosa tatkala sedang mengemban tugas
menyampaikan risalah.
Berkata Fakhrur Razi menjelaskan pemikiran pendapat
ini dengan ucapannya, "Kaum muslimin telah bersepakat bahwa para nabi
adalah orang yang terjaga dosa, berbuat dusta dan menyelewengkan
perkara-perkara yang seharusnya disampaikan kepada umat, karena jika mereka
tidak terjaga dalam masalah ini tentu saja akan hilang nilai kepercayaan
terhadap mereka didalam mengemban amanah.
Dan kaum muslimin bersepakat bahwa hal tersebut tidak
boleh dikerjakan oleh para nabi baik dilakukan secara sengaja atau karena
faktor lupa, walaupun ada sebagaian ulama yang menganggap dibolehkan ketika
mereka lupa, mereka berhujah dengan mengatakan, seseorang tidak mungkin bisa
menghindar dari yang namanya lupa".[70] Adapun yang berkaitan dalam
masalah aqidah maka kekeliruan tidak boleh terjadi di kalangan para nabi[71].
Sehingga manakala kita mengacu kepada pendapat ini,
yang mengatakan para nabi tidak boleh keliru dalam masalah aqidah, maka
menjelaskan pada kita bahwa tidak mungkin sama sekali penghambaan kepada selain
Allah Shubhanahu wa ta’alla di
lakukan oleh nabi Adam a'laihi sallam. Dan Perselisihan yang ada diawal
tadi bermula dari anggapan kalau haditsnya shahih, sedangkan bagi para ulama
yang mengatakan haditsnya lemah, dan ini yang dipegang oleh kebanyakan para
ulama –dan ini yang kuat insya Allah sebagaimana akan datang penjelasannya-
maka para ulama dalam hal ini menyatakan, 'Sesungguhnya hadits ini lemah',
sebagian mereka ada yang melemahkan dari sisi riwayatnya, dan sebagian yang
lain melemahkan dari sisi fikih haditsnya.
Adapun para ulama yang melemahkan hadits tersebut dari
sisi riwayatnya, tidak tanggung-tanggung mereka adalah para pakar hadits,
semisal al-Hafidh Ibnu Adi[72], dimana beliau melemahkan hadits tersebut dikarenakan
ada cacatnya yaitu Umar bin Ibrahim yang meriwayatkan secara sendirian, beliau
menegaskan, "Haditsnya dari Qatadah mudhtarib (goncang)".[73]
Sedangkan al-Hafidh Ibnu Katsir, beliau menyatakan,
"Sesungguhnya hadits ini memiliki cacat dari tiga sisi:
Pertama: Bahwa Umar bin Ibrahim ini
adalah al-Bashari, dimana dirinya di kuatkan oleh Ibnu Ma'in[74] akan tetapi, dikatakan oleh Abu Hatim ar-Razi[75], 'Riwayatnya tidak bisa dijadikan hujah'. Namun diriwayatkan oleh Ibnu
Mardawaih dari haditsnya al-Mu'tamir dari ayahnya dari al-Hasan dari Samurah
secara marfu', wallahu a'lam.
Kedua: Terkadang hadits ini
diriwayatkan secara mauquf sampai Samurah saja bukan sabdanya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam,
sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Jarir.
Ketiga: Bahwa al-Hasan sendiri
menafsirkan ayat bukan dengan hadits ini. kalau seandainya hadits ini darinya
yang diriwayatkan dari Samurah secara marfu niscaya dirinya tidak akan
berpaling dari hadits ini, lalu mengambil riwayat yang dibawakan oleh Ibnu
Jarir lengkap dengan sanadnya dari al-Hasan. Firman -Nya:
﴿
جَعَلَا لَهُۥ شُرَكَآءَ فِيمَآ ءَاتَىٰهُمَاۚ ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Maka
keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan
-Nya kepada keduanya itu". (QS
al-A'raaf: 190).
Beliau mengatakan, 'Perilaku tersebut dilakukan oleh sebagian pengikut
agama-agama yang lalu bukan dikerjakan oleh Adam". Dan dengan sanad yang
sampai pada al-Hasan beliau mengatakan, "Yang dimaksud ialah anak cucu
Adam yang berbuat kesyirikan dikalangan mereka". Dan masih dengan sanad
yang sampai kepada al-Hasan, beliau mengatakan, "Mereka adalah Yahudi dan
Nashrani, Allah Shubhanahu wa ta’alla telah
memberi karunia anak pada mereka lalu dibimbing untuk menjadi seorang Yahudi
dan Nashrani".
Selanjutnya Imam Ibnu Katsir menjelaskan, "Sanad hadits-hadits
diatas semuanya shahih dari al-Hasan radhiyallahu 'anhu yang menafsirkan makna
ayat dengan ucapannya tadi. Dan ini merupakan penafsiran terbagus yang sangat
tepat sesuai dengan kandungan ayat. Dan kalau seandainya hadits tersebut
berasal darinya dari Rasulallah Shalallahu
'alaihi wa sallam niscaya dirinya tidak akan berpaling dari hadits tersebut
dan mengambil ucapan orang lain, apalagi dengan ketakwaan dan sikap
kehati-hatian yang beliau miliki.
Maka hal ini membuktikan padamu bahwa riwayat tersebut adalah mauquf
yang hanya sampai pada sahabat, yang kemungkinan mereka dapat dari sebagian
ahli kitab yang beriman dan masuk Islam semisal Ka'ab bin Mani'[76] dan Wahb bin Munabih[77] dan selain keduanya".[78] Kemudian ucapan ulama terdahulu tersebut di tambah oleh Syaikh
Nashirudin al-Albani yang menegaskan adanya cacat yang lain, yaitu bahwa
riwayatnya al-Hasan dari Samurah merupakan riwayat yang diperselisihkan secara
masyhur oleh para pakar hadits, kemudian disini dia melakukan tadlis, dimana
tidak terang-terangan telah mendengar dari Samurah. Dan dia dikatakan oleh Imam
Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I'tidal, "Adalah al-Hasan dirinya banyak
melakukan tadlis, maka apabila dirinya menyebutkan dengan ucapannya, 'Dari
fulan', maka haditsnya lemah tidak bisa dijadikan hujah".[79]
Akan tetapi, seperti yang kami pahami dari ucapanya al-Hafidh al-Ala'i[80] bahwa riwayat-riwayat yang berasal dari Samurah bisa dibawa pada makna sima'
(mendengar), dimana beliau membawakan contoh yang menguatkan pendapatnya[81]. Sehingga dengan ini tinggal tersisa cacat haditsnya dari kritikan yang
disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir.
Begitu pula bila ditinjau dari fikih haditsnya maknanya juga tidak
lurus. Sebab kita tidak memiliki referensi valid yang menetapkan bahwa nama
Iblis adalah Harits. Kemudian ditambah lagi, kita tidak mempunyai dalil yang
menunjukan kalau nabi Adam mempunyai anak-anak yang mati sebelum dirinya
kecuali Habil. Selanjutnya perbedaan ini sesuai dengan tujuan diutusnya dia ke
bumi oleh Allah azza wa jalla, dimana Allah Shubhanahu
wa ta’alla menurunkan dia supaya memakmurkan bumi, kalau seandainya
anak-anaknya selalu meninggal niscaya tujuan tersebut diatas tidak bisa
tercapai sama sekali.
Inilah faktor yang melemahkan hadits tersebut dari sisi dirayah
(pengetahuan hadits). Oleh sebab itu Imam Ibnu Hazm menegaskan dalam
pernyataanya, "Dan perkara ini, yang menisbatkan pada nabi Adam a'laihi wa
sallam bahwa beliau memberi nama anaknya dengan Abdul Harits adalah khurafat
yang dusta dan di bikin-bikin. Dari tulisan orang yang tidak memiliki agama dan
rasa malu sama sekali, tidak pula mempunyai sanad yang absah, namun, ayat
tersebut turun berkaitan dengan kaum musyrikin Arab sebagaimana jelas konteks
ayatnya".[82]
Imam Ibnu Qoyim juga menegaskan hal tersebut dalam ucapannya, "Maka
yang dimaksud jiwa yang satu adalah Adam dan istrinya Hawa, adapun dua orang
yang menjadikan sekutu bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya maka mereka adalah
kaum musyrikin yang keduanya dilakukan terhadap anak-anaknya. Maka jangan
terkecoh dengan pendapat-pendapat lain yang mengatakan, kalau anak nabi Adam
dan Hawa tidak pernah hidup sebelumnya…"[83].
Bila di
simpulkan maka di jumpai sisi lemah dari pendapat tersebut melalui beberapa
segi, yaitu:
1)
Bahwa nabi
Adam 'alihi wa sallam adalah manusia yang paling paham dengan permusuhan Iblis
terhadapnya, kemudian setelah itu Iblis mempunyai nama Harits –taruhlah kalau
memang benar riwayatnya- lantas bagaimana mungkin beliau setelah paham
permusuhan dengan Iblis lalu memberi nama anaknya dengan Abdul Harits?
2)
Bentuk
plural dari firman Allah ta'ala: "Maka keduanya menjadikan sekutu bagi
Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". Kalimat
syurakaa yang menunjukan kalau yang menjadikan sekutu itu banyak, selanjutnya
dalam hal ini yang dijadikan sebagai sekutu bagi -Nya itu cuma satu yaitu
Iblis. Maka mengungkapkan dengan bentuk plural yang menunjukan arti banyak
sebagai bukti akan kelemahan pendapat tersebut.
3)
Didalam
ayat tidak disebut Iblis sebelumnya, kalau seandainya Iblis lah faktor yang
menyebabkan untuk memberi nama yang terkandung didalamnya kesyirikan, –sebatas
pengertian yang diacu oleh pendapat tersebut- niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan menyebut nama
Iblis sebelumnya, sebab kondisinya adalah kondisi peringatan terhadap tipu daya
dan was-was setan sehingga menuntut untuk disebut nama Iblis sebelumnya, supaya
orang yang datang setelahnya tidak terkecoh dengan perkara yang sama.
4)
Selanjutnya
didalam ayat Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan
setelahnya:
﴿ أَيُشۡرِكُونَ مَا لَا يَخۡلُقُ
شَيۡٔا وَهُمۡ يُخۡلَقُونَ ١٩١﴾ [ الأعراف: 191 ]
"Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan)
berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan
berhala-berhala itu sendiri buatan orang".
(QS al-A'raaf: 191).
Hal
ini menjadi bukti bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah membantah
orang-orang yang menjadikan berhala sebagai sekutu-sekutu bagi Allah ta'ala,
adapun nama Iblis maka dalam ayat tersebut tidak dicantumkan sama sekali.
5)
Kalau
sekiranya yang dimaksud dalam ayat adalah Iblis niscaya bunyinya, 'Apakah
mereka mempersekutukan Allah Shubhanahu
wa ta’alla dengan dzat yang tidak mampu menciptakan sesuatupun', tidak
mengatakan seperti dalam ayat diatas dengan menggunakan kata ' ما', sebab dalam gramatika
bahasa arab di gunakan kata 'من'
untuk yang berakal dan kata ' ما'
untuk yang tidak berakal.[84]
Sedangkan
tafsir ayat, mengacu kepada pendapat yang melemahkan hadits tersebut ialah
sebagai berikut:
1)
Bahwa kedua
ayat tersebut berkaitan dengan nabi Adam dan Hawa, adapun untuk mengangkat
kejanggalan maksud firman -Nya: "Maka
keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan
-Nya kepada keduanya itu". Maksud Firman Allah Shubhanahu wa ta’alla disini adalah hadzaf mudhof, artinya
ialah dia menjadikan anak-anaknya sekutu bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla terhadap anugerah yang telah diberikan kepada
anak-anaknya. Di sebut dengan jumlah bilangan dua, sebab anaknya terbagi
menjadi dua, berkelamin laki-laki atau
perempuan, artinya dua jenis. Dengan pemahaman seperti ini kejanggalan ayat
diatas dalam lafadh 'جعلا '
dan lafadh 'آتهما ' menjadi terangkat. Dan dalam firman -Nya
yang setelahnya: "Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka
persekutukan". Dengan menyebut dalam bentuk plural karena hal tersebut
ditinjau dari jumlah anaknya yang banyak.[85]
2)
Bahwa
kandungan ayat ini ditujukan bagi seluruh manusia. Sedangkan kata ganti dalam
lafadh ' جعلا ' dan lafadh ' آتهما
' kembali kepada jiwa dan istrinya. Bukan kepada nabi Adam dan Hawa[86]. Berdasarkan hal ini maka kata jiwa tidak termasuk dari penyebutan makna
ayat. Dan ini merupakan pentakwilan yang terjauh dan terdekat dari sisi
takalufnya.
3)
Bahwa ayat
ini berbicara kepada Quraisy yaitu kepada bani Qushai, yang sesungguhnya mereka
berasal dari satu jiwa yaitu Qushai. Dimana dia punya istri dari bangsanya
sendiri yaitu Quraisy. Kemudian keduanya memohon kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk di beri
anugerah anak. Lalu –Dia mengabulkan permintaan keduanya, dengan
menganugerahkan empat anak laki-laki yang keduanya beri nama dengan, Abdu
Manaf, Abdu Syams, Abdul Uzza dan Abdu Daar.[87]
4)
Yang
diinginkan dalam ayat adalah Adam dan Hawa. Dan meminta kepada Adam dan Hawa
kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla untuk
di karunia anak yang sholeh adalah keturunanya yang lurus untuk mendapat
keturunan laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi anak-anak keturunan tersebut
yang menjadikan sekutu bagi -Nya, dari patung dan berhala. Maka maha suci Allah
Shubhanahu wa ta’alla dari kesyirikan
yang di lakukan oleh kaum musyrikin yang merupakan keturunan keduanya.
Adapun firman Allah ta'ala:
﴿ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُمَا
صَٰلِحا ١٩٠ ﴾ [ الأعراف: 190 ]
"Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang
sempurna". (QS al-A'raaf: 190).
Jenis
anak dari anak yang sempurna dari segi penciptaan, mulai dari fisik, akal,
kekuatan tubuh. Yang menunjukan banyak di sini ialah sifat yang di miliki oleh
anak tersebut dan ini disebut sebagai jenis. Maka ini mencakup laki-laki dan
perempuan baik sedikit maupun banyak.
Seakan-akan di katakan, 'Tatkala
keduanya di beri anak-anak yang sempurna dalam penciptan baik laki-laki maupun
perempuan, Allah Shubhanahu wa ta’alla jadikan dua bentuk dalam firman
-Nya "Mereka menjadi sekutu bagi
Allah". dari segi dua bentuk ini ada sebagian mereka yang menjadikan
sekutunya dengan patung, berhala, api, matahari dan ada pula yang lainnya.[88]
Kesimpulan
dari ini semua ialah bahwa tidak absah yang menetapkan kalau nabi Adam yang
melakukan kesyirikan, namun, yang otentik sebagaimana kami telah paparkan di
awal bahwa awal mula kesyirikan yang terjadi di tengah-tengah bani Adam ialah
di mulai dari kaumnya nabi Nuh a'laihi sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menegaskan, "Sesungguhnya manusia setelah nabi Adam 'alahi sallam, dan
sebelum nabi Nuh berada diatas agama tauhid yang murni. Sebagaimana keadaan
bapak mereka nabi Adam a'laihi sallam, hingga akhirnya mereka membikin perkara
baru dengan kesyirikan dan peribadatan kepada berhala. Bid'ah yang merupakan
hasil inovasi mereka sendiri, yang tidak pernah di turunkan oleh Allah perkara
tersebut sebuah kitab pun tidak pula di utus seorang rasul yang mengajarkan hal
tersebut, mereka lakukan berdasarkan kerancuan yang dihiasi oleh setan dari
analogi-analogi yang batil dan filsafat-filsafat yang merusak. Sehingga
diantara mereka ada yang mengklaim jika patung-patung, jimat dan mantera,
bintang dilangit dan gugusan tata surya serta arwah yang berada diatas langit
punya kekuasaan.
Ada pula yang menjadikan gambar dan foto dari kalangan generasi sebelumnya dari para nabi dan orang-orang sholeh. Ada lagi yang menjadikan sekutu untuk persembahan arwah yang rendah dari kalangan jin dan setan. Dan ada pula yang berada dalam pemikiran dan perilaku yang sesat lainnya. Yang kebanyakan mereka hanya sekedar mengikuti para pembesar-pembesarnya, dan mereka sangat jauh dari kebenaran, selanjutnya Allah Shubhanahu wa ta’alla mengutus nabi –Nya, Nuh a'laihi sallam untuk mengajak mereka hanya beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata dan tidak menyekutukan -Nya, dan melarang mereka untuk beribadah kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, walaupun mereka mengklaim jika sesembahnnya tersebut hanya dijadikan sebagai wasilah yang akan mendekatkan diri kepada -Nya sedekat-dekatnya dan menjadikan sebagai perantara pemberi syafaat".[89]
[1] . Lihat ucapan beliau ini dalam tafsir Thabari
9/17/13. dan dalam kitab Tarikhul Umam wal Muluk 1/83. Dengan sanad yang
shahih.
[2] . Durarul Mantsur 4/317 oleh Imam Suyuthi dan disandarkan
riwayat ini kepada Ibnu Abi Hatim.
[3] . Tarikhul Umam wal Muluk 1/165 oleh Imam Thabari. Al-Kaamil 1/32 oleh Ibnu
Atsir.
[4] . Tarikhul Umam wal Muluk 1/170 oleh Imam Thabari. Al-Kaamil 1/34 oleh Ibnu
Atsir. Dan ar-Raudhul Anfi 1/14 oleh as-Suhaili.
[5] . Bisa dilihat kritikan pada rawi yang bernama Hisyam ini
dalam Thabaqaat Khalifah hal: 167. Tarikh Baghdad 14/45 oleh Khatib
al-Baghdadi. Al—Ansaab 10/454 oleh as-Sam'ani. Mu'jamul Udaba'i 19/746 oleh
Yaaqut. Wafiyaatul A'yaan 6/82, 84 oleh Ibnu Khulakan. Mizanul I'tidal 4/ 205,
304, Dan Siyar a'lamu Nubala 10/101 oleh
adz-Dzahabi. Lisanul Mizan 6/196 oleh Ibnu Hajar.
Adapun rawi yang bernama Muhammad bin
Sa'il al-Kalbi bisa dilihat dalam Thabaqaat Kubra 6/249 oleh Ibnu Sa'ad.
Al-Ma'arif hal: 533 oleh Ibnu Qutaibah. Tarikhul Kabir 1/101 oleh Bukhari.
Mizanul I'tidal 3/559. al-Wafi bil Wafiyaat 3/83 oleh ash-Shufdi.
[6] . Beliau adalah Abu Sholeh Baadzam, ada yang mengatakan
Badzaan, mantan sahaya Ummu Hani binti Abi Thalib. Yang meriwayatkan darinya
al-A'masy, dan Isma'il as-Sudi, jika ada riwayat yang datang darinya maka tidak
dianggap. Beliau termasuk ruwatul Arba'ah. Lihat Tahdzibu Tahdzib 1/263
no: 770 oleh Ibnu Hajar.
[7] . Lihat ucapan ini oleh Abu Hatim Ibnu Hibban dalam kitab
al-Majruhiin 2/253.
[8] . al-Ashnaam hal: 50, 51. oleh Ibnul Kalbi. Ighatsatul
Lahfan 2/622 oleh Ibnu Qoyim.
[9] . Telah lewat takhrijnya.
[10] . Jami'ul Bayaan fii Tafsir 12/29/62 oleh Ibnu Jarir.
Durarul Mantsur 6/269 oleh Suyuthi.
[11] . Ighatsatul Lahfan 1/210 oleh Ibnu Qoyim
[12] . Tafsir Thabari 12/29/62.
[13] . Beliau adalah Hasan bin Abi al-Hasan al-Bashari mantan
sahaya Ummu Salamah dan Rab'i binti Nadhar atau Zaid bin Tsabit, Abu Sa'id
al-Imam salah satu Imam. Meriwayatkan hadits darinya beberapa ulama hadits, dan
dirinya juga meriwayatkan dari beberapa sahabat. Lihat biografinya dalam
al-Khulashah hal: 77 oleh al-Khazraji.
[14] . Beliau adalah sahabat Samurah bin Jundub bin Hilal
al-Fazari, lalu tinggal di Bashrah. Beliau termasuk penghafal hadits yang
sangat banyak dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Meninggal di Bashrah pada
tahun 85 H. Lihat biografinya dalam kitab al-Khulashah hal: 156 oleh
al-Khazraji.
[15] . HR Ahmad 5/11. Tirmidzi no: 3077. dan al-Hakim
2/545. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Katsir 2/274, syaikh al-Albani dalam
silsilah Dha'ifah no: 342. Lihat pembahasan dalam catatan kaki oleh Syaikh
Ahmad Syakir terhadap Tafsir Thabari 13/309. dan Kitab Israiliyaat wal
Maudhu'aat hal: 209-210, oleh Ibnu Syuhbah.
[16] . Beliau adalah Abu Isa, Muhammad bin Isa bin Surah
at-Tirmidzi, Hafidh yang buta mata, salah seorang imam terkenal, penulis kitab
al-Jami' dan tafsir. Meninggal pada tahun 270 H. Lihat biografinya dalam
al-Khulashah hal: 355 oleh al-Khazraji.
[17] . Beliau adalah Imam besar dalam hafalan yang bernama
Abu Abdillah, Muhammad bin Abdullah bin Hamdawiah an-Naisaburi yang lebih
dikenal dengan al-Hakim. Lahir pada tahun 321 H dan meninggal pada tahun 405 H.
diantara karya tulis beliau yang banyak ialah Mustadrak 'ala Shahihain.
al-Madkhal ila Shahih dan yang lainya. Lihat biografinya dalam Tadzkiratul
Hufaadh 3/1029. oleh Imam Dzahabi
[18] . Beliau adalah al-Hafidh al-Alamah Abu Bakar, Ahmad
bin Musa bin Mardawaih al-Ashfahani, pemilik kitab Tafsir. Lahir pada tahun 323
H dan meninggal pada tahun 410 H. Lihat biografinya dalam Thabaqaat Mufasiriin
1/93 oleh ad-Dawudi.
[19] . Tafsir Ibnu Katsir 2/274.
[20] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/99.
[21] . Lihat ucapan ini dalam kitab al-Khulashah hal: 109
oleh al-Khazraji.
[22] . Tafsir Ibnu Katsir
2/275. Dan disandarkan riwayatkan kepada Ibnu Abi Hatim.
[23] . Lihat penjelasannya oleh Ibnu Hajar dalam
Tahdzibu Tahdzib 2/87 no: 2026.
[24] . Lihat ucapan ini dalam kitab al-Khulashah hal: 109
oleh al-Khazraji dalam biografinya Syuraik al-Qadhi.
[25] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/99.
[26] . Lihat penjelasannya tentang kritikan terhadap para
rawi atsar ini dalam Lisanul Mizan 3/18-19, 5/174 dan Tahdzibu Tahdzib 2/294
keduanya oleh Ibnu Hajar. Tarikh Kabir 1/2/299 dan 4/1/908 oleh Imam Bukhari.
Thabaqaat 1/211, 213 oleh Ibnu Sa'ad.
[27] . Tafsir Ibnu Katsir 2/275.
[28] . Ibid.
[29] . Lihat pernyataan ini dalam Tafsir Ibnu Jarir
6/9/101.
[30] . Ibid.
[31] . Ibid.
[32] . Beliau adalah Isma'il bin Abdirahman bin Abi
Karimah. Abu Muhammad al-Hijazi al-Kufi, tsiqah. Lihat biografinya dalam Siyar
a'lamu Nubala 5/264 oleh adz-Dzahabi.
[33] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/99.
[34] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/101.
[35] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/101.
[36] . Beliau adalah Imam Abu Muhammad, Abdurahman bin Abi
Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi al-Handali al-Hafidh. Penulis buku Jarh wa
Ta'dil dan Tafsir serta karya tulis lainnya. Meninggal pada tahun 327 H. lihat
biografinya dalam Tadzkiratul Hufaadh 2/829-832. Siyar a'lamu Nubala 13/263
keduanya oleh Imam Dzahabi.
[37] . Tafsir Ibnu Jarir 6/9/101.
[38] . Beliau adalah Mahmud bin Abdullah al-Husaini
al-Alusi. Julukannya Syihabudin, Abu Tsana. Ahli tafsir, pakar hadits, fakih,
sastrawan, dan ikut serta dalam beberapa displin ilmu. Lahir di Baghdad pada
tahun 1217 H. Termasuk orang terdekat Sulthan Abdul Majid, meninggal pada tahun
1270 H. diantara karya tulisnya ialah Ruhul Ma'ani dan yang lainya. Lihat
biografinya dalal Mu'jamul Mu'alifiin 12/175.
[39] . Ruhul Ma'ani 3/185 al-Alusi.
[40] . Kitabu Tahuid ma'a Syarhi Fathul Majid 2/614.
[41] . Taisir Azizil Hamid hal: 565-566.
[42] . Ibid.
[43] . Beliau adalah Abdurahman bin Hasan bin Muhammad bin
Abdul Wahab an-Najdi al-Hanbali, seorang alim Rabbani, peneliti besar.
Meninggal pada tahun 1285 H. Lihat biografinya dalam Muqodimah Fathul Majid dan
dalam kitab al-A'laam 4/76 oleh az-Zarkali.
[44] . Fathul Majid 1/616 oleh Abdurahman bin Hasan alu
Syaikh.
[45] . Da'watu Tauhid hal: 89 oleh Muhammad Khalil Haras.
[46] . Ibid.
[47] . Permasalahan ini diperselisihkan secara tajam oleh
para ulama hingga dikalangan sesama Ahlu Sunah.
[48] . Da'watu Tauhid hal:
89 oleh Muhammad Khalil Haras. Menukil dari ucapannya Sayid Syarif al-Jurjani
dalam al-Mawaqif.
[49] . Beliau adalah kakeknya Hatim ath-Tha'i. penyair pada
zaman Jahiliyah, terkenal dengan keberanian, kedermawanan dan kemuliaanya.
Dirinya sangat dermawan, memiliki bait-bait syair yang terkenal. Meninggal pada
tahun akhir abad ke enam masehi. Setelah kelahirannya Nabi shalallahu 'alaihi
wa sallam. Lihat biografinya dalam al-A'laam 2/151 oleh Zarkali.
[50] . Bait syair ini tidak dijumpai dalam kumpulan
syairnya, akan tetapi disandarkan kepada tafsir al-Qurthubi 4/7/215.
[51] . Beliau adalah al-Allamah, hafidh, fakih, Abu
Muhammad, Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Umawi, maula Qurthubi,
adh-Dhahiri. Awalnya beliau bermadzhab Syafi'i, kemudian ganti memilih madzhab
Dhahiri. Beliau sangat banyak menguasai berbagai disiplin ilmu, wara', dan
zuhud. Kitab beliau diantaranya ilah al-Muhalla yang merupakan madzhab dan
hasil kumpulan ijtihadnya. Kemudian al-Fashl, Maratibul Ijma dan yang lainnya.
Meninggal pada tahun 457 H. lihat biografinya dalam Tadzkiratul Hufaadh 3/1147
oleh Dzahabi. Dan dalam Syadzraatu Dzahab 3/299 oleh Ibnu Ma'ad.
[52] . Maratibul Ijma' hal: 154 oleh Ibnu Hazm.
[53] . Lihat pernyataan ini dalam Fathul Majid 2/617 oleh
Syaikh Abdurahman bin Hasan alu Syaikh, dan juga faidah yang saya dapat dari
guru kami Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad.
[54] . Lihat pembahasannya dalam Madkhul ila Dirasaatil
Aqidah hal: 139 oleh Ibrahim al-Buraikan.
[55] . Beliau adalah Abu Bakar bin Abi Syaibah bin Abdullah
bin Muhammad bin Ibrahim bin Utsman al-Abbasi, maula mereka al-kufi,
al-Hafiidh. Meriwayatkan dari Syuraik, Hasyim, Ibnu Mubarak, Ibnu Uyainah,
Ghandar, dan yang lainnya, sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah Bukhari
dan Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Abu Zur'ah dan yang lainnya.
Meninggal pada tahun 235 H. lihat biografinya dalam Siyar a'lamu Nubala 11/122
oleh Dzahabi.
[56] . Begitulah dengan nama Hani bin Syuraih seperti dalam
kitab al-Mushanaf, begitu juga dinukil oleh Imam Ibnu Qayim dalam kitabnya
Tuhfatul Maudud bii Ahkamil Maulud hal: 72. Kemudian kesalahan ini terus
berlangsung sampai di nukil oleh penulis kitab Taisir Azizil Hamid. Sungguh
diriku telah mengerahkan waktu dan upaya untuk mencari namanya maka tidak saya
jumpai kecuali yang bernama Hani bin Yazid seperti disebutkan dalam buku-buku
induk rijal hadits semisal al-Ishabah 3/566 no: 8927 dan juga dalam al-Khulashah
hal: 408 oleh al-Khazraji.
Sehingga saya memutuskan bahwa beliau
adalah Hani bin Yazid al-Kindi al-Madzhaji al-Haritsi, Abu Syuraih. Seorang
sahabat, sebab hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya
Adabul Mufrad. Beliau mengatakan, 'Hani bin Yazid', sebagai ganti dari Hani bin
Syuraih. Lihat Adabul Mufrad no: 811. dari sini saya merasa yakin bahwa beliau
adalah Hani bin Yazid, sehingga cetakan yang ada dalam kitab al-Mushanaf
merupakan salah cetak sehingga tercetak dengan nama Hani bin Syuraih. Wallahu
a'lam. Kemudian saya melihat dalam tahqiq kitab Tuhfatul Maudud oleh Syaikh
Basyir Muhammad Uyun telah lebih dulu menyebutkan kekeliruan tadi. Al-Hamdulillah
'ala kuli haal.
[57] . al-Mushanaf 5/262 no: 25901. oleh Ibnu Abi Syaibah.
Adabul Mufrad no: 811 oleh Bukhari. Tuhfatul Maulud hal: 73 oleh Ibnu Qayim.
[58] . Majmu Fatawa 1/378, 379.
[59] . Seperti di riwayatkan oleh Bukhari no: 2887.
[60] . HR Bukhari no: 2854.
[61] . Tuhfatul Maulud hal: 72-73, oleh Ibnu Qayim.
[62] . lihat pernjelasannya dalam kitab Taisir Azizil Hamid
hal: 571-572 oleh Sulaiman bin Abdullah alu Syaikh dengan sedikit perubahan.
[63] . Majmu' Fatawa 7/70.
[64] . Lihat pembasahannya dalam kitab Kasyaaf Isthilahaat
al-Funun 4/146-153 oleh at-Tahanawi. Hujatullahi Balighah 1/183 oleh Waliyullah
Dahlawi, Taqwiyatul Iman hal: 19-21 oleh Syaikh Syah Muhammad Isma'il.
[65] . Taqwiyatul Iman hal: 19-21 oleh Syaikh Syah Muhammad
Isma'il.
[66] . Taqwiyatul Iman hal: 25-40 oleh Syaikh Syah Muhammad
Isma'il.
[67] . Faidhul Bari 3/287 oleh Anwar Syah al-Kasymiri.
[68] . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7-8 oleh ar-Razi.
[69] . Banyak para ulama yang menukil terjadinya ijma'
dalam masalah ini. coba lihat penjelasannya dalam Majmu Fatawa 10/291 oleh Ibnu
Taimiyah. Dan Lawami'ul Anwar al-Bahiyah 2/304 oleh Safarini.
[70] . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7 oleh ar-Razi.
[71] . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7 oleh ar-Razi. Al-Mawaqif
hal: 134 oleh al-Iji. Nasimi Riyadh Syarh Syifaa lii Qodhi Iyadh 4/41-42. oleh
Syihab al-Khafaji.
[72] . Beliau adalah Ibnu Adi, Imam, al-Hafidh besar. Abu
Ahmad, Abdullah bin Adi bin Muhammad bin Mubarak al-Jurjani, pemilik kitab
al-Kamil fii Jarh wa Ta'dil, lahir pada tahun 277 H dan meninggal pada tahun
365 H. Meriwayatkan dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, Nasa'i dan Abu
Ya'la, sedang yang meriwayatkan darinya ialah Ibnu Uqdah, al-Maliyani dan yang
lainnya. Lihat biografinya dalam kitab Bidayah wa Nihayah 11/283 oleh Ibnu
Katsir dan Thabaqaat Syafi'iyah 3/315 oleh as-Subki.
[73] . al-Kamil fii Jarh wa Ta'dil 3/1701 oleh Ibnu Adi.
[74] . Beliau adalah Yahya bin Ma'in bin Aun al-Ghathfani,
maula mereka al-Baghdadi. Seorang ulama besar, meriwayatkan dari Ibnu Uyainah,
Abu Usamah, dan Abdurazzaq. Dan yang meriwayatkan darinya ialah Bukhari dan
Muslim, Abu Dawud, Abdullah bin Imam Ahmah dan yang lainnya. Meninggal di kota
Madinah pada tahun 203 H. Lihat biografinya dalam kitab Tadzkirotul Hufaadh
2/249 oleh Imam Dzahabi.
[75] . Beliau adalah al-Hafidh besar, al-Allamah Abu Hatim,
Muhammad bin Idris bin al-Mundzir ar-Razi. Salah seorang ulama penghafal
hadist, meriwayatkan dari Ahmad, Abu Khaitsamah, Qutaibah dan ulama lainnya.
Dan yang meriwayatkan darinya ialah Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah dan yang
lainnya. Meninggal di kota ar-Ray tahun 277 H. Lihat biografinya dalam kitab
Tarikh Baghdad 2/72 oleh al-Khatib Baghdadi. Thabaqaatul Hufaadh hal: 259 oleh
Imam Suyuthi.
[76] . Beliau adalah Ka'ab bin Mani' al-Humairi, Abu Ishaq
al-Habr termasuk ahli kitab yang masuk islam, meriwayatkan dari Umar dan
Shuhaib, Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan Mu'awiyah. Beliau termasuk dari kalangan
Tabi'in. Berkata Ibnu Sa'ad, 'Beliau meninggal pada tahun 32 H di Hums pada
khilafah Utsman bin Affan'. Lihat biografinya dalam al-Khulashah hal: 321 oleh
al-Khazraji.
[77] . Beliau adalah Wahb bin Munabih bin Kamil al-Abnawi
ash-Shan'ani, al-Akhbari, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jabir dan yang lainnya.
Meriwayatkan darinya Hamam, Samak, dan ulama lainya. Di kuatkan oleh Imam Nasa'i,
dan beliau meninggal karena dibunuh oleh Yusuf bin Umar pada tahun 110 H. Lihat
biografinya dalam kitab al-Khulashah hal: 419 oleh al-Khazraji.
[78] . Lihat penjelasan beliau ini dalam kitab Tafsirnya
2/275.
[79] . Lihat ucapan Imam Dzahabi dalam Mizanul I'tidal 1/527
no: 1968. dan Syaikh al-Albani dalam Silsilah Dha'ifah 1/517.
[80] . Beliau adalah al-Hafidh pengkritik hadits yang kapabel
dan kompeten. Sholahudin Khalil bin Kikaldi al-Ala'i, asy-Syafi'i. Lahir pada
tahun 694 H di Damaskus. Mendapat riwayat hadits dari al-Mizzi dan adz-Dzahabi.
Belajar ilmu fikih dari Ibnu az-Zamlakani. Serta berguru kepada Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah. Meninggal pada tahun 761 H. Diantara murid-muridnya yang
terkenal ialah al-Hafidh Ibnu Katsir, dan Subki. Beliau mempunyai
tulisan-tulisan yang sangat bermanfaat, diantaranya, Jami'u Tahshil. Lihat biografinya
dalam Duraru Kaminah 2/179 oleh Ibnu Hajar. Thabaqaatul Hufaadh hal: 532-533,
oleh Suyuti.
[81] . Lihat ucapan beliau ini dalam kitabnya Jami'u Tahshil
hal: 165-166. dengan Tahqiq oleh Hamdi Abdul Majid as-Salafi. Sebagaimana juga
dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Milal wal Ahwa wa Nihal 4/11.
[82] . Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Milal wal Ahwa wa Nihal
4/11.
[83] . Raudhotul Muhibbin hal: 297 oleh Ibnu Qoyim.
[84] . Lihat penjelasan ini oleh Fakhrur Razi dalam Tafsirnya
8/15/60-61.
[85] . al-Kasyaaf 2/109 oleh Zamakhsyari. At-Tibyaan fii
Aqsamil Qur'an hal: 263-264 oleh Imam Ibnu Qoyim.
[86] . Lihat penjelasan ini oleh Fakhrur Razi dalam Tafsirnya 8/15/60-61.
[87] . Tafsir Raghaibil Furqaan wa Gharaibil Qur'an 6/9/94
oleh an-Naisaburi.
[88] . Dikatakan oleh al-Khatib Syarbini dalam Sirajul
Munir fii I'anatu 'ala Ma'rifatil Kalami Rabbinaa al-Khabir 1/449.
[89] . Majmu Fatawa 28/603-604.
Post a Comment