Ketahuuilah bahwa pembicaraan mengenai perbandingan antara keima ruh ini dengan misykat, kaca pelita, pohon, dan minyak, bisa menjadi sangat panjang. Tetapi, aku akan menyingkat dan mencukupi diri dengan mengingatkan tentang metodenya.
Pertama, tentang ruh indriawi. Bila Anda perhatikan kekhasannya, akan Anda dapati cahaya-cahaya keluar dari berbagai celah, seperti mata, telinga, lubang hidung, dan sebagainya. Karena itu, misal yang paling teapt baginya di alam kasatmata ialah misykat.
Kedua, tentang ruh khayali, Anda akan mendapatinya memiliki tiga sifat, yaitu:
1. bahwa ia berasal dari material alam rendah (alam dunia) yang pekat. Sebab, sesuatu yang dikhayalkan memiliki kadar, bentuk dan arah terbatas dan tertentu, dengan kedekatan dan kejauhan yang nisbi ditinjau dari pandangan si penghayal. Sedangkan di antara ciri sesuatu yang pekat yang dilukiskan dengan sifat-sifat bendawi adalah ketertutupannya dari cahaya-cahaya intelegensi murni yang tak mungkin dilukiskan dengan arah, kadar, dekat, dan jauh.
2. khayal yang pekat ini, bilamana dijernihkan, diperhalus, dirapikan, diatur, akan mendekati batas makna-makna yang hanya dapat dicerap oleh akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya darinya.
3. bahwa khayal pada permulaan pertumbuhannya sangat diperlukan untuk membuat teraturnya dalil-dalil intelektual (atau makna-makna yang dicerap oleh akal) agar tidak goyah, tidak terombang-ambing, dan tidak bercerai berai sehingga keluar dari keteraturan. Hal ini mengingat bahwa fungsinya ialah menghimpun misal-misal imajinatif untuk kepentingan pengetahuan ‘aqli.
Ketiga khas ini tidak bisa dijumpai pada benda apapun di alam kasatmata, dalam kaitannya dengan “cahaya yang m elihat”, kecuali pada “kaca”, (Yang dimaksud di sni, tabung penutup nyala lampu atau pelita).
Kaca berasal dari jauhar (substansi) yang pekat, tapi telah dijernihkan dan dibeningkan sehingga menjadikannya tembus pandang, tidak menghalangi cahaya pelita. Bahkan sebaliknya, menyempurnakan fungsinya di samping menjaganya agar tidak terpadamkan oleh hembusan angin kencang dan gerakan-gerakan yang keras. Mengingat semua sifatnya ini, “kaca” adalah sebaik-baik misal untuk ruh khayal.
Ketiga, tentang ruh ‘aqli (yakni yang berkaitan dengan akal atau intelegensi), yang dengannya terwujud pencerapan makna-makna mulia Ilahiah. Tentunya Anda telah mengerti alasan permisalannya dengan pelita, dari uraian yang telah lalu tentang mengapa para nabi disebut sebagai “pelita bercahaya” (siraj munir).
Keempat, tentang ruh pemikiran. Di antara kekhasannya ialah ia mulia terwujud dari sesuatu yang tunggal, kemudian bercabang menjadi dua, masing-masing bercabang, bercabang lagi menjadi dua, dan begitulah seterusnya sehingga cabang-cabang itu menjadi sangat banyak dengan pembagian-pembagian oleh akal. Kemudian, itu semua membutuhkan kesimpulan-kesimpulan yang pada akhirnya menghasilkan benih-benih untuk tumbuh menjadi “pohon-pohon” sejenis, sebagaimana juga dapat diperbanyak lagi dengan mencangkokan dan sejenisnya.
Dengan demikian, misal yang tepat baginya di alam ini adalah “pohon”. Jika buah-buahnya merupakan bahan untuk melipatgandakan pengetahuan, memelihara kekutannya dan ketahanannya, sduah sepatutnya hal itu tidak dimisalkan dengan pohon jambu, apel, delima, atau pohon-pohon lainnya, tapi yang paling tepat ialah dengan “pohon zaitun”, sebab inti buahnya adalah minyak yang merupakan bahan bagi pelita-pelita.
Lebih-lebih lagi karena minyak zaitun memiliki keistimewaan dibandingkan dengan minyak-minyak lainnya, dalam hal kebebderangan nyala api yang ditimbulkannya; dan jika pohon yang banyak buahnya dinamakan “pohon penuh berkah”, maka pohon zaitun yang buahnya tak terhingga banyaknya lebih patut dinamakan “pohon penuh berkah” atau “pohon yang diberkahi”; dan dan jika cabang-cabang pikiran akal yang murni tida bisa dihubungkan dengan arah dekat dan jauh, maka dengan sendirinya ia “tidak di timur atau barat”.
Kelima, tentang ruh suci kenabian yang dinisbahkan kepada pra nabi dan juga kepada para wali. Yang, bilamana ruh tersebut sedang dalam keadaan puncak kebenderangan dan kejernihannya, dan dalam keadaa ruh pemikir tertinggi menjadi seperti berikut:
1. Yang memerlukan pengajaran, pengaktifan, dan sokongan kekuatan dari luar dirinya agar dapat tetap dalam berbagai pengetahuan.
2. Yang amat sangat jernih sehingga seakan-akan mampu mengaktifkan dirinya sendiri tanpa sokongan dari luar.
Jika demikian keadannya, maka sepatutnya bagi ruh yang jernih dan memiliki persiapan yang kuat seperti ini, dilukiskan sebagai “nyaris bercahaya (menyala) minyaknya walaupun tak tersentuh api”. Sebab antara para wali ada yang nyaris memancar cahayanya, sehingga hampir-hampir tidak memerlukan sokongan atau bekal dari para nabi. Demikian pula di antara para nabi ada yang hampir-hampir tidak memerlukan sokongan bekal dari malaikat. Begitulah misal “minyak” ini cocok untuk ruh seperti tersebut di atas.
Apabila diingat bahwa cahaya-cahaya ini tersusun sebagiannya di atas sebagiannya yang lain, maka cahaya indrawi adalah yang pertama, dan ia merupakan persiapan dan pendahuluan bagi cahaya khayali, dan setelah itu, bagi ahaya pemikiran dan cahaya ‘aqli. Maka sudah sepatutnya jika “kaca” digunakan sebagai tempat bagi pelita, dan “misykat” sebagai tempat bagi “kaca”. Dengan demikian, pelita berada di dalam kaca, dan kaca terletak di misykat. Jika ini semua adalah cahaya-cahaya, yang satu di atas yang lainnya, maka itulah yang dimaksud dengan ungkapan “cahaya di atas cahaya” ......!
Semoga Anda memahami dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
Post a Comment